Tuan Lee mengajak menantu prianya ke ruang kerja, lalu mempersilahkan Ryan untuk duduk di depannya. Pria setengah tua itu tidak segera mengatakan apapun, dan ini membuat Ryan merasa cemas serta khawatir. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh papa mertuanya itu.
Tapi Ryan juga tidak langsung bertanya, membiarkan papa mertuanya yang memulai terlebih dahulu. Setelah saling diam dalam beberapa menit, barulah Tuan Lee mengeluarkan suara yang ternyata tidak seperti yang dipikirkan Ryan. "Ryan. Jujur, papa cukup merasa bangga dengan keberhasilan usaha dan bisnis yang kau rintis. Kamu juga sudah membuktikan bisa sukses dalam waktu singkat," kata tuan Lee dengan nada suara yang rendah. "Terima kasih, pa." Ryan mengangguk, merespon pernyataan tersebut. Ryan cukup merasa lega mendengar kata-kata papa mertuanya itu. Tapi ia belum bisa tenang, merasa bahwa tuan Lee pastinya punya maksud lain dengan mengajaknya untuk menepi dari yang lainnya, bicara di ruang kerja ini. "Lalu, apa yang sebenarnya ingin Papa bicarakan?" tanya Ryan hati-hati, sebab tuan Lee tidak juga melanjutkan pembicaraan mereka. "Kamu tahu, Singapura adalah salah satu negara yang paling sukses di Asia Tenggara ini. Apakah kamu sanggup, jika membuka usaha di sana, dengan persaingan yang jauh lebih berat dibandingkan di Indonesia." Pertanyaan ini, benar-benar tidak pernah dipikirkan Ryan. Ternyata, tuan Lee memberikan informasi tentang peluang usaha yang bisa dilakukan Ryan agar bisa go internasional. Setidaknya, tuan Lee sudah memiliki banyak relasi di luar negeri. Jadi menurutnya, bisnis Ryan bisa juga berkembang ke luar negeri jika dibantu olehnya. Sayangnya, Ryan tidak begitu mengerti maksud dari pembicaraan ini. Apa hubungannya antara bisnisnya yang belum terbilang besar dengan membuka usaha di Singapura, yang notabene tentunya sangat besar juga modalnya. "Jika kau bisa menjadi salah satu pengusaha muda yang sukses dalam jangka tidak ada 5 tahun, itu artinya kamu punya potensi untuk berkembang dengan cepat dengan banyaknya persaingan." Lagi, tuan Lee memberikan tanggapan yang positif dari kinerja menantunya yang cukup membuatnya takjub. "Terima kasih, pa. Saya juga ingin memiliki usaha yang besar, tapi saya juga sadar diri untuk belajar lebih banyak lagi agar tidak mudah jatuh hanya karena ambisi. Saya akan belajar dari pengalaman papa dan para pengusaha sukses lainnya." Meskipun Ryan merasa bangga dan senang mendapatkan pujian dan dukungan dari mertuanya, tapi dia tidak mau terlalu sombong dan belajar untuk tetap merendah. Waktu memang telah membuktikan bahwa dia mampu, tapi untuk berhadapan dengan papa mertua yang merupakan "seorang tuan Lee" yang memiliki ego untuk diakui sebagai seorang yang unggul, Ryan harus bisa menyiasatinya dengan taktik. Merendah adalah jalan terbaik yang harus dilakukan agar papa mertuanya tetap merasa lebih unggul dan dibutuhkan sebagai tolok ukur orang yang sukses. "Lalu, apa rencana dekat yang ingin kau lakukan dan hasilkan?" Tuan Lee akhirnya bertanya tentang rencana menantunya, sekaligus ingin melihat bagaimana kesungguhan Ryan dalam menjalankan usahanya. "Saya ingin menguasai pangsa pasar Indonesia terlebih dahulu, pa. Jika sudah kepegang yang di Indonesia, ke luar negeri pastinya akan lebih mudah." Mendengar jawaban dan penjelasan anak menantunya, tuan Lee mengangguk perlahan-lahan. Ia tidak menyangka, jika Ryan ingin berusaha sendiri untuk kesuksesannya. Padahal jika mau, Ryan bisa saja mencatut namanya - tuan Lee, untuk meraih kesuksesan dalam waktu