05
"Halo?" sapa suara laki-laki yang tidak dikenali Anton.
"Maaf, apa ini betul nomornya Rinjani?" tanya pria berkulit kecokelatan.
"Ya. Ini, siapa?"
"Ehm, temannya."
Chumaidi, ipar Rinjani terkesiap. Dia seolah-olah pernah mendengar suara orang yang menelepon itu. Namun, Chumaidi melupakan detailnya.
"Ririn sedang tidak bisa menerima telepon," jelas Chumaidi.
"Apa ada masalah?" tanya Anton tanpa bisa menahan rasa penasarannya.
"Tidak ada. Dia sedang tidur."
"Oh, begitu."
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Ehm, nggak ada. Besok saya telepon lagi."
"Sebutkan namamu. Supaya saya bisa menyampaikannya pada Ririn nanti."
Anton melirik asistennya yang sedang sibuk bersantap. "Dani," ucapnya, sengaja memakai nama Mardani agar tidak dicurigai orang yang ditebaknya sebagai suami Lidya.
"Baik."
"Makasih, Mas. Saya tutup teleponnya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Chumaidi menjauhkan ponsel Rinjani dari telinganya. Pria berkumis tersebut memandangi istrinya yang sedang mengaji dengan suara pelan.
Chumaidi bergeser mendekati Lidya. Dia menyenggol lengan perempuan berjilbab krem yang seketika menoleh ke kanan.
"Bun, barusan ada yang nelepon ke hape Ririn," tutur Chumaidi.
"Siapa?" tanya Lidya.
"Dia ngaku bernama Dani, tapi, Ayah pikir suaranya mirip Anton."
Lidya membulatkan matanya. "Kok, dia bisa nelepon? Bukannya sudah diblokir Ririn?"
"Ini nopenya nggak tersimpan di ponsel Ririn. Mungkin Anton pakai nomor baru."
"Cepat diblokir, Yah. Jangan sampai si ontohod itu tahu jika anaknya sudah lahir."
Chumaidi mengangguk patuh. Dia memblokir nomor Dani itu, lalu memberikan ponsel Rinjani pada istrinya.
Puluhan menit terlewati, Faidhan telah datang dan sedang berada di ruang khusus donor. Sementara Sebastian tengah duduk di bangku kantin bersama Urfan dan Chumaidi.
Sebastian mendengarkan penjelasan Kakak ipar Rinjani, tentang kondisi terakhir perempuan tersebut, yang masih belum sadarkan diri.
Kendatipun baru mengenal Rinjani, Sebastian turut bersimpati pada nasib perempuan itu, yang diterangkan Chumaidi telah bercerai dengan suaminya sejak beberapa bulan silam.
"Berarti, saat cerai itu, Rinjani sedang hamil?" tanya Sebastian, sesaat setelah Chumaidi usai bercerita.
"Ya. Dia ngotot bercerai karena tidak mau lagi bersama pria itu," jawab Chumaidi.
Sebastian terdiam sejenak. Dia seolah-olah mengingat kehidupannya sendiri yang sempat berada di titik terendah.
Perceraiannya dengan Keisha masih menyisakan sakit dalam dada. Sebastian berusaha tegar dan menutupi perihnya hati dari khalayak. Terutama karena dia tidak mau dikasihani, dan ingin menanggungnya sendiri.
Panggilan Urfan menjadikan lamunan Sebastian terputus. Dia mengangguk paham kala sang ajudan mengajak ke hotel untuk beristirahat.
"Kami pamit dulu, Mas," ujar Sebastian sambil bangkit duduk. "Besok, saya datang lagi," lanjutnya sembari menyalami Chumaidi yang turut berdiri.
"Ya, Bas. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya. Tanpamu, mungkin Ririn tidak tertolong," balas Chumaidi, kemudian dia beralih menyalami Urfan.
"Kembali kasih. Titip salam buat keluarga."
"Baik, nanti saya sampaikan."
Chumaidi memandangi kedua pria bercelana hitam yang tengah jalan menjauh. Dia mengucapkan doa setulus hati, agar Tuhan melindungi Sebastian dan Urfan yang telah menolong Rinjani dari awal hingga tuntas.
