"Tanu, bisa tidak kamu itu menahan diri?" geram tuan Lee saat mereka sudah berada di dalam mobil. Pulang dari kantornya Ryan, siang ini.
"Apa sih, papa ini?" Tanu gusar dengan wajah masam."Seharusnya papa memukulmu tadi, sebab kamu tidak bisa membaca situasi. Kita sedang mencari dana pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan kita, Tanu!"Sebenarnya, tuan Lee mendengar gumaman anaknya yang masih saja merendahkan Ryan. Untungnya, anak menantunya tidak merespon apapun yang dilakukan oleh Tanu - tadi.Ryan tetap sopan dan ramah pada tuan Lee, memberikan dana pinjaman yang diminta untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka. Dan Ryan juga memberikan waktu pengembalian dalam jangka yang relatif lama."Sebaiknya kamu belajar banyak dari adik iparmu, Tanu! Jangan sampai dana pinjaman ini kamu pakai untuk ambisimu yang ingin membuat perusahaan game sendiri." Tuan Lee tegas memperingatkan anaknya."Ck, sanjung saja terus. Lama-lama juga"Sayang, aku mau beliin ini buat mama. Nggak apa-apa, kan?" tanya Erika sambil menunjuk sebuah tas branded."Ambil saja yang kamu inginkan, sayang. Jika kamu tahu apa yang disukai mama, ambil juga." Ryan, memberikan kebebasan pada istrinya untuk memilih barang belanjaan yang diinginkan.Saat ini mereka berdua sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di ibu kota. Tepatnya di sebuah counter branded yang sedang trend di kalangan sosial atas dengan produk unggulan tas, yang harganya bisa melebihi harga sebuah mobil.Tapi Erika ragu untuk mengambil tas tersebut, kerena harga yang tertera sangat mahal. Ia yakin jika suaminya tidak melihat harga tas tersebut, jadi asal setuju saja tanpa pikir panjang.Wanita itu tidak mau jika suaminya kehabisan uang hanya untuk sebuah tas yang ingin dihadiahkan pada mamanya. Tapi ia ingat jika tas ini yang diinginkan mamanya beberapa hari kemarin."Kenapa, sayang?" tanya Ryan, karena istrinya tidak j
"Erika, sebaiknya kamu jalan sama aku aja, bagaimana? Kamu tidak perlu khawatir dengan harga makanan atau mau barang belanjaan yang kamu inginkan, aku pasti bisa bayar," ujar Julian sambil tersenyum sinis - melirik ke arah Ryan."Huh, mimpi saja sana!" sahut Erika - ketus. Tak suka cara Julian menyapa mereka.Julian berpikir jika Ryan tidak sanggup membayar makanan yang mereka makan di restoran Chinese. Itulah sebabnya, Julian berbicara demikian karena mencoba menyadarkan wanita pujaannya tersebut agar memilih dirinya dibandingkan dengan suaminya sendiri. Dia berpikir bahwa saat ini, pasti Erika yang mengeluarkan uang untuk keperluan selama berada di mall.Pria itu gelap mata, sehingga tidak berpikir bahwa ini ada di tempat umum yang pastinya perselisihan kecil mereka mendapat perhatian dari orang banyak. Dan secara terang-terangan dia berusaha menjatuhkan Ryan, sama seperti dulu saat masih menjadi bawahannya."Julian! Aku selama ini menghormati h
