Beberapa minggu setelah Julian mulai menyebarkan informasi palsu sehingga bisnis Ryan mulai goyah dan karyawannya mulai merasa khawatir tentang masa depan mereka, takut jika Ryan bangkrut dan mem-PHK mereka.
"Apakah Andal tahu apa yang terjadi dengan bisnis kita?" tanya salah satu karyawan kepada Ryan. "Saya rasa semua berjalan seperti biasa saja, Tapi, saya juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Jangan khawatir dengan kondisi ini, saya pasti akan segera mencari tahu dan mengatasinya." Ryan mencoba menenangkan karyawan tersebut. Ryan yang kebingungan dan tidak tahu apa yang sedang terjadi, belum bisa memberikan solusi apa-apa selain kata-kata menenangkan. Tapi dengan cepat ia mencoba mencari tahu lebih lanjut dan akhirnya mengetahui bahwa informasi palsu sedang beredar tentang bisnisnya. Tentu saja penemuan itu membuat Ryan marah, sebab informasi yang beredar adalah informasi hoax yang dilakukan oleh orang lain dan kemudian disebarkan lagi oleh orang-orang lainnya juga. Rotasi media memang memiliki pengaruh yang besar. Untuk beberapa permasalahan, tiap orang memang memiliki pandangan dan komentar yang berbeda-beda tapi lebih seringnya mereka menerima informasi tanpa menyaring terlebih dahulu sehingga termakan informasi palsu dengan mudahnya. "Sial, ini terlalu kejam. Aku harus menemukan siapa yang melakukan ini dan menghentikannya," umpat Ryan dalam hati. "Atau ..." Ryan mulai mengingat-ingat kehidupannya di masa lalu saat dia belum sesukses sekarang, setelah ia kembali dengan kehidupan dan mengubah takdirnya sendiri. Setelah mengingat-ingat dan mencari tahu lebih lanjut, Ryan akhirnya menyadari bahwa Julian - yang dulunya adalah teman dan atasannya sendiri adalah orang yang bertanggung jawab atas goyahnya usahanya kali ini. Ryan, merasa kecewa karena baru menyadari kalau secara diam-diam Julian merasa iri dan cemburu dengan keberhasilannya. Apalagi tentang perasaan Erika, yang nyatanya lebih memilihnya dibanding memilih Julian. Setelah menimbang-nimbang, Ryan memutuskan untuk menghubungi Julian. Ia ingin bertanya langsung pada teman yang berlaku sebagai rival. "Kamu tidak perlu melakukan ini," kata Ryan kepada Julian melalui telepon, setelah panggilan keduanya diterima. "Melakukan apa? Aku tidak melakukan apa-apa," balas Julian tenang. "Kamu tahu apa yang aku maksudkan, sebab kamu yang melakukannya. Kamu merusak bisnisku dan mengambil kesempatan dari keberhasilanku untuk menjatuhkan diriku," ucap Ryan tegas. "Heh, jangan asal tuduh, pecundang! Aku tidak seperti kamu yang tidak memperjuangkan cintanya. Kamu selalu menyerah dalam situasi sulit dan tidak pantas memiliki Erika!" Julian menyentil Ryan dengan kata-kata yang menyakitkan. Ryan mengetatkan rahangnya, marah dan kecewa pada sikap Julian. Ia tidak pernah menganggap bahwa hubungan pertemanan mereka akan berakhir seperti ini. Tapi ia berusaha untuk berpikir lebih jauh, agar semuanya tidak semakin runyam. Setelah merasa cukup dengan memberikan peringatan pada Julian, Ryan mulai memberikan informasi-informasi positif tentang usahanya di media sosial. Ia meminta beberapa staf untuk melakukannya, sebagai bentuk sanggahan terhadap informasi palsu yang beredar di masyarakat beberapa waktu lalu. Perang argumen dan komentar di sosial media menjadi trending topik, dan situasi ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang terlibat dan memiliki kepentingan pribadi. "Mas Ryan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Erka yang baru mengetahui permasalahan suaminya. "Biasa, sayang. Persaingan bisnis itu ada yang sehat, tapi tentunya lebih banyak tidak sehatnya, bukan?" ujar Ryan berdiplomasi. "Halah, bilang saja kau memang tidak bisa menjadi pengusaha yang tangguh!" sahut saudara Erika, yang memang sedari awal dulu - saat kehidupan Ryan yang dulu, tidak menyukainya. Tapi Ryan memilih diam dan tidak memberikan tanggapan apapun. Ia lebih memilih untuk melihat sosial media dan mengikuti perkembangan informasi pada situasi bisnisnya. Tiba-tiba, tuan Lee datang. Papa mertuanya itu melihat keberadaan Ryan yang ada di