"Erika, sebaiknya kamu jalan sama aku aja, bagaimana? Kamu tidak perlu khawatir dengan harga makanan atau mau barang belanjaan yang kamu inginkan, aku pasti bisa bayar," ujar Julian sambil tersenyum sinis - melirik ke arah Ryan.
"Huh, mimpi saja sana!" sahut Erika - ketus. Tak suka cara Julian menyapa mereka.Julian berpikir jika Ryan tidak sanggup membayar makanan yang mereka makan di restoran Chinese. Itulah sebabnya, Julian berbicara demikian karena mencoba menyadarkan wanita pujaannya tersebut agar memilih dirinya dibandingkan dengan suaminya sendiri. Dia berpikir bahwa saat ini, pasti Erika yang mengeluarkan uang untuk keperluan selama berada di mall.Pria itu gelap mata, sehingga tidak berpikir bahwa ini ada di tempat umum yang pastinya perselisihan kecil mereka mendapat perhatian dari orang banyak. Dan secara terang-terangan dia berusaha menjatuhkan Ryan, sama seperti dulu saat masih menjadi bawahannya."Julian! Aku selama ini menghormati hDi rumah keluarga Lee."Kamu harus bisa bersikap fleksibel, jadi seharusnya kamu bisa bersikap lebih baik pada Ryan agar dia juga melunak, Tanu!"Tuan Lee berbicara dengan nada sedikit tinggi, saat kembali menasehati anaknya. Padahal mereka baru saja turun dari mobil, tapi emosi pria setengah baya itu menggebu-gebu karena anak laki-lakinya juga tidak mau menurut."Pa, ada apa ini?" tanya nyonya Lee yang kebetulan ada di teras depan membaca pesan-pesan wa dari teman sosialitanya."Itu anakmu, Tanu! Tidak becus urus perusahaan, cari pinjaman modal juga keras kepala!" jawab tuan Lee - mengomel."Eh, jika sukses dan berhasil papa bilang dengan bangga dengan menyebutnya sebagai "anakku" tapi giliran kayak gini aja, dia anakku! Papa gimana ini, gak konsisten."Nyonya Lee tidak terima karena begitu suami dan anaknya datang, dia justru kena omelan - yang tidak dia ketahui penyebab pastinya.Dengan membuang nafas kasar, tuan Lee
"Ehhh, kalian datang!"Nyonya Lee, menyambut dengan antusias saat kedatangan anak dan menantunya - Erika bersama Ryan. Sementara tuan Lee tersenyum lebar menyambut mereka berdua, seakan-akan mendapatkan berkah dari keduanya yang datang tanpa harus menunggu undangan."Maaf ya, sayang. Mama dan papa belum sempat berkunjung ke rumah kalian. T-api ... kenapa kakakmu itu bilang jika rumah kalian sedang dipugar dan bentuknya tidak seperti rumah pada umumnya. Apa yang terjadi?" tanya nyonya Lee yang tidak tahu jika rumah menantunya bukan lagi di rumah yang lama."Ma, mereka baru datang. Suruh duduk dululah! Masa udah ditanya-tanya seperti itu," tegur tuan Lee, atas apa yang dilakukan istrinya dengan kedatangan anak dan menantunya tersebut."Oh ya, Pa. Hehehe ... ayo-ayo, duduk dulu!"Akhirnya, nyonya Lee mempersilahkan mereka untuk duduk sesuai dengan permintaan suaminya - yang sebenarnya mengambil hati Ryan.Mereka saling bertanya kaba
"Kakak!" sentak Erika tidak terima."Apa? Palingan ngontrak rumah di gang sempit," sahut Tanu - lagi, seakan-akan mendapatkan angin untuk menjatuhkan Ryan di depan kedua orang tuanya.Tuan Lee dan istrinya menoleh cepat ke arah anak laki-lakinya itu, sama seperti yang dilakukan oleh Erika dan Ryan. Mereka tidak percaya jika Tanu bisa berkata demikian, padahal ia tidak tahu di mana rumah Ryan yang sebenarnya. Ia hanya menebak saja."Kak, jaga omongan kakak!" teriak Erika tidak terima atas penghinaan yang dilakukan oleh kakaknya itu terhadap suaminya."Kakak tidak tahu dan belum liat sendiri, tidak perlu bicara yang tidak benar!" imbuh Erika dengan tatapan nyalang.Sepertinya Erika benar-benar marah karena melihat bagaimana cara kakaknya yang tidak bisa menghargai suaminya. Padahal ia ingin sekali melihat orang tua ataupun kakaknya bisa bersikap lebih baik pada suaminya - tanpa perlu ditunjukkan bukti apapun.Sebagai anggota keluarga - Ryan sudah menjadi bagian dari keluarga mereka, Eri
