Alea menelan salivanya sendiri dan mematung ketika Juno mengatakan bahwa dia hanya memiliki dua pilihan. Kata-kata pria itu terdengar begitu ambigu, membuat pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi.
"A-apa maksud Bapak? Kenapa Bapak bicara aneh seperti ini?" tanya Alea dengan gugup. Dia berusaha menerka maksud sebenarnya di balik ucapan Juno. Apakah dia salah dengar? Atau justru pria itu benar-benar mengatakan sesuatu yang sulit dipercaya? "Apa saya salah dengar? Bapak meminta saya untuk berpacaran dengan Bapak?" tanyanya lagi, kini dengan suara pelan seperti berbisik. Namun, Juno hanya tersenyum tipis tanpa segera memberikan jawaban. Tatapan matanya tetap tenang, seolah menikmati kebingungan Alea. Sementara itu, Alea mulai kehilangan kesabaran. "Pak, saya lagi tanya sama Bapak!" ujar Alea dengan nada lebih tinggi. Dia merasa perlu mendapatkan kepastian. Juno mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya berucap, "Saya tidak tuli, jadi kamu tidak usah berteriak seperti itu untuk berbicara dengan saya." Suaranya terdengar datar, tetapi entah kenapa, justru semakin membuat Alea penasaran. Jantung Alea berdebar lebih kencang, terlebih saat melihat sorot mata tajam berwarna abu-abu itu. Dari sana Alea bisa tahu, kalau Juno mungkin adalah pria blasteran. "Maka dari itu, Bapak jawab dong pertanyaan saya. Apa maksud Bapak memberi saya pilihan seperti itu?" "Iya, memang saya memerintahkanmu berpacaran dengan saya." Kening Alea mengerut mendengar kata yang terdengar aneh olehnya. "Memerintah?" "Berpacaran dengan saya atau kamu angkat kaki dari perusahaan ini." "Apa? Atas dasar apa saya harus menuruti perintah Bapak?" Alea tidak terima dengan pemaksaan dan ancaman dari Juno. Apalagi pemaksaan dan ancaman ini tidak berdasar "Karena saya merasa kita akan menjadi partner yang cocok. Terutama partner diatas ranjang, seperti tadi malam." Senyuman Juno tampak menyeringai, dingin dan tatapannya menusuk Alea. "APA?" Lagi-lagi Alea dibuat kaget dengan pernyataan dari Juno. Perkataan Juno membuatnya berusaha untuk mengingat malam itu, tapi dia tidak ingat dengan adegan ranjang apapun. Sial, dia terlalu mabuk untuk mengingatnya. "Ki-kita bahkan tidak tidur bersama. Jangan bicara soal partner ranjang!" ujar Alea menyangkal dengan tegas. "Kau benar-benar tidak ingat kejadian semalam?" Pertanyaan Juno sontak saja membuat Alea terkejut bukan main. Tubuhnya gemetaran, dia juga menggigit bibirnya sendiri. Tanpa Alea sadari, Juno tengah menatap dirinya dengan intens. "Kita tidak tidur bersama kan, Pak?" bisik Alea. "Kamu bilang apa? Saya tidak bisa mendengarmu bicara dari sana," ucap Juno yang dengan kata lain, meminta Alea untuk mendekat kembali ke arahnya. Alea menurut. Dengan perasaan campur aduk, dia melangkah mendekati Juno. Pria itu hanya menatapnya dengan mata tajam yang sulit ditebak, lalu tersenyum tipis—senyum yang dingin, nyaris tanpa emosi. "Kita tidak tidur bersama, kan, Pak?" Alea mengulang pertanyaannya, suaranya bergetar sedikit. Juno menatapnya tanpa tergesa, seolah menikmati kegelisahan di wajahnya. "Rupanya kamu tidak ingat," katanya dengan nada datar, nyaris mengejek. "Sayang sekali." Alea mengepalkan tangannya. "Ngomong