"Pak, aku lupa ngabarin," tukas Urfan, sesaat setelah memasuki mobil.
"Apaan?" tanya Sebastian sembari memijat leher dan pundaknya yang sakit.
"Komandan Wirya minta kita nginap di resor BPAGK. Free charge," jelas Urfan sembari menyalakan mesin mobil dan bersiap-siap mengemudi.
"Kok, dia bisa tahu kalau kita di sini?"
"Aku laporan ke Bang Yusuf. Ternyata diteruskan ke dirut."
Sebastian menggeleng pelan. "Harusnya kamu nggak usah laporan. Semuanya pasti nyampe ke Wirya."
"Mana bisa begitu? Bapak, kan, tahu, pengawas unit kerja pasti nagih laporan di grup. Mana nagihnya getol lagi. Lewat dari jam 9 malam, orangnya dimention berulang kali di grup."
Sebastian mengulum senyuman. "Yusuf meniru para seniornya."
"Hu um."
"Kamu nanti juga akan begitu. Maksudku, setelah posisimu naik."
"Masih jauh, Pak. Aku anak bawang."
"Fokus kerja sebaik mungkin. Aku akan bantu promosi ke Wirya, supaya kamu bisa masuk ke grup binaannya."
"Siap!"
***
Hari berganti. Sebastian bangun saat matahari sudah terang. Dia meringis, karena badannya sakit. Terutama bagian leher dan pundak.
Sebastian bangkit duduk, lalu melihat ke kanan. Kasur yang ditempati Urfan telah kosong. Sebastian bertanya-tanya dalam hati ke mana ajudannya pergi. Namun, tidak berselang lama Urfan muncul dari pintu sembari membawa meja kecil berkaki.
"Fan, tanyain ke resepsionis. Kalau nggak salah, di sini ada spa, kan?" tanya Sebastian.
"Ada, Pak. Di lantai dua ujung. Yang menghadap kolam renang," jawab Urfan sembari meletakkan meja berkaki ke kasur bosnya.
"Badanku pegal-pegal. Mau dipijat dulu, deh. Habis itu baru kita check out dan berangkat ke rumah sakit."
"Aku juga mau diurut. Kaki ngenyut."
"Kita sarapan. Lalu, aku mandi. Baru kita ke tempat spa."
Sementara itu di tempat berbeda, Keisha terlihat gusar. Sejak kemarin malam dia kesulitan menghubungi Anton. Keisha juga sudah menelepon Mardani yang berjanji akan menyampaikan pesan Keisha pada bosnya.
Akan tetapi, hingga jam berganti, Anton belum juga menghubungi Keisha, dan itu membuatnya gelisah. Perempuan berbibir penuh berpikir cepat, sebelum akhirnya mengetikkan pesan bernada ancaman dan mengirimkannya pada Anton.
Belasan menit berikutnya, pria tersebut menelepon Keisha. Namun, belum sempat Anton menjelaskan, perempuan berambut panjang itu sudah mencecarnya dengan pertanyaan beruntun.
"Kei, kepalaku lagi pusing. Tolong, jangan ngomel dulu," bujuk Anton dari seberang telepon.
"Mas yang bikin aku marah. Susah benar dihubungi!" desis Keisha.
"Sorry, tapi kemarin aku benar-benar sibuk."
"Segitu sibuknya, sampai nggak bisa balas chat-ku?"
"Hapeku ngedadak hang. Akhirnya kumatikan, dan baru nyala tadi pagi. Aku buru-buru mau rapat, jadi lupa nelepon kamu."
Keisha mendengkus kuat. Meskipun kesal pada Anton, tetapi dia berusaha untuk menenangkan diri. "Mas, kapan kita nemuin orang tuaku? Mereka sudah nanyain tentang kesungguhan Mas untuk menikahiku."
"Tunggu aku pulang Jumat nanti. Sabtu, kita ke rumah orang tuamu."
"Bukannya Mas waktu itu bilangnya, dinas cuma sampai Rabu?"
"Banyak masalah di sini, Kei. Beberapa tender besar gagal didapatkan. Aku mau nyoba ngedeketin Adwaya Lakeswara dan Andreas Karunasekara. Supaya bisa nyelip ke perusahaan mereka."
"Hmm, kenapa banyak yang gagal?"