singkat. Mungkin jika menantunya itu bukan Ryan, sudah pasti akan cepat menyetujui usulannya karena hanya dengan mendompleng namanya saja segala kemudahan akan bisa didapatkan karena memiliki nama besar dan banyak relasi. "Papa salut padamu, Ryan. Tapi jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta pada papa, ya?" pesan tuan Lee. "Terima kasih, pa. Saya hanya meminta doa dan dukungan dari papa, juga arahannya jika Ryan ada yang salah dalam memilih strategi usaha yang tidak sesuai." Lagi, Mr Lim mengangguk bangga dengan menantunya itu. Ia menyesal, karena pernah menyepelekan sosok Ryan di masa lalu. Menolak keras hubungan putrinya dengan Ryan. Tapi ia juga bangga, sebab dari sikap kerasnya dulu, pada akhirnya Ryan mau belajar, berjuang dan akhirnya sukses. Ryan tersenyum melihat papa mertuanya yang tidak lagi bersikap sinis dan berkata dengan ketus padanya, sama seperti kehidupannya di masa lalu. Semua telah berubah, dan Ryan tahu betul bagaimana harus bertindak. Setelah selesai berbicara dengan papa mertuanya di ruang kerja, Ryan pamit pergi ke kamar. Ia menemui istrinya, yang sudah setuju dengan usulnya. Ryan memiliki rencana untuk tinggal di rumahnya sendiri bersama sang istri, agar bisa lebih mandiri dan menjadi fokus pada keluarga kecil mereka. Tapi Ryan sadar, mama mertuanya juga harus ditaklukan, dan itu tugas istrinya yang harus bisa membujuk nyonya Lee. Clek! "Mas," sapa Erika saat Ryan masuk ke dalam kamar. "Hm, bagaimana?" tanya Ryan tentang pembicaraan istrinya dengan mama mertuanya. Tadi, saat ia diajak oleh papa mertuanya masuk ke ruangan kerja, Erika mengambil waktu untuk berbicara dengan mamanya, terkait rencana mereka untuk keluar dari rumah ini. Ryan harap-harap cemas, ingin tahu apa pendapat dari mama mertuanya. Di kehidupan sebelumnya, mama mertuanya itu cukup memiliki andil untuk menghina dan mengolok-olok dirinya dengan segala perkataan yang merendahkan. "Sebenarnya mama tidak setuju, mas. Tapi aku memberikan alasan yang jelas dan tegas, jadi mama juga bisa memahami. Mungkin saat makan malam nanti, mama akan bertanya langsung dengan mas Ryan." Erika, tentunya tahu betul bagaimana watak dan karakter mamanya, juga papanya yang cukup keras kepala. Tapi ia ingin membantu suaminya, membujuk mamanya terlebih dahulu agar menyetujui rencana mereka. Jika nyonya Lee setuju, akan lebih mudah untuk membujuk tuan Lee. Itulah sebabnya, Erika membicarakan niat mereka terlebih dahulu dengan mamanya, dan bukan langsung dengan papanya. "Baiklah. Aku siap jika akan mendengar pertanyaan-pertanyaan dan interogasi dari mereka. Tapi, kakak Tanu bagaimana?" Ryan lebih mengkhawatirkan kakak Erika. Tanu, adalah anak pertama tuan Lee dan istri. Jadi, Tanu adalah kakaknya Erika. Saat ini, Tanu lah yang memegang kendali perusahaan - kedua setelah tuan Lee. Bisa dikatakan Tanu adalah tangan kanan tuan Lee, dalam mengambil keputusan di bisnis keluarga mereka. Jadi, tentunya Tanu juga mempunyai power yang setara dengan papa dan mamanya, dalam membuat keputusan di rumah ini. Dalam dunia bisnis dan usaha, Tanu juga memiliki pengaruh dengan lingkungan pertemanan yang sukses. Termasuk berteman juga dengan Julian, atasan Ryan waktu masih menjadi staff kantor biasa. Bahkan, Julian ini memiliki kerjasama dengan Tanu dengan bisnis kecil mereka, di luar bisnis keluarga Lim. Bisnis yang mereka bangun bersama. "Semoga kakak tidak banyak protes dan mempengaruhi keputusan papa dan mama," harap Erika, ragu dengan sikap dan tanggapan kakaknya. "Tidak apa-apa, kita akan memberikan