"Selamat datang, Sayangku. Istriku ..."
Ryan membuka pintu rumah lebar-lebar, mempersilahkan istrinya untuk masuk ke dalam rumahnya yang sudah dipersiapkan untuk mereka tempati setelah menikah. "Kamu, suka?" tanya Ryan kemudian, saat melihat istrinya terdiam meskipun matanya tampak berbinar-binar saat melihat sekeliling. "Mas, ini ..." Erika tidak bisa melanjutkan kalimatnya dengan lancar karena ini jauh berbeda dari ekspektasinya, mengenai rumah suaminya. Meskipun tahu jika suaminya bukan lagi karyawan biasa, dan sudah menjadi seorang pengusaha tapi ia tidak pernah menyangka jika Ryan telah menjadi sangat kaya raya. Saat melamar dan menikahinya, Ryan memang telah mengembalikan uang 5 Milyar pada papanya. Jadi, Erika berpikir bahwa suaminya itu harus kembali berjuang untuk mendapatkan kekayaan agar usahanya berjalan lancar. Apalagi pesta pernikahan mereka, semua biaya pesta juga ditanggung sendiri oleh Ryan. Orang tuanya tidak ikut membiayai pesta sama sekali, dan itu permintaan Ryan sendiri. "Rumah yang ini memang aku persiapkan untuk tempat tinggal kita setelah menikah, sedangkan rumah yang sebelumnya aku rombak untuk dijadikan mess karyawan." Ryan penjelasan. "Mas, hiks... I-ni luar biasa," lirih Erika yang tidak tahu harus berkomentar apa. "Rumah ini belum ada yang tahu, dan ini memang surprise untukmu." Ryan kembali menjelaskan. Wanita itu memeluk sang suami, bangga dengan apa yang telah dicapai olehnya. Ia tidak pernah mengetahui, bahwa suaminya ternyata jauh lebih sukses dibandingkan dengan apa diketahui oleh orang lain. Sekarang Ryan mengajak istrinya untuk berkeliling rumah terlebih dahulu, memperlihatkan ruangan-ruangan yang memang belum terjemah sebab belum ditempati. Tapi untuk perabotan rumah, sudah lengkap beserta pernak pernik yang tentunya juga mewah dan berkelas. "Jika kamu ingin mengatur ulang dekorasi atau apapun itu, tidak perlu sungkan." Ryan memeluk pinggang istrinya - seperti posesif. "Mas, aku justru tidak banyak memikirkan hal-hal yang sepele seperti itu. Lagipula, ini menurutku sudah luar biasa." Erika tampak puas dengan semua yang disediakan oleh suaminya. "Tapi, kamu kan suka fashion dan beauty. Pasti bisa diaplikasikan ke rumah juga, sayang." Ryan tetap memberikan kebebasan pada istrinya. Akhirnya, Erika hanya mengangguk setuju dengan permintaan suaminya. Meskipun untuk ke depannya dia juga tidak tahu, karena menurutnya - rumah ini sudah terlalu sempurna sebagai tempat tinggal. Sekarang mereka kembali berkeliling ke arah lantai atas, di mana kamar mereka berada. Ternyata, lantai atas juga sangat luas dengan tidak banyak ruangan sehingga terkesan lapang dan nyaman. Ryan tersenyum melihat istrinya yang tampak kagum dengan bangunan rumah ini. Dan Ryan puas dengan semua yang telah ia pilih demi sang istri. "Apapun, demi kebahagiaan dan cintaku." Ryan berbicara lirih, berbisik di telinga istrinya. "Terima kasih, sayang." Rasa haru dan bahagia menyelusup ke dalam hati dan perasaan Erika, merasa tepat karena menunggu Ryan dan tidak mau menerima tawaran kakaknya agar menikah dengan laki-laki yang sudah menjadi sahabat kakaknya sejak lama - Julian. *** Sementara itu, di sebuah restoran dengan room private. "Jadi, bagaimana dengan keadaan platform game terbaru kita? Aku tidak mau mendengar laporan yang kurang baik lagi, ya!" tegas Tanu, menatap tajam pada lawan bicaranya. "Tapi, kita perlu membuat iklan-iklan yang menarik, Tanu. Iklan-iklan yang lama, aku pikir kurang strategis." Lawan bicaranya membuat alasan. Brakk! Tanu menggebrak meja, mendengar bantahan dari lawan bicaranya. Ia tidak suka mendapatkan laporan yang selalu tidak baik - menurutnya. Padahal sejak lama ia berkeinginan untuk memiliki bisnis sendiri di luar bisnis keluarga Lee. Dan dengan rekannya itu - yang juga menjadi sahabatnya sejak lama, ia mulai mengembangkan bisnis game yang menjadi trend di kalangan remaja