aja, Pak! Sebenarnya kita melakukan apa di dalam kamar itu?" Desaknya, frustrasi. "Bapak tinggal jawab, kan?" Juno tetap tak tergoyahkan. Matanya menyipit sedikit, seolah menimbang sesuatu. Kemudian, bibirnya melengkung tipis lagi, tapi kali ini lebih dingin. "Jawaban itu... tergantung seberapa siap kamu mendengarnya," ucapnya pelan, tapi menusuk. "Saya siap." Juno pun beranjak dari tempat duduknya, kemudian dia berdiri di depan Alea. Tampak jelas wanita itu gelisah. "Kamu siap mendengarnya?" Alea mengangguk. "Sungguh?" "Iya Pak. Cepet cerita, jangan lama-lama," ucap Alea yang tak sabar mendengar cerita dan kepingan ingatan yang tak dia ingat semalam. Melihat Alea yang sudah tak sabar, tangan Juno pun mulai bergerak dan meraih pinggang kecil Alea. Hanya dengan satu tarikan, Alea mudah jatuh ke dalam pelukannya. "Pak, apa yang anda lakukan? Kenapa Bapak malah memeluk saya? Jangan kurang ajar ya!" ujar Alea melayangkan protes. "Saya akan cerita. Dengan ini." Kedua mata Alea membelalak ketika dia merasakan benda kenyal menyentuh bibirnya. Tidak hanya menyentuh, tapi benda kenyal itu melumat bibirnya semakin dalam. Semalam dia sudah melakukan ciuman pertamanya, tapi sekarang dia baru benar-benar merasakannya. "Eungh—" Alea melenguh, kala bibir Juno mulai menginvasi bibirnya dan memaksa masuk ke dalam dirinya. Namun, sebelum itu terjadi, Alea berusaha melawan dengan memukul-mukul dada bidang pria itu yang terbalut jas dan kemeja mahal. Akan tetapi, tenaga pria itu sangat kuat sampai dia kesulitan memberontak dan melawan. Juno terlihat sangat menikmati apa yang dia lakukan pada Alea, tapi tidak dengan Alea yang terlihat marah. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Akhirnya Alea menginjak kaki Juno dengan ujung heelsnya, barulah Juno melepaskan pelukan dan juga pagutan bibir mereka. "Haaah ... haaahh ..." Alea meraup oksigen sebanyak-banyaknya, setelah sempat kehilangan udara beberapa detik. Wajahnya tampak memerah, matanya menyalang tajam tertuju pada Juno yang terlihat sama sekali tidak merasa bersalah. Tangan Alea melayang menampar pipi lelaki dewasa itu. "Bapak sangat keterlaluan," desis Alea marah. Sementara Juno, lelaki itu malah tersenyum tipis setelah menerima tamparan dari Alea. "Oh, jadi ini jawabanmu, Nona?" TBCTatapan Juno, suaranya yang terdengar datar, entah kenapa malah terasa menyeramkan bagi Alea. Wajah wanita cantik itu menegang, kedua matanya melebar, terutama saat melihat seringai tipis di bibir Juno."Kamu akan menyesal karena telah menolak perintah saya, Nona."Hening. Beberapa detik berlalu tanpa ada yang bersuara. Seringai itu lenyap, digantikan oleh ekspresi dingin tanpa emosi. Alea menelan salivanya sendiri, melihat raut wajah Juno yang menyeramkan."Keluar."Namun, Alea tetap terpaku di tempat. Perubahan sikap Juno yang begitu cepat membingungkannya."Saya bilang keluar!" Kali ini, nada suara Juno lebih tegas, bahkan nyaris membentak. Alea tersentak. Tanpa berpikir panjang, dia segera melangkah keluar dari ruangan itu.Demi apa pun, jantungnya masih berdegup kencang setelah kejadian barusan. Nafasnya sedikit memburu, seolah dia baru saja keluar dari sebuah situasi berbahaya.Saat itu, Adrian, sekretaris Juno, melihatnya berjalan dengan langkah tergesa-gesa keluar dari ruangan