Di rumah keluarga Lee."Kamu harus bisa bersikap fleksibel, jadi seharusnya kamu bisa bersikap lebih baik pada Ryan agar dia juga melunak, Tanu!"Tuan Lee berbicara dengan nada sedikit tinggi, saat kembali menasehati anaknya. Padahal mereka baru saja turun dari mobil, tapi emosi pria setengah baya itu menggebu-gebu karena anak laki-lakinya juga tidak mau menurut."Pa, ada apa ini?" tanya nyonya Lee yang kebetulan ada di teras depan membaca pesan-pesan wa dari teman sosialitanya."Itu anakmu, Tanu! Tidak becus urus perusahaan, cari pinjaman modal juga keras kepala!" jawab tuan Lee - mengomel."Eh, jika sukses dan berhasil papa bilang dengan bangga dengan menyebutnya sebagai "anakku" tapi giliran kayak gini aja, dia anakku! Papa gimana ini, gak konsisten."Nyonya Lee tidak terima karena begitu suami dan anaknya datang, dia justru kena omelan - yang tidak dia ketahui penyebab pastinya.Dengan membuang nafas kasar, tuan Lee
"Ehhh, kalian datang!"Nyonya Lee, menyambut dengan antusias saat kedatangan anak dan menantunya - Erika bersama Ryan. Sementara tuan Lee tersenyum lebar menyambut mereka berdua, seakan-akan mendapatkan berkah dari keduanya yang datang tanpa harus menunggu undangan."Maaf ya, sayang. Mama dan papa belum sempat berkunjung ke rumah kalian. T-api ... kenapa kakakmu itu bilang jika rumah kalian sedang dipugar dan bentuknya tidak seperti rumah pada umumnya. Apa yang terjadi?" tanya nyonya Lee yang tidak tahu jika rumah menantunya bukan lagi di rumah yang lama."Ma, mereka baru datang. Suruh duduk dululah! Masa udah ditanya-tanya seperti itu," tegur tuan Lee, atas apa yang dilakukan istrinya dengan kedatangan anak dan menantunya tersebut."Oh ya, Pa. Hehehe ... ayo-ayo, duduk dulu!"Akhirnya, nyonya Lee mempersilahkan mereka untuk duduk sesuai dengan permintaan suaminya - yang sebenarnya mengambil hati Ryan.Mereka saling bertanya kaba
"Kakak!" sentak Erika tidak terima."Apa? Palingan ngontrak rumah di gang sempit," sahut Tanu - lagi, seakan-akan mendapatkan angin untuk menjatuhkan Ryan di depan kedua orang tuanya.Tuan Lee dan istrinya menoleh cepat ke arah anak laki-lakinya itu, sama seperti yang dilakukan oleh Erika dan Ryan. Mereka tidak percaya jika Tanu bisa berkata demikian, padahal ia tidak tahu di mana rumah Ryan yang sebenarnya. Ia hanya menebak saja."Kak, jaga omongan kakak!" teriak Erika tidak terima atas penghinaan yang dilakukan oleh kakaknya itu terhadap suaminya."Kakak tidak tahu dan belum liat sendiri, tidak perlu bicara yang tidak benar!" imbuh Erika dengan tatapan nyalang.Sepertinya Erika benar-benar marah karena melihat bagaimana cara kakaknya yang tidak bisa menghargai suaminya. Padahal ia ingin sekali melihat orang tua ataupun kakaknya bisa bersikap lebih baik pada suaminya - tanpa perlu ditunjukkan bukti apapun.Sebagai anggota keluarga - Ryan sudah menjadi bagian dari keluarga mereka, Eri
"Apa ini? Kamu gila, Julian!" teriak Tanu, saat menghubungi orang yang mengurus perusahaan game miliknya.Tanu marah besar mengetahui jika perusahaan yang sudah dibuatnya kini lepas, sementara yang melepas justru orang lain - bukan dirinya.Tapi di ujung sana, Julian justru menanggapi kemarahan Tanu dengan enteng. "Perusahaan game itu sudah tidak bisa tertolong lagi, Tanu. Jalan satu-satunya adalah dengan menjualnya, dan kebetulan ada orang yang mau membelinya dengan harga yang lumayan. Daripada bangkrut dan tidak dapat apa-apa?"Julian merasa jika keputusannya itu benar, tanpa perlu bertanya pada Tanu terlebih dahulu. Dia merasa memiliki wewenang untuk melakukan apa saja termasuk mengambil keputusan besar seperti ini. "Brengsek kamu, Julian! Lalu, Apakah kamu tahu siapa yang membeli perusahaanku?" teriak Tanu - masih dengan amarah yang besar."Aku tidak tahu siapa orangnya, dan aku juga tidak peduli. Yang penting dia mau bayar dengan ma
"Itu lho, Ma. Tadi di mall, Julian sombong sekali. Dia sok-sokan nawarin Erika belanja dan makan di restoran. Padahal mas Ryan juga mampu bayar semua," jelas Erika atas insiden yang terjadi di mall."Benar begitu, Ryan?" tanya Nyonya Lee beralih pada menantunya, menuntaskan rasa penasarannya."Ya, ma." Ryan menjawab pendek.Sekarang, tuan Lee berpikir kembali. Ia akhirnya tahu bagaimana teman anaknya itu - Julian, yang sudah menyalahi aturan dan wewenang yang diberikan Tanu padanya.Menurut tuan Lee, orang seperti Julian tidak layak mendapatkan kepercayaan dalam hal apapun karena tidak bisa dipercaya dan diandalkan saat keadaan sulit."Julian adalah orang yang tidak profesional dan egois, sedangkan Tanu sudah salah karena mempercayakan bisnisnya pada temannya itu." Tuan Lee menggeleng perlahan."Lalu bagaimana ini, pa?" tanya Nyonya Lee - panik.Pria itu melirik ke arah anak menantunya, berharap Ryan bicara dan memberika
Ryan, tersenyum tipis membayangkan bagaimana perubahan wajah dan sikap papa dan mama mertuanya setelah makan malam selesai. Ia telah membuktikan diri bahwa ia bisa menjadi lebih sukses dan kaya raya dibanding dengan mereka atau anak laki-laki mereka.Selama ini Ryan telah berusaha keras dengan sebaik mungkin, bukan hanya dengan tenaga yang telah mengeluarkan banyak keringat. Tapi otaknya juga digunakan untuk berpikir lebih demi strategi-strategi bisnis yang bisa diambilnya untuk setiap kesempatan dan peluang usaha yang bisa menghasilkan, hingga kini bisa berhasil.Pengalaman di kehidupan sebelumnya telah memberinya banyak pelajaran dan pengalaman berharga untuk perubahan di kehidupan yang sekarang, supaya takdirnya juga berubah."Alam kehidupan dan waktu telah memberiku kesempatan untuk menjadi lebih baik dan berkuasa, jadi tumbanglah orang-orang yang telah menghina dan merendahkan aku di masa lalu."Ryan memandang wajah istrinya yang tertidur den
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantor pusat Ryan terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantornya terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang sedang menyiapkan laptop di meja rapat juga me
"Bu Erika?" Elsa panik begitu membaca pesan istri bosnya.Elsa cepat menghubungi Erika, tapi ternyata saat ini Erika sudah dalam keadaan baik-baik saja bersama Ryan. Elsa pun tenang dan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, tapi tak lama kemudian mengambilnya kembali karena ada sesuatu yang baru diingatnya.Beberapa saat kemudian, Elsa terdiam sejenak setelah meletakkan kembali ponselnya, menatap langit-langit kamar rumah sakit sambil berusaha mengabaikan rasa nyeri di kepalanya. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggunya, sebuah detail penting yang baru saja melintas di pikirannya. Ia langsung meraih ponsel kembali dengan tangan gemetar."Ada yang tidak beres," gumamnya pelan, mencoba mengingat sesuatu yang terlewat.Pikirannya kembali pada beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi, saat dia sedang menyelidiki penyebab kecelakaan Erika, juga pesan-pesan ancaman yang diterima istri bos-nya itu. Ada satu alamat IP yang berhasil ia lacak, tetapi saat itu ia pikir tidak terl