Sementara Marlan ikut khawatir mendengar putrinya kecelakaan. Pantas, sedari tadi perasaannya tidak enak dan kini semakin tak karuan."Tuan mau ke mana? Buru-buru sekali!" Bi Inah memerhatikan tuannya yang terburu-buru."Ah, saya mau ke tempat Safa, Bi, katanya Safa kecelakaan," ucapnya dengan wajah panik.Seketika Bi Inah terkejut. "Astagfirullah, terus bagaimana keadaannya sekarang, Tuan?""Saya belum tahu, Bi, maka dari itu sekarang saya mau ke sana. Bibi tolong jaga rumah, ya," pinta Marlan agar Bi Inah tetap di rumah selama dirinya tidak ada.Khawatir Faqih masih nekat datang ke rumah untuk menemui Safa meski sudah lama tak terlihat lagi, tetapi kecemasan itu masih ada dalam relung hatinya."Siap, Tuan. Tuan hati-hati, ya," ujar Bi Inah mengikuti sang tuan keluar rumah.Marlan pun pergi dengan membawa kendaraan sendiri, sengaja agar tidak merepotkan supirnya. Lagipula, ia belum tahu akan berapa lama di sana.Sedangkan Safa tampak murka saat Azril memberitahu ayahnya akan datang.
"Siniin kunci mobilnya, gua mau balik," kata Radit menoleh."Gua ikut!" Faqih menyambar cepat. Tubuhnya sudah bangkit dan menatap Radit dengan intens.Radit mengernyit dan seketika Faqih memohon pada temannya agar dikabulkan. Ia ingin menenangkan diri tanpa ada bayang kejadian tadi."Please, gua kangen rumah, kangen keluarga. Lo jahat banget setelah keluar dari rumah sakit, lo langsung bawa gua ke sini tanpa ngasih kesempatan pulang dulu." Faqih menjelaskan. Entah orang rumah tahu atau tidak mengenai keberadaannya karena sejak kepulangan dari rumah sakit kemarin, Radit langsung membawa kabur ke sini."Ayolah, Dit, nanti gua balik lagi ke sini ko," rengeknya sedikit maksa. Melihat wajah melas Faqih, Radit pun mengiyakan karena tak tega dan seketika ekspresinya berubah sumringah, tanpa sengaja memeluk tubuh Radit kesenangan."Ih, lepas. Gua masih waras, lo harus izin dulu sama pimpinan pesantren." Radit memberitahu. Ia tidak ingin dicurigai karena telah menculiknya."Oke, tetapi lo ya
Radit masih bertanya dalam otaknya bahkan wajahnya tampak gugup berhadapan dengan kedua pria yang asing baginya. Meski belum pernah berhadapan langsung, tetapi ia pernah melihatnya dalam sebuah gambar."Maaf, Nak, jika kedatangan kami mengganggu." Marlan membuka suara, memecahkan ketegangan yang ada. "Tujuan kami ke sini ingin bertanya, apa kamu pemilik mobil yang berada di depan?"Marlan tak ingin menunggu lama. Ia langsung to the point tanpa berbasa-basi agar masalah cepat selesai."I-iya, Pak, saya pemilik mobil tersebut. Ada apa, ya?" Radit bingung dan tidak tahu ada apa."Jadi kamu yang sudah menabrak istri saya?" Azril langsung menyambar tanpa bisa mengontrol emosinya.Sedangkan Marlan menenangkan menantunya untuk tidak terbawa suasana. Ia sudah mengingatkan agar tidak pakai emosi."Tunggu, tunggu, menabrak? Saya tidak pernah merasa menabrak seseorang, apalagi istri Anda." Radit membela diri. "Jangan bohong kamu," cecar Azril, tidak ada penjahat yang mengakui kesalahannya. "Sa
Faqih membulatkan matanya lebar saat melihat Ayah Safa juga suaminya. Air liurnya tertahan dan seketika bayangan kejadian beberapa hari lalu berputar dalam otaknya."Nggak mungkin mereka tahu," ujar Faqih dalam hati."Maaf, gua lagi sibuk." Faqih mengalihkan dan hendak menutup pintunya kembali.Namun, cekalan Azril begitu cepat sehingga tak membiarkan pria itu kabur. Entah mengapa perasaannya begitu kuat jika Faqih memang dalang dari semua."Tunggu dulu," kata Azril sembari menahan pintu.Terlihat jelas wajah takut serta cemas dari wajah Faqih dan semua tampak jelas, tetapi Azril ingin kejujuran yang jelas agar tidak terjadi fitnah."Ada hal yang ingin kita bicarakan, Faqih." Kini Radit yang berbicara.Faqih mengedar pandangan dan mengalah. Kemudian ia mengizinkan semua masuk dengan perasaan tak enak, tetapi berharap bukan ketakutannya yang dibahas."Bi, tolong ambilkan minum," teriak Faqih pada pembantu rumahnya.Setelah semua duduk, Radit mengawali percakapan agar tidak salah paham.