"Karena proyeknya dikuasai PC."
Keisha tercengang. "Mas Sebastian juga anggota PC."
"Aku lupa tentang itu."
"Dia menetap di Singapura juga dalam rangka menyelesaikan proyek PC."
Anton tertegun sesaat. "Kamu bisa nggak? Deketin dia supaya kita bisa join."
"Aku nggak berani. Dia itu keras kepala. Urusan harta aja, sampai sekarang aku masih berjuang buat mendapatkannya."
"Dicoba dulu, Kei. Pura-pura baik ke dia. Siapa tahu dia akhirnya luluh dan memberikanmu bagian dari harta gono-gini."
"Aku nggak yakin. Apalagi dia sudah blokir semua akun sosmed-ku. Untuk berkomunikasi pun, aku terpaksa minta tolong sama Aline."
"Manfaatkan lagi adiknya itu. Apalagi dia pernah utang budi ke kamu. Sekarang waktunya menagih, supaya kamu dapat harta itu."
06Sebastian dan Urfan tiba di rumah sakit tepat jam besuk. Mereka jalan menyusuri lorong yang banyak orang lalu-lalang, dengan berbagai keperluan. Sesampainya di depan ruang ICU, keduanya terkejut karena ternyata banyak pengunjung. Lidya yang berada di sana, berdiri dan menyambangi Sebastian dan Urfan. "Ririn sudah sadar, dan dia nyariin Mas," terang Lidya sembari menyalami kedua tamu. "Syukurlah. Aku bisa tenang sekarang," jawab Sebastian. "Mari masuk, Mas. Ada Ibu di dalam." "Bapak dan yang lainnya, ke mana?" tanya Sebastian sembari mengikuti langkah Lidya ke ruangan dalam. "Bapak dan Faidhan pulang dulu untuk istirahat. Nanti malam mereka akan menunggui lagi di sini. Kalau suamiku, sedang kerja." "Abizar?" "Dia lagi jaga toko bapaknya." Mereka berhenti di dekat pintu besar. Urfan duduk di bangku panjang. Sedangkan Lidya mengajak Sebastian memasuki ruangan ICU. Lidya meminta Sebastian mencuci tangan di wastafel. Kemudian dia memberikan pakaian khusus untuk melapisi baju l
07Suasana kamar kelas utama yang ditempati Rinjani, sore itu terlihat ramai. Kondisinya yang makin membaik, membuat Rinjani bisa dipindahkan ke ruangan itu siang tadi. Netha, Tia dan Shahnaz bergantian mengendong bayi laki-laki berselimut biru. Mereka langsung jatuh hati pada anak Rinjani, hingga berebutan untuk menjadikannya menantu. Kala kedua bos Rinjani datang bersama beberapa orang lainnya, Lidya dan Ambar, ibunya, seketika sibuk menyajikan aneka suguhan buat para tamu dari Jakarta. "Masyaallah, kasep pisan," puji Edelweiss Indira, seusai mengecup dahi sang bayi yang tengah terlelap. "Mirip kamu, Rin," imbuh Mutiara, bos utama EO tempat Rinjani bekerja. "Ya, terutama alis dan bibirnya," sahut Amy, sang MUA."Aku jadi pengen punya anak," imbuh Jhonny, fotografer EO. "Calon ibunya dulu yang dicari, Mas," sela Netha. "Cariinlah, Tha. Aku nggak punya waktu," seloroh Johnny. "Sama saudaraku, mau?" Netha mengutak-atik ponselnya, lalu memperlihatkan foto seorang perempuan beram
01"Mas, aku pamit," tutur Keisha Mahira sambil mengulurkan tangan kanannya. Sebastian Anargya tidak menyahut. Dia bahkan tidak berbalik dan memfokuskan pandangan ke luar jendela. Seolah-olah dedaunan yang tengah bergoyang di pohon dalam pot bunga itu, lebih menarik daripada perempuan di belakangnya. "Aku tadinya berharap, bisa mengakhiri hubungan ini baik-baik," sambung Keisha sambil menurunkan tangannya. "Baik-baik?" tanya Sebastian sembari memutar badan. "Perselingkuhanmu adalah hal terburuk yang pernah kudapatkan dalam hidup ini," lanjutnya. "Kita sudah pernah membahas ini, dan aku telah menjelaskan semuanya dengan detail." "Kamu hanya drama, Kei. Playing victim. Padahal korbannya adalah aku, bukan kamu!" "Aku sudah berulang kali meminta maaf. Kumohon, Mas bisa memahami jika aku masih mencintai Mas Anton, bahkan dari dulu rasa ini tidak pernah berkurang." Sebastian menggertakkan gigi. "Jangan sebut namanya di depanku!" Keisha mendengkus kuat. "Inilah yang membuatku sulit j