Semua orang yang berada di meja itu langsung membisu. Napas mereka tertahan, takut melihat reaksi Juno setelah mendengar kata-kata Alea yang sangat berani, atau lebih tepatnya, nekat.Pak Gunawan, yang duduk di sebelah Alea, dengan panik mencoba meredakan situasi. "Maaf, Pak Presdir. Bu Alea benar-benar tidak sadar dengan apa yang dia katakan..."Namun, Juno tetap diam dan itu membuat suasana menjadi horor. Tatapannya tertuju pada Alea, yang tampak tidak peduli dan malah menuangkan lebih banyak minuman ke gelasnya. Wanita itu benar-benar menantangnya."Hey wanita Gold Night!" Suara Juno dalam, hampir seperti bisikan, tapi mengandung ancaman yang jelas. Gold Night adalah nama klub malam tempat Alea dan Juno bertemu semalam.Alea mendongak, menatapnya dengan mata yang mulai kehilangan fokus. "Apa?" jawabnya enteng, masih dengan nada menantang.Juno mendekat. Sekretarisnya, Adrian, terlihat tegang di belakangnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan pria itu.Lalu, dalam hitungan
Alea semakin panik. Juno semakin mendekat ke wajahnya, membuatnya merasa terpojok. "M-melecehkan? Saya?" suaranya bergetar. Dia mencoba mengingat kejadian semalam, tapi dia hanya ingat makan malam bersama dengan rekan-rekan barunya di kantor.Juno menatapnya dengan tatapan tajam, lalu tersenyum miring. "Kamu mabuk, lalu menggoda saya. Bahkan sempat menyentuh wajah saya dan bilang saya tampan. Jangan lupa, kamu muntah dibaju saya. Lalu kita—"Alea merasakan wajahnya memanas, saat Juno dengan sengaja menjeda kalimatnya di sana. "Saya… saya tidak ingat!" serunya."Sayangnya, saya ingat dengan jelas," ujar Juno, mengusap dagunya seolah berpikir. "Dan sekarang, saya ingin kompensasi atas apa yang kita lakukan semalam."Alea menelan ludah, tubuhnya semakin tegang. "Kompensasi apa? Tidak ada kompensasi!"Juno mendekat, matanya menatap lekat ke dalam mata Alea yang penuh ketakutan. "Oh tentu harus ada. Sebelum kita having sex bersama, saya masih perjaka. Setelah kamu melecehkan saya dua kali,
Siapa yang mengira bahwa Martin, mantan kekasih Alea, adalah keponakan satu-satunya Juno? Pria yang saat ini menjadi kekasih Alea. Mereka sama-sama belum mengetahui fakta tersebut.Martin menatap curiga ke arah sepatu pantofel wanita berwarna hitam yang tergeletak dekat dapur. Apakah pamannya memiliki kekasih? Pria yang selama ini bahkan tak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita?"Om, apa Om punya pacar?" tanya Martin, mengarahkan perhatiannya pada Juno yang masih sibuk memanggang roti.Juno tidak menjawab. Alih-alih merespons, dia malah mengabaikan kehadiran keponakannya di sana."Mana mungkin Om punya pacar?" gumam Martin, setengah tak percaya. Tatapannya beralih ke arah dua potong roti panggang di atas piring. Juno bahkan mengoleskan selai coklat dengan rapi di atasnya."Om bikin dua roti. Apa pacar Om ada di sini? Dia menginap?" Martin semakin penasaran."Pergilah sebelum aku panggil petugas keamanan," usir Juno datar."Tapi aku ingin melihat pacar Om dulu. Pasti dia sangat
