Safa merasa bersalah pada suaminya. Sejak penolakan tadi wajahnya berubah dan kini Safa berniat untuk mengembalikan moodnya."Mas, ini minumnya." Safa sengaja membuatkan minum untuk menenangkan pikiran Azril.Azril tak menjawab dan semakin membuat Safa penuh dosa. Langkahnya mendekat, merengkuh suaminya dari belakang."Maafin Safa, Mas. Pagi tadi Safa baru kedatangan tamu," ujar Safa memberitahu.Ia tahu suaminya yang kecewa, tetapi Safa pun tak bisa menolak. Mungkin sekarang hatinya dipenuhi dengan amarah juga emosi.Azril sendiri menghela napas. Seharusnya ia tidak terlalu terburu-buru mendatangi Safa, apalagi Safa baru saja melahirkan. Hatinya pun runtuh, lalu berbalik pada Safa."Maaf, Sayang, aku nggak tahu. Aku minta maaf, ya," kata Azril sedikit menyesal.Safa tidak marah. Ia paham keinginan suaminya dan langsung merengkuh tanpa berkomentar. Merasakan pelukan hangat dan nyaman untuknya."Puasa lagi dong aku," ujar Azril mengungkapkan isi hatinya."Sabar, ya, Mas," kekeh Safa. K
Safa mengerjap, merentangkan kedua tangannya ke atas. Matanya sedikit terbuka, melirik suami yang masih tertidur pulas di samping. Bibirnya melengkung melihat pemandangan indah."Mas, bangun," kata Safa perlahan sembari mengusap lengannya.Azril hanya bergumam tanpa membuka matanya. Safa menggeleng melihat suaminya yang pindah posisi bahkan tangannya sangat tidak ramah merengkuh pinggangnya membuat Safa tersentak.Safa pun menggeleng. Kemudian, kembali membangunkan perlahan dan hasilnya nihil. Ide jahil pun terlintas membuat Safa harus menahan malu, tetapi sepertinya hanya cara itu bisa membangunkan suaminya dengan cepat.Cup!Safa mengecup wajah Azril dan terus mengecupnya hingga pria itu tersadar. Di saat mata Azril terbuka lebar, Safa segera menghentikan aktivitasnya dan menjauhkan wajahnya."Kenapa berhenti?" tanya Azril.Bukannya menjawab, justru Safa menutup wajahnya yang sudah merona. Malu sekali karena harus berhadapan dengan singa yang siap menerkam."Sayang." Azril pun menar
Suara tangisan Zahra yang menggema membuat Safa segera berlari. Ia menghampiri dan menenangkan Zahra dalam pelukannya."Iya, Sayang, Bunda ada di sini," kata Safa mengajak berbicara. "Maaf, ya, Nak."Safa duduk di tepi ranjang, lalu membuka kancing baju dan mulai menyusui Zahra dengan tenang. Bahkan terlihat gadis itu sangat lahap seperti kehausan. Sore pun berlalu dan Safa yang sudah rapi segera menyambut suaminya. Seperti biasa, Safa selalu merias diri sebelum mendekat. Katanya agar suami senang dan makin cinta.Ia menjadi geli sendiri jika mendengar kalimat tersebut, tetapi tak ada salahnya membahagiakan suami sendiri bahkan terbilang wajib."Assalamualaikum, Sayang," sapa Azril tersenyum. "Ma syaa Allah wangi sekali bidadariku."Pria itu mengendus aroma yang menyeruak di seluruh tubuh Safa. Bukan sekali mendapat sambutan manis dari kekasih hati. Hampir setiap hari dan selalu membuat Azril ingin pulang cepat."Waalaikumussalam, Mas." Safa mengulurkan tangan, lalu bersalaman pada s
Azril merebahkan tubuhnya perlahan tanpa mengeluarkan suara. Ia tidak ingin membuat putrinya terbangun. Pikirannya sedikit terganggu dengan nomor yang tadi menghubungi. Ia merasa risih dan tak tenang."Ya Allah lindungilah pernikahan kami, apa pun yang terjadi ke depannya. Semoga kami bisa melewatinya bersama," ujar Azril meminta. Tiada yang bisa menembus langit selain doa. Berharap dirinya bisa menjaga Safa tanpa melukai perasaannya kembali. Sudah cukup kehilangan Safa dan jangan sampai terjadi untuk kedua kalinya.Terdengar rengekan ringan Zahra, Azril pun bangkit dan menggendongnya. Matanya memandang dan bayi mungil itu tersenyum lebar."Ma syaa Allah cantik sekali, Nak," kata Azril terpesona.Ia pun mengajaknya bermain tanpa memberitahu Safa jika Zahra terbangun. Biarkan istrinya istirahat atau melakukan sesuatu yang belum selesai. Tak masalah jika dirinya yang mengasuh, rasanya juga sangat menyenangkan sekali.Terlihat Zahra tertawa diajak bicara. Padahal dia belum mengerti, tet
"Sayang!" Azril membuyarkan lamunan Safa yang terdiam.Sejak kedatangannya dari masjid hingga berakhir di meja makan, Safa tak seperti biasanya diam. Seakan ada sesuatu yang dipikirkan bahkan makanannya saja masih utuh."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Azril memegang erat lengan Safa.Safa ternganga, lalu menggeleng. Ia belum mendapat bukti dan tidak ingin menjadi bahan perdebatan di waktu yang tidak tepat.Menghela napas panjang, kembali rileks melupakan pikiran buruknya. Ia sepenuhnya percaya pada Azril dan tentu sangat mengenal dirinya."Nggak ada, Mas. Mas mau tambah?" Terlihat isi piring Azril sudah habis."Sudah cukup, Sayang. Kamu segera habiskan makanannya. Jika memang ada masalah atau aku ada salah, katakan! Jangan diam dan melamun seperti ini." Azril tidak suka melihat Safa yang diam.Ia lebih suka Safa banyak bicara dan berkomentar. Seolah ia ikut merasa kehilangan dan suasana pun seperti tak hidup lagi.Bibir Safa melengkung. "Aku habiskan makan dulu, Mas."Azril men
"Mas, aku izin untuk aktif pergi kajian lagi boleh, nggak?" Izin Safa pada sang suami. Ia rindu mengaji dan berkumpul bersama orang-orang salih.Dirinya butuh charge iman agar tidak naik turun bahkan selalu butuh agar terus semangat menjalani hari."Lalu Zahra bagaimana?" Azril menoleh menatap lekat wajah Safa."Iya aku ajak, Mas. Aku mau biasakan Zahra untuk duduk di majelis. In syaa Allah anaknya bisa diajak bekerjasama, ko." Yakin Safa. Selama ini terbilang anteng dan semoga saat duduk bersama orang ramai pun tetap tenang. Azril pun segera berbalik, mengambil kedua lengan Safa dan menggenggamnya. Tidak ada yang salah dengan keinginannya justru ia bersyukur dengan pemikiran Safa."Oke, aku izinkan, tetapi untuk tidak yang jauh dulu, ya. Setidaknya yang bisa kamu jangkau, khawatir Zahra kelelahan nantinya." "Siap, suamiku," jawab Safa semangat. Senang rasanya mendapat izin dari suami, meski statusnya sudah menjadi ibu rumah tangga, tetapi Safa tak patah semangat. Mencari dan menun
Air mata Safa berjatuhan begitu deras. Sakit sekali mendapat perlakuan suaminya yang tak biasa. Ia mengaku salah karena tak meminta izin, tetapi Safa sudah berusaha menghubungi Azril dan tidak mendapat jawaban.Wanita itu sesegukan sembari menenangkan Zahra yang menangis. Dengan air mata yang membasahi, Safa memberi Zahra ASI perlahan. "Maafin Bunda, Nak," lirih Safa memandang wajah Zahra yang mulai melahap ASI-nya.Wajah lemas dan pucat membuat hati Safa teriris. Tidak tega melihat Zahra yang harus merasakan sakit ditambah sikap Azril yang tidak mengerti keadaannya."Iya, Sayang, Zahra anak salehah, anak baik. Pelan-pelan, Sayang." Safa mengajaknya berbicara meski hatinya merasa sedih.Ia menenangkan Zahra agar nyaman dalam meminum ASI, tetapi nyatanya Zahra kembali menangis dan melepas ASI-nya. Safa bingung dan mungkin rasa air susunya hambar karena sejak siang tadi Safa belum sempat kemasukan apa pun.Jangankan sesuap nasi, air minum pun tidak sempat ia minum karena khawatir pada
"Sami'na wa'ato'na, Bah, saya manut saja sama Abah," tegas Faqih. Bukan karena pasrah, tetapi yakin betul jika guru sudah meminta maka itu jawaban yang terbaik.Tanpa berpikir lagi, Faqih menyetujui meski tidak tahu siapa wanita yang akan dijodohkan. Namun, ia yakin jika pilihan sang guru tak mungkin salah."Alhamdulillah, kalo gitu besok kamu ikut Abah untuk melamar wanita itu."Faqih meneguk ludahnya kasar. Ia benar terkejut dan ia pikir ada jeda untuk mempersiapkan diri, tetapi ternyata Abah mengajaknya esok hari."Ba-baik, Bah." Faqih tersenyum samar, menutupi kegugupan yang ia rasakan. Sungguh, semua kabar yang diterima terlalu mengejutkan untuknya.Usai berbincang, Faqih pamit dan menyadarkan diri. Berharap semua tidaklah mimpi hingga mencubit lengannya sendiri dengan teriakan yang histeris."Aw," ringis Faqih."Kang, ngapain cubitin tangan sendiri?"Faqih tersentak saat seseorang melihatnya. Seketika kikuk dan salah tingkah, berarti dirinya sedang tidak bermimpi."Ah, tidak ada