"Mas, aku izin untuk aktif pergi kajian lagi boleh, nggak?" Izin Safa pada sang suami. Ia rindu mengaji dan berkumpul bersama orang-orang salih.Dirinya butuh charge iman agar tidak naik turun bahkan selalu butuh agar terus semangat menjalani hari."Lalu Zahra bagaimana?" Azril menoleh menatap lekat wajah Safa."Iya aku ajak, Mas. Aku mau biasakan Zahra untuk duduk di majelis. In syaa Allah anaknya bisa diajak bekerjasama, ko." Yakin Safa. Selama ini terbilang anteng dan semoga saat duduk bersama orang ramai pun tetap tenang. Azril pun segera berbalik, mengambil kedua lengan Safa dan menggenggamnya. Tidak ada yang salah dengan keinginannya justru ia bersyukur dengan pemikiran Safa."Oke, aku izinkan, tetapi untuk tidak yang jauh dulu, ya. Setidaknya yang bisa kamu jangkau, khawatir Zahra kelelahan nantinya." "Siap, suamiku," jawab Safa semangat. Senang rasanya mendapat izin dari suami, meski statusnya sudah menjadi ibu rumah tangga, tetapi Safa tak patah semangat. Mencari dan menun
Air mata Safa berjatuhan begitu deras. Sakit sekali mendapat perlakuan suaminya yang tak biasa. Ia mengaku salah karena tak meminta izin, tetapi Safa sudah berusaha menghubungi Azril dan tidak mendapat jawaban.Wanita itu sesegukan sembari menenangkan Zahra yang menangis. Dengan air mata yang membasahi, Safa memberi Zahra ASI perlahan. "Maafin Bunda, Nak," lirih Safa memandang wajah Zahra yang mulai melahap ASI-nya.Wajah lemas dan pucat membuat hati Safa teriris. Tidak tega melihat Zahra yang harus merasakan sakit ditambah sikap Azril yang tidak mengerti keadaannya."Iya, Sayang, Zahra anak salehah, anak baik. Pelan-pelan, Sayang." Safa mengajaknya berbicara meski hatinya merasa sedih.Ia menenangkan Zahra agar nyaman dalam meminum ASI, tetapi nyatanya Zahra kembali menangis dan melepas ASI-nya. Safa bingung dan mungkin rasa air susunya hambar karena sejak siang tadi Safa belum sempat kemasukan apa pun.Jangankan sesuap nasi, air minum pun tidak sempat ia minum karena khawatir pada
"Sami'na wa'ato'na, Bah, saya manut saja sama Abah," tegas Faqih. Bukan karena pasrah, tetapi yakin betul jika guru sudah meminta maka itu jawaban yang terbaik.Tanpa berpikir lagi, Faqih menyetujui meski tidak tahu siapa wanita yang akan dijodohkan. Namun, ia yakin jika pilihan sang guru tak mungkin salah."Alhamdulillah, kalo gitu besok kamu ikut Abah untuk melamar wanita itu."Faqih meneguk ludahnya kasar. Ia benar terkejut dan ia pikir ada jeda untuk mempersiapkan diri, tetapi ternyata Abah mengajaknya esok hari."Ba-baik, Bah." Faqih tersenyum samar, menutupi kegugupan yang ia rasakan. Sungguh, semua kabar yang diterima terlalu mengejutkan untuknya.Usai berbincang, Faqih pamit dan menyadarkan diri. Berharap semua tidaklah mimpi hingga mencubit lengannya sendiri dengan teriakan yang histeris."Aw," ringis Faqih."Kang, ngapain cubitin tangan sendiri?"Faqih tersentak saat seseorang melihatnya. Seketika kikuk dan salah tingkah, berarti dirinya sedang tidak bermimpi."Ah, tidak ada
Di kantor, Azril lebih banyak diam. Bahkan mengerjakan berbagai lembaran di hadapannya pun tak fokus. Pikirannya tertuju pada Safa dan Zahra di rumah.Menjalani hari dengan rasa yang berbeda, biasanya semangat dan bergairah, tetapi sekarang seolah beban yang Azril rasakan."Argh." Azril frustasi dan menyandarkan punggungnya di kursi.Isi kepalanya begitu sakit dan hatinya tak tenang. Ia tak bisa bekerja dengan kondisinya sekarang. Namun, ia ada janji yang tak bisa diwakili."Aku menyesal ya Allah," kata Azril sembari menutup wajahnya. Mengingat ucapan Safa semalam membuat Azril lemah. Sepertinya ia sudah keterlaluan."Apa Safa mau memaafkanku?" lirih Azril.Pernikahan baru berjalan satu tahun, tetapi ia sudah berani membentak dan hal itu membuat Safa kaget. Bahkan, Azril pun tidak menyadari itu. "Aku nggak bisa terus diam seperti ini," ujar Azril tak sabar. Menunggu waktu pulang rasanya sangat lama.Sedangkan Azril tak sabar ingin menyelesaikan semuanya. Ia ingin semua kembali sepert
