Malam ini Ryan berkesempatan untuk menikmati makan malam di rumah mertuanya bersama sang istri untuk yang terakhir kali, sebab malam ini juga mereka akan mengatakan rencananya untuk pindah ke rumah miliknya sendiri.
Ruang makan yang dipenuhi dengan perabotan mebel dan perabotan makan yang mahal memang tampak istimewa, khas milik keluarga kaya. Aneka macam makanan lezat juga tertata rapi di atas meja, dengan berdampingan dengan buah-buahan premium. "Ayo, mas Ryan." Erika menggandeng tangan suaminya menuju meja makan. "Ya," jawab Ryan pendek. Setibanya di meja makan, baru ada Tanu - kakaknya Erika, yang duduk sambil makan buah anggur. Sedangkan tuan Lee dan istrinya datang setelah Ryan dan Erika baru saja duduk. Tuan Lee, meminta pada istrinya untuk mengambilkan makanan untuknya terlebih dahulu. Setelah itu yang lain baru mengikuti, sebab seperti itulah memang kebiasaan mereka jika sedang makan bersama. Ryan yang sudah mengetahui kebiasaan ini di kehidupannya yang dulu, tentu tidak merasa kaget meskipun dirinya adalah anggota baru di keluarga istrinya. "Mas, mau aku ambilkan juga?" tawar Erika. "Boleh, ambil yang sama seperti kamu saja," jawab Ryan mengenai makanan yang akan dikonsumsi. "Hm, ambil sendiri juga bisa. Punya tangan bukan?" sindir Tanu para adik iparnya. Tuan Lee dan istrinya, hanya melihat sekilas dan tidak menegur anak laki-lakinya tersebut. Tapi, Erika tidak suka dengan perkataan kakaknya jadi melengos. Sedangkan Ryan, hanya tersenyum tipis menanggapi. Tapi karena tidak mendapatkan tanggapan apapun yang diinginkan, Tanu kembali dengan sengaja memancing keributan. Pria muda itu kembali mulai berbicara lagi dengan maksud menghina adik iparnya. "Orang miskin jadi OKB, ya gitulah. Tahu kan, apa itu OKB?" gumam Tanu, sambil melirik ke arah adik iparnya. "Tanu," panggil nyonya Lee, memberikan peringatan pada anak pertamanya supaya diam. "Kakak ini resek! Makanya cari istri, biar bisa diladeni." Erika kesal. Tuan Lee berdehem, tanpa mengeluarkan kata-kata. Tapi yang lain akhirnya diam, tidak ingin memancing kemarahan papa mereka. Pria berwibawa tersebut memang tidak ingin membuat keributan pada saat makan, malam seperti ini. Setelah suasana lebih tenang, Erika melanjutkan makan bersama dengan suaminya. Ia tidak peduli lagi dengan pandangan dan lirikan kakaknya, yang terlihat jelas tidak suka melihat suaminya. Dan ini memang sudah dari awal mereka menikah, bahkan sejak mereka masih pacaran. Setelah acara makan malam selesai, mereka tidak langsung meninggalkan meja makan. Tapi waktu ini digunakan untuk berbincang-bincang ringan sambil menikmati puding atau irisan buah yang tersedia sebagai pencuci mulut. "Pa, ada yang ingin Erika sampaikan." Akhirnya Erika memulai pembicaraan. "Apa, mau bicara apa?" tanya tuan Lee, menerima suapan irisan buah apel dari tangan istrinya. "Emh itu, pa. Mas Ryan dan Erika memutuskan untuk tinggal di rumah sendiri, jadi ... Erika minta izin pada papa dan mama, malam ini." Mendengar putrinya pamit, tuan Lee hampir tersedak setelah mendengarnya. Ia tidak pernah menyangka jika anak menantunya akan berencana untuk tidak tinggal di rumah besarnya ini, padahal mereka masih pengantin baru. Nyonya Lee, juga terkejut mendengar pernyataan anak perempuannya, lalu melirik ke arah anak laki-lakinya - Tanu. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh Erika ini ada kaitannya dengan sikap Tanu yang terlihat jelas tidak menyukai Ryan. "Bukan apa-apa, pa, ma. Ryan hanya ingin Erika bebas bergerak dan mengatur segala sesuatu tentang rumah kami. Bukan karena kami merasa tidak bebas jika tinggal di rumah ini, tapi ini hanya karena kami ingin lebih mandiri." Ryan akhirnya memberikan penjelasan yang lebih lanjut, sebelum kedua mertuanya itu memiliki pemikiran lain tentang rencana pindahnya bersabar Erika. "Cih! Rumah kecil saja bangga!" ejek Tanu. "Kakak!" teriak Erika tidak suka, karena kakaknya menjelek-jelekkan suaminya. "Tidak apa, sayang. Rumahku memang tidak sebesar milik papa ini, tapi setidaknya aku membangunnya dengan jerih payahku sendiri." Ryan tersenyum memberikan tanggapan, sambil menggenggam tangan istrinya. Tuan Lee melirik ke arah anak laki-lakinya dengan tatapan tajam, meminta pada Tanu supaya diam dan tidak banyak bicara. Meskipun tidak berbicara secara langsung atau suara keras, Tanu juga mengerti dan akhirnya dengan rasa kesal meninggalkan meja makan tanpa berbicara lagi. "Tanu!" bentak nyonya Lee, memperingatkan anak laki-lakinya yang tidak sopan. "Sudah, ma. Biarkan saja, dia memang keras kepala seperti aku. Hem ..." Tuan Lee, menyadari bahwa sifat dan watak anak laki-lakinya itu menurun dari sifatnya waktu masih muda yang keras kepala dan tidak mau mengalah. Tapi tidak dengan nyonya Lee. Wanita itu justru merasa gagal sebagai seorang mama, yang seharusnya bisa mendidik anak-anaknya supaya memiliki attitude yang baik, bisa sopan tanpa menjatuhkan orang lain. Sayangnya, Ryan sendiri sudah mengetahui bagaimana watak dan sifat dari keluarga istrinya di masa lalu, sebelum ia bisa mengubah takdirnya seperti sekarang. "Tidak apa-apa, ma. Kakak mungkin sedang ada masalah di kantor atau pekerjaannya." Ryan berusaha mencairkan suasana yang tegang. "Ya, mungkin. Mama harap kamu memakluminya, Ryan." Nyonya Lee tersenyum canggung. Ryan berpikir bahwa, seandainya ia masih menjadi sosok Ryan yang dulu, tentu tanggapan dari nyonya Lee tidak akan seperti ini. Memberikan pembelaan saat kakak iparnya menjelekkan dan menghinanya, sungguh itu adalah hal yang tidak pernah terjadi. Dari kesuksesan dan kekayaan, orang-orang akan memberikan penilaian dan penghormatan secara cepat. Dan inilah yang akhirnya disadari Ryan atas kesalahannya di masa lalu saat membuat keputusan yang hanya menggunakan perasaan. 'Uang dan kekuasaan memang selalu menjadi pemenang dalam membuat orang memandang kita, bukan karena apa yang ada di dalam hati dan perasaan.' Ryan membuat kesimpulan atas dasar pengalamannya yang sudah pernah mengalami hal-hal tersebut dan itu memang tidak baik di masa lalunya. Ia bersyukur bisa mendapatkan kesempatan untuk melakukan perubahan pada takdirnya yang buruk di masa lalu, sehingga saat ini kedua mertuanya tidak lagi memandangnya rendah. "Apa yang sudah kamu persiapkan untuk kedatangan putriku di rumahmu?" tanya tuan Lee, membuyarkan lamunan Ryan. "Pa, rumah mas Ryan juga besar meskipun tidak sebesar rumah ini. Dan untuk perabotannya, jika ada yang kurang aku bisa mengisinya sesuai keinginanku." Erika berusaha membela suaminya sebelum sang papa akan menghinanya nanti. Ryan mengangguk setuju dengan pendapat istrinya, sebab memang itu yang ia inginkan. Bisa memberikan kebebasan pada sang istri agar bisa mengatur rumahnya mereka sendiri. "Bener itu, pa. Mengatur rumah juga kebahagiaan seorang istri, sesuai yang diinginkan, lho..." ujar nyonya Lee memberikan pendapat. "Hem, apa kau tak bahagia karena ini adalah rumah warisan orang tuaku?" tanya tuan Lee seakan-akan baru saja mengetahui rahasia hati istrinya. "Eh, bukan begitu, pa!" sahut nyonya Lee, yang baru sadar telah menyingung suaminya tentang masalah kehidupannya pada awal-awal menikah. Erika melihat ke arah suaminya, saat papa dan mamanya justru bersitegang karena pembahasan tentang pindah rumah. 