Kedua sejoli saling berpegangan mesra memilih makanan yang hendak dibeli. Niatnya ingin makan di tempat, tetapi entah apa yang terjadi pada Safa dan meminta untuk dibawa pulang."Kamu yakin nggak mau makan di sini saja?" tanya Azril memastikan."Iya, Mas," kata Safa pelan, tidak mungkin mengatakan alasannya di tempat umum. Azril pun memandang bingung dan Safa memberi kode akan menjelaskan nanti. Seketika Safa berjalan lebih dulu, lalu diikuti oleh Azril yang mengejarnya."Sayang, tunggu!" Azril segera berlari.Saat berada didekatnya terlihat wajah Safa berubah pucat. Azril yang memerhatikan pun merasa khawatir. "Kamu sakit?" Ia tidak peka. Seharusnya tidak membawa Safa ke tempat ramai."Enggak, Mas. Aku hanya mual saja, nggak suka dengan tempatnya," ujar Safa jujur. Ia baru bisa mengatakan sembari memegangi perutnya yang tidak enak.Azril merasa bersalah dan meminta maaf. Melihat Safa yang lemas, ia pun segera mengajak Safa pulang. Rasanya tidak tega dengan kondisinya."Maafin Safa,
Gedoran itu semakin keras membuat Faqih menghela napas pasrah. Langkahnya mendekat, lalu membuka pintu."Ra-radit!" Faqih membulatkan matanya lebar. "Kenapa kaget begitu?" Radit mengernyit heran."Ah, tidak. Mau ngapain lu datang ke sini?" Faqih berbalik badan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia bersikap biasa saja agar tidak terlihat curiga olehnya.Radit menyeringai, tampaknya pria itu sedang marah padanya. Namun, tak masalah biarkan dia merenungi kesalahannya."Hmm, nih, gua bawain makanan buat lo. Kata mereka dari kemarin lo nggak makan," kata Radit perhatian. Ia bukan orang yang tega membiarkan temannya kelaparan. Mendengar hal itu membuat Radit iba dan terpaksa kembali ke pesantren untuk memberi makan padanya. "Terlambat. Gua sudah beli makanan," ujar Faqih jutek. Ia masih marah pada Radit karena meninggalkannya di tempat asing seperti ini."Dari mana? Lo kabur?" Radit agak terkejut karena peraturan pesantren tidak pernah mengizinkan santrinya pergi ke luar. "Kagak l
Azril segera membawa Safa masuk karena kakinya yang bersimbah darah. Hatinya murka saat melihat mobil hitam menabraknya."Astagfirullah, apa yang terjadi pada Safa, Nak?" Hamidah terkejut melihat putranya yang membopong Safa."Safa keserempet, Mih, Azril mau bawa Safa ke rumah sakit." Dengan tergesa, Azril pamit dan masuk ke dalam mobil."Amih ikut," kata Hamidah panik.Azril mengiyakan, lalu mengemudikan mobilnya dengan cepat. Ia khawatir dengan Safa yang tak sadarkan diri."Pelan-pelan, Nak," ujar Hamidah memberitahu. Ia memangku Safa yang tak sadarkan diri. "Ya Allah, Neng." Hamidah menangis sembari mengusap kepala Safa.Azril pun tak tega, sesekali menoleh ke belakang melihat kondisi istrinya. Entah siapa yang tega membuat Safa terluka, hatinya tak terima itu."Semoga kamu kuat, Sayang. Bertahanlah!" lirih Azril dalam hati. Sementara di keadaan berbeda, Radit terbangun tak melihat keberadaan temannya bahkan kunci mobilnya pun tidak ada. "Apa kalian ada yang melihat Faqih?" tanya
Sementara Marlan ikut khawatir mendengar putrinya kecelakaan. Pantas, sedari tadi perasaannya tidak enak dan kini semakin tak karuan."Tuan mau ke mana? Buru-buru sekali!" Bi Inah memerhatikan tuannya yang terburu-buru."Ah, saya mau ke tempat Safa, Bi, katanya Safa kecelakaan," ucapnya dengan wajah panik.Seketika Bi Inah terkejut. "Astagfirullah, terus bagaimana keadaannya sekarang, Tuan?""Saya belum tahu, Bi, maka dari itu sekarang saya mau ke sana. Bibi tolong jaga rumah, ya," pinta Marlan agar Bi Inah tetap di rumah selama dirinya tidak ada.Khawatir Faqih masih nekat datang ke rumah untuk menemui Safa meski sudah lama tak terlihat lagi, tetapi kecemasan itu masih ada dalam relung hatinya."Siap, Tuan. Tuan hati-hati, ya," ujar Bi Inah mengikuti sang tuan keluar rumah.Marlan pun pergi dengan membawa kendaraan sendiri, sengaja agar tidak merepotkan supirnya. Lagipula, ia belum tahu akan berapa lama di sana.Sedangkan Safa tampak murka saat Azril memberitahu ayahnya akan datang.