rumahnya, lalu mengajaknya berbicara di ruang kerja pribadinya yang ada di rumah ini. "Ryan, papa perlu bicara." "Ya, pa." Ryan bangkit dan berjalan mengekor papa mertuanya itu. "Habis kau, Ryan!" ejek saudara Erika, berpikir bahwa Ryan akan mendapatkan amarah dari Mr Lim. Erika hanya mendengus dingin saat mendengar perkataan saudaranya tersebut, tapi ia juga tidak memberikan tanggapan apapun atas perkataan saudaranya yang sebenarnya tidak dia sukai. Meskipun sebenarnya di dalam hati Erika juga merasa deg-degan. Ia khawatir jika suaminya mendapatkan tekanan dari papanya lagi. Padahal mereka baru saja menikah tiga bulan yang lalu, dan sedang merencanakan untuk mengembangkan bisnis bersama. 'Semoga papa tidak marah dan menekan mas Ryan. Aku tidak bisa jika papa meminta mas Ryan pergi dari kehidupanku lagi,' batin Erika. Wajah Erika yang tegang, dilihat oleh saudaranya. Ini membuat senyum saudara semakin lebar mengembang, tapi dengan artian mengejek karena saudaranya itu yakin jika tuan Lee akan memarahi Ryan habis-habisan. "Kita lihat aja, nanti. Huh!" Saudara Erika, mendengus dingin.Tuan Lee mengajak menantu prianya ke ruang kerja, lalu mempersilahkan Ryan untuk duduk di depannya. Pria setengah tua itu tidak segera mengatakan apapun, dan ini membuat Ryan merasa cemas serta khawatir. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh papa mertuanya itu. Tapi Ryan juga tidak langsung bertanya, membiarkan papa mertuanya yang memulai terlebih dahulu. Setelah saling diam dalam beberapa menit, barulah Tuan Lee mengeluarkan suara yang ternyata tidak seperti yang dipikirkan Ryan. "Ryan. Jujur, papa cukup merasa bangga dengan keberhasilan usaha dan bisnis yang kau rintis. Kamu juga sudah membuktikan bisa sukses dalam waktu singkat," kata tuan Lee dengan nada suara yang rendah. "Terima kasih, pa." Ryan mengangguk, merespon pernyataan tersebut. Ryan cukup merasa lega mendengar kata-kata papa mertuanya itu. Tapi ia belum bisa tenang, merasa bahwa tuan Lee pastinya punya maksud lain dengan mengajaknya untuk menepi dari yang lainnya, bicara di ruang kerja ini. "Lalu,
Malam ini Ryan berkesempatan untuk menikmati makan malam di rumah mertuanya bersama sang istri untuk yang terakhir kali, sebab malam ini juga mereka akan mengatakan rencananya untuk pindah ke rumah miliknya sendiri. Ruang makan yang dipenuhi dengan perabotan mebel dan perabotan makan yang mahal memang tampak istimewa, khas milik keluarga kaya. Aneka macam makanan lezat juga tertata rapi di atas meja, dengan berdampingan dengan buah-buahan premium. "Ayo, mas Ryan." Erika menggandeng tangan suaminya menuju meja makan. "Ya," jawab Ryan pendek. Setibanya di meja makan, baru ada Tanu - kakaknya Erika, yang duduk sambil makan buah anggur. Sedangkan tuan Lee dan istrinya datang setelah Ryan dan Erika baru saja duduk. Tuan Lee, meminta pada istrinya untuk mengambilkan makanan untuknya terlebih dahulu. Setelah itu yang lain baru mengikuti, sebab seperti itulah memang kebiasaan mereka jika sedang makan bersama. Ryan yang sudah mengetahui kebiasaan ini di kehidupannya yang dulu, tent
Setelah sedikit bersitegang, tuan Lee dan istri, akhirnya setuju dengan rencana Ryan yang ingin membawa Erika untuk tinggal di rumahnya sendiri. Dan pagi hari ini, mereka berdua justru ikut membantu persiapan mereka. Meski Ryan sudah meminta pada istrinya untuk tidak banyak membawa barang dari rumah orang tuanya, tapi Erika bilang itu adalah barang-barang pribadi miliknya untuk kebutuhannya sendiri. "Ini cuma barang-barang kebutuhan wanita, mas Ryan. Aku gak bawa perabotan," kata Erika memperlihatkan bawaannya yang ada dua koper. "Keperluan dan kebutuhan wanita itu banyak, Ryan. Jadi, ya begitulah. Makanya, papa tidak mau Erika mendapatkan suami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya." Tuan Lee tersenyum canggung mengingat kejadian yang dulu, saat memberikan penawaran pada Ryan sebelum menikah. "Itulah kenapa, banyak orang tua yang merasa sedikit tidak rela jika anak gadisnya diperistri laki-laki yang tidak sepadan atau setara dengan keluarganya. Ya, karena itu!"