hingga anak-anak. Sayangnya, apa yang diinginkan dan dibayangkan Tanu tidak sesuai dengan kenyataan. Sejak berdiri, platform game milik mereka sepi. Bahkan biaya pemeliharaan platform saja sudah sangat besar, dengan biaya pembuatan iklan yang nyatanya tidak sesuai dengan keuntungan yang diperoleh. "Aku percayakan pembuatan iklan padamu, Julian! Dan apa hasilnya?" bentak Tanu pada rekannya - yang ternyata adalah Julian. "T-api, kau tahu sendiri bagaimana keadaan dunia game di negara kita, Tanu. Semua bersaing ketat, dan iklan-iklan mereka itu bukan hanya melibatkan influencer media sosial, tapi para artis yang tentunya lebih dikenal masyarakat." Julian mencoba membela diri. "Hahhh! Bilang aja kau tak becus, huh!" Tanu terlihat sangat marah, sebab dia sudah menginvestasikan uangnya dalam jumlah besar di platform game ini. Dan yang lebih parahnya, ia menggunakan modal pinjaman dari perusahaan keluarga Lee. Selama ini, papanya memang tidak banyak ikut campur tentang pengelolaan perusahaan yang ia tangani. Tapi karena modal perusahaan yang semakin menipis, ditambah dengan guncangan harga saham yang menurun, akhirnya sang papa memberikan teguran padanya. Tuan Lee bahkan meminta pada anak laki-lakinya itu supaya mencoba merubah sikapnya, agar bisa lebih dekat dengan bersikap baik dengan adik iparnya yang sekarang sedang sukses dan berkembang maju dengan usaha bisnisnya. Menurut tuan Lee, Tanu bisa memanfaatkan ikatan kekeluargaan mereka yang kini sudah terjalin supaya Ryan bisa memberikan modal tambahan untuk antisipasi kebangkrutan perusahaan mereka. Tapi Tanu justru menolak dan keras kepala, sehingga dimarahi papanya sendiri karena tidak bisa bersikap fleksibel. "Pokoknya aku tidak mau tahu, kau harus bisa mengatasi semua ini, Julian! Apa kau tak malu, jika sampai Ryan yang membereskan semua permasalahan kita, ha?" Tanu berbicara dengan nada tinggi. "Ryan? Tidak mungkin dia punya modal sebesar itu, bro! Kau tahu sendiri, ia sudah memberikan uang pada papamu juga biaya untuk pernikahannya. Mana mungkin Ryan punya uang lagi?" Julian tidak yakin dengan pernyataan Tanu. "Aku tidak tahu, tapi papa sendiri yang bilang begitu." Tanu memijat keningnya karena merasa pening. Sementara dalam hati Julian, tentu saja tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya tadi. 'Huh, pecundang itu mana punya modal sebesar itu!' batin Julian mengejek Ryan. Tapi suara notifikasi ponselnya justru membuatnya tercengang, tidak percaya dengan berita yang baru saja diunggah dari jurnal online terpercaya. 'Tidak, mungkin itu Ryan yang lain!'"Kata papaku, kekayaan Ryan saat ini setara dengan para "sembilan naga" yang menguasai bisnis Indonesia. Tapi, entah itu dari mana papa mendapatkan informasi," ungkap Tanu - beberapa saat setelah mereka saling diam, membuat Julian kembali membelalakkan mata tidak percaya. "Yakin itu Ryan yang kita maksudkan?" tanya Julian cepat. Bukan tanpa alasan jika Julian tidak percaya dengan kekayaan yang dimiliki oleh Ryan saat ini, sebab sebagai eksekutif muda yang cukup memiliki lingkungan pertemanan yang juga sama-sama eksekutif dan pembisnis, tentunya ia sedikit banyak tahu siapa-siapa saja orang yang paling sukses dalam waktu terakhir ini. Tapi jika informasi Tanu ini dari tuan Lee sendiri yang mengatakannya, tentu saja Julian juga tidak bisa menyangkal. Tuan Lee pastinya memiliki informasi yang akurat dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. "Bukankah usaha Ryan hanya SPBU kecil di jalan utama arah tol menuju Jawa Tengah?" Julian kembali memastikan. "Ya, aku tahunya juga cuma itu