02Siang itu, Sebastian telah tiba di unit apartemen yang disewanya di kawasan hunian bergengsi di Kota Singapura. Sebab tengah mengerjakan proyek dari PC di sana, Sebastian memutuskan untuk menetap di kota itu. Dia berharap tindakannya tersebut bisa membantunya untuk melupakan Keisha. Sudah beberapa bulan berlalu. Sebastian sama sekali tidak pernah menghubungi Keisha. Sedangkan perempuan itu berulang kali mengirim pesan pada Aline, Adik bungsu Sebastian, untuk meminta harta gono-gini. Sebastian bukan tidak mau memberikan apa yang diminta mantan istrinya. Namun, karena mereka telah menandatangani surat perjanjian pra nikah, yang menyebutkan jika ada perselingkuhan, maka pelakunya tidak berhak mendapatkan harta bersama.Sebastian yakin jika Keisha tahu tentang klausul itu, tetapi perempuan tersebut benar-benar kemaruk. Hingga Keisha melakukan segala cara untuk mendapatkan simpati dari orang-orang terdekat Sebastian. Pria berkemeja putih seketika menoleh ke belakang saat dipanggil a
03Jalinan waktu terus bergulir. Sore itu, Sebastian dan Urfan telah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka pulang ke Indonesia, karena Sebastian hendak menghadiri pernikahan temannya saat kuliah dulu. Kedua pria berbeda tampilan, mengikuti langkah Syuja dan Hasbi, kedua pengawal muda PBK, yang juga baru pulang dinas jadi pengawas di Singapura. Selain keempat orang itu, beberapa anggota PG dan PC turut bergabung dalam kelompok pimpinan Syuja. Hadrian Danadyaksha, Yafizhan Endaru, Rylee Maglorius Ghawani dan Riko Mahardika, terlihat berbincang santai sembari meneruskan langkah menuju luar terminal kedatangan khusus luar negeri. Dua pria berbadan tegap menyambut mereka dengan penghormatan. Nawang dan Dipta, kedua pengawal lapis 9, menyalami semua anggota kelompok tersebut. Seusai berbincang sesaat, mereka bergerak menuju tempat parkir. Tidak berselang lama, kedua mobil MPV hitam telah melaju keluar area parkir bandara, menuju jalan tol. "Rapat gabungan, jadinya hari
04Sebastian menggeleng ketika Yeremia dan Didi saling mendorong bahu. Dia terkekeh saat kedua rekannya tersebut melanjutkan perdebatan dengan saling memelototi. Kelompok pria bersetelan jas berbagai warna tersebut, berdiri dan jalan menuju pelaminan. Seusai menyalami pasangan pengantin, mereka berdiri di sisi kanan dan kiri kedua mempelai sambil berpose. Beberapa jepretan diambil sang fotografer. Kameramen juga turut mengabadikan kelompok rekan-rekan kuliah sang pengantin laki-laki dalam video berdurasi pendek. Setelahnya, mereka menuruni pelaminan. Sebab hendak menuntaskan panggilan alam, Sebastian memisahkan diri dari kelompoknya. Pria bersetelan jas abu-abu, mengayunkan tungkai menuju area belakang gedung. Sebastian memasuki toilet khusus laki-laki dan segera menyelesaikan urusannya. Saat beranjak keluar, tanpa sengaja Sebastian mendengar suara orang meminta tolong. Dia berdiri sesaat di depan toilet wanita, sebelum memberanikan diri membuka pintunya. "Astaga! Kamu kenapa?"