'Sepertinya aku menciptakan perang dunia keempat ini,' batin Erika.Setelah sedikit bersitegang, tuan Lee dan istri, akhirnya setuju dengan rencana Ryan yang ingin membawa Erika untuk tinggal di rumahnya sendiri. Dan pagi hari ini, mereka berdua justru ikut membantu persiapan mereka. Meski Ryan sudah meminta pada istrinya untuk tidak banyak membawa barang dari rumah orang tuanya, tapi Erika bilang itu adalah barang-barang pribadi miliknya untuk kebutuhannya sendiri. "Ini cuma barang-barang kebutuhan wanita, mas Ryan. Aku gak bawa perabotan," kata Erika memperlihatkan bawaannya yang ada dua koper. "Keperluan dan kebutuhan wanita itu banyak, Ryan. Jadi, ya begitulah. Makanya, papa tidak mau Erika mendapatkan suami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya." Tuan Lee tersenyum canggung mengingat kejadian yang dulu, saat memberikan penawaran pada Ryan sebelum menikah. "Itulah kenapa, banyak orang tua yang merasa sedikit tidak rela jika anak gadisnya diperistri laki-laki yang tidak sepadan atau setara dengan keluarganya. Ya, karena itu!"
"Selamat datang, Sayangku. Istriku ..." Ryan membuka pintu rumah lebar-lebar, mempersilahkan istrinya untuk masuk ke dalam rumahnya yang sudah dipersiapkan untuk mereka tempati setelah menikah. "Kamu, suka?" tanya Ryan kemudian, saat melihat istrinya terdiam meskipun matanya tampak berbinar-binar saat melihat sekeliling. "Mas, ini ..." Erika tidak bisa melanjutkan kalimatnya dengan lancar karena ini jauh berbeda dari ekspektasinya, mengenai rumah suaminya. Meskipun tahu jika suaminya bukan lagi karyawan biasa, dan sudah menjadi seorang pengusaha tapi ia tidak pernah menyangka jika Ryan telah menjadi sangat kaya raya. Saat melamar dan menikahinya, Ryan memang telah mengembalikan uang 5 Milyar pada papanya. Jadi, Erika berpikir bahwa suaminya itu harus kembali berjuang untuk mendapatkan kekayaan agar usahanya berjalan lancar. Apalagi pesta pernikahan mereka, semua biaya pesta juga ditanggung sendiri oleh Ryan. Orang tuanya tidak ikut membiayai pesta sama sekali, dan itu perm
"Kata papaku, kekayaan Ryan saat ini setara dengan para "sembilan naga" yang menguasai bisnis Indonesia. Tapi, entah itu dari mana papa mendapatkan informasi," ungkap Tanu - beberapa saat setelah mereka saling diam, membuat Julian kembali membelalakkan mata tidak percaya. "Yakin itu Ryan yang kita maksudkan?" tanya Julian cepat. Bukan tanpa alasan jika Julian tidak percaya dengan kekayaan yang dimiliki oleh Ryan saat ini, sebab sebagai eksekutif muda yang cukup memiliki lingkungan pertemanan yang juga sama-sama eksekutif dan pembisnis, tentunya ia sedikit banyak tahu siapa-siapa saja orang yang paling sukses dalam waktu terakhir ini. Tapi jika informasi Tanu ini dari tuan Lee sendiri yang mengatakannya, tentu saja Julian juga tidak bisa menyangkal. Tuan Lee pastinya memiliki informasi yang akurat dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. "Bukankah usaha Ryan hanya SPBU kecil di jalan utama arah tol menuju Jawa Tengah?" Julian kembali memastikan. "Ya, aku tahunya juga cuma itu