Lima pria dengan pakaian rapi layaknya eksekutif, menunggu di tempat duduk untuk acara meeting pagi ini. Meja persegi panjang dari kayu jati pilihan, tampak mengkilat mewah dengan berbagai alat-alat di atasnya, peralatan yang digunakan untuk kebutuhan meeting. Clek!Pintu ruangan terbuka, tampaklah seorang pria yang masih muda dan gagah berjalan dengan elegan ke tempat duduk yang kosong di ujung meja. Dia adalah pemimpin meeting, yang merupakan ketua lima pria yang kini berdiri menyambut kedatangannya."Kita mulai meeting pagi ini," ucap pria tersebut lalu disambut anggukan kepala kelima orang yang memang menunggunya.Pria dengan setelan jas hitam yang rapi kini memimpin jalannya rapat, sementara yang lain disibukkan dengan berbagai alat-alat penunjang meeting seperti laptop, handphone dan alat tulis lainnya.Arah pandang mereka, fokus pada layar plasma presentasi, membuat mereka semua terlihat tegang karena laya
Dreet dreet dreet ...Ponsel Ryan kembali bergetar, saat ia sudah berada di dalam ruangan kerjanya sendiri. Dan yang melakukan panggilan telepon saat ini juga adalah papa mertuanya, sesuai dengan pesan sebelumnya."Ya, Pa. Ada apa?" tanya Ryan, begitu panggilan telepon tersambung."Ryan. Papa... sebenarnya papa tidak ingin merepotkan kamu dengan terlibat dalam urusan perusahaan keluarga Lee. T-api ..." Tuan Lee, ragu untuk mengatakan maksudnya menghubungi Ryan."Ryan siap mendengarkan, pa."Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, tuan Lee mengutarakan maksud panggilan teleponnya kali ini. Pria paruh baya itu menceritakan keadaan perusahaannya yang sudah bisa dikatakan bangkrut, karena harga saham perusahaan keluarga Lee telah jatuh.Pemilik saham lama, yang diluar keluarga Lee sendiri, ternyata sudah menjual saham-saham mereka. Dan ini terjadi dalam waktu singkat karena adanya isu kebangkrutan perus
"Tanu, bisa tidak kamu itu menahan diri?" geram tuan Lee saat mereka sudah berada di dalam mobil. Pulang dari kantornya Ryan, siang ini."Apa sih, papa ini?" Tanu gusar dengan wajah masam."Seharusnya papa memukulmu tadi, sebab kamu tidak bisa membaca situasi. Kita sedang mencari dana pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan kita, Tanu!"Sebenarnya, tuan Lee mendengar gumaman anaknya yang masih saja merendahkan Ryan. Untungnya, anak menantunya tidak merespon apapun yang dilakukan oleh Tanu - tadi.Ryan tetap sopan dan ramah pada tuan Lee, memberikan dana pinjaman yang diminta untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka. Dan Ryan juga memberikan waktu pengembalian dalam jangka yang relatif lama."Sebaiknya kamu belajar banyak dari adik iparmu, Tanu! Jangan sampai dana pinjaman ini kamu pakai untuk ambisimu yang ingin membuat perusahaan game sendiri." Tuan Lee tegas memperingatkan anaknya."Ck, sanjung saja terus. Lama-lama juga
"Sayang, aku mau beliin ini buat mama. Nggak apa-apa, kan?" tanya Erika sambil menunjuk sebuah tas branded."Ambil saja yang kamu inginkan, sayang. Jika kamu tahu apa yang disukai mama, ambil juga." Ryan, memberikan kebebasan pada istrinya untuk memilih barang belanjaan yang diinginkan.Saat ini mereka berdua sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di ibu kota. Tepatnya di sebuah counter branded yang sedang trend di kalangan sosial atas dengan produk unggulan tas, yang harganya bisa melebihi harga sebuah mobil.Tapi Erika ragu untuk mengambil tas tersebut, kerena harga yang tertera sangat mahal. Ia yakin jika suaminya tidak melihat harga tas tersebut, jadi asal setuju saja tanpa pikir panjang.Wanita itu tidak mau jika suaminya kehabisan uang hanya untuk sebuah tas yang ingin dihadiahkan pada mamanya. Tapi ia ingat jika tas ini yang diinginkan mamanya beberapa hari kemarin."Kenapa, sayang?" tanya Ryan, karena istrinya tidak j
