Jay terus melangkah dengan cepat, tak ingin menyia-nyiakan waktu setelah menemukan wartawan dan kameramannya.Pikirannya masih terganggu oleh kebodohan mereka yang nekat menyusup ke area konflik. Dua orang itu tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga mengganggu strategi militer yang sedang berlangsung."Bos, ada musuh lain yang mendekat dari arah barat," suara Baskara terdengar di telinga melalui alat komunikasi. Jay langsung merapatkan rahangnya, wajahnya menunjukkan ketegangan."Seberapa banyak?" tanya Jay, tatapannya menyapu hutan sekeliling."Banyak, sekitar satu regu penuh. Mereka tampaknya mencari rekan mereka yang sudah Anda kalahkan tadi," jawab Baskara.Jay menghela napas panjang. Situasi ini semakin rumit. "Erlangga, bawa wartawan ini kembali ke tenda utama. Aku akan menahan mereka di sini," ucap Jay, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Erlangga menoleh, matanya terbelalak. "Bos, biar saya bantu—""Tidak! Kamu yang tanggung jawab membawa mereka keluar dari sini.
"Ma-maafkan kami, Tuan Jay." Lina, si wartawan wanita berkata dengan suara menyesal. "Kakiku ... kakiku mendadak terasa sakit, mungkin terkilir, makanya kami ... lambat berjalan."Jay menatap Lina sebentar. Matanya menyipit, memeriksa kondisi wartawan yang berdiri di hadapannya dengan wajah penuh rasa bersalah.Kaki Lina tampak baik-baik saja, tetapi dia tahu betapa berbahayanya berada di medan perang tanpa daya, dan siapa pun bisa merasakan nyeri mendadak akibat kelelahan atau stres. Tidak ada waktu untuk berdebat. Ketika Jay hendak menyentuh kaki Lina untuk disembuhkan, suara Baskara sudah terdengar lagi melalui ear-piece dia. "Bos, musuh mendekat lagi ke lokasi Anda berempat. Sekitar 20 meter. Ada belasan orang," Baskara memberitahukan ancaman yang semakin mendekat.Jay menghela napas dalam-dalam, menyiapkan diri. Dia menoleh ke Erlangga. "Kita harus bertindak cepat. Kamu fokus bertarung. Aku akan membawa mereka."Erlangga mengangguk tegas, menghunus sangkurnya. "Baik, Bos."Denga
“Kenapa? Apa udah sembuh?” Jay bergerak menjauh.Sebenarnya dari tadi Jay sudah mengetahui bahwa kaki sakit Lina hanyalah sekedar sandiwara dari si wartawan wanita.Tujuannya apalagi kalau bukan ingin tetap dekat dengan Jay untuk mendapatkan berita paling akurat?“Itu … iya, sepertinya … udah sembuh, Tuan Jay.” Lina menundukkan kepalanya.“Pakai aja tendaku untukmu tidur. Besok aku antar kamu ke kota.” Jay berjalan keluar diikuti Erlangga dan kameraman.Lina hanya terdiam dan menerima.Besok dia dipulangkan? Ini terlalu rugi baginya. Tapi mau bagaimana lagi? Atau dia mungkin bisa melakukan sesuatu agar hal itu bisa ditunda?Lina mulai merebahkan dirinya di ranjang sederhana yang ada di tenda Jay.“Hm?” Lina mengernyitkan keningnya, tapi bukan dalam ekspresi negatif, justru sebaliknya. “Aroma Tuan Jay,” bisiknya.Bau tubuh Jay masih tertinggal di seprai itu, membawa aroma maskulin yang khas—perpaduan antara keringat, debu medan perang, dan sedikit wangi kayu dari parfum yang samar.Saa
“Baik, Bos!”Erlangga mengangguk dan mulai menyiapkan peralatan untuk Lina.Lina pun mulai mempersiapkan diri untuk meliput berita tentang NanoCorium dan Jay Mahawira.Setelah percakapan pagi itu, mereka kembali ke rutinitas harian di kamp.Jay terlihat sibuk, berbicara dengan Erlangga tentang strategi pertahanan jika musuh kembali menyerang.Lina, di sisi lain, memutuskan untuk ikut serta dalam kegiatan di kamp. Dia berpura-pura berinteraksi dengan tentara lainnya, mengambil gambar sesekali, sambil mencari celah untuk mendekati Jay.Di sela-sela kesibukan sore harinya, Lina menemukan Jay sedang memperbaiki senjata bersama Erlangga di salah satu tenda peralatan.Dengan penuh keberanian, dia mendekat, berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan."Apakah aku bisa membantu dengan sesuatu, Tuan Jay?" tanyanya, mencoba terdengar tulus.Matanya memperhatikan peralatan yang sedang diperbaiki Jay dan Erlangga.Jay menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. "Enggak perlu. Ini pekerjaan teknis, kamu
