Share

6. Tersinggung

Malam ini Ryan berkesempatan untuk menikmati makan malam di rumah mertuanya bersama sang istri untuk yang terakhir kali, sebab malam ini juga mereka akan mengatakan rencananya untuk pindah ke rumah miliknya sendiri.

Ruang makan yang dipenuhi dengan perabotan mebel dan perabotan makan yang mahal memang tampak istimewa, khas milik keluarga kaya. Aneka macam makanan lezat juga tertata rapi di atas meja, dengan berdampingan dengan buah-buahan premium.

"Ayo, mas Ryan." Erika menggandeng tangan suaminya menuju meja makan.

"Ya," jawab Ryan pendek.

Setibanya di meja makan, baru ada Tanu - kakaknya Erika, yang duduk sambil makan buah anggur. Sedangkan tuan Lee dan istrinya datang setelah Ryan dan Erika baru saja duduk.

Tuan Lee, meminta pada istrinya untuk mengambilkan makanan untuknya terlebih dahulu. Setelah itu yang lain baru mengikuti, sebab seperti itulah memang kebiasaan mereka jika sedang makan bersama.

Ryan yang sudah mengetahui kebiasaan ini di kehidupannya yang dulu, tentu tidak merasa kaget meskipun dirinya adalah anggota baru di keluarga istrinya.

"Mas, mau aku ambilkan juga?" tawar Erika.

"Boleh, ambil yang sama seperti kamu saja," jawab Ryan mengenai makanan yang akan dikonsumsi.

"Hm, ambil sendiri juga bisa. Punya tangan bukan?" sindir Tanu para adik iparnya.

Tuan Lee dan istrinya, hanya melihat sekilas dan tidak menegur anak laki-lakinya tersebut. Tapi, Erika tidak suka dengan perkataan kakaknya jadi melengos. Sedangkan Ryan, hanya tersenyum tipis menanggapi.

Tapi karena tidak mendapatkan tanggapan apapun yang diinginkan, Tanu kembali dengan sengaja memancing keributan. Pria muda itu kembali mulai berbicara lagi dengan maksud menghina adik iparnya.

"Orang miskin jadi OKB, ya gitulah. Tahu kan, apa itu OKB?" gumam Tanu, sambil melirik ke arah adik iparnya.

"Tanu," panggil nyonya Lee, memberikan peringatan pada anak pertamanya supaya diam.

"Kakak ini resek! Makanya cari istri, biar bisa diladeni." Erika kesal.

Tuan Lee berdehem, tanpa mengeluarkan kata-kata. Tapi yang lain akhirnya diam, tidak ingin memancing kemarahan papa mereka. Pria berwibawa tersebut memang tidak ingin membuat keributan pada saat makan, malam seperti ini.

Setelah suasana lebih tenang, Erika melanjutkan makan bersama dengan suaminya. Ia tidak peduli lagi dengan pandangan dan lirikan kakaknya, yang terlihat jelas tidak suka melihat suaminya. Dan ini memang sudah dari awal mereka menikah, bahkan sejak mereka masih pacaran.

Setelah acara makan malam selesai, mereka tidak langsung meninggalkan meja makan. Tapi waktu ini digunakan untuk berbincang-bincang ringan sambil menikmati puding atau irisan buah yang tersedia sebagai pencuci mulut.

"Pa, ada yang ingin Erika sampaikan." Akhirnya Erika memulai pembicaraan.

"Apa, mau bicara apa?" tanya tuan Lee, menerima suapan irisan buah apel dari tangan istrinya.

"Emh itu, pa. Mas Ryan dan Erika memutuskan untuk tinggal di rumah sendiri, jadi ... Erika minta izin pada papa dan mama, malam ini."

Mendengar putrinya pamit, tuan Lee hampir tersedak setelah mendengarnya. Ia tidak pernah menyangka jika anak menantunya akan berencana untuk tidak tinggal di rumah besarnya ini, padahal mereka masih pengantin baru.

Nyonya Lee, juga terkejut mendengar pernyataan anak perempuannya, lalu melirik ke arah anak laki-lakinya - Tanu. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh Erika ini ada kaitannya dengan sikap Tanu yang terlihat jelas tidak menyukai Ryan.

"Bukan apa-apa, pa, ma. Ryan hanya ingin Erika bebas bergerak dan mengatur segala sesuatu tentang rumah kami. Bukan karena kami merasa tidak bebas jika tinggal di rumah ini, tapi ini hanya karena kami ingin lebih mandiri."