"Erika, sebaiknya kamu jalan sama aku aja, bagaimana? Kamu tidak perlu khawatir dengan harga makanan atau mau barang belanjaan yang kamu inginkan, aku pasti bisa bayar," ujar Julian sambil tersenyum sinis - melirik ke arah Ryan."Huh, mimpi saja sana!" sahut Erika - ketus. Tak suka cara Julian menyapa mereka.Julian berpikir jika Ryan tidak sanggup membayar makanan yang mereka makan di restoran Chinese. Itulah sebabnya, Julian berbicara demikian karena mencoba menyadarkan wanita pujaannya tersebut agar memilih dirinya dibandingkan dengan suaminya sendiri. Dia berpikir bahwa saat ini, pasti Erika yang mengeluarkan uang untuk keperluan selama berada di mall.Pria itu gelap mata, sehingga tidak berpikir bahwa ini ada di tempat umum yang pastinya perselisihan kecil mereka mendapat perhatian dari orang banyak. Dan secara terang-terangan dia berusaha menjatuhkan Ryan, sama seperti dulu saat masih menjadi bawahannya."Julian! Aku selama ini menghormati h
Di rumah keluarga Lee."Kamu harus bisa bersikap fleksibel, jadi seharusnya kamu bisa bersikap lebih baik pada Ryan agar dia juga melunak, Tanu!"Tuan Lee berbicara dengan nada sedikit tinggi, saat kembali menasehati anaknya. Padahal mereka baru saja turun dari mobil, tapi emosi pria setengah baya itu menggebu-gebu karena anak laki-lakinya juga tidak mau menurut."Pa, ada apa ini?" tanya nyonya Lee yang kebetulan ada di teras depan membaca pesan-pesan wa dari teman sosialitanya."Itu anakmu, Tanu! Tidak becus urus perusahaan, cari pinjaman modal juga keras kepala!" jawab tuan Lee - mengomel."Eh, jika sukses dan berhasil papa bilang dengan bangga dengan menyebutnya sebagai "anakku" tapi giliran kayak gini aja, dia anakku! Papa gimana ini, gak konsisten."Nyonya Lee tidak terima karena begitu suami dan anaknya datang, dia justru kena omelan - yang tidak dia ketahui penyebab pastinya.Dengan membuang nafas kasar, tuan Lee
"Ehhh, kalian datang!"Nyonya Lee, menyambut dengan antusias saat kedatangan anak dan menantunya - Erika bersama Ryan. Sementara tuan Lee tersenyum lebar menyambut mereka berdua, seakan-akan mendapatkan berkah dari keduanya yang datang tanpa harus menunggu undangan."Maaf ya, sayang. Mama dan papa belum sempat berkunjung ke rumah kalian. T-api ... kenapa kakakmu itu bilang jika rumah kalian sedang dipugar dan bentuknya tidak seperti rumah pada umumnya. Apa yang terjadi?" tanya nyonya Lee yang tidak tahu jika rumah menantunya bukan lagi di rumah yang lama."Ma, mereka baru datang. Suruh duduk dululah! Masa udah ditanya-tanya seperti itu," tegur tuan Lee, atas apa yang dilakukan istrinya dengan kedatangan anak dan menantunya tersebut."Oh ya, Pa. Hehehe ... ayo-ayo, duduk dulu!"Akhirnya, nyonya Lee mempersilahkan mereka untuk duduk sesuai dengan permintaan suaminya - yang sebenarnya mengambil hati Ryan.Mereka saling bertanya kaba
"Apa maksudmu, Bang Ded?" tanya Elsa dengan nada heran, menatap Dedi dengan bingung - tidak mengerti arah pembicaraannya tadi.Dedi menghela napas panjang, berhenti sejenak di depan lift yang belum terbuka. Ia memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka sebelum melanjutkan pembicaraannya."Aku tahu kamu dekat dengan Pak Ryan. Kita semua dekat dengannya, tapi aku melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara kamu dan dia," ujar Dedi dengan serius, menatap langsung ke mata Elsa.Elsa mengerutkan kening. "Maksudmu, aku dan Pak Ryan...?" Ia tertawa kecil, merasa absurd dengan apa yang dipikirkan Dedi. "Bang Ded, kamu salah paham. Aku tidak ada perasaan apa-apa terhadap Pak Ryan. Dia bosku, dan kita hanya bekerja sama. Hubungan kita sebatas profesional, tidak lebih."Namun, Dedi tampak tidak terpengaruh oleh penjelasan Elsa. "El, aku tahu kamu orang yang baik. Tapi terkadang, kedekatan bisa menimbulkan persepsi yang salah, apalagi ketika orang lain melihatny