Lima pria dengan pakaian rapi layaknya eksekutif, menunggu di tempat duduk untuk acara meeting pagi ini. Meja persegi panjang dari kayu jati pilihan, tampak mengkilat mewah dengan berbagai alat-alat di atasnya, peralatan yang digunakan untuk kebutuhan meeting. Clek!Pintu ruangan terbuka, tampaklah seorang pria yang masih muda dan gagah berjalan dengan elegan ke tempat duduk yang kosong di ujung meja. Dia adalah pemimpin meeting, yang merupakan ketua lima pria yang kini berdiri menyambut kedatangannya."Kita mulai meeting pagi ini," ucap pria tersebut lalu disambut anggukan kepala kelima orang yang memang menunggunya.Pria dengan setelan jas hitam yang rapi kini memimpin jalannya rapat, sementara yang lain disibukkan dengan berbagai alat-alat penunjang meeting seperti laptop, handphone dan alat tulis lainnya.Arah pandang mereka, fokus pada layar plasma presentasi, membuat mereka semua terlihat tegang karena laya
Dreet dreet dreet ...Ponsel Ryan kembali bergetar, saat ia sudah berada di dalam ruangan kerjanya sendiri. Dan yang melakukan panggilan telepon saat ini juga adalah papa mertuanya, sesuai dengan pesan sebelumnya."Ya, Pa. Ada apa?" tanya Ryan, begitu panggilan telepon tersambung."Ryan. Papa... sebenarnya papa tidak ingin merepotkan kamu dengan terlibat dalam urusan perusahaan keluarga Lee. T-api ..." Tuan Lee, ragu untuk mengatakan maksudnya menghubungi Ryan."Ryan siap mendengarkan, pa."Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, tuan Lee mengutarakan maksud panggilan teleponnya kali ini. Pria paruh baya itu menceritakan keadaan perusahaannya yang sudah bisa dikatakan bangkrut, karena harga saham perusahaan keluarga Lee telah jatuh.Pemilik saham lama, yang diluar keluarga Lee sendiri, ternyata sudah menjual saham-saham mereka. Dan ini terjadi dalam waktu singkat karena adanya isu kebangkrutan perus
"Tanu, bisa tidak kamu itu menahan diri?" geram tuan Lee saat mereka sudah berada di dalam mobil. Pulang dari kantornya Ryan, siang ini."Apa sih, papa ini?" Tanu gusar dengan wajah masam."Seharusnya papa memukulmu tadi, sebab kamu tidak bisa membaca situasi. Kita sedang mencari dana pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan kita, Tanu!"Sebenarnya, tuan Lee mendengar gumaman anaknya yang masih saja merendahkan Ryan. Untungnya, anak menantunya tidak merespon apapun yang dilakukan oleh Tanu - tadi.Ryan tetap sopan dan ramah pada tuan Lee, memberikan dana pinjaman yang diminta untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka. Dan Ryan juga memberikan waktu pengembalian dalam jangka yang relatif lama."Sebaiknya kamu belajar banyak dari adik iparmu, Tanu! Jangan sampai dana pinjaman ini kamu pakai untuk ambisimu yang ingin membuat perusahaan game sendiri." Tuan Lee tegas memperingatkan anaknya."Ck, sanjung saja terus. Lama-lama juga
"Sayang, aku mau beliin ini buat mama. Nggak apa-apa, kan?" tanya Erika sambil menunjuk sebuah tas branded."Ambil saja yang kamu inginkan, sayang. Jika kamu tahu apa yang disukai mama, ambil juga." Ryan, memberikan kebebasan pada istrinya untuk memilih barang belanjaan yang diinginkan.Saat ini mereka berdua sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di ibu kota. Tepatnya di sebuah counter branded yang sedang trend di kalangan sosial atas dengan produk unggulan tas, yang harganya bisa melebihi harga sebuah mobil.Tapi Erika ragu untuk mengambil tas tersebut, kerena harga yang tertera sangat mahal. Ia yakin jika suaminya tidak melihat harga tas tersebut, jadi asal setuju saja tanpa pikir panjang.Wanita itu tidak mau jika suaminya kehabisan uang hanya untuk sebuah tas yang ingin dihadiahkan pada mamanya. Tapi ia ingat jika tas ini yang diinginkan mamanya beberapa hari kemarin."Kenapa, sayang?" tanya Ryan, karena istrinya tidak j