Safa melenggang pergi dan menidurkan Zahra yang sudah terlelap pulas. Ia mengabaikan perkataan Azril seolah tak mendengar.“Lebih baik Mas mandi.” Safa mengingatkan.Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mandi menyiapkan air untuk suaminya dan saat hendak keluar, Azril menghalangi jalannya.“Sayang, maafin aku,” desak Azril. “Aku akan melakukan apa pun agar kamu bisa maafin aku,” lanjutnya.Azril tidak bisa marah terlalu lama, apalagi Safa sangat berpengaruh untuknya. Seketika kedua alisnya terangkat seraya merapatkan kedua tangannya di depan Safa. Ia penuh mohon agar Safa mau memaafkan.“Hmm, Mas yakin mau melakukan apa saja?” Safa mengernyit tak percaya, lalu melangkah melewati Azril dengan wajah datar.“Iya, Sayang, aku yakin,” jawab Azril tegas.Senyum Safa pun menyeringai, otaknya berpikir penuh ide dan berlalu meninggalkan Azril tanpa kata. Sedangkan Azril yang dilema hanya terpaku memandang kepergian Safa.“Sayang!” teriak Azril gemas.Rasanya tak mudah untuk meminta maaf pada
Safa menjatuhkan air matanya yang teramat sakit. Azril yang selalu mendukung seolah berubah menjadi pengatur bahkan tak segan untuk memarahi.“Lantas seperti apa yang kamu inginkan dariku, Mas?” lirih Safa sendu menyembunyikan rasa sakit yang bergelora.“Aku mau kamu fokus merawat dan mengurusiku juga Zahra. Aku tidak suka kamu lalai dalam kewajibanmu. Aku seolah kehilangan Safa yang dulu,” ujar Azril jujur. Ia mengutarakan isi hatinya yang merasa kesepian.Safa terdiam sembari mengusap air matanya yang berjatuhan. Rasanya sangat tidak adil, dia ingin dilayani, tetapi tidak ada sikap timbal balik yang membuat Safa semangat menjalani hari.Bukan berarti Safa mengharapkan balasan, tetapi seharusnya dia juga sadar akan tugas seorang suami yang tidak hanya bekerja dan bertanggungjawab.“Aku juga nggak suka dengan sikapmu yang sekarang, Mas. Kamu suka marah-marah dan selalu bekerja sepanjang waktu. Apa pernah kamu menanyakan keluhanku setiap hari di rumah, enggak, ‘kan? Sadar, Mas, aku ini
"Oek ... Oek.""Zahra nangis, Mas," kata Safa langsung bangkit dan berjalan cepat menghampiri.Azril tercengang kala perkataannya diabaikan. Netranya pun mengikuti langkah Safa yang pergi menjauh. Ia mengusap wajah gusar karena lagi-lagi tak mendapat jawaban yang pasti.Menghela napas pasrah, Azril ikut bangkit dan merapikan sisa makanan yang berantakan di atas meja. Ia menyimpan piring kotor, lalu mencucinya.Melihat Safa yang belum juga keluar kamar, Azril segera menghampiri. Masih ada waktu menagih jawaban sebelum dirinya berangkat kerja."Sayang," rengek Azril manja bagai bayi yang kurang perhatian.Safa tetap fokus pada Zahra, apalagi bayi mungil itu sudah membuka matanya lebar sembari memainkan tangannya pada baju Safa bagian depan."Gimana?" tanya Azril duduk di samping Safa."Gimana apanya sih, Mas!" Safa pura-pura tidak tahu."Iya, itu, aku janji akan berubah dan kamu mau, 'kan kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya?" Azril kembali mengulang pertanyaannya tadi.Safa
“Iya enggaklah, aneh lo,” kata Faqih menggertak. Kepalanya kembali memandang ke depan memerhatikan jalan.“Iya siapa tahu gitu. Secara lo sudah lama nggak bertemu Safa.” Radit masih penasaran bahkan dari wajahnya sedikit kentara jika pria itu masih memiliki rasa, walaupun tidak sebanyak dulu.Faqih pun menghela napas dan kepalanya kembali melirik Radit di samping. “Iya, tetapi bukan berarti gua masih cinta. Gua sudah menganggap Safa teman dan Azril sebagai saudara. Bahkan kita suka komunikasi.”Semua mengalir begitu saja dan Radit memang tidak mengetahui hal tersebut. Perpisahannya kemarin membuat Faqih fokus dan sama sekali sudah tak memiliki rasa kepada Safa.“Jangan sampai tuduhanmu terdengar Azril, bisa dicolok mata kau nanti,” ancam Faqih.Lagipula wajar jika setiap insan memiliki rasa cinta dan baginya Safa hanya kisah masa lalu yang memiliki kenangan tersendiri. Kini, ia akan menikah dan tak ingin menyakiti istrinya nanti.“Iya, iya sorry. Terus kita mau ke mana ini?” tanya Rad
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me