Beberapa hari setelah perbincangan Ryan dan Rangga, suasana di sekitarnya semakin stabil. Hubungan Ryan dengan orang-orang di sekitarnya mulai membaik, terutama dengan istrinya - Erika, yang sempat syok berat karena mengetahui papanya ikut terlibat dalam konspirasi yang ingin menjatuhkan suaminya. Sementara Nyonya Lee juga ikut syok dan akhirnya harus mengungsi ke luar negeri demi kesehatan mentalnya.Tanu yang sempat khawatir dengan kehadiran Rangga, akhirnya bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Rangga tidak lagi memiliki ambisi untuk mengambil alih perusahaan. Tindakan Ryan yang memperbaiki hubungan dengan Rangga menjadi kunci untuk menghindari konflik lebih jauh, dan itu membuatnya semakin dihargai oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya.Sementara itu, di rumah, hubungan Ryan dan Erika semakin hangat. Meskipun sibuk dengan urusan perusahaan dan masalah-masalah yang baru saja berlalu, Ryan selalu meluangkan waktu untuk istrinya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama d
Beberapa hari setelah Tuan Lee, Tuan Haris, dan Nadia diproses hukum, suasana di perusahaan Ryan mulai stabil. Tidak ada yang bisa lepas begitu saja dari jerat hukum, jika memang mereka bersalah. Dan Ryan, tidak memiliki toleransi bagi mereka yang berkhianat.Berbeda dengan keadaan Ryan, Tanu justru sedang resah. Keberadaan Rangga yang masih berkeliaran di sekitar perusahaan Lee membuatnya merasa terganggu. Meski Rangga tidak lagi membuat keributan atau mencoba mengambil alih perusahaan, kehadirannya tetap memicu ketegangan yang membuat suasana tidak nyaman. Tanu tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya, sering kali mengeluh pada Ryan atau Erika tentang hal tersebut.Melihat ketidaknyamanan Tanu dan menyadari bahwa permasalahan di antara mereka bisa saja merusak hubungan keluarga yang tersisa, Ryan memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia merasa sudah waktunya berbicara dengan Rangga, bukan sebagai rival bisnis, tetapi sebagai saudara yang masih memiliki ikatan darah dengan istrinya
Ryan berhenti melangkah dan menoleh kembali ke arah Tanu, matanya tampak serius. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Tanu membuat suasana yang semula mulai mereda kembali terasa tegang. Erika, yang berdiri di samping suaminya, menatap Tanu dengan cemas, seakan tahu bahwa pembahasan ini akan membawa kembali ingatan-ingatan buruk yang tentu saja masih membekas dengan jelas.Ryan menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kak Tanu, aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kita semua. Apalagi, bagimu dan Erika, dia tetaplah papa kalian." Ryan berbicara dengan hati-hati, tak ingin memancing lebih banyak perasaan keduanya terluka."Tapi, Papa..." Suara Tanu tercekat, menelan ludahnya susah. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana jika dia—""Kita harus menyerahkan semuanya pada hukum, Kak Tanu." Ryan memotong dengan tegas, namun suaranya tetap tenang. "Semua bukti sudah jelas mengarah ke Papa. Dia terlibat dalam rencana bersama Tuan Haris dan melibatkan Nadia juga untuk mencelakak
Erika berjalan anggun memasuki ruang meeting, di sampingnya ada Ryan yang selalu tampak tenang namun penuh wibawa. Suara langkah kaki mereka berdua yang berirama membuat suasana di ruangan itu terasa semakin menegangkan. Tanu yang masih berdiri di depan meja konferensi menatap ke arah keduanya, sementara Rangga yang semula tampak percaya diri, kini mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiran mereka.Ryan, yang memegang saham terbesar di perusahaan ini setelah penyuntikan dana besar-besaran saat perusahaan Lee hampir bangkrut, hanya memberikan anggukan kecil kepada Tanu. Ia kemudian berjalan ke arah kursi di ujung meja, posisi yang biasanya diisi oleh pemegang keputusan tertinggi dalam pertemuan semacam ini.Erika, yang selama ini menjadi sosok penting di balik layar - sebab dirinya juga memiliki beberapa persen saham di perusahaan keluarganya ini, tidak banyak bicara. Namun kehadirannya kali ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan sekadar anak perempuan dari Tuan Lee, tetapi juga seora