Juno mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Menurutmu?"Alea mengerutkan kening, merasa tidak puas dengan jawaban pria itu. Dia menepis tangan Juno secara halus, kemudian mengambil tisu untuk membersihkan noda di bibirnya sendiri."Saya tidak tahu, dan saya tidak ingin tahu," jawab Alea ketus.Juno justru terkekeh kecil. "Kenapa? Kamu cemburu kalau saya melakukannya pada wanita lain?"Alea mendengus. "Kenapa harus cemburu? Enggaklah!"Juno menatapnya lekat-lekat, seolah sedang membaca pikirannya. "Benarkah?"Alea tidak menjawab. Dia hanya menunduk, sibuk menghabiskan rotinya. Sementara Juno tetap memperhatikannya dengan intens, membuat Alea semakin canggung."Apa kamu sudah merasa nyaman bersama saya?" tanya Juno tiba-tiba.Alea terdiam sejenak. Nyaman? Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin dia bisa merasa nyaman dengan seseorang yang awalnya memaksanya untuk berpacaran? Mereka bahkan baru kenal satu hari, lalu berpacaran, mana mungkin bisa nyaman secepat itu."Saya belum tahu," jawab
Martin terdiam, wajahnya berubah pucat. Dia tidak menyangka Alea akan mengungkit kejadian itu dengan begitu dingin dan tajam."Aku khilaf, Lea. Aku menyesal," katanya dengan suara lirih. "Itu terjadi sekali saja, aku nggak punya perasaan apa-apa sama dia."Alea tertawa kecil, namun bukan karena lucu—lebih kepada rasa muak yang sudah menumpuk. "Khilaf, ya? Kenapa semua orang yang ketahuan selingkuh selalu beralasan ‘khilaf’?"Martin mencoba mendekat, tapi Alea mundur selangkah. "Lea, aku benar-benar minta maaf. Aku mau memperbaiki semuanya. Aku masih cinta kamu.""Cinta?" Alea menatap Martin dengan tatapan tajam. "Cinta nggak akan bikin kamu naik ke ranjang dengan wanita lain. Cinta nggak akan bikin kamu menghancurkan kepercayaan yang udah susah payah aku bangun buat kamu."Martin terdiam, tidak bisa membantah.Alea menarik napas dalam. "Dengar, Martin. Aku udah selesai dengan kamu. Pergilah. Dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku."Martin masih berusaha mengatakan sesuatu, tapi Al
Alea menahan ludahnya sendiri, kala dia melihat atensi tajam yang tertuju kepadanya dari seorang Juno. Pria itu membuat jantungnya tidak aman."Kenapa diam saja? Kamu tidak mau menjawab pertanyaanku?" tanya Juno lagi dengan nada bicara yang tetap sama, yaitu datar."Aku lapar, aku mau makan siang."Juno langsung memegang kedua tangan Alea dan menghentikan wanita itu. "Jangan mengalihkan pembicaraan, karena aku sedang bertanya sama kamu, Golden Night." Tekan Juno yang membuat wanita itu terdesak.Alea sendiri heran, kenapa dia malah takut pada Juno dan kenapa dia harus menjawab pertanyaannya? Sedangkan hubungan pacaran mereka bukan berdasarkan cinta, melainkan pemaksaan Juno dan ancamannya."Saya rasa, saya tidak memiliki keharusan untuk menjawab pertanyaan Bapak.""Gunakan kata 'aku', bukan saya." Ralat Juno tegas."Ah i-iya baiklah. Aku tidak memiliki keharusan untuk menjawab pertanyaan Bapak.""Gunakan kata Sayang, bukan Bapak."Alea berdecak kesal, mendengar Juno terus aja meralat