"Siniin kunci mobilnya, gua mau balik," kata Radit menoleh."Gua ikut!" Faqih menyambar cepat. Tubuhnya sudah bangkit dan menatap Radit dengan intens.Radit mengernyit dan seketika Faqih memohon pada temannya agar dikabulkan. Ia ingin menenangkan diri tanpa ada bayang kejadian tadi."Please, gua kangen rumah, kangen keluarga. Lo jahat banget setelah keluar dari rumah sakit, lo langsung bawa gua ke sini tanpa ngasih kesempatan pulang dulu." Faqih menjelaskan. Entah orang rumah tahu atau tidak mengenai keberadaannya karena sejak kepulangan dari rumah sakit kemarin, Radit langsung membawa kabur ke sini."Ayolah, Dit, nanti gua balik lagi ke sini ko," rengeknya sedikit maksa. Melihat wajah melas Faqih, Radit pun mengiyakan karena tak tega dan seketika ekspresinya berubah sumringah, tanpa sengaja memeluk tubuh Radit kesenangan."Ih, lepas. Gua masih waras, lo harus izin dulu sama pimpinan pesantren." Radit memberitahu. Ia tidak ingin dicurigai karena telah menculiknya."Oke, tetapi lo ya
Radit masih bertanya dalam otaknya bahkan wajahnya tampak gugup berhadapan dengan kedua pria yang asing baginya. Meski belum pernah berhadapan langsung, tetapi ia pernah melihatnya dalam sebuah gambar."Maaf, Nak, jika kedatangan kami mengganggu." Marlan membuka suara, memecahkan ketegangan yang ada. "Tujuan kami ke sini ingin bertanya, apa kamu pemilik mobil yang berada di depan?"Marlan tak ingin menunggu lama. Ia langsung to the point tanpa berbasa-basi agar masalah cepat selesai."I-iya, Pak, saya pemilik mobil tersebut. Ada apa, ya?" Radit bingung dan tidak tahu ada apa."Jadi kamu yang sudah menabrak istri saya?" Azril langsung menyambar tanpa bisa mengontrol emosinya.Sedangkan Marlan menenangkan menantunya untuk tidak terbawa suasana. Ia sudah mengingatkan agar tidak pakai emosi."Tunggu, tunggu, menabrak? Saya tidak pernah merasa menabrak seseorang, apalagi istri Anda." Radit membela diri. "Jangan bohong kamu," cecar Azril, tidak ada penjahat yang mengakui kesalahannya. "Sa
Faqih membulatkan matanya lebar saat melihat Ayah Safa juga suaminya. Air liurnya tertahan dan seketika bayangan kejadian beberapa hari lalu berputar dalam otaknya."Nggak mungkin mereka tahu," ujar Faqih dalam hati."Maaf, gua lagi sibuk." Faqih mengalihkan dan hendak menutup pintunya kembali.Namun, cekalan Azril begitu cepat sehingga tak membiarkan pria itu kabur. Entah mengapa perasaannya begitu kuat jika Faqih memang dalang dari semua."Tunggu dulu," kata Azril sembari menahan pintu.Terlihat jelas wajah takut serta cemas dari wajah Faqih dan semua tampak jelas, tetapi Azril ingin kejujuran yang jelas agar tidak terjadi fitnah."Ada hal yang ingin kita bicarakan, Faqih." Kini Radit yang berbicara.Faqih mengedar pandangan dan mengalah. Kemudian ia mengizinkan semua masuk dengan perasaan tak enak, tetapi berharap bukan ketakutannya yang dibahas."Bi, tolong ambilkan minum," teriak Faqih pada pembantu rumahnya.Setelah semua duduk, Radit mengawali percakapan agar tidak salah paham.
Marlan berbicara bijak pada Faqih. Ia tahu dia pria baik sehingga perkataannya dapat didengar pula dengan baik. Dari hati, sebagaimana seorang ayah menasihati putranya."Saya tahu kamu kecewa karena tidak bisa bersanding bersama Safa, tetapi tidak seharusnya kamu menaruh dendam dan melawan takdir." Marlan menasihati perlahan. Ia membuka hati kecilnya agar bisa lebih sadar."Justru jika sikapmu seperti itu akan merugikan orang lain."Faqih terdiam, mencerna kalimat demi kalimat yang Marlan katakan. Bibirnya masih tertutup dan hanya menjadi pendengar setia."Azril bisa menuntut kamu ke pengadilan karena nyawa Safa hampir hilang, terutama dengan kandungannya." Marlan sengaja memberitahu."Lalu bagaimana dengan kondisi Safa sekarang, Om?" tanya Faqih khawatir. Ia merasa bersalah karena telah salah sasaran.Marlan tersenyum. "Alhamdulillah, Safa dan kandungannya masih bisa diselamatkan." "Ma-maafkan saya, Om, saya khilaf dan tidak tahu jika akhirnya akan seperti itu." Faqih mengakui kesal
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me