"Selamat datang, Sayangku. Istriku ..." Ryan membuka pintu rumah lebar-lebar, mempersilahkan istrinya untuk masuk ke dalam rumahnya yang sudah dipersiapkan untuk mereka tempati setelah menikah. "Kamu, suka?" tanya Ryan kemudian, saat melihat istrinya terdiam meskipun matanya tampak berbinar-binar saat melihat sekeliling. "Mas, ini ..." Erika tidak bisa melanjutkan kalimatnya dengan lancar karena ini jauh berbeda dari ekspektasinya, mengenai rumah suaminya. Meskipun tahu jika suaminya bukan lagi karyawan biasa, dan sudah menjadi seorang pengusaha tapi ia tidak pernah menyangka jika Ryan telah menjadi sangat kaya raya. Saat melamar dan menikahinya, Ryan memang telah mengembalikan uang 5 Milyar pada papanya. Jadi, Erika berpikir bahwa suaminya itu harus kembali berjuang untuk mendapatkan kekayaan agar usahanya berjalan lancar. Apalagi pesta pernikahan mereka, semua biaya pesta juga ditanggung sendiri oleh Ryan. Orang tuanya tidak ikut membiayai pesta sama sekali, dan itu perm
"Kata papaku, kekayaan Ryan saat ini setara dengan para "sembilan naga" yang menguasai bisnis Indonesia. Tapi, entah itu dari mana papa mendapatkan informasi," ungkap Tanu - beberapa saat setelah mereka saling diam, membuat Julian kembali membelalakkan mata tidak percaya. "Yakin itu Ryan yang kita maksudkan?" tanya Julian cepat. Bukan tanpa alasan jika Julian tidak percaya dengan kekayaan yang dimiliki oleh Ryan saat ini, sebab sebagai eksekutif muda yang cukup memiliki lingkungan pertemanan yang juga sama-sama eksekutif dan pembisnis, tentunya ia sedikit banyak tahu siapa-siapa saja orang yang paling sukses dalam waktu terakhir ini. Tapi jika informasi Tanu ini dari tuan Lee sendiri yang mengatakannya, tentu saja Julian juga tidak bisa menyangkal. Tuan Lee pastinya memiliki informasi yang akurat dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. "Bukankah usaha Ryan hanya SPBU kecil di jalan utama arah tol menuju Jawa Tengah?" Julian kembali memastikan. "Ya, aku tahunya juga cuma itu
Lima pria dengan pakaian rapi layaknya eksekutif, menunggu di tempat duduk untuk acara meeting pagi ini. Meja persegi panjang dari kayu jati pilihan, tampak mengkilat mewah dengan berbagai alat-alat di atasnya, peralatan yang digunakan untuk kebutuhan meeting. Clek!Pintu ruangan terbuka, tampaklah seorang pria yang masih muda dan gagah berjalan dengan elegan ke tempat duduk yang kosong di ujung meja. Dia adalah pemimpin meeting, yang merupakan ketua lima pria yang kini berdiri menyambut kedatangannya."Kita mulai meeting pagi ini," ucap pria tersebut lalu disambut anggukan kepala kelima orang yang memang menunggunya.Pria dengan setelan jas hitam yang rapi kini memimpin jalannya rapat, sementara yang lain disibukkan dengan berbagai alat-alat penunjang meeting seperti laptop, handphone dan alat tulis lainnya.Arah pandang mereka, fokus pada layar plasma presentasi, membuat mereka semua terlihat tegang karena laya
Dreet dreet dreet ...Ponsel Ryan kembali bergetar, saat ia sudah berada di dalam ruangan kerjanya sendiri. Dan yang melakukan panggilan telepon saat ini juga adalah papa mertuanya, sesuai dengan pesan sebelumnya."Ya, Pa. Ada apa?" tanya Ryan, begitu panggilan telepon tersambung."Ryan. Papa... sebenarnya papa tidak ingin merepotkan kamu dengan terlibat dalam urusan perusahaan keluarga Lee. T-api ..." Tuan Lee, ragu untuk mengatakan maksudnya menghubungi Ryan."Ryan siap mendengarkan, pa."Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, tuan Lee mengutarakan maksud panggilan teleponnya kali ini. Pria paruh baya itu menceritakan keadaan perusahaannya yang sudah bisa dikatakan bangkrut, karena harga saham perusahaan keluarga Lee telah jatuh.Pemilik saham lama, yang diluar keluarga Lee sendiri, ternyata sudah menjual saham-saham mereka. Dan ini terjadi dalam waktu singkat karena adanya isu kebangkrutan perus
"Tanu, bisa tidak kamu itu menahan diri?" geram tuan Lee saat mereka sudah berada di dalam mobil. Pulang dari kantornya Ryan, siang ini."Apa sih, papa ini?" Tanu gusar dengan wajah masam."Seharusnya papa memukulmu tadi, sebab kamu tidak bisa membaca situasi. Kita sedang mencari dana pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan kita, Tanu!"Sebenarnya, tuan Lee mendengar gumaman anaknya yang masih saja merendahkan Ryan. Untungnya, anak menantunya tidak merespon apapun yang dilakukan oleh Tanu - tadi.Ryan tetap sopan dan ramah pada tuan Lee, memberikan dana pinjaman yang diminta untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka. Dan Ryan juga memberikan waktu pengembalian dalam jangka yang relatif lama."Sebaiknya kamu belajar banyak dari adik iparmu, Tanu! Jangan sampai dana pinjaman ini kamu pakai untuk ambisimu yang ingin membuat perusahaan game sendiri." Tuan Lee tegas memperingatkan anaknya."Ck, sanjung saja terus. Lama-lama juga