"Ibu?"Kedatangan sosok wanita paruh baya yang dipanggil Alea sebagai ibu itu sontak membuat Alea terkejut. Ekspresinya menunjukkan ketidaksenangan yang jelas."Kamu masih berani panggil saya ibu setelah kamu mengabaikan telepon dan pesan dari saya?" cecar Maya, ibu tiri Alea. Sorot matanya tajam dan penuh amarah saat dia melangkah mendekat."Mau apa Ibu ke sini?" tanya Alea dengan nada dingin."Mau apa kamu bilang? Kamu ini ya, dasar anak tidak tahu diuntung! Saya sudah berulang kali menghubungi kamu, tapi kamu tidak pernah mengangkat telepon atau membalas pesan saya!" Maya terus mengomel, suaranya meninggi."Untuk apa kita saling berhubungan? Sejak Papa saya meninggal, kita sudah tidak ada sangkut paut lagi, Ibu tiri." Alea menekankan kata-kata itu dengan tajam. Baginya, hubungan mereka sudah berakhir sejak kepergian sang ayah."Tidak bisa begitu dong! Kamu mau hidup sendiri dan enak-enakan, sementara saya dan adik kamu menderita? Kami terlilit utang gara-gara ayah kamu yang bodoh i
Tanpa Alea dan Juno sadari, kini tatapan semua orang tertuju kepada mereka berdua. Di mana perhatian Juno kepada Alea, menjadi pusat perhatian."Bisakah kamu hati-hati?""Apa masih panas? Sakit?" tanya Juno dengan lembut. Seolah-olah dia tidak pernah bersikap dingin sebelumnya kepada Alea."Aku nggak apa-apa, Om." Refleks dan terbawa suasana, Alea malah berbicara informal pada Juno. Tanpa sadar, perkataannya ini malah menimbulkan kecurigaan orang-orang di sana."Sini lihat.""Aku nggak apa-apa."Juno tetap bersikeras melihat jari Alea yang tadi terkena panggangan barbeque. Dia memegang tangan wanita itu dan memperhatikan jari-jarinya. Terlihat warna memerah pada jari tengah dan jari telunjuk tangan kanan milik Alea. Pria itu pun bergegas membawa Alea masuk ke dalam villa, dia bermaksud mengobatinya."Apa kalian merasa ada atmosfer yang aneh antara pak presdir dan bu Alea?" kata salah seorang pria, dari anggota tim lain."Aku juga merasa begitu.""Benarkah mereka om dan keponakan? Atau
Juno berusaha tetap tenang, meskipun dia mendengar sesuatu yang tidak menyenangkannya. Dia mencuri dengar tentang pacar Alea ini dan akhirnya dia tahu siapa yang dimaksud. Martin, tidak salah lagi. Keponakannya itu ternyata tidak mengindahkan peringatannya untuk mengganggu Alea lagi.Pria dewasa itu pun kemudian bergegas mencari Alea sebelum mereka berangkat ke Bogor dan tanpa disangka, dia melihat Alea bersama Martin sedang berada di depan semua teman-teman setimnya."Sebenarnya saya bukan pacar Alea. Saya cuma mantan. Tapi tolong doakan saya ya, agar saya bisa mendapatkan hatinya kembali," kata Martin pada teman-teman Alea yang membuat Alea geram. Juno juga mendengarnya dengan jelas."Jelaskan dengan benar, Martin." Tegas Alea tanpa ba bi bu lebih dulu."Iya, aku cuma mantan kamu, Lea. Tapi—""Shut up!" ujar Alea pada pria yang banyak omong ini. "Dan segera pergi dari sini, Martin."Semua orang bisa melihat, kalau Alea alat pembenci pria yang katanya mantan pacarnya ini. Padahal di
"Sudah tahu dia cemburu, kamu masih bermain api dengannya, Juno. Ckckck." Liora muncul secara mendadak di belakang Juno, seperti makhluk halus saja. Bahkan Juno tidak menyadari kehadirannya sebelumnya. "Apa kamu sudah cukup melihatnya? Sudahi drama bodoh ini. Atau dia akan semakin menjauh dari kamu, Jun." Nasehat Liora pada sepupu bodohnya itu.. Bodoh dalam cinta dan membina hubungan. "Ini belum cukup." Kening Liora berkerut mendengar kata-kata Juno. "Apa? Dia cemburu, itu tandanya dia ada perasaan sama kamu. Jadi apa lagi yang mau kamu lihat?" tanya Liora heran. Kedua tangannya menyilang di dada dan sepasang matanya menatap Liora dengan tajam. "Dia belum mengakui perasaannya." "Astaga Juno. Wanita itu identik dengan sifat jaim. Kamu harusnya paham itu dong. Sebagian besar dari mereka, tidak bisa mengatakan cinta pada pasangannya karena malu," jelas Liora. "Tapi aku mau mendengar dia mengatakannya. Jika dia benar-benar ada rasa padaku," ujar Juno keras kepala. Liora mem