"Apa ini? Kamu gila, Julian!" teriak Tanu, saat menghubungi orang yang mengurus perusahaan game miliknya.Tanu marah besar mengetahui jika perusahaan yang sudah dibuatnya kini lepas, sementara yang melepas justru orang lain - bukan dirinya.Tapi di ujung sana, Julian justru menanggapi kemarahan Tanu dengan enteng. "Perusahaan game itu sudah tidak bisa tertolong lagi, Tanu. Jalan satu-satunya adalah dengan menjualnya, dan kebetulan ada orang yang mau membelinya dengan harga yang lumayan. Daripada bangkrut dan tidak dapat apa-apa?"Julian merasa jika keputusannya itu benar, tanpa perlu bertanya pada Tanu terlebih dahulu. Dia merasa memiliki wewenang untuk melakukan apa saja termasuk mengambil keputusan besar seperti ini. "Brengsek kamu, Julian! Lalu, Apakah kamu tahu siapa yang membeli perusahaanku?" teriak Tanu - masih dengan amarah yang besar."Aku tidak tahu siapa orangnya, dan aku juga tidak peduli. Yang penting dia mau bayar dengan ma
"Itu lho, Ma. Tadi di mall, Julian sombong sekali. Dia sok-sokan nawarin Erika belanja dan makan di restoran. Padahal mas Ryan juga mampu bayar semua," jelas Erika atas insiden yang terjadi di mall."Benar begitu, Ryan?" tanya Nyonya Lee beralih pada menantunya, menuntaskan rasa penasarannya."Ya, ma." Ryan menjawab pendek.Sekarang, tuan Lee berpikir kembali. Ia akhirnya tahu bagaimana teman anaknya itu - Julian, yang sudah menyalahi aturan dan wewenang yang diberikan Tanu padanya.Menurut tuan Lee, orang seperti Julian tidak layak mendapatkan kepercayaan dalam hal apapun karena tidak bisa dipercaya dan diandalkan saat keadaan sulit."Julian adalah orang yang tidak profesional dan egois, sedangkan Tanu sudah salah karena mempercayakan bisnisnya pada temannya itu." Tuan Lee menggeleng perlahan."Lalu bagaimana ini, pa?" tanya Nyonya Lee - panik.Pria itu melirik ke arah anak menantunya, berharap Ryan bicara dan memberika
Ryan, tersenyum tipis membayangkan bagaimana perubahan wajah dan sikap papa dan mama mertuanya setelah makan malam selesai. Ia telah membuktikan diri bahwa ia bisa menjadi lebih sukses dan kaya raya dibanding dengan mereka atau anak laki-laki mereka.Selama ini Ryan telah berusaha keras dengan sebaik mungkin, bukan hanya dengan tenaga yang telah mengeluarkan banyak keringat. Tapi otaknya juga digunakan untuk berpikir lebih demi strategi-strategi bisnis yang bisa diambilnya untuk setiap kesempatan dan peluang usaha yang bisa menghasilkan, hingga kini bisa berhasil.Pengalaman di kehidupan sebelumnya telah memberinya banyak pelajaran dan pengalaman berharga untuk perubahan di kehidupan yang sekarang, supaya takdirnya juga berubah."Alam kehidupan dan waktu telah memberiku kesempatan untuk menjadi lebih baik dan berkuasa, jadi tumbanglah orang-orang yang telah menghina dan merendahkan aku di masa lalu."Ryan memandang wajah istrinya yang tertidur den
"Dedi, lanjutkan rencana berikutnya di perusahaan game yang baru saja bergabung. Buat renovasi sistem dan periklanan untuk promosi," ujar Ryan di awal meeting pagi ini."Siap, pak Ryan. Saya dan Tim sudah mempersiapkan rencana yang telah dibuat sedemikian rupa untuk langkah game-game yang kurang laku di pasaran, dengan target yang mengubahnya agar lebih menarik." Dedi berikan penjelasan."Bagus, lanjutkan rencana tersebut. Dan kamu, bagaimana Elsa?" tanya Ryan, beralih pada asistennya yang lain.Elsa adalah satu-satunya asisten Ryan yang perempuan, sebab meskipun beda dari asisten lainnya, Elsa memiliki kepribadian yang tegas dan tidak mudah menyerah.Dedi adalah asistennya Ryan yang paling lama, yang membantunya sejak pertama kali membuka usaha. Dia juga yang ditunjuk untuk membeli saham perusahaan game miliknya Tanu. Ryan memang sengaja memakai nama asisten-asistennya, yang berjumlah lima orang untuk keperluan bisnisnya.Ryan sendiri ad
"Jangan biarkan saham kita dikuasai oleh seseorang di pasar saham, Tanu! Jadi, pastikan orang itu takut dan menjual sahamnya supaya tidak mendominasi kepemilikan saham kita!"Tuan Lee, mengingatkan anak laki-lakinya dengan tegas. Ia tidak mau kecolongan lagi untuk harga sahamnya, sebab sempat merosot dan akhirnya dibeli oleh dua orang saja. Dan itupun tidak ia ketahui siapa sebenarnya orang yang membeli.Tapi, Tanu mendengarkan peringatan papanya dengan tidak bersemangat. Pikirannya sedang bercabang menjadi dua, sebab perusahaan game miliknya yang kini telah berpindah menjadi milik orang lain, dan harga beli yang jauh lebih murah. Jelas ia rugi karena sesuai dengan modal yang dulu dikeluarkannya saat membangun perusahaan game tersebut."Tanu, kamu dengar tidak apa yang papa katakan, huh?" bentak tuan Lee - gusar."Hahhh ... iya, pa." Tanu menyahuti dengan lesu dan tidak fokus.Hal ini membuat tuan Lee memicingkan matanya, memperhatikan ke