"Selamat datang, Sayangku. Istriku ..."
Ryan membuka pintu rumah lebar-lebar, mempersilahkan istrinya untuk masuk ke dalam rumahnya yang sudah dipersiapkan untuk mereka tempati setelah menikah. "Kamu, suka?" tanya Ryan kemudian, saat melihat istrinya terdiam meskipun matanya tampak berbinar-binar saat melihat sekeliling. "Mas, ini ..." Erika tidak bisa melanjutkan kalimatnya dengan lancar karena ini jauh berbeda dari ekspektasinya, mengenai rumah suaminya. Meskipun tahu jika suaminya bukan lagi karyawan biasa, dan sudah menjadi seorang pengusaha tapi ia tidak pernah menyangka jika Ryan telah menjadi sangat kaya raya. Saat melamar dan menikahinya, Ryan memang telah mengembalikan uang 5 Milyar pada papanya. Jadi, Erika berpikir bahwa suaminya itu harus kembali berjuang untuk mendapatkan kekayaan agar usahanya berjalan lancar. Apalagi pesta pernikahan mereka, semua biaya pesta juga ditanggung sendiri oleh Ryan. Orang tuanya tidak ikut membiayai pesta sama sekali, dan itu permintaan Ryan sendiri. "Rumah yang ini memang aku persiapkan untuk tempat tinggal kita setelah menikah, sedangkan rumah yang sebelumnya aku rombak untuk dijadikan mess karyawan." Ryan penjelasan. "Mas, hiks... I-ni luar biasa," lirih Erika yang tidak tahu harus berkomentar apa. "Rumah ini belum ada yang tahu, dan ini memang surprise untukmu." Ryan kembali menjelaskan. Wanita itu memeluk sang suami, bangga dengan apa yang telah dicapai olehnya. Ia tidak pernah mengetahui, bahwa suaminya ternyata jauh lebih sukses dibandingkan dengan apa diketahui oleh orang lain. Sekarang Ryan mengajak istrinya untuk berkeliling rumah terlebih dahulu, memperlihatkan ruangan-ruangan yang memang belum terjemah sebab belum ditempati. Tapi untuk perabotan rumah, sudah lengkap beserta pernak pernik yang tentunya juga mewah dan berkelas. "Jika kamu ingin mengatur ulang dekorasi atau apapun itu, tidak perlu sungkan." Ryan memeluk pinggang istrinya - seperti posesif. "Mas, aku justru tidak banyak memikirkan hal-hal yang sepele seperti itu. Lagipula, ini menurutku sudah luar biasa." Erika tampak puas dengan semua yang disediakan oleh suaminya. "Tapi, kamu kan suka fashion dan beauty. Pasti bisa diaplikasikan ke rumah juga, sayang." Ryan tetap memberikan kebebasan pada istrinya. Akhirnya, Erika hanya mengangguk setuju dengan permintaan suaminya. Meskipun untuk ke depannya dia juga tidak tahu, karena menurutnya - rumah ini sudah terlalu sempurna sebagai tempat tinggal. Sekarang mereka kembali berkeliling ke arah lantai atas, di mana kamar mereka berada. Ternyata, lantai atas juga sangat luas dengan tidak banyak ruangan sehingga terkesan lapang dan nyaman. Ryan tersenyum melihat istrinya yang tampak kagum dengan bangunan rumah ini. Dan Ryan puas dengan semua yang telah ia pilih demi sang istri. "Apapun, demi kebahagiaan dan cintaku." Ryan berbicara lirih, berbisik di telinga istrinya. "Terima kasih, sayang." Rasa haru dan bahagia menyelusup ke dalam hati dan perasaan Erika, merasa tepat karena menunggu Ryan dan tidak mau menerima tawaran kakaknya agar menikah dengan laki-laki yang sudah menjadi sahabat kakaknya sejak lama - Julian. *** Sementara itu, di sebuah restoran dengan room private. "Jadi, bagaimana dengan keadaan platform game terbaru kita? Aku tidak mau mendengar laporan yang kurang baik lagi, ya!" tegas Tanu, menatap tajam pada lawan bicaranya. "Tapi, kita perlu membuat iklan-iklan yang menarik, Tanu. Iklan-iklan yang lama, aku pikir kurang strategis." Lawan bicaranya membuat alasan. Brakk! Tanu menggebrak meja, mendengar bantahan dari lawan bicaranya. Ia tidak suka mendapatkan laporan yang selalu tidak baik - menurutnya. Padahal sejak lama ia berkeinginan untuk memiliki bisnis sendiri di luar bisnis keluarga Lee. Dan dengan rekannya itu - yang juga menjadi sahabatnya sejak lama, ia mulai mengembangkan bisnis game