penjelasan sebaik mungkin. Apalagi kita sudah menikah dan tentunya memiliki privasi dan jalan hidup yang ingin kita tentukan sendiri," ujar Ryan mengusap lembut wajah istrinya. Erika memeluk suaminya, merasa bahagia dengan hidupnya yang sekarang ini. Ia memang pernah termakan hasutan papa dan mamanya - juga kakaknya, terkait keputusan Ryan yang memilih menerima uang dibandingkan memperjuangkan cinta mereka. Tapi kini ia tahu, jika keputusan Ryan itu demi masa depan mereka berdua. Ia sadar jika keluarganya menilai seseorang dengan keberhasilan, kekayaan terlebih dahulu dibandingkan kepribadian dan karakter dari orang tersebut. "Aku mencintaimu, mas Ryan." Ryan tersenyum dan membalas pelukan istrinya dengan erat, lalu mencium kening beberapa kali kemudian turun ke pipi dan terakhir di bibir kenyal berwarna pink yang selalu menggoda untuk dikecup. "Aku juga mencintaimu, istriku. Dan Aku melakukan semua ini untuk membuktikan bahwa aku akan selalu membahagiakan dirimu." *** Di tempat lain, tepatnya di sebuah kafe, Julian sedang berbicara serius dengan Tanu. Mereka membahas tentang usaha bersama mereka. "Bagaimana bisa laporan tersebut kecolongan, Julian?" Tanu bertanya dengan suara keras, tidak peduli dengan keadaan sekitar. "Ck, mana tau aku bisa begini? Kemarin kau juga ikut memeriksa, dan semuanya sesuai." Julian membela diri, tidak mau disalahkan. "A-ku, Huh ..." Tanu mendengus dingin, tidak bisa berpikir jernih setelah melihat laporan yang sudah mereka buat berubah dengan sendirinya. 'Bodoh!' cibir Julian dalam hati.Malam ini Ryan berkesempatan untuk menikmati makan malam di rumah mertuanya bersama sang istri untuk yang terakhir kali, sebab malam ini juga mereka akan mengatakan rencananya untuk pindah ke rumah miliknya sendiri. Ruang makan yang dipenuhi dengan perabotan mebel dan perabotan makan yang mahal memang tampak istimewa, khas milik keluarga kaya. Aneka macam makanan lezat juga tertata rapi di atas meja, dengan berdampingan dengan buah-buahan premium. "Ayo, mas Ryan." Erika menggandeng tangan suaminya menuju meja makan. "Ya," jawab Ryan pendek. Setibanya di meja makan, baru ada Tanu - kakaknya Erika, yang duduk sambil makan buah anggur. Sedangkan tuan Lee dan istrinya datang setelah Ryan dan Erika baru saja duduk. Tuan Lee, meminta pada istrinya untuk mengambilkan makanan untuknya terlebih dahulu. Setelah itu yang lain baru mengikuti, sebab seperti itulah memang kebiasaan mereka jika sedang makan bersama. Ryan yang sudah mengetahui kebiasaan ini di kehidupannya yang dulu, tent
Setelah sedikit bersitegang, tuan Lee dan istri, akhirnya setuju dengan rencana Ryan yang ingin membawa Erika untuk tinggal di rumahnya sendiri. Dan pagi hari ini, mereka berdua justru ikut membantu persiapan mereka. Meski Ryan sudah meminta pada istrinya untuk tidak banyak membawa barang dari rumah orang tuanya, tapi Erika bilang itu adalah barang-barang pribadi miliknya untuk kebutuhannya sendiri. "Ini cuma barang-barang kebutuhan wanita, mas Ryan. Aku gak bawa perabotan," kata Erika memperlihatkan bawaannya yang ada dua koper. "Keperluan dan kebutuhan wanita itu banyak, Ryan. Jadi, ya begitulah. Makanya, papa tidak mau Erika mendapatkan suami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya." Tuan Lee tersenyum canggung mengingat kejadian yang dulu, saat memberikan penawaran pada Ryan sebelum menikah. "Itulah kenapa, banyak orang tua yang merasa sedikit tidak rela jika anak gadisnya diperistri laki-laki yang tidak sepadan atau setara dengan keluarganya. Ya, karena itu!"