Ryan akhirnya memberikan penjelasan yang lebih lanjut, sebelum kedua mertuanya itu memiliki pemikiran lain tentang rencana pindahnya bersabar Erika.

"Cih! Rumah kecil saja bangga!" ejek Tanu.

"Kakak!" teriak Erika tidak suka, karena kakaknya menjelek-jelekkan suaminya.

"Tidak apa, sayang. Rumahku memang tidak sebesar milik papa ini, tapi setidaknya aku membangunnya dengan jerih payahku sendiri." Ryan tersenyum memberikan tanggapan, sambil menggenggam tangan istrinya.

Tuan Lee melirik ke arah anak laki-lakinya dengan tatapan tajam, meminta pada Tanu supaya diam dan tidak banyak bicara. Meskipun tidak berbicara secara langsung atau suara keras, Tanu juga mengerti dan akhirnya dengan rasa kesal meninggalkan meja makan tanpa berbicara lagi.

"Tanu!" bentak nyonya Lee, memperingatkan anak laki-lakinya yang tidak sopan.

"Sudah, ma. Biarkan saja, dia memang keras kepala seperti aku. Hem ..." Tuan Lee, menyadari bahwa sifat dan watak anak laki-lakinya itu menurun dari sifatnya waktu masih muda yang keras kepala dan tidak mau mengalah.

Tapi tidak dengan nyonya Lee. Wanita itu justru merasa gagal sebagai seorang mama, yang seharusnya bisa mendidik anak-anaknya supaya memiliki attitude yang baik, bisa sopan tanpa menjatuhkan orang lain.

Sayangnya, Ryan sendiri sudah mengetahui bagaimana watak dan sifat dari keluarga istrinya di masa lalu, sebelum ia bisa mengubah takdirnya seperti sekarang.

"Tidak apa-apa, ma. Kakak mungkin sedang ada masalah di kantor atau pekerjaannya." Ryan berusaha mencairkan suasana yang tegang.

"Ya, mungkin. Mama harap kamu memakluminya, Ryan." Nyonya Lee tersenyum canggung.

Ryan berpikir bahwa, seandainya ia masih menjadi sosok Ryan yang dulu, tentu tanggapan dari nyonya Lee tidak akan seperti ini. Memberikan pembelaan saat kakak iparnya menjelekkan dan menghinanya, sungguh itu adalah hal yang tidak pernah terjadi.

Dari kesuksesan dan kekayaan, orang-orang akan memberikan penilaian dan penghormatan secara cepat. Dan inilah yang akhirnya disadari Ryan atas kesalahannya di masa lalu saat membuat keputusan yang hanya menggunakan perasaan.

'Uang dan kekuasaan memang selalu menjadi pemenang dalam membuat orang memandang kita, bukan karena apa yang ada di dalam hati dan perasaan.'

Ryan membuat kesimpulan atas dasar pengalamannya yang sudah pernah mengalami hal-hal tersebut dan itu memang tidak baik di masa lalunya.

Ia bersyukur bisa mendapatkan kesempatan untuk melakukan perubahan pada takdirnya yang buruk di masa lalu, sehingga saat ini kedua mertuanya tidak lagi memandangnya rendah.

"Apa yang sudah kamu persiapkan untuk kedatangan putriku di rumahmu?" tanya tuan Lee, membuyarkan lamunan Ryan.

"Pa, rumah mas Ryan juga besar meskipun tidak sebesar rumah ini. Dan untuk perabotannya, jika ada yang kurang aku bisa mengisinya sesuai keinginanku." Erika berusaha membela suaminya sebelum sang papa akan menghinanya nanti.

Ryan mengangguk setuju dengan pendapat istrinya, sebab memang itu yang ia inginkan. Bisa memberikan kebebasan pada sang istri agar bisa mengatur rumahnya mereka sendiri.

"Bener itu, pa. Mengatur rumah juga kebahagiaan seorang istri, sesuai yang diinginkan, lho..." ujar nyonya Lee memberikan pendapat.

"Hem, apa kau tak bahagia karena ini adalah rumah warisan orang tuaku?" tanya tuan Lee seakan-akan baru saja mengetahui rahasia hati istrinya.

"Eh, bukan begitu, pa!" sahut nyonya Lee, yang baru sadar telah menyingung suaminya tentang masalah kehidupannya pada awal-awal menikah.

Erika melihat ke arah suaminya, saat papa dan mamanya justru bersitegang karena pembahasan tentang pindah rumah. 'Sepertinya aku menciptakan perang dunia keempat ini,' batin Erika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status