yang menjadi trend di kalangan remaja hingga anak-anak. Sayangnya, apa yang diinginkan dan dibayangkan Tanu tidak sesuai dengan kenyataan. Sejak berdiri, platform game milik mereka sepi. Bahkan biaya pemeliharaan platform saja sudah sangat besar, dengan biaya pembuatan iklan yang nyatanya tidak sesuai dengan keuntungan yang diperoleh. "Aku percayakan pembuatan iklan padamu, Julian! Dan apa hasilnya?" bentak Tanu pada rekannya - yang ternyata adalah Julian. "T-api, kau tahu sendiri bagaimana keadaan dunia game di negara kita, Tanu. Semua bersaing ketat, dan iklan-iklan mereka itu bukan hanya melibatkan influencer media sosial, tapi para artis yang tentunya lebih dikenal masyarakat." Julian mencoba membela diri. "Hahhh! Bilang aja kau tak becus, huh!" Tanu terlihat sangat marah, sebab dia sudah menginvestasikan uangnya dalam jumlah besar di platform game ini. Dan yang lebih parahnya, ia menggunakan modal pinjaman dari perusahaan keluarga Lee. Selama ini, papanya memang tidak banyak ikut campur tentang pengelolaan perusahaan yang ia tangani. Tapi karena modal perusahaan yang semakin menipis, ditambah dengan guncangan harga saham yang menurun, akhirnya sang papa memberikan teguran padanya. Tuan Lee bahkan meminta pada anak laki-lakinya itu supaya mencoba merubah sikapnya, agar bisa lebih dekat dengan bersikap baik dengan adik iparnya yang sekarang sedang sukses dan berkembang maju dengan usaha bisnisnya. Menurut tuan Lee, Tanu bisa memanfaatkan ikatan kekeluargaan mereka yang kini sudah terjalin supaya Ryan bisa memberikan modal tambahan untuk antisipasi kebangkrutan perusahaan mereka. Tapi Tanu justru menolak dan keras kepala, sehingga dimarahi papanya sendiri karena tidak bisa bersikap fleksibel. "Pokoknya aku tidak mau tahu, kau harus bisa mengatasi semua ini, Julian! Apa kau tak malu, jika sampai Ryan yang membereskan semua permasalahan kita, ha?" Tanu berbicara dengan nada tinggi. "Ryan? Tidak mungkin dia punya modal sebesar itu, bro! Kau tahu sendiri, ia sudah memberikan uang pada papamu juga biaya untuk pernikahannya. Mana mungkin Ryan punya uang lagi?" Julian tidak yakin dengan pernyataan Tanu. "Aku tidak tahu, tapi papa sendiri yang bilang begitu." Tanu memijat keningnya karena merasa pening. Sementara dalam hati Julian, tentu saja tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tadi. 'Huh, pecundang itu mana punya modal sebesar itu!' batin Julian mengejek Ryan. Tapi suara notifikasi ponselnya justru membuatnya tercengang, tidak percaya dengan berita yang baru saja diunggah dari jurnal online terpercaya. 'Tidak, mungkin itu Ryan yang lain!'"Kata papaku, kekayaan Ryan saat ini setara dengan para "sembilan naga" yang menguasai bisnis Indonesia. Tapi, entah itu dari mana papa mendapatkan informasi," ungkap Tanu - beberapa saat setelah mereka saling diam, membuat Julian kembali membelalakkan mata tidak percaya. "Yakin itu Ryan yang kita maksudkan?" tanya Julian cepat. Bukan tanpa alasan jika Julian tidak percaya dengan kekayaan yang dimiliki oleh Ryan saat ini, sebab sebagai eksekutif muda yang cukup memiliki lingkungan pertemanan yang juga sama-sama eksekutif dan pembisnis, tentunya ia sedikit banyak tahu siapa-siapa saja orang yang paling sukses dalam waktu terakhir ini. Tapi jika informasi Tanu ini dari tuan Lee sendiri yang mengatakannya, tentu saja Julian juga tidak bisa menyangkal. Tuan Lee pastinya memiliki informasi yang akurat dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. "Bukankah usaha Ryan hanya SPBU kecil di jalan utama arah tol menuju Jawa Tengah?" Julian kembali memastikan. "Ya, aku tahunya juga cuma itu