Alea mengabaikan Linda yang sedang marah padanya, bahkan ketika gadis itu berteriak dari belakang tubuhnya. Ia tetap tenang melanjutkan aktivitasnya—memoles riasan di depan cermin besar di toilet wanita yang luas itu. Malam ini, ia harus kembali ke pesta. Tidak ada waktu untuk drama murahan seperti ini."Mulutmu itu nggak bisa dijaga ya!" bentak Linda dengan napas memburu."Kenapa? Marah?" sahut Alea santai, diselingi senyum sinis yang menggoda amarah.Linda semakin gemas melihat ekspresi tak peduli dari Alea. Matanya melotot, pipinya memerah karena amarah yang mendidih."Kamu—"Tangan Linda melayang, hendak menampar wajah Alea. Namun, Alea lebih sigap. Dalam sekejap, dia memelintir tangan Linda ke belakang tubuhnya dengan gerakan yang cepat dan tegas."Aaakkh! Sakit!" pekik Linda, tubuhnya membungkuk menahan nyeri."Aku lagi nggak mood ngobrol sama manusia nggak penting kayak kamu sekarang. Jadi, jangan ganggu aku," desis Alea di telinga Linda, nadanya dingin dan tajam. "Atau, aku ak
Semua tatapan mata tertuju pada Juno dan wanita dewasa yang tampak seumuran dengannya. Wanita itu cantik, anggun, dan mengenakan gaun merah mencolok. Bodynya sangat menggoda, alias body goals. Para wanita di ruangan itu pun kagum melihat penampilannya yang nyentrik dan bodynya yang bagus.Orang-orang yang hadir langsung beranggapan bahwa Juno sangat serasi dengan wanita tersebut. Alea pun bisa mendengar bisik-bisik kagum dari para tamu yang memperhatikan keduanya."Baru kali ini aku melihat Juno Williams datang bersama seorang wanita.""Benar. Aku pikir dia tidak tertarik menjalin hubungan. Tapi ternyata seleranya luar biasa," komentar salah satu rekan bisnis Juno. Mereka semua tahu, Juno nyaris tak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun sebelumnya."Benar. Wanita dewasa seperti itu pasti tipe idealnya," gumam Alea lirih. "Tapi kenapa dia begitu mudah melupakan hubungan kami? Kami baru saja putus dua hari lalu, dan sekarang dia sudah menggandeng tangan wanita lain.""Atau sebenar
Begitu mendengar suara berat pamannya yang menggema penuh amarah, Martin langsung menghentikan gerakannya. Ia bangkit dari tubuh Alea dengan wajah pucat pasi dan mata membelalak ketakutan."Pergi, sebelum aku benar-benar menghajar kamu, Martin!" bentak Juno, suaranya menggema hingga membuat bulu kuduk meremang."Om, Om gak bisa semena-mena kayak gini! Alea milik aku, Om!" teriak Martin, mencoba membela diri meski suaranya bergetar.Juno melangkah maju, matanya menatap lurus penuh ancaman. "Martin Luke Matthew. Pergi. Sekarang."Nada suara Juno tegas, tak bisa ditawar. Martin langsung mengecil seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri. Ia mengatupkan rahangnya, lalu membalikkan badan tanpa sepatah kata pun."Sialan!" desis Martin saat di luar rumah. Dengan geram, ia mengusap rambutnya kasar, lalu berjalan menjauh, meninggalkan rumah itu dengan langkah berat dan hati penuh amarah.Kini hanya ada Alea dan Juno di ruang itu. Hening. Udara terasa berat. Alea duduk di lantai dengan
