Azril mengerjap mendengar teriakan Safa yang keras. Ia terbangun memerhatikan istrinya yang histeris. Seketika Safa menoleh, menyusuri wajah sang suami yang masih berada di samping."Mas Azril." Wanita itu langsung memeluknya erat."Kenapa, Sayang?" Azril tak mengerti dan membalas pelukannya tak kalah erat. Sepertinya dia bermimpi buruk. Ia pun berusaha menenangkan.Kemudian mengambil air minum di atas nakas dan diberikannya kepada Safa. "Minum dulu, biar kamu tenang."Safa menurut. Ia meminumnya dan setelah itu masih mengatur napas yang tak beraturan. Mimpi itu terasa nyata dan lagi-lagi memandang Azril dengan rasa khawatir."Jangan tinggalin Safa, ya, Mas!" kata Safa lirih."Nggak ada yang mau ninggalin kamu, Sayang. Aku akan selalu ada buat kamu," jawab Azril dan kembali memeluk.Safa belum tenang. Ia masih merasa takut dan khawatir akan mimpi tadi. Namun, Azril yang paham itu mengajak istrinya untuk bermunajat agar hatinya jauh lebih tenang.Kemudian membantu Safa turun perlahan.
"Kamu kenapa?" tanya Azril saat berada di parkiran. Meski wajah Safa tertutup, tetapi terlihat jelas jika wajahnya murung dan menyimpan rasa kesal."Kita bicarakan di rumah." Safa tahu diri. Perkara rumah tangga dan pertengkaran tidak harus diungkapkan di depan publik. Azril pun mengangguk, lalu pulang tanpa bertemu dengan orang tuanya. Namun, ia mengiriminya pesan dan memberitahu jika sudah pulang lebih dulu.Sepanjang jalan, Safa hanya terdiam. Pikirannya lelah dan Azril hanya menatap bingung ke arah Safa dengan banyak pertanyaan di kepala.Sesampainya di rumah, Safa berjalan menuju dapur dan menuangkan air minum kemudian diteguknya perlahan. Semua ia lakukan agar emosinya mereda. "Aku minta maaf." Seketika Azril merengkuh Safa dari belakang.Sebagai suami memang harus peka dalam keadaan berbagai hal, terutama mengerti jika sang istri sedang marah.Ia sadar, mungkin Safa cemburu padanya saat berdekatan pada Lisa tadi. Namun, Azril pun tak bersikap berlebihan karena tak ada hubunga
Rutinitas terus berjalan, meski usia kehamilan semakin besar, tetapi Safa tetap semangat. Apalagi katanya harus banyak bergerak untuk memudahkan proses persalinan.Kali ini, Safa akan mengepel dengan kain lap yang dilakukan berjongkok. Seperti yang ia ketahui hal tersebut bisa melancarkan persalinan."Kamu ngapain, Neng?" Hamidah terkejut melihat menantunya yang membawa ember."Safa mau ngepel, Mih." "Ya ampun biar Amih saja." Hamidah tak ingin Safa terlalu lelah. Safa pun menolak keras dan tetap mau melakukannya. Lagipula hanya bagian kamar saja sekalian olahraga. Belum selesai, Safa sudah merasa tidak nyaman. Ia menyudahinya dan istirahat sejenak, mengusap perutnya disertai ringisan kecil. Ternyata ringisan itu semakin menjadi membuat dirinya kesakitan."Amih," teriak Safa. Ia meminta tolong karena rasa yang tak karuan.Dibarengi istigfar dan doa, Safa mencoba bangkit dan mencari sang ibu mertua. Kebetulan Azril sedang bekerja sehingga hanya ada dirinya beserta ibu mertua."Ya Al
Hari ini Safa sudah diperbolehkan pulang setelah menginap satu hari. Rasanya senang akan kembali ke rumah, terlebih ia bisa istirahat tanpa kebisingan di sekitar.Sesampainya di rumah, Safa tersenyum senang dan disambut meriah oleh sanak saudara juga para tetangga. Rasa haru kembali menyeruak tak bisa berkata."A-ayah." Safa seperti mendapat hadiah melihat ayahnya di hadapan."Alhamdulillah, putri Ayah sudah menjadi seorang Ibu sekarang. Selamat, ya, Nak," ujar Marlan senang.Ia sengaja tidak memberitahu kedatangannya pada Safa karena ingin memberi kejutan. Kini putri kecilnya sudah bertumbuh besar."Di mana cucu Ayah?" tanya Marlan meledek."Ada sama Amih, Yah," kata Safa. Tak lama, Hamidah mendekat dan memperlihatkan bayi mungil itu di hadapan Marlan. Seketika Marlan meminta izin untuk menggendongnya. Wajah mungil nan cantik serta pipi tembam mengingatkannya saat Safa kecil dulu.Sama persis ketika Safa baru lahir. Bayangannya terlintas dengan mendiang sang istri. Jika beliau berad