Lima pria dengan pakaian rapi layaknya eksekutif, menunggu di tempat duduk untuk acara meeting pagi ini. Meja persegi panjang dari kayu jati pilihan, tampak mengkilat mewah dengan berbagai alat-alat di atasnya, peralatan yang digunakan untuk kebutuhan meeting. Clek!Pintu ruangan terbuka, tampaklah seorang pria yang masih muda dan gagah berjalan dengan elegan ke tempat duduk yang kosong di ujung meja. Dia adalah pemimpin meeting, yang merupakan ketua lima pria yang kini berdiri menyambut kedatangannya."Kita mulai meeting pagi ini," ucap pria tersebut lalu disambut anggukan kepala kelima orang yang memang menunggunya.Pria dengan setelan jas hitam yang rapi kini memimpin jalannya rapat, sementara yang lain disibukkan dengan berbagai alat-alat penunjang meeting seperti laptop, handphone dan alat tulis lainnya.Arah pandang mereka, fokus pada layar plasma presentasi, membuat mereka semua terlihat tegang karena laya
Dreet dreet dreet ...Ponsel Ryan kembali bergetar, saat ia sudah berada di dalam ruangan kerjanya sendiri. Dan yang melakukan panggilan telepon saat ini juga adalah papa mertuanya, sesuai dengan pesan sebelumnya."Ya, Pa. Ada apa?" tanya Ryan, begitu panggilan telepon tersambung."Ryan. Papa... sebenarnya papa tidak ingin merepotkan kamu dengan terlibat dalam urusan perusahaan keluarga Lee. T-api ..." Tuan Lee, ragu untuk mengatakan maksudnya menghubungi Ryan."Ryan siap mendengarkan, pa."Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, tuan Lee mengutarakan maksud panggilan teleponnya kali ini. Pria paruh baya itu menceritakan keadaan perusahaannya yang sudah bisa dikatakan bangkrut, karena harga saham perusahaan keluarga Lee telah jatuh.Pemilik saham lama, yang diluar keluarga Lee sendiri, ternyata sudah menjual saham-saham mereka. Dan ini terjadi dalam waktu singkat karena adanya isu kebangkrutan perus
"Tanu, bisa tidak kamu itu menahan diri?" geram tuan Lee saat mereka sudah berada di dalam mobil. Pulang dari kantornya Ryan, siang ini."Apa sih, papa ini?" Tanu gusar dengan wajah masam."Seharusnya papa memukulmu tadi, sebab kamu tidak bisa membaca situasi. Kita sedang mencari dana pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan kita, Tanu!"Sebenarnya, tuan Lee mendengar gumaman anaknya yang masih saja merendahkan Ryan. Untungnya, anak menantunya tidak merespon apapun yang dilakukan oleh Tanu - tadi.Ryan tetap sopan dan ramah pada tuan Lee, memberikan dana pinjaman yang diminta untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka. Dan Ryan juga memberikan waktu pengembalian dalam jangka yang relatif lama."Sebaiknya kamu belajar banyak dari adik iparmu, Tanu! Jangan sampai dana pinjaman ini kamu pakai untuk ambisimu yang ingin membuat perusahaan game sendiri." Tuan Lee tegas memperingatkan anaknya."Ck, sanjung saja terus. Lama-lama juga
"Sayang, aku mau beliin ini buat mama. Nggak apa-apa, kan?" tanya Erika sambil menunjuk sebuah tas branded."Ambil saja yang kamu inginkan, sayang. Jika kamu tahu apa yang disukai mama, ambil juga." Ryan, memberikan kebebasan pada istrinya untuk memilih barang belanjaan yang diinginkan.Saat ini mereka berdua sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di ibu kota. Tepatnya di sebuah counter branded yang sedang trend di kalangan sosial atas dengan produk unggulan tas, yang harganya bisa melebihi harga sebuah mobil.Tapi Erika ragu untuk mengambil tas tersebut, kerena harga yang tertera sangat mahal. Ia yakin jika suaminya tidak melihat harga tas tersebut, jadi asal setuju saja tanpa pikir panjang.Wanita itu tidak mau jika suaminya kehabisan uang hanya untuk sebuah tas yang ingin dihadiahkan pada mamanya. Tapi ia ingat jika tas ini yang diinginkan mamanya beberapa hari kemarin."Kenapa, sayang?" tanya Ryan, karena istrinya tidak j