"Selamat datang, Sayangku. Istriku ..." Ryan membuka pintu rumah lebar-lebar, mempersilahkan istrinya untuk masuk ke dalam rumahnya yang sudah dipersiapkan untuk mereka tempati setelah menikah. "Kamu, suka?" tanya Ryan kemudian, saat melihat istrinya terdiam meskipun matanya tampak berbinar-binar saat melihat sekeliling. "Mas, ini ..." Erika tidak bisa melanjutkan kalimatnya dengan lancar karena ini jauh berbeda dari ekspektasinya, mengenai rumah suaminya. Meskipun tahu jika suaminya bukan lagi karyawan biasa, dan sudah menjadi seorang pengusaha tapi ia tidak pernah menyangka jika Ryan telah menjadi sangat kaya raya. Saat melamar dan menikahinya, Ryan memang telah mengembalikan uang 5 Milyar pada papanya. Jadi, Erika berpikir bahwa suaminya itu harus kembali berjuang untuk mendapatkan kekayaan agar usahanya berjalan lancar. Apalagi pesta pernikahan mereka, semua biaya pesta juga ditanggung sendiri oleh Ryan. Orang tuanya tidak ikut membiayai pesta sama sekali, dan itu perm
"Kata papaku, kekayaan Ryan saat ini setara dengan para "sembilan naga" yang menguasai bisnis Indonesia. Tapi, entah itu dari mana papa mendapatkan informasi," ungkap Tanu - beberapa saat setelah mereka saling diam, membuat Julian kembali membelalakkan mata tidak percaya. "Yakin itu Ryan yang kita maksudkan?" tanya Julian cepat. Bukan tanpa alasan jika Julian tidak percaya dengan kekayaan yang dimiliki oleh Ryan saat ini, sebab sebagai eksekutif muda yang cukup memiliki lingkungan pertemanan yang juga sama-sama eksekutif dan pembisnis, tentunya ia sedikit banyak tahu siapa-siapa saja orang yang paling sukses dalam waktu terakhir ini. Tapi jika informasi Tanu ini dari tuan Lee sendiri yang mengatakannya, tentu saja Julian juga tidak bisa menyangkal. Tuan Lee pastinya memiliki informasi yang akurat dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. "Bukankah usaha Ryan hanya SPBU kecil di jalan utama arah tol menuju Jawa Tengah?" Julian kembali memastikan. "Ya, aku tahunya juga cuma itu
Lima pria dengan pakaian rapi layaknya eksekutif, menunggu di tempat duduk untuk acara meeting pagi ini. Meja persegi panjang dari kayu jati pilihan, tampak mengkilat mewah dengan berbagai alat-alat di atasnya, peralatan yang digunakan untuk kebutuhan meeting. Clek!Pintu ruangan terbuka, tampaklah seorang pria yang masih muda dan gagah berjalan dengan elegan ke tempat duduk yang kosong di ujung meja. Dia adalah pemimpin meeting, yang merupakan ketua lima pria yang kini berdiri menyambut kedatangannya."Kita mulai meeting pagi ini," ucap pria tersebut lalu disambut anggukan kepala kelima orang yang memang menunggunya.Pria dengan setelan jas hitam yang rapi kini memimpin jalannya rapat, sementara yang lain disibukkan dengan berbagai alat-alat penunjang meeting seperti laptop, handphone dan alat tulis lainnya.Arah pandang mereka, fokus pada layar plasma presentasi, membuat mereka semua terlihat tegang karena laya
Dreet dreet dreet ...Ponsel Ryan kembali bergetar, saat ia sudah berada di dalam ruangan kerjanya sendiri. Dan yang melakukan panggilan telepon saat ini juga adalah papa mertuanya, sesuai dengan pesan sebelumnya."Ya, Pa. Ada apa?" tanya Ryan, begitu panggilan telepon tersambung."Ryan. Papa... sebenarnya papa tidak ingin merepotkan kamu dengan terlibat dalam urusan perusahaan keluarga Lee. T-api ..." Tuan Lee, ragu untuk mengatakan maksudnya menghubungi Ryan."Ryan siap mendengarkan, pa."Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, tuan Lee mengutarakan maksud panggilan teleponnya kali ini. Pria paruh baya itu menceritakan keadaan perusahaannya yang sudah bisa dikatakan bangkrut, karena harga saham perusahaan keluarga Lee telah jatuh.Pemilik saham lama, yang diluar keluarga Lee sendiri, ternyata sudah menjual saham-saham mereka. Dan ini terjadi dalam waktu singkat karena adanya isu kebangkrutan perus