07Suasana kamar kelas utama yang ditempati Rinjani, sore itu terlihat ramai. Kondisinya yang makin membaik, membuat Rinjani bisa dipindahkan ke ruangan itu siang tadi. Netha, Tia dan Shahnaz bergantian mengendong bayi laki-laki berselimut biru. Mereka langsung jatuh hati pada anak Rinjani, hingga berebutan untuk menjadikannya menantu. Kala kedua bos Rinjani datang bersama beberapa orang lainnya, Lidya dan Ambar, ibunya, seketika sibuk menyajikan aneka suguhan buat para tamu dari Jakarta. "Masyaallah, kasep pisan," puji Edelweiss Indira, seusai mengecup dahi sang bayi yang tengah terlelap. "Mirip kamu, Rin," imbuh Mutiara, bos utama EO tempat Rinjani bekerja. "Ya, terutama alis dan bibirnya," sahut Amy, sang MUA."Aku jadi pengen punya anak," imbuh Jhonny, fotografer EO. "Calon ibunya dulu yang dicari, Mas," sela Netha. "Cariinlah, Tha. Aku nggak punya waktu," seloroh Johnny. "Sama saudaraku, mau?" Netha mengutak-atik ponselnya, lalu memperlihatkan foto seorang perempuan beram
06Sebastian dan Urfan tiba di rumah sakit tepat jam besuk. Mereka jalan menyusuri lorong yang banyak orang lalu-lalang, dengan berbagai keperluan. Sesampainya di depan ruang ICU, keduanya terkejut karena ternyata banyak pengunjung. Lidya yang berada di sana, berdiri dan menyambangi Sebastian dan Urfan. "Ririn sudah sadar, dan dia nyariin Mas," terang Lidya sembari menyalami kedua tamu. "Syukurlah. Aku bisa tenang sekarang," jawab Sebastian. "Mari masuk, Mas. Ada Ibu di dalam." "Bapak dan yang lainnya, ke mana?" tanya Sebastian sembari mengikuti langkah Lidya ke ruangan dalam. "Bapak dan Faidhan pulang dulu untuk istirahat. Nanti malam mereka akan menunggui lagi di sini. Kalau suamiku, sedang kerja." "Abizar?" "Dia lagi jaga toko bapaknya." Mereka berhenti di dekat pintu besar. Urfan duduk di bangku panjang. Sedangkan Lidya mengajak Sebastian memasuki ruangan ICU. Lidya meminta Sebastian mencuci tangan di wastafel. Kemudian dia memberikan pakaian khusus untuk melapisi baju l
05"Halo?" sapa suara laki-laki yang tidak dikenali Anton. "Maaf, apa ini betul nomornya Rinjani?" tanya pria berkulit kecokelatan. "Ya. Ini, siapa?" "Ehm, temannya." Chumaidi, ipar Rinjani terkesiap. Dia seolah-olah pernah mendengar suara orang yang menelepon itu. Namun, Chumaidi melupakan detailnya. "Ririn sedang tidak bisa menerima telepon," jelas Chumaidi."Apa ada masalah?" tanya Anton tanpa bisa menahan rasa penasarannya."Tidak ada. Dia sedang tidur." "Oh, begitu." "Ada yang bisa saya bantu?" "Ehm, nggak ada. Besok saya telepon lagi." "Sebutkan namamu. Supaya saya bisa menyampaikannya pada Ririn nanti." Anton melirik asistennya yang sedang sibuk bersantap. "Dani," ucapnya, sengaja memakai nama Mardani agar tidak dicurigai orang yang ditebaknya sebagai suami Lidya. "Baik." "Makasih, Mas. Saya tutup teleponnya. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Chumaidi menjauhkan ponsel Rinjani dari telinganya. Pria berkumis tersebut memandangi istrinya yang sedang mengaji dengan
04Sebastian menggeleng ketika Yeremia dan Didi saling mendorong bahu. Dia terkekeh saat kedua rekannya tersebut melanjutkan perdebatan dengan saling memelototi. Kelompok pria bersetelan jas berbagai warna tersebut, berdiri dan jalan menuju pelaminan. Seusai menyalami pasangan pengantin, mereka berdiri di sisi kanan dan kiri kedua mempelai sambil berpose. Beberapa jepretan diambil sang fotografer. Kameramen juga turut mengabadikan kelompok rekan-rekan kuliah sang pengantin laki-laki dalam video berdurasi pendek. Setelahnya, mereka menuruni pelaminan. Sebab hendak menuntaskan panggilan alam, Sebastian memisahkan diri dari kelompoknya. Pria bersetelan jas abu-abu, mengayunkan tungkai menuju area belakang gedung. Sebastian memasuki toilet khusus laki-laki dan segera menyelesaikan urusannya. Saat beranjak keluar, tanpa sengaja Sebastian mendengar suara orang meminta tolong. Dia berdiri sesaat di depan toilet wanita, sebelum memberanikan diri membuka pintunya. "Astaga! Kamu kenapa?"