Pria yang baru saja berubah status pun terkekeh dan menutup pintunya kembali rapat. Ia menghampiri menyambut kehadiran sang pengantin yang terhitung beberapa hari."Selamat menjadi ayah, Bro," ujar Ilham bersalaman."Terima kasih, semoga Abang segera menyusul." Azril dengan candaannya seperti biasa. Jika sudah bertemu dengannya selalu ada celetukan atau kalimat yang tak asing."Safa masih tidur, Ril?" Balqis langsung to the point.Azril mengangguk. Ia tak tega membangunkan sehingga membiarkan Safa terlelap dan memilih keluar untuk menemui sepupunya."Nanti kita bisa ke sini lagi, Dek. Lagipula Safa juga tidak akan pergi jauh," ujar Ilham memberitahu. Jika sudah menyangkut Safa, istrinya memang sangat antusias bahkan saat mendengar kelahirannya dengan segera meminta untuk menemuinya.Namun sayangnya, waktu belum tepat sehingga baru sekarang berkunjung ke rumahnya yang ternyata Safa tidak bisa ditemui.Malam harinya Safa kembali terjaga. Menjadi ibu baru membuat waktu malamnya tersita,
"Nggak ada, Bi. Safa baik-baik saja," kata Safa menahan sendu.Selama ini Azril memang tak pernah mengabaikan dirinya. Ia selalu memberikan perhatiannya setiap pulang dan sebelum berangkat kerja."Ya sudah sarapan dulu, sudah Bibi siapkan. Mau dibawa ke kamar?" tanya Bi Inah pada Safa."Nggak usah, Bi. Zahra juga sudah tidur, nanti Safa yang ke ruang makan."Bi Inah mengangguk dan seperti biasa mengambil pakaian kotor Zahra untuk dicuci. Sejak tinggal di sini, Bi Inah membantu Safa mencuci pakaian Zahra dan memasak untuk keluarga.Wanita itu tidak pernah mengeluh dan selalu menikmati pekerjaannya. Bahkan tak ada lelahnya hingga membuat ibu mertua Safa salut padanya."Suamimu sudah berangkat, Neng?" Hamidah baru keluar kamar dan melihat menantunya seorang diri di ruang makan."Sudah, Mih. Ayo sarapan bareng, Mih," ajak Safa, barangkali ibu mertuanya belum sarapan."Silakan, Nak. Amih belum lapar. Zahra tidur?"Safa mengangguk dan kembali melanjutkan sarapannya hingga selesai. Sejak keh
Tidak ada ekspresi dari wajah Safa. Entah sedih atau bahagia, tetapi rasanya berbeda saat Safa yang menginginkan untuk pindah."Sayang tidak senang, ya?" tanya Azril sendu."Senang, Mas, berarti kita tidak perlu merepotkan Amih lagi, tetapi pasti Amih kesepian nantinya kalo kita pergi." Safa hanya teringat pada Amih yang pasti merasa kehilangan Zahra nantinya.Sudut bibir Azril melengkung sempurna. "Amih bisa main kapan saja ke rumah kita, Sayang. Lagipula, biar kita lebih mandiri."Safa terdiam, ada benarnya juga yang dikatakan Azril. Selain itu, ia juga bisa mengurus suaminya tanpa bantuan. "Mas yakin?""Kenapa tidak, Sayang. Kita lakukan bersama-sama dan kamu tidak sendirian." Azril meyakinkan. Sejak memutuskan menikah tidak pernah membiarkan Safa melakukan sendiri.Safa pun mengangguk. Jika sudah keputusan suaminya, tak bisa lagi mengelak. Kemudian, Azril menunjukkan gambar dan membuat Safa tercengang. Bagaimana tidak, pria itu memberitahu tentang rumah yang berbeda dari awal.Pa
Safa merasa bersalah pada suaminya. Sejak penolakan tadi wajahnya berubah dan kini Safa berniat untuk mengembalikan moodnya."Mas, ini minumnya." Safa sengaja membuatkan minum untuk menenangkan pikiran Azril.Azril tak menjawab dan semakin membuat Safa penuh dosa. Langkahnya mendekat, merengkuh suaminya dari belakang."Maafin Safa, Mas. Pagi tadi Safa baru kedatangan tamu," ujar Safa memberitahu.Ia tahu suaminya yang kecewa, tetapi Safa pun tak bisa menolak. Mungkin sekarang hatinya dipenuhi dengan amarah juga emosi.Azril sendiri menghela napas. Seharusnya ia tidak terlalu terburu-buru mendatangi Safa, apalagi Safa baru saja melahirkan. Hatinya pun runtuh, lalu berbalik pada Safa."Maaf, Sayang, aku nggak tahu. Aku minta maaf, ya," kata Azril sedikit menyesal.Safa tidak marah. Ia paham keinginan suaminya dan langsung merengkuh tanpa berkomentar. Merasakan pelukan hangat dan nyaman untuknya."Puasa lagi dong aku," ujar Azril mengungkapkan isi hatinya."Sabar, ya, Mas," kekeh Safa. K