"Mau ngapain lagi lo ketemu Safa?" Radit menatap sinis Faqih.Ia tidak ingin silaturahmi yang baru saja terjadi langsung rusak karena keinginan Faqih. Dia sudah berjanji untuk melupakan Safa."Gua hanya mau minta maaf sama Safa," lirih Faqih sendu.Banyak salah yang ia perbuat dan hampir membuatnya celaka. Meski akhirnya Safa tidak memaafkan, setidaknya ia sudah meminta maaf secara langsung."Tapi, Qih-""Please, Dit, gua mohon sekali ini saja. Setelah itu gua janji nggak akan hubungi dia lagi," kata Faqih penuh mohon.Radit bingung, ia takut suaminya marah. Namun, melihat keseriusan Faqih membuat dirinya mengalah dan mengiyakan. "Gua izin dulu sama Azril. Kalo dia nggak ngasih izin, lo nggak boleh maksa."Faqih mengangguk. Ia paham dan mengerti dengan kondisinya, Safa sudah berkeluarga dan hidup bahagia sekarang.Berbeda keadaan dengan kedua sejoli yang sudah bersiap. Kali ini, Safa akan ikut suaminya bertugas mengisi kajian."Nggak nyangka ternyata aku bisa punya suami seorang usta
"Aku nggak mau," kata Safa tegas.Azril menghela napas. Ia tahu kekecewaan Safa, tetapi tidak bisa terus menghindar seperti ini apalagi menyimpan dendam."Sayang, nggak boleh dendam begitu," kata Azril memberitahu. "Niat Bang Faqih baik ko.""Tapi, Mas, bagaimana jika dia mau mencelakai aku lagi?" Safa belum sepenuhnya percaya. Ia masih khawatir dan takut hal kemarin terjadi lagi."Kamu nggak boleh suudzan dulu, Sayang. Aku dapat kabar dari Radit jika dia ingin meminta maaf padamu." Azril pun menceritakan tujuannya. Ia sempat takut juga pada Faqih, tetapi tidak ada salahnya memberi kesempatan terakhir.Bahkan Radit berani menjamin jika hal buruk terjadi. Dirinya sudah mengizinkan, hanya Safa yang masih sulit menerima."Mau, ya, bertemu sama Bang Faqih?" pinta Azril tersenyum.Safa tak habis pikir dengan suaminya. Padahal, pria itu sudah mencelakai dirinya bahkan tanpa sadar hampir mencelakai Azril juga, tetapi Azril masih bisa berpikir positif tanpa curiga sedikit pun.Melihat tatapan
Safa terdiam dengan perasaan bersalah. Ia sempat sudzan bahkan menimbun rasa benci dalam hatinya."Semua orang berhak berubah, Sayang. Sekalipun orang itu pernah jahat sama kita." Azril mengingatkan."Iya, Mas, maafin Safa, ya," ujar Safa sendu.Azril mengangguk. "Iya, Sayang, nggak apa. Sudah, ya, jangan sedih lagi." Seketika tangan Azril menghapus air mata di pelupuk mata Safa, lalu tersenyum. Mengingat cuaca masih pagi sehingga ia mengajak Safa untuk pergi."Kita mau ke mana?" "Hmm, refreshing dong, biar kamu nggak sedih," kata Azril senang.Rasanya sudah lama tidak pergi berdua, apalagi kemarin Safa sempat dirawat dan membuatnya tak bisa pulang. Kebetulan Azril pun sedang libur sehingga bisa menemaninya seharian."Tapi kita belum bilang Amih, Mas," kata Safa khawatir."Aku sudah bilang ko, tenang saja." Senyum Azril merekah sempurna.Safa pun mengangguk mengalah, lalu mengusap perutnya yang membuncit. Beruntung sekali rasanya memiliki suami yang peka juga perhatian sampai Safa t
Azril mengerjap mendengar teriakan Safa yang keras. Ia terbangun memerhatikan istrinya yang histeris. Seketika Safa menoleh, menyusuri wajah sang suami yang masih berada di samping."Mas Azril." Wanita itu langsung memeluknya erat."Kenapa, Sayang?" Azril tak mengerti dan membalas pelukannya tak kalah erat. Sepertinya dia bermimpi buruk. Ia pun berusaha menenangkan.Kemudian mengambil air minum di atas nakas dan diberikannya kepada Safa. "Minum dulu, biar kamu tenang."Safa menurut. Ia meminumnya dan setelah itu masih mengatur napas yang tak beraturan. Mimpi itu terasa nyata dan lagi-lagi memandang Azril dengan rasa khawatir."Jangan tinggalin Safa, ya, Mas!" kata Safa lirih."Nggak ada yang mau ninggalin kamu, Sayang. Aku akan selalu ada buat kamu," jawab Azril dan kembali memeluk.Safa belum tenang. Ia masih merasa takut dan khawatir akan mimpi tadi. Namun, Azril yang paham itu mengajak istrinya untuk bermunajat agar hatinya jauh lebih tenang.Kemudian membantu Safa turun perlahan.
"Kamu kenapa?" tanya Azril saat berada di parkiran. Meski wajah Safa tertutup, tetapi terlihat jelas jika wajahnya murung dan menyimpan rasa kesal."Kita bicarakan di rumah." Safa tahu diri. Perkara rumah tangga dan pertengkaran tidak harus diungkapkan di depan publik. Azril pun mengangguk, lalu pulang tanpa bertemu dengan orang tuanya. Namun, ia mengiriminya pesan dan memberitahu jika sudah pulang lebih dulu.Sepanjang jalan, Safa hanya terdiam. Pikirannya lelah dan Azril hanya menatap bingung ke arah Safa dengan banyak pertanyaan di kepala.Sesampainya di rumah, Safa berjalan menuju dapur dan menuangkan air minum kemudian diteguknya perlahan. Semua ia lakukan agar emosinya mereda. "Aku minta maaf." Seketika Azril merengkuh Safa dari belakang.Sebagai suami memang harus peka dalam keadaan berbagai hal, terutama mengerti jika sang istri sedang marah.Ia sadar, mungkin Safa cemburu padanya saat berdekatan pada Lisa tadi. Namun, Azril pun tak bersikap berlebihan karena tak ada hubunga
Rutinitas terus berjalan, meski usia kehamilan semakin besar, tetapi Safa tetap semangat. Apalagi katanya harus banyak bergerak untuk memudahkan proses persalinan.Kali ini, Safa akan mengepel dengan kain lap yang dilakukan berjongkok. Seperti yang ia ketahui hal tersebut bisa melancarkan persalinan."Kamu ngapain, Neng?" Hamidah terkejut melihat menantunya yang membawa ember."Safa mau ngepel, Mih." "Ya ampun biar Amih saja." Hamidah tak ingin Safa terlalu lelah. Safa pun menolak keras dan tetap mau melakukannya. Lagipula hanya bagian kamar saja sekalian olahraga. Belum selesai, Safa sudah merasa tidak nyaman. Ia menyudahinya dan istirahat sejenak, mengusap perutnya disertai ringisan kecil. Ternyata ringisan itu semakin menjadi membuat dirinya kesakitan."Amih," teriak Safa. Ia meminta tolong karena rasa yang tak karuan.Dibarengi istigfar dan doa, Safa mencoba bangkit dan mencari sang ibu mertua. Kebetulan Azril sedang bekerja sehingga hanya ada dirinya beserta ibu mertua."Ya Al
Hari ini Safa sudah diperbolehkan pulang setelah menginap satu hari. Rasanya senang akan kembali ke rumah, terlebih ia bisa istirahat tanpa kebisingan di sekitar.Sesampainya di rumah, Safa tersenyum senang dan disambut meriah oleh sanak saudara juga para tetangga. Rasa haru kembali menyeruak tak bisa berkata."A-ayah." Safa seperti mendapat hadiah melihat ayahnya di hadapan."Alhamdulillah, putri Ayah sudah menjadi seorang Ibu sekarang. Selamat, ya, Nak," ujar Marlan senang.Ia sengaja tidak memberitahu kedatangannya pada Safa karena ingin memberi kejutan. Kini putri kecilnya sudah bertumbuh besar."Di mana cucu Ayah?" tanya Marlan meledek."Ada sama Amih, Yah," kata Safa. Tak lama, Hamidah mendekat dan memperlihatkan bayi mungil itu di hadapan Marlan. Seketika Marlan meminta izin untuk menggendongnya. Wajah mungil nan cantik serta pipi tembam mengingatkannya saat Safa kecil dulu.Sama persis ketika Safa baru lahir. Bayangannya terlintas dengan mendiang sang istri. Jika beliau berad
Pria yang baru saja berubah status pun terkekeh dan menutup pintunya kembali rapat. Ia menghampiri menyambut kehadiran sang pengantin yang terhitung beberapa hari."Selamat menjadi ayah, Bro," ujar Ilham bersalaman."Terima kasih, semoga Abang segera menyusul." Azril dengan candaannya seperti biasa. Jika sudah bertemu dengannya selalu ada celetukan atau kalimat yang tak asing."Safa masih tidur, Ril?" Balqis langsung to the point.Azril mengangguk. Ia tak tega membangunkan sehingga membiarkan Safa terlelap dan memilih keluar untuk menemui sepupunya."Nanti kita bisa ke sini lagi, Dek. Lagipula Safa juga tidak akan pergi jauh," ujar Ilham memberitahu. Jika sudah menyangkut Safa, istrinya memang sangat antusias bahkan saat mendengar kelahirannya dengan segera meminta untuk menemuinya.Namun sayangnya, waktu belum tepat sehingga baru sekarang berkunjung ke rumahnya yang ternyata Safa tidak bisa ditemui.Malam harinya Safa kembali terjaga. Menjadi ibu baru membuat waktu malamnya tersita,
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me