Marlan berbicara bijak pada Faqih. Ia tahu dia pria baik sehingga perkataannya dapat didengar pula dengan baik. Dari hati, sebagaimana seorang ayah menasihati putranya."Saya tahu kamu kecewa karena tidak bisa bersanding bersama Safa, tetapi tidak seharusnya kamu menaruh dendam dan melawan takdir." Marlan menasihati perlahan. Ia membuka hati kecilnya agar bisa lebih sadar."Justru jika sikapmu seperti itu akan merugikan orang lain."Faqih terdiam, mencerna kalimat demi kalimat yang Marlan katakan. Bibirnya masih tertutup dan hanya menjadi pendengar setia."Azril bisa menuntut kamu ke pengadilan karena nyawa Safa hampir hilang, terutama dengan kandungannya." Marlan sengaja memberitahu."Lalu bagaimana dengan kondisi Safa sekarang, Om?" tanya Faqih khawatir. Ia merasa bersalah karena telah salah sasaran.Marlan tersenyum. "Alhamdulillah, Safa dan kandungannya masih bisa diselamatkan." "Ma-maafkan saya, Om, saya khilaf dan tidak tahu jika akhirnya akan seperti itu." Faqih mengakui kesal
Azril menghela napas, lalu menggenggam lengan Safa erat. "Aku pergi kerja, Sayang, kebetulan bertugas di luar dan aku janjian dengan Ayah untuk mengusut tuntas masalah kecelakaan kamu kemarin."Safa tertegun, tangannya pun dilepaskan dengan kasar. Ia tidak percaya jika suaminya nekat, padahal Safa sendiri sudah ikhlas dengan kejadian tersebut."Maaf, aku tidak bilang." Azril membujuk. Ia tahu istrinya marah, tetapi dirinya hanya penasaran pada sang pelaku."Ayah dan aku merasa ganjal dengan kecelakaan itu sehingga Ayah melacaknya dan dalam waktu dua hari Ayah berhasil menemukannya."Azril memberitahu agar Safa mengerti. Langkahnya mendekat dan duduk di samping Safa. Ia salah tidak cerita karena tidak ingin Safa kepikiran.Wajah Safa sendu, terbesit rasa khawatir. Bisa saja orang itu jahat dan justru akan mencelakai suami dan ayahnya."Safa nggak mau Mas dan Ayah kenapa-kenapa," ujar Safa lemah."Kamu nggak usah khawatir, Sayang, buktinya sekarang aku nggak kenapa-kenapa. Aku pulang de
"Mau ngapain lagi lo ketemu Safa?" Radit menatap sinis Faqih.Ia tidak ingin silaturahmi yang baru saja terjadi langsung rusak karena keinginan Faqih. Dia sudah berjanji untuk melupakan Safa."Gua hanya mau minta maaf sama Safa," lirih Faqih sendu.Banyak salah yang ia perbuat dan hampir membuatnya celaka. Meski akhirnya Safa tidak memaafkan, setidaknya ia sudah meminta maaf secara langsung."Tapi, Qih-""Please, Dit, gua mohon sekali ini saja. Setelah itu gua janji nggak akan hubungi dia lagi," kata Faqih penuh mohon.Radit bingung, ia takut suaminya marah. Namun, melihat keseriusan Faqih membuat dirinya mengalah dan mengiyakan. "Gua izin dulu sama Azril. Kalo dia nggak ngasih izin, lo nggak boleh maksa."Faqih mengangguk. Ia paham dan mengerti dengan kondisinya, Safa sudah berkeluarga dan hidup bahagia sekarang.Berbeda keadaan dengan kedua sejoli yang sudah bersiap. Kali ini, Safa akan ikut suaminya bertugas mengisi kajian."Nggak nyangka ternyata aku bisa punya suami seorang usta
"Aku nggak mau," kata Safa tegas.Azril menghela napas. Ia tahu kekecewaan Safa, tetapi tidak bisa terus menghindar seperti ini apalagi menyimpan dendam."Sayang, nggak boleh dendam begitu," kata Azril memberitahu. "Niat Bang Faqih baik ko.""Tapi, Mas, bagaimana jika dia mau mencelakai aku lagi?" Safa belum sepenuhnya percaya. Ia masih khawatir dan takut hal kemarin terjadi lagi."Kamu nggak boleh suudzan dulu, Sayang. Aku dapat kabar dari Radit jika dia ingin meminta maaf padamu." Azril pun menceritakan tujuannya. Ia sempat takut juga pada Faqih, tetapi tidak ada salahnya memberi kesempatan terakhir.Bahkan Radit berani menjamin jika hal buruk terjadi. Dirinya sudah mengizinkan, hanya Safa yang masih sulit menerima."Mau, ya, bertemu sama Bang Faqih?" pinta Azril tersenyum.Safa tak habis pikir dengan suaminya. Padahal, pria itu sudah mencelakai dirinya bahkan tanpa sadar hampir mencelakai Azril juga, tetapi Azril masih bisa berpikir positif tanpa curiga sedikit pun.Melihat tatapan