"Erika, sebaiknya kamu jalan sama aku aja, bagaimana? Kamu tidak perlu khawatir dengan harga makanan atau mau barang belanjaan yang kamu inginkan, aku pasti bisa bayar," ujar Julian sambil tersenyum sinis - melirik ke arah Ryan."Huh, mimpi saja sana!" sahut Erika - ketus. Tak suka cara Julian menyapa mereka.Julian berpikir jika Ryan tidak sanggup membayar makanan yang mereka makan di restoran Chinese. Itulah sebabnya, Julian berbicara demikian karena mencoba menyadarkan wanita pujaannya tersebut agar memilih dirinya dibandingkan dengan suaminya sendiri. Dia berpikir bahwa saat ini, pasti Erika yang mengeluarkan uang untuk keperluan selama berada di mall.Pria itu gelap mata, sehingga tidak berpikir bahwa ini ada di tempat umum yang pastinya perselisihan kecil mereka mendapat perhatian dari orang banyak. Dan secara terang-terangan dia berusaha menjatuhkan Ryan, sama seperti dulu saat masih menjadi bawahannya."Julian! Aku selama ini menghormati h
"Apa maksudmu, Bang Ded?" tanya Elsa dengan nada heran, menatap Dedi dengan bingung - tidak mengerti arah pembicaraannya tadi.Dedi menghela napas panjang, berhenti sejenak di depan lift yang belum terbuka. Ia memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka sebelum melanjutkan pembicaraannya."Aku tahu kamu dekat dengan Pak Ryan. Kita semua dekat dengannya, tapi aku melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara kamu dan dia," ujar Dedi dengan serius, menatap langsung ke mata Elsa.Elsa mengerutkan kening. "Maksudmu, aku dan Pak Ryan...?" Ia tertawa kecil, merasa absurd dengan apa yang dipikirkan Dedi. "Bang Ded, kamu salah paham. Aku tidak ada perasaan apa-apa terhadap Pak Ryan. Dia bosku, dan kita hanya bekerja sama. Hubungan kita sebatas profesional, tidak lebih."Namun, Dedi tampak tidak terpengaruh oleh penjelasan Elsa. "El, aku tahu kamu orang yang baik. Tapi terkadang, kedekatan bisa menimbulkan persepsi yang salah, apalagi ketika orang lain melihatny
Beberapa hari setelah perbincangan Ryan dan Rangga, suasana di sekitarnya semakin stabil. Hubungan Ryan dengan orang-orang di sekitarnya mulai membaik, terutama dengan istrinya - Erika, yang sempat syok berat karena mengetahui papanya ikut terlibat dalam konspirasi yang ingin menjatuhkan suaminya. Sementara Nyonya Lee juga ikut syok dan akhirnya harus mengungsi ke luar negeri demi kesehatan mentalnya.Tanu yang sempat khawatir dengan kehadiran Rangga, akhirnya bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Rangga tidak lagi memiliki ambisi untuk mengambil alih perusahaan. Tindakan Ryan yang memperbaiki hubungan dengan Rangga menjadi kunci untuk menghindari konflik lebih jauh, dan itu membuatnya semakin dihargai oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya.Sementara itu, di rumah, hubungan Ryan dan Erika semakin hangat. Meskipun sibuk dengan urusan perusahaan dan masalah-masalah yang baru saja berlalu, Ryan selalu meluangkan waktu untuk istrinya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama d