"Erika, sebaiknya kamu jalan sama aku aja, bagaimana? Kamu tidak perlu khawatir dengan harga makanan atau mau barang belanjaan yang kamu inginkan, aku pasti bisa bayar," ujar Julian sambil tersenyum sinis - melirik ke arah Ryan."Huh, mimpi saja sana!" sahut Erika - ketus. Tak suka cara Julian menyapa mereka.Julian berpikir jika Ryan tidak sanggup membayar makanan yang mereka makan di restoran Chinese. Itulah sebabnya, Julian berbicara demikian karena mencoba menyadarkan wanita pujaannya tersebut agar memilih dirinya dibandingkan dengan suaminya sendiri. Dia berpikir bahwa saat ini, pasti Erika yang mengeluarkan uang untuk keperluan selama berada di mall.Pria itu gelap mata, sehingga tidak berpikir bahwa ini ada di tempat umum yang pastinya perselisihan kecil mereka mendapat perhatian dari orang banyak. Dan secara terang-terangan dia berusaha menjatuhkan Ryan, sama seperti dulu saat masih menjadi bawahannya."Julian! Aku selama ini menghormati h
Di rumah keluarga Lee."Kamu harus bisa bersikap fleksibel, jadi seharusnya kamu bisa bersikap lebih baik pada Ryan agar dia juga melunak, Tanu!"Tuan Lee berbicara dengan nada sedikit tinggi, saat kembali menasehati anaknya. Padahal mereka baru saja turun dari mobil, tapi emosi pria setengah baya itu menggebu-gebu karena anak laki-lakinya juga tidak mau menurut."Pa, ada apa ini?" tanya nyonya Lee yang kebetulan ada di teras depan membaca pesan-pesan wa dari teman sosialitanya."Itu anakmu, Tanu! Tidak becus urus perusahaan, cari pinjaman modal juga keras kepala!" jawab tuan Lee - mengomel."Eh, jika sukses dan berhasil papa bilang dengan bangga dengan menyebutnya sebagai "anakku" tapi giliran kayak gini aja, dia anakku! Papa gimana ini, gak konsisten."Nyonya Lee tidak terima karena begitu suami dan anaknya datang, dia justru kena omelan - yang tidak dia ketahui penyebab pastinya.Dengan membuang nafas kasar, tuan Lee
"Ehhh, kalian datang!"Nyonya Lee, menyambut dengan antusias saat kedatangan anak dan menantunya - Erika bersama Ryan. Sementara tuan Lee tersenyum lebar menyambut mereka berdua, seakan-akan mendapatkan berkah dari keduanya yang datang tanpa harus menunggu undangan."Maaf ya, sayang. Mama dan papa belum sempat berkunjung ke rumah kalian. T-api ... kenapa kakakmu itu bilang jika rumah kalian sedang dipugar dan bentuknya tidak seperti rumah pada umumnya. Apa yang terjadi?" tanya nyonya Lee yang tidak tahu jika rumah menantunya bukan lagi di rumah yang lama."Ma, mereka baru datang. Suruh duduk dululah! Masa udah ditanya-tanya seperti itu," tegur tuan Lee, atas apa yang dilakukan istrinya dengan kedatangan anak dan menantunya tersebut."Oh ya, Pa. Hehehe ... ayo-ayo, duduk dulu!"Akhirnya, nyonya Lee mempersilahkan mereka untuk duduk sesuai dengan permintaan suaminya - yang sebenarnya mengambil hati Ryan.Mereka saling bertanya kaba
Kondisi Elsa berangsur membaik setelah perawatan intensif di rumah sakit. Luka-luka fisiknya mulai pulih, dan senyumnya yang lama hilang kini perlahan kembali menghiasi wajahnya. Dokter telah memberikan izin untuknya pulang, namun di balik kabar baik itu, ada kekhawatiran yang menggelayuti pikiran semua orang, terutama Dedi. Rekan kerja yang paling dekat dengannya, sejak mereka menjadi asisten Ryan.Dedi, yang selama ini selalu berada di samping Elsa - bekerja sama untuk kesuksesan perusahaan Ryan, tentu tahu bahwa membiarkannya pulang ke rumah bisa menjadi risiko besar. Meski tidak ada ancaman nyata yang terungkap, kejadian kecelakaan yang dialami Elsa tidak bisa dianggap sebagai kebetulan - apalagi Elsa tinggal seorang diri di rumahnya, sebab Elsa adalah yatim yang diusir oleh keluarga ibunya dan ditolong Ryan saat itu. Perasaan tidak nyaman semakin menghantui Dedi seandainya Elsa di rumah sendirian. Apalagi dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini, Dedi tidak bisa menyingkirkan pi
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu."Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir.Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan.“Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Biasany
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan