Tidak ada ekspresi dari wajah Safa. Entah sedih atau bahagia, tetapi rasanya berbeda saat Safa yang menginginkan untuk pindah."Sayang tidak senang, ya?" tanya Azril sendu."Senang, Mas, berarti kita tidak perlu merepotkan Amih lagi, tetapi pasti Amih kesepian nantinya kalo kita pergi." Safa hanya teringat pada Amih yang pasti merasa kehilangan Zahra nantinya.Sudut bibir Azril melengkung sempurna. "Amih bisa main kapan saja ke rumah kita, Sayang. Lagipula, biar kita lebih mandiri."Safa terdiam, ada benarnya juga yang dikatakan Azril. Selain itu, ia juga bisa mengurus suaminya tanpa bantuan. "Mas yakin?""Kenapa tidak, Sayang. Kita lakukan bersama-sama dan kamu tidak sendirian." Azril meyakinkan. Sejak memutuskan menikah tidak pernah membiarkan Safa melakukan sendiri.Safa pun mengangguk. Jika sudah keputusan suaminya, tak bisa lagi mengelak. Kemudian, Azril menunjukkan gambar dan membuat Safa tercengang. Bagaimana tidak, pria itu memberitahu tentang rumah yang berbeda dari awal.Pa
Safa merasa bersalah pada suaminya. Sejak penolakan tadi wajahnya berubah dan kini Safa berniat untuk mengembalikan moodnya."Mas, ini minumnya." Safa sengaja membuatkan minum untuk menenangkan pikiran Azril.Azril tak menjawab dan semakin membuat Safa penuh dosa. Langkahnya mendekat, merengkuh suaminya dari belakang."Maafin Safa, Mas. Pagi tadi Safa baru kedatangan tamu," ujar Safa memberitahu.Ia tahu suaminya yang kecewa, tetapi Safa pun tak bisa menolak. Mungkin sekarang hatinya dipenuhi dengan amarah juga emosi.Azril sendiri menghela napas. Seharusnya ia tidak terlalu terburu-buru mendatangi Safa, apalagi Safa baru saja melahirkan. Hatinya pun runtuh, lalu berbalik pada Safa."Maaf, Sayang, aku nggak tahu. Aku minta maaf, ya," kata Azril sedikit menyesal.Safa tidak marah. Ia paham keinginan suaminya dan langsung merengkuh tanpa berkomentar. Merasakan pelukan hangat dan nyaman untuknya."Puasa lagi dong aku," ujar Azril mengungkapkan isi hatinya."Sabar, ya, Mas," kekeh Safa. K
Safa mengerjap, merentangkan kedua tangannya ke atas. Matanya sedikit terbuka, melirik suami yang masih tertidur pulas di samping. Bibirnya melengkung melihat pemandangan indah."Mas, bangun," kata Safa perlahan sembari mengusap lengannya.Azril hanya bergumam tanpa membuka matanya. Safa menggeleng melihat suaminya yang pindah posisi bahkan tangannya sangat tidak ramah merengkuh pinggangnya membuat Safa tersentak.Safa pun menggeleng. Kemudian, kembali membangunkan perlahan dan hasilnya nihil. Ide jahil pun terlintas membuat Safa harus menahan malu, tetapi sepertinya hanya cara itu bisa membangunkan suaminya dengan cepat.Cup!Safa mengecup wajah Azril dan terus mengecupnya hingga pria itu tersadar. Di saat mata Azril terbuka lebar, Safa segera menghentikan aktivitasnya dan menjauhkan wajahnya."Kenapa berhenti?" tanya Azril.Bukannya menjawab, justru Safa menutup wajahnya yang sudah merona. Malu sekali karena harus berhadapan dengan singa yang siap menerkam."Sayang." Azril pun menar
Suara tangisan Zahra yang menggema membuat Safa segera berlari. Ia menghampiri dan menenangkan Zahra dalam pelukannya."Iya, Sayang, Bunda ada di sini," kata Safa mengajak berbicara. "Maaf, ya, Nak."Safa duduk di tepi ranjang, lalu membuka kancing baju dan mulai menyusui Zahra dengan tenang. Bahkan terlihat gadis itu sangat lahap seperti kehausan. Sore pun berlalu dan Safa yang sudah rapi segera menyambut suaminya. Seperti biasa, Safa selalu merias diri sebelum mendekat. Katanya agar suami senang dan makin cinta.Ia menjadi geli sendiri jika mendengar kalimat tersebut, tetapi tak ada salahnya membahagiakan suami sendiri bahkan terbilang wajib."Assalamualaikum, Sayang," sapa Azril tersenyum. "Ma syaa Allah wangi sekali bidadariku."Pria itu mengendus aroma yang menyeruak di seluruh tubuh Safa. Bukan sekali mendapat sambutan manis dari kekasih hati. Hampir setiap hari dan selalu membuat Azril ingin pulang cepat."Waalaikumussalam, Mas." Safa mengulurkan tangan, lalu bersalaman pada s
Azril merebahkan tubuhnya perlahan tanpa mengeluarkan suara. Ia tidak ingin membuat putrinya terbangun. Pikirannya sedikit terganggu dengan nomor yang tadi menghubungi. Ia merasa risih dan tak tenang."Ya Allah lindungilah pernikahan kami, apa pun yang terjadi ke depannya. Semoga kami bisa melewatinya bersama," ujar Azril meminta. Tiada yang bisa menembus langit selain doa. Berharap dirinya bisa menjaga Safa tanpa melukai perasaannya kembali. Sudah cukup kehilangan Safa dan jangan sampai terjadi untuk kedua kalinya.Terdengar rengekan ringan Zahra, Azril pun bangkit dan menggendongnya. Matanya memandang dan bayi mungil itu tersenyum lebar."Ma syaa Allah cantik sekali, Nak," kata Azril terpesona.Ia pun mengajaknya bermain tanpa memberitahu Safa jika Zahra terbangun. Biarkan istrinya istirahat atau melakukan sesuatu yang belum selesai. Tak masalah jika dirinya yang mengasuh, rasanya juga sangat menyenangkan sekali.Terlihat Zahra tertawa diajak bicara. Padahal dia belum mengerti, tet
"Sayang!" Azril membuyarkan lamunan Safa yang terdiam.Sejak kedatangannya dari masjid hingga berakhir di meja makan, Safa tak seperti biasanya diam. Seakan ada sesuatu yang dipikirkan bahkan makanannya saja masih utuh."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Azril memegang erat lengan Safa.Safa ternganga, lalu menggeleng. Ia belum mendapat bukti dan tidak ingin menjadi bahan perdebatan di waktu yang tidak tepat.Menghela napas panjang, kembali rileks melupakan pikiran buruknya. Ia sepenuhnya percaya pada Azril dan tentu sangat mengenal dirinya."Nggak ada, Mas. Mas mau tambah?" Terlihat isi piring Azril sudah habis."Sudah cukup, Sayang. Kamu segera habiskan makanannya. Jika memang ada masalah atau aku ada salah, katakan! Jangan diam dan melamun seperti ini." Azril tidak suka melihat Safa yang diam.Ia lebih suka Safa banyak bicara dan berkomentar. Seolah ia ikut merasa kehilangan dan suasana pun seperti tak hidup lagi.Bibir Safa melengkung. "Aku habiskan makan dulu, Mas."Azril men
"Mas, aku izin untuk aktif pergi kajian lagi boleh, nggak?" Izin Safa pada sang suami. Ia rindu mengaji dan berkumpul bersama orang-orang salih.Dirinya butuh charge iman agar tidak naik turun bahkan selalu butuh agar terus semangat menjalani hari."Lalu Zahra bagaimana?" Azril menoleh menatap lekat wajah Safa."Iya aku ajak, Mas. Aku mau biasakan Zahra untuk duduk di majelis. In syaa Allah anaknya bisa diajak bekerjasama, ko." Yakin Safa. Selama ini terbilang anteng dan semoga saat duduk bersama orang ramai pun tetap tenang. Azril pun segera berbalik, mengambil kedua lengan Safa dan menggenggamnya. Tidak ada yang salah dengan keinginannya justru ia bersyukur dengan pemikiran Safa."Oke, aku izinkan, tetapi untuk tidak yang jauh dulu, ya. Setidaknya yang bisa kamu jangkau, khawatir Zahra kelelahan nantinya." "Siap, suamiku," jawab Safa semangat. Senang rasanya mendapat izin dari suami, meski statusnya sudah menjadi ibu rumah tangga, tetapi Safa tak patah semangat. Mencari dan menun
Air mata Safa berjatuhan begitu deras. Sakit sekali mendapat perlakuan suaminya yang tak biasa. Ia mengaku salah karena tak meminta izin, tetapi Safa sudah berusaha menghubungi Azril dan tidak mendapat jawaban.Wanita itu sesegukan sembari menenangkan Zahra yang menangis. Dengan air mata yang membasahi, Safa memberi Zahra ASI perlahan. "Maafin Bunda, Nak," lirih Safa memandang wajah Zahra yang mulai melahap ASI-nya.Wajah lemas dan pucat membuat hati Safa teriris. Tidak tega melihat Zahra yang harus merasakan sakit ditambah sikap Azril yang tidak mengerti keadaannya."Iya, Sayang, Zahra anak salehah, anak baik. Pelan-pelan, Sayang." Safa mengajaknya berbicara meski hatinya merasa sedih.Ia menenangkan Zahra agar nyaman dalam meminum ASI, tetapi nyatanya Zahra kembali menangis dan melepas ASI-nya. Safa bingung dan mungkin rasa air susunya hambar karena sejak siang tadi Safa belum sempat kemasukan apa pun.Jangankan sesuap nasi, air minum pun tidak sempat ia minum karena khawatir pada
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me