Adrian masuk ke dalam ruangan presdir, untuk mengecek situasi yang terjadi. Dalam hati, dia bertanya-tanya mengapa Alea keluar dari ruangan presdir dalam keadaan menangis."Pak."Suara Adrian, sontak saja membuat Juno langsung mendongak dan menatap pria itu dengan tajam. "Kamu dari mana saja Adrian? Apa kamu mau dipecat, hah!" teriak Juno yang seketika membuat Adrian terkejut. Dia bingung, Kenapa dia dimarahi? Apa salahnya? Atau terjadi sesuatu selama dia pergi 10 menit yang lalu?Presdirnya itu tampak marah, terlihat jelas di wajahnya yang tampak memerah. Matanya yang menyalang tajam tertuju kepada dirinya."Ma-maaf Pak. Tadi saya pergi ke kamar mandi dulu dan—"Siapa sangka, Juno menghentikan ucapan Adrian dengan melempar asbak ke arah si sekretaris itu. Adrian biar cepat menghindar, dan Tia merasa beruntung karena tidak terkenal lemparan asbak kaca tersebut. Asbak itu pun jatuh ke lantai dan sekarang sudah menjadi serpihan."Sialan kamu, Adrian! Bulan ini, aku potong gajimu 50%." T
Baik Alea maupun Martin, terkejut saat mereka melihat satu sama lain dalam keadaan yang tak terduga. Martin tampak membeku sesaat, tepat setelah dia melihat Alea berciuman dengan pamannya di ruang kerja pamannya itu.Sedangkan Juno, dia terlihat marah pada Martin yang sudah seenaknya masuk ke dalam ruangan ini tanpa pemberitahuan. Bukan hanya pada Martin, tapi pada Adrian yang tidak becus kerjanya. Harusnya dia bisa menahan agar Martin tidak masuk ke dalam ruangan. Tapi sekarang? Di mana sekretaris itu? Dia tidak terlihat batang hidungnya."Alea, kamu habis ngapain sama Om aku?" Kedua mata Martin masih terbelalak saat melihat Alea yang tampak kaget."Kamu panggil dia Om? Dia Om kamu?" Bukannya menjawab, Alea malah balik bertanya pada Martin. Perasaannya tidak karuan, karena dia baru tahu kalau Juno adalah omnya Martin."Oh, jadi kamu mutusin aku gara-gara kamu selingkuh sama Om aku?" Martin malah bicara seenaknya tanpa berpikir dulu. Bahkan dia menuduh Alea putus darinya, karena selin
"Sebenarnya kami ini mau diapakan? Kenapa kami dikurung di sini, Pak? Tolong bebaskan kami!" pinta Maya sambil memegang jeruji besi, menatap tajam ke arah pria bertubuh kekar, berpakaian serba hitam, yang berdiri diam tak jauh dari sana.Pria itu hanya mematung, seolah tak mendengar."Hey! Apa kamu tuli? Kenapa kamu diam saja? Mamaku lagi nanya sama kamu! Bebal banget kamu!" teriak Ghea marah. Ia maju mendekat, mengguncang jeruji dengan keras. Suaranya menggema di ruang tahanan yang dingin dan lembab.Maya mencoba menahan emosinya. "Baiklah, kalau kamu tidak mau mengeluarkan kami sekarang, setidaknya jawab pertanyaan saya," ucapnya perlahan tapi tegas. Pria berbaju hitam itu akhirnya menoleh, menatap Maya dengan sorot mata tajam dan penuh tekanan."Kami salah apa? Kenapa sampai harus dikurung seperti ini? Siapa yang menyuruhmu?" lanjut Maya. Ia masih ingat jelas bagaimana ia tertangkap setelah menjual motor dan mencoba melepas gelang milik Alea, namun gagal karena keburu ketahuan. Tan