Beberapa hari setelah Tuan Lee, Tuan Haris, dan Nadia diproses hukum, suasana di perusahaan Ryan mulai stabil. Tidak ada yang bisa lepas begitu saja dari jerat hukum, jika memang mereka bersalah. Dan Ryan, tidak memiliki toleransi bagi mereka yang berkhianat.Berbeda dengan keadaan Ryan, Tanu justru sedang resah. Keberadaan Rangga yang masih berkeliaran di sekitar perusahaan Lee membuatnya merasa terganggu. Meski Rangga tidak lagi membuat keributan atau mencoba mengambil alih perusahaan, kehadirannya tetap memicu ketegangan yang membuat suasana tidak nyaman. Tanu tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya, sering kali mengeluh pada Ryan atau Erika tentang hal tersebut.Melihat ketidaknyamanan Tanu dan menyadari bahwa permasalahan di antara mereka bisa saja merusak hubungan keluarga yang tersisa, Ryan memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia merasa sudah waktunya berbicara dengan Rangga, bukan sebagai rival bisnis, tetapi sebagai saudara yang masih memiliki ikatan darah dengan istrinya
Ryan berhenti melangkah dan menoleh kembali ke arah Tanu, matanya tampak serius. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Tanu membuat suasana yang semula mulai mereda kembali terasa tegang. Erika, yang berdiri di samping suaminya, menatap Tanu dengan cemas, seakan tahu bahwa pembahasan ini akan membawa kembali ingatan-ingatan buruk yang tentu saja masih membekas dengan jelas.Ryan menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kak Tanu, aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kita semua. Apalagi, bagimu dan Erika, dia tetaplah papa kalian." Ryan berbicara dengan hati-hati, tak ingin memancing lebih banyak perasaan keduanya terluka."Tapi, Papa..." Suara Tanu tercekat, menelan ludahnya susah. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana jika dia—""Kita harus menyerahkan semuanya pada hukum, Kak Tanu." Ryan memotong dengan tegas, namun suaranya tetap tenang. "Semua bukti sudah jelas mengarah ke Papa. Dia terlibat dalam rencana bersama Tuan Haris dan melibatkan Nadia juga untuk mencelakak
Erika berjalan anggun memasuki ruang meeting, di sampingnya ada Ryan yang selalu tampak tenang namun penuh wibawa. Suara langkah kaki mereka berdua yang berirama membuat suasana di ruangan itu terasa semakin menegangkan. Tanu yang masih berdiri di depan meja konferensi menatap ke arah keduanya, sementara Rangga yang semula tampak percaya diri, kini mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiran mereka.Ryan, yang memegang saham terbesar di perusahaan ini setelah penyuntikan dana besar-besaran saat perusahaan Lee hampir bangkrut, hanya memberikan anggukan kecil kepada Tanu. Ia kemudian berjalan ke arah kursi di ujung meja, posisi yang biasanya diisi oleh pemegang keputusan tertinggi dalam pertemuan semacam ini.Erika, yang selama ini menjadi sosok penting di balik layar - sebab dirinya juga memiliki beberapa persen saham di perusahaan keluarganya ini, tidak banyak bicara. Namun kehadirannya kali ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan sekadar anak perempuan dari Tuan Lee, tetapi juga seora
Tanu berdiri tegak di ruang pertemuan yang luas, matanya menatap dengan tajam ke arah sepupunya - Rangga, yang memaksa ikut dalam pertemuan ini. Rangga duduk di hadapannya dengan sikap percaya diri, merasa menjadi bagian dari perusahaan yang saat ini dipimpin Tanu.Rangga, sepupu Tanu yang juga sekaligus keponakan Tuan Lee, kini berani menunjukkan ketertarikannya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan yang selama ini dijalankan oleh Tuan Lee. Sementara itu, Tuan Lee, ayah Tanu dan Erika, kini tengah mendekam di penjara, jelas telah membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi banyak hal - termasuk merosotnya harga saham perusahaan. Namun, meskipun hubungan keluarga ini mengikat mereka dalam ikatan darah, Tanu tahu bahwa tidak ada tempat bagi Rangga di dalam dunia bisnisnya ini —terutama dengan segala yang telah terjadi.Tangga sendiri - bersama dengan keluarganya yang lain, sudah mendapatkan bagiannya di luar kota - perusahaan cabang yang selama ini ditangani mendiang ayahnya R