03Jalinan waktu terus bergulir. Sore itu, Sebastian dan Urfan telah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka pulang ke Indonesia, karena Sebastian hendak menghadiri pernikahan temannya saat kuliah dulu. Kedua pria berbeda tampilan, mengikuti langkah Syuja dan Hasbi, kedua pengawal muda PBK, yang juga baru pulang dinas jadi pengawas di Singapura. Selain keempat orang itu, beberapa anggota PG dan PC turut bergabung dalam kelompok pimpinan Syuja. Hadrian Danadyaksha, Yafizhan Endaru, Rylee Maglorius Ghawani dan Riko Mahardika, terlihat berbincang santai sembari meneruskan langkah menuju luar terminal kedatangan khusus luar negeri. Dua pria berbadan tegap menyambut mereka dengan penghormatan. Nawang dan Dipta, kedua pengawal lapis 9, menyalami semua anggota kelompok tersebut. Seusai berbincang sesaat, mereka bergerak menuju tempat parkir. Tidak berselang lama, kedua mobil MPV hitam telah melaju keluar area parkir bandara, menuju jalan tol. "Rapat gabungan, jadinya hari
02Siang itu, Sebastian telah tiba di unit apartemen yang disewanya di kawasan hunian bergengsi di Kota Singapura. Sebab tengah mengerjakan proyek dari PC di sana, Sebastian memutuskan untuk menetap di kota itu. Dia berharap tindakannya tersebut bisa membantunya untuk melupakan Keisha. Sudah beberapa bulan berlalu. Sebastian sama sekali tidak pernah menghubungi Keisha. Sedangkan perempuan itu berulang kali mengirim pesan pada Aline, Adik bungsu Sebastian, untuk meminta harta gono-gini. Sebastian bukan tidak mau memberikan apa yang diminta mantan istrinya. Namun, karena mereka telah menandatangani surat perjanjian pra nikah, yang menyebutkan jika ada perselingkuhan, maka pelakunya tidak berhak mendapatkan harta bersama.Sebastian yakin jika Keisha tahu tentang klausul itu, tetapi perempuan tersebut benar-benar kemaruk. Hingga Keisha melakukan segala cara untuk mendapatkan simpati dari orang-orang terdekat Sebastian. Pria berkemeja putih seketika menoleh ke belakang saat dipanggil a
01"Mas, aku pamit," tutur Keisha Mahira sambil mengulurkan tangan kanannya. Sebastian Anargya tidak menyahut. Dia bahkan tidak berbalik dan memfokuskan pandangan ke luar jendela. Seolah-olah dedaunan yang tengah bergoyang di pohon dalam pot bunga itu, lebih menarik daripada perempuan di belakangnya. "Aku tadinya berharap, bisa mengakhiri hubungan ini baik-baik," sambung Keisha sambil menurunkan tangannya. "Baik-baik?" tanya Sebastian sembari memutar badan. "Perselingkuhanmu adalah hal terburuk yang pernah kudapatkan dalam hidup ini," lanjutnya. "Kita sudah pernah membahas ini, dan aku telah menjelaskan semuanya dengan detail." "Kamu hanya drama, Kei. Playing victim. Padahal korbannya adalah aku, bukan kamu!" "Aku sudah berulang kali meminta maaf. Kumohon, Mas bisa memahami jika aku masih mencintai Mas Anton, bahkan dari dulu rasa ini tidak pernah berkurang." Sebastian menggertakkan gigi. "Jangan sebut namanya di depanku!" Keisha mendengkus kuat. "Inilah yang membuatku sulit j