Tanu berdiri tegak di ruang pertemuan yang luas, matanya menatap dengan tajam ke arah sepupunya - Rangga, yang memaksa ikut dalam pertemuan ini. Rangga duduk di hadapannya dengan sikap percaya diri, merasa menjadi bagian dari perusahaan yang saat ini dipimpin Tanu.Rangga, sepupu Tanu yang juga sekaligus keponakan Tuan Lee, kini berani menunjukkan ketertarikannya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan yang selama ini dijalankan oleh Tuan Lee. Sementara itu, Tuan Lee, ayah Tanu dan Erika, kini tengah mendekam di penjara, jelas telah membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi banyak hal - termasuk merosotnya harga saham perusahaan. Namun, meskipun hubungan keluarga ini mengikat mereka dalam ikatan darah, Tanu tahu bahwa tidak ada tempat bagi Rangga di dalam dunia bisnisnya ini —terutama dengan segala yang telah terjadi.Tangga sendiri - bersama dengan keluarganya yang lain, sudah mendapatkan bagiannya di luar kota - perusahaan cabang yang selama ini ditangani mendiang ayahnya R
Malam itu, Ryan duduk di tepi tempat tidur mereka, memandangi Erika yang duduk masih betah terpaku di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Udara malam yang sejuk tampaknya tidak bisa menenangkan kekacauan yang bergejolak di dalam diri Erika.Ryan bisa melihatnya, bagaimana istrinya itu memendam sesuatu yang besar, sebuah kepedihan yang lebih dalam dari sekadar banyak peristiwa - termasuk kecelakaan yang pernah dia alami beberapa waktu lalu."Aku nggak tahu harus bagaimana, mas Ryan," ujar Erika pelan, suaranya serak."Kenapa, hm?" Ryan bertanya maksud perkataan istrinya."Papa... dia... dia..." Erika terhenti, suaranya hampir hilang ditelan perasaan yang mendalam."Selama ini aku merasa terjebak dalam permainan yang tak aku pahami. Semua ini ternyata sudah direncanakan sejak lama, dan aku... aku tidak pernah tahu apa-apa tentang rencana papa." Akhirnya, Erika bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu menyesakkan dadanya.Ryan menghembuskan napas panjang, berjalan mendekat dan du
Setelah peristiwa yang mengguncang mereka semua, hari-hari selanjutnya penuh dengan ketegangan meskipun situasi sudah mulai mereda. Ryan masih berusaha menenangkan Erika dan dirinya sendiri setelah semua yang terjadi, sementara Elsa, Dedi, Fery, dan Tomi berusaha memberikan dukungan moral pada mereka berdua. Namun, ada satu hal yang tak banyak orang ketahui, bahkan Elsa sendiri belum menyadarinya.Dedi selalu memperhatikan Elsa dari kejauhan, bahkan sudah sejak lama. Di tengah segala kecemasan dan ketegangan yang mereka alami, Dedi merasa cemas dengan keberadaan Elsa yang selalu berada di dekat Ryan. Entah mengapa, setiap kali melihat Elsa tertawa atau berbicara dengan Ryan, hatinya terasa teriris. Dedi tahu perasaan ini bukan hal yang bisa ia tunjukkan, apalagi di tengah kesibukan mereka yang terus bergulir. Namun, perasaan itu semakin tak bisa ia bendung."Elsa, bisa bantu aku sebentar?" Dedi memanggil, berusaha tidak terlalu terlihat gelisah.Elsa yang sedang berdiri bersama Fery d
Ketika suasana semakin tegang dan tak terkontrol di ruangan gelap itu, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi dari kejauhan, semakin dan mendekat ke lokasi. Ryan, Julian, dan Tuan Lee sama-sama tersentak, menyadari bahwa keadaan akan segera berubah drastis.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Dedi, Fery, dan Tomi masuk berbarengan, wajah mereka tegang namun sedikit lega melihat Ryan masih berdiri meskipun dengan wajah yang tampak lelah dan tubuh penuh luka."Kalian?!" seru Ryan, terkejut melihat asistennya. "Bagaimana kalian bisa tahu kami di sini?" tanyanya kemudian.Dedi mendekat cepat, matanya melirik sejenak ke arah Tuan Lee yang masih tersandar di dinding dan Tuan Haris yang tergeletak di lantai, juga Julian yang diam saja seperti tidak melakukan apapun dalam keadaan ini."Kami dapat info dari Elsa, Pak Ryan. Kami segera ke sini begitu tahu kau dalam bahaya," terang Dedi."Kau tamat, selesai sekarang ini, Tuan Haris. Polisi juga sudah di sini," ujar Fery dingi