Malam itu, Ryan duduk di tepi tempat tidur mereka, memandangi Erika yang duduk masih betah terpaku di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Udara malam yang sejuk tampaknya tidak bisa menenangkan kekacauan yang bergejolak di dalam diri Erika.Ryan bisa melihatnya, bagaimana istrinya itu memendam sesuatu yang besar, sebuah kepedihan yang lebih dalam dari sekadar banyak peristiwa - termasuk kecelakaan yang pernah dia alami beberapa waktu lalu."Aku nggak tahu harus bagaimana, mas Ryan," ujar Erika pelan, suaranya serak."Kenapa, hm?" Ryan bertanya maksud perkataan istrinya."Papa... dia... dia..." Erika terhenti, suaranya hampir hilang ditelan perasaan yang mendalam."Selama ini aku merasa terjebak dalam permainan yang tak aku pahami. Semua ini ternyata sudah direncanakan sejak lama, dan aku... aku tidak pernah tahu apa-apa tentang rencana papa." Akhirnya, Erika bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu menyesakkan dadanya.Ryan menghembuskan napas panjang, berjalan mendekat dan du
Setelah peristiwa yang mengguncang mereka semua, hari-hari selanjutnya penuh dengan ketegangan meskipun situasi sudah mulai mereda. Ryan masih berusaha menenangkan Erika dan dirinya sendiri setelah semua yang terjadi, sementara Elsa, Dedi, Fery, dan Tomi berusaha memberikan dukungan moral pada mereka berdua. Namun, ada satu hal yang tak banyak orang ketahui, bahkan Elsa sendiri belum menyadarinya.Dedi selalu memperhatikan Elsa dari kejauhan, bahkan sudah sejak lama. Di tengah segala kecemasan dan ketegangan yang mereka alami, Dedi merasa cemas dengan keberadaan Elsa yang selalu berada di dekat Ryan. Entah mengapa, setiap kali melihat Elsa tertawa atau berbicara dengan Ryan, hatinya terasa teriris. Dedi tahu perasaan ini bukan hal yang bisa ia tunjukkan, apalagi di tengah kesibukan mereka yang terus bergulir. Namun, perasaan itu semakin tak bisa ia bendung."Elsa, bisa bantu aku sebentar?" Dedi memanggil, berusaha tidak terlalu terlihat gelisah.Elsa yang sedang berdiri bersama Fery d
Ketika suasana semakin tegang dan tak terkontrol di ruangan gelap itu, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi dari kejauhan, semakin dan mendekat ke lokasi. Ryan, Julian, dan Tuan Lee sama-sama tersentak, menyadari bahwa keadaan akan segera berubah drastis.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Dedi, Fery, dan Tomi masuk berbarengan, wajah mereka tegang namun sedikit lega melihat Ryan masih berdiri meskipun dengan wajah yang tampak lelah dan tubuh penuh luka."Kalian?!" seru Ryan, terkejut melihat asistennya. "Bagaimana kalian bisa tahu kami di sini?" tanyanya kemudian.Dedi mendekat cepat, matanya melirik sejenak ke arah Tuan Lee yang masih tersandar di dinding dan Tuan Haris yang tergeletak di lantai, juga Julian yang diam saja seperti tidak melakukan apapun dalam keadaan ini."Kami dapat info dari Elsa, Pak Ryan. Kami segera ke sini begitu tahu kau dalam bahaya," terang Dedi."Kau tamat, selesai sekarang ini, Tuan Haris. Polisi juga sudah di sini," ujar Fery dingi