“Gawat!” Jay bergegas keluar dari tenda begitu mendengar panggilan darurat dari Baskara.Hujan yang semakin menggila memaksa mereka untuk cepat bertindak. Semua prajurit mulai mengemasi tenda dan peralatan dengan cepat, memanggul ransel besar yang berisi peralatan bertahan hidup.Mereka tahu waktu sangat terbatas. Aliran air dari pegunungan akan segera datang dan bisa menyeret apa saja yang berada di jalurnya.“Pakai ini, Tuan.” Kolonel Hangga berkata seraya menyerahkan sesuatu ke Jay.Jay dan Erlangga diberi tas ransel serupa seperti yang dibawa para prajurit.“Terima kasih.” Jay mengangguk.Mereka bersiap bergerak, namun belum sempat mereka mengatur strategi lebih jauh, terdengar suara gemuruh yang mengerikan dari kejauhan.Air dari pegunungan datang seperti tembok besar, menerjang apa pun yang ada di jalurnya.“Cepat! Banjir datang!” salah satu prajurit berteriak dengan panik, memperingatkan yang lain untuk bergerak lebih cepat.Namun, di tengah kekacauan itu, terdengar suara tembak
“Lina!” Jay meluncur turun dari pohon dengan kecepatan tinggi, hatinya berdebar kencang melihat Lina tergeletak tak bergerak di atas pohon tumbang.Setibanya di dekatnya, Jay menilai keadaan Lina dengan cepat.Kening Lina terluka, darah mengalir tipis dari luka yang tampaknya disebabkan oleh hantaman keras. Namun yang lebih mencemaskan adalah Lina tak sadarkan diri."Astaga, Lina ...," gumam Jay sembari berlutut di sampingnya.Untung saja, tas ransel besar yang Jay serahkan sebelumnya, masih melekat di punggung Lina.Tanpa membuang waktu, Jay mengambil tas itu dan memakainya di punggung.Setelah memastikan tas itu aman, dia memeriksa napas Lina.“Masih ada, meski lemah.”Jay memutuskan untuk menggendong Lina ala bridal, dan segera mencari tempat yang lebih aman dan kering untuk berlindung.Jay bergerak cepat di antara pepohonan basah, tanah berlumpur di bawah kakinya membuat perjalanan semakin berat.“Aku harus segera menemukan tempat yang lebih tinggi sebelum air datang lagi.”Setelah
“Bisakah kamu berhenti melakukan itu?” tanya Jay dengan suara menahan sesuatu.Lina terdiam seketika dan mendongak.“Maksudnya, Tuan Jay?” Wanita itu seakan masih belum paham akibat dari perbuatannya.“Berhenti mengusap-usap dadaku menggunakan wajahmu.” Jay terpaksa mengatakannya secara lugas.Memangnya harus dengan bahasa yang seperti bagaimana lagi?“O-ohh! Maaf!” Lina jadi tak enak sendiri. Kepalanya langsung tertunduk dan berusaha mengendalikan debaran jantungnya.Jay menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan ‘Jenderal Joni’ di bawah sana yang sudah terbangun dari tidur panjangnya.“Tu-Tuan Jay, bolehkah … bolehkah begini dulu untuk … untuk beberapa saat?” tanya Lina dengan hati-hati, takut Jay marah.“Hm?” Jay melirik ke bawah.Lina memberanikan diri mendongak untuk mempertemukan netra mereka.“Aku … aku merasa hangat dan nyaman … di … di ….” Lina gagap dan gugup.Dia tidak menemukan kalimat yang lebih terhormat untuk menggantikan yang ada di benaknya saat ini.“Aku harus me
“Takut? Ke kamu? Enggak, tuh.” Lina tersenyum. “Aku percaya kamu orang baik, kok. Lagipula, bukannya kamu pernah menjelaskan kalau kamu mendapatkan framing makanya bisa dijebloskan ke penjara?”Ah ya, Jay terlupa bahwa dulu dia sudah pernah mengadakan konferensi pers mengenai apa yang diucapkan Lina.“Latar belakang masalahku bisa masuk ke penjara memang itu. Tapi bisa aja aku terkontaminasi dengan karakter keras dan kejam penghuni penjara, kan?” Jay masih ingin mengetahui sejauh mana penilaian Lina terhadap dirinya.Lina menggeleng.“Kalau kamu terkontaminasi mereka, kamu nggak akan bantu tentara Astronesia di sini sampai sejauh ini. Kamu nggak akan mengupayakan keselamatan aku dan kameramanku kayak gini.”Rupanya wanita ini sudah mempersiapkan jawabannya.“Aku percaya … Jay orang baik dulu maupun sekarang ….” Lina bergerak lebih proaktif.Dia beringsut ke hadapan Jay dan dengan santai memeluk Jay.“Maaf, aku … aku agak kedinginan. Boleh peluk, kan?” Lina langsung saja membelitkan ked