"Tanu, bisa tidak kamu itu menahan diri?" geram tuan Lee saat mereka sudah berada di dalam mobil. Pulang dari kantornya Ryan, siang ini."Apa sih, papa ini?" Tanu gusar dengan wajah masam."Seharusnya papa memukulmu tadi, sebab kamu tidak bisa membaca situasi. Kita sedang mencari dana pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan kita, Tanu!"Sebenarnya, tuan Lee mendengar gumaman anaknya yang masih saja merendahkan Ryan. Untungnya, anak menantunya tidak merespon apapun yang dilakukan oleh Tanu - tadi.Ryan tetap sopan dan ramah pada tuan Lee, memberikan dana pinjaman yang diminta untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka. Dan Ryan juga memberikan waktu pengembalian dalam jangka yang relatif lama."Sebaiknya kamu belajar banyak dari adik iparmu, Tanu! Jangan sampai dana pinjaman ini kamu pakai untuk ambisimu yang ingin membuat perusahaan game sendiri." Tuan Lee tegas memperingatkan anaknya."Ck, sanjung saja terus. Lama-lama juga
"Sayang, aku mau beliin ini buat mama. Nggak apa-apa, kan?" tanya Erika sambil menunjuk sebuah tas branded."Ambil saja yang kamu inginkan, sayang. Jika kamu tahu apa yang disukai mama, ambil juga." Ryan, memberikan kebebasan pada istrinya untuk memilih barang belanjaan yang diinginkan.Saat ini mereka berdua sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di ibu kota. Tepatnya di sebuah counter branded yang sedang trend di kalangan sosial atas dengan produk unggulan tas, yang harganya bisa melebihi harga sebuah mobil.Tapi Erika ragu untuk mengambil tas tersebut, kerena harga yang tertera sangat mahal. Ia yakin jika suaminya tidak melihat harga tas tersebut, jadi asal setuju saja tanpa pikir panjang.Wanita itu tidak mau jika suaminya kehabisan uang hanya untuk sebuah tas yang ingin dihadiahkan pada mamanya. Tapi ia ingat jika tas ini yang diinginkan mamanya beberapa hari kemarin."Kenapa, sayang?" tanya Ryan, karena istrinya tidak j
Kondisi Elsa berangsur membaik setelah perawatan intensif di rumah sakit. Luka-luka fisiknya mulai pulih, dan senyumnya yang lama hilang kini perlahan kembali menghiasi wajahnya. Dokter telah memberikan izin untuknya pulang, namun di balik kabar baik itu, ada kekhawatiran yang menggelayuti pikiran semua orang, terutama Dedi. Rekan kerja yang paling dekat dengannya, sejak mereka menjadi asisten Ryan.Dedi, yang selama ini selalu berada di samping Elsa - bekerja sama untuk kesuksesan perusahaan Ryan, tentu tahu bahwa membiarkannya pulang ke rumah bisa menjadi risiko besar. Meski tidak ada ancaman nyata yang terungkap, kejadian kecelakaan yang dialami Elsa tidak bisa dianggap sebagai kebetulan - apalagi Elsa tinggal seorang diri di rumahnya, sebab Elsa adalah yatim yang diusir oleh keluarga ibunya dan ditolong Ryan saat itu. Perasaan tidak nyaman semakin menghantui Dedi seandainya Elsa di rumah sendirian. Apalagi dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini, Dedi tidak bisa menyingkirkan pi
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu."Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir.Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan.“Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Biasany
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan