Pagi harinya, Safa sudah mendapati Bi Lisa yang berpakaian rapi dengan senyum tak biasa. Wanita itu menyapa lebih dulu membuat Safa berdecak kagum."Bibi mau ke mana?" tanya Safa penasaran."Bibi akan pulang hari ini. Kamu baik-baik di sini, ya." Lisa menatap ramah Safa sedikit terkejut, sebab kepulangannya terdengar mendadak. Safa tahu jika Bi Lisa akan pulang Minggu depan, tetapi entah mengapa tiba-tiba menjadi pulang sekarang."Serius, Bi?" Safa masih tak percaya.Pandangannya memerhatikan penampilan bibi dari atas hingga bawah dan terlihat sudah siap dengan barang yang ada di sampingnya.Seketika, Safa langsung mendekat dan mendekap tubuh sang bibi. Rasa nyaman baru ia rasakan, tetapi harus kembali hilang."Safa pasti akan rindu dengan Bibi," kata Safa jujur.Lisa sendiri merasakan hal yang sama. Ia sudah mulai merasa nyaman pada Safa, tetapi tidak ingin terlalu banyak menyakitinya. Lisa menyadari itu.Bahkan rasa haru pun ia rasakan. Mengenal Safa memang tak seburuk yang ia kira
Kedua sejoli saling berpegangan mesra memilih makanan yang hendak dibeli. Niatnya ingin makan di tempat, tetapi entah apa yang terjadi pada Safa dan meminta untuk dibawa pulang."Kamu yakin nggak mau makan di sini saja?" tanya Azril memastikan."Iya, Mas," kata Safa pelan, tidak mungkin mengatakan alasannya di tempat umum. Azril pun memandang bingung dan Safa memberi kode akan menjelaskan nanti. Seketika Safa berjalan lebih dulu, lalu diikuti oleh Azril yang mengejarnya."Sayang, tunggu!" Azril segera berlari.Saat berada didekatnya terlihat wajah Safa berubah pucat. Azril yang memerhatikan pun merasa khawatir. "Kamu sakit?" Ia tidak peka. Seharusnya tidak membawa Safa ke tempat ramai."Enggak, Mas. Aku hanya mual saja, nggak suka dengan tempatnya," ujar Safa jujur. Ia baru bisa mengatakan sembari memegangi perutnya yang tidak enak.Azril merasa bersalah dan meminta maaf. Melihat Safa yang lemas, ia pun segera mengajak Safa pulang. Rasanya tidak tega dengan kondisinya."Maafin Safa,
Gedoran itu semakin keras membuat Faqih menghela napas pasrah. Langkahnya mendekat, lalu membuka pintu."Ra-radit!" Faqih membulatkan matanya lebar. "Kenapa kaget begitu?" Radit mengernyit heran."Ah, tidak. Mau ngapain lu datang ke sini?" Faqih berbalik badan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia bersikap biasa saja agar tidak terlihat curiga olehnya.Radit menyeringai, tampaknya pria itu sedang marah padanya. Namun, tak masalah biarkan dia merenungi kesalahannya."Hmm, nih, gua bawain makanan buat lo. Kata mereka dari kemarin lo nggak makan," kata Radit perhatian. Ia bukan orang yang tega membiarkan temannya kelaparan. Mendengar hal itu membuat Radit iba dan terpaksa kembali ke pesantren untuk memberi makan padanya. "Terlambat. Gua sudah beli makanan," ujar Faqih jutek. Ia masih marah pada Radit karena meninggalkannya di tempat asing seperti ini."Dari mana? Lo kabur?" Radit agak terkejut karena peraturan pesantren tidak pernah mengizinkan santrinya pergi ke luar. "Kagak l
Azril segera membawa Safa masuk karena kakinya yang bersimbah darah. Hatinya murka saat melihat mobil hitam menabraknya."Astagfirullah, apa yang terjadi pada Safa, Nak?" Hamidah terkejut melihat putranya yang membopong Safa."Safa keserempet, Mih, Azril mau bawa Safa ke rumah sakit." Dengan tergesa, Azril pamit dan masuk ke dalam mobil."Amih ikut," kata Hamidah panik.Azril mengiyakan, lalu mengemudikan mobilnya dengan cepat. Ia khawatir dengan Safa yang tak sadarkan diri."Pelan-pelan, Nak," ujar Hamidah memberitahu. Ia memangku Safa yang tak sadarkan diri. "Ya Allah, Neng." Hamidah menangis sembari mengusap kepala Safa.Azril pun tak tega, sesekali menoleh ke belakang melihat kondisi istrinya. Entah siapa yang tega membuat Safa terluka, hatinya tak terima itu."Semoga kamu kuat, Sayang. Bertahanlah!" lirih Azril dalam hati. Sementara di keadaan berbeda, Radit terbangun tak melihat keberadaan temannya bahkan kunci mobilnya pun tidak ada. "Apa kalian ada yang melihat Faqih?" tanya
Sementara Marlan ikut khawatir mendengar putrinya kecelakaan. Pantas, sedari tadi perasaannya tidak enak dan kini semakin tak karuan."Tuan mau ke mana? Buru-buru sekali!" Bi Inah memerhatikan tuannya yang terburu-buru."Ah, saya mau ke tempat Safa, Bi, katanya Safa kecelakaan," ucapnya dengan wajah panik.Seketika Bi Inah terkejut. "Astagfirullah, terus bagaimana keadaannya sekarang, Tuan?""Saya belum tahu, Bi, maka dari itu sekarang saya mau ke sana. Bibi tolong jaga rumah, ya," pinta Marlan agar Bi Inah tetap di rumah selama dirinya tidak ada.Khawatir Faqih masih nekat datang ke rumah untuk menemui Safa meski sudah lama tak terlihat lagi, tetapi kecemasan itu masih ada dalam relung hatinya."Siap, Tuan. Tuan hati-hati, ya," ujar Bi Inah mengikuti sang tuan keluar rumah.Marlan pun pergi dengan membawa kendaraan sendiri, sengaja agar tidak merepotkan supirnya. Lagipula, ia belum tahu akan berapa lama di sana.Sedangkan Safa tampak murka saat Azril memberitahu ayahnya akan datang.
"Siniin kunci mobilnya, gua mau balik," kata Radit menoleh."Gua ikut!" Faqih menyambar cepat. Tubuhnya sudah bangkit dan menatap Radit dengan intens.Radit mengernyit dan seketika Faqih memohon pada temannya agar dikabulkan. Ia ingin menenangkan diri tanpa ada bayang kejadian tadi."Please, gua kangen rumah, kangen keluarga. Lo jahat banget setelah keluar dari rumah sakit, lo langsung bawa gua ke sini tanpa ngasih kesempatan pulang dulu." Faqih menjelaskan. Entah orang rumah tahu atau tidak mengenai keberadaannya karena sejak kepulangan dari rumah sakit kemarin, Radit langsung membawa kabur ke sini."Ayolah, Dit, nanti gua balik lagi ke sini ko," rengeknya sedikit maksa. Melihat wajah melas Faqih, Radit pun mengiyakan karena tak tega dan seketika ekspresinya berubah sumringah, tanpa sengaja memeluk tubuh Radit kesenangan."Ih, lepas. Gua masih waras, lo harus izin dulu sama pimpinan pesantren." Radit memberitahu. Ia tidak ingin dicurigai karena telah menculiknya."Oke, tetapi lo ya
Radit masih bertanya dalam otaknya bahkan wajahnya tampak gugup berhadapan dengan kedua pria yang asing baginya. Meski belum pernah berhadapan langsung, tetapi ia pernah melihatnya dalam sebuah gambar."Maaf, Nak, jika kedatangan kami mengganggu." Marlan membuka suara, memecahkan ketegangan yang ada. "Tujuan kami ke sini ingin bertanya, apa kamu pemilik mobil yang berada di depan?"Marlan tak ingin menunggu lama. Ia langsung to the point tanpa berbasa-basi agar masalah cepat selesai."I-iya, Pak, saya pemilik mobil tersebut. Ada apa, ya?" Radit bingung dan tidak tahu ada apa."Jadi kamu yang sudah menabrak istri saya?" Azril langsung menyambar tanpa bisa mengontrol emosinya.Sedangkan Marlan menenangkan menantunya untuk tidak terbawa suasana. Ia sudah mengingatkan agar tidak pakai emosi."Tunggu, tunggu, menabrak? Saya tidak pernah merasa menabrak seseorang, apalagi istri Anda." Radit membela diri. "Jangan bohong kamu," cecar Azril, tidak ada penjahat yang mengakui kesalahannya. "Sa
Faqih membulatkan matanya lebar saat melihat Ayah Safa juga suaminya. Air liurnya tertahan dan seketika bayangan kejadian beberapa hari lalu berputar dalam otaknya."Nggak mungkin mereka tahu," ujar Faqih dalam hati."Maaf, gua lagi sibuk." Faqih mengalihkan dan hendak menutup pintunya kembali.Namun, cekalan Azril begitu cepat sehingga tak membiarkan pria itu kabur. Entah mengapa perasaannya begitu kuat jika Faqih memang dalang dari semua."Tunggu dulu," kata Azril sembari menahan pintu.Terlihat jelas wajah takut serta cemas dari wajah Faqih dan semua tampak jelas, tetapi Azril ingin kejujuran yang jelas agar tidak terjadi fitnah."Ada hal yang ingin kita bicarakan, Faqih." Kini Radit yang berbicara.Faqih mengedar pandangan dan mengalah. Kemudian ia mengizinkan semua masuk dengan perasaan tak enak, tetapi berharap bukan ketakutannya yang dibahas."Bi, tolong ambilkan minum," teriak Faqih pada pembantu rumahnya.Setelah semua duduk, Radit mengawali percakapan agar tidak salah paham.