Setelah mendapatkan pemberitahuan dari kampusnya, hari ini merupakan jadwal bagi Bening untuk mengambil jas almamaternya. Ia juga akan berbelanja beberapa keperluan untuk OSPEK. Kebetulan karena Bening tidak seperti mahasiswi reguler pada umumnya, OSPEK bagi Bening yang mengambil kelas karyawan tidak diwajibkan. Mungkin ia dan mahasiswa kelas karyawan lain hanya perlu mendengarkan pidato dari para petinggi universitas dan lainnya. Kala itu, setelah mengambil jas almamater dari ruang jurusan, Bening secara tidak sengaja bertemu dengan Risky, kakak tingkat yang kala itu ia tabrak saat berjalan-jalan di sekitar kampus. Risky menyapa Bening terlebih dulu dan menghampirinya dengan senyum mengembang.“Hari ini jadwal maba ambil almamater, ya?”Bening mengangguk dan menunjukkan bungkusan plastik di tangannya. “Iya, Mas. Untung aja tadi antreannya nggak terlalu banyak, jadi bisa langsung dapet.”“Mm, gitu, ya.” Risky manggut-manggut. Ia melihat jam di ponselnya dan menyadari bahwa hari masih
Kalingga refleks mendorong Maya lumayan keras karena kaget. Untung saja Maya masih mampu mempertahankan keseimbangannya meskipun didorong seperti itu oleh Kalingga. "Apa-apaan kamu, May?!" seru Kalingga. Ia agak kesal karena Maya tidak tahu batasan dan malah melakukan hal mencurigakan seperti ini di rumah dinasnya, di mana Bening juga ada di sini bersama mereka. Maya tidak mengindahkan seruan Kalingga. Ia malah lanjut memeluk Kalingga lagi dengan begitu erat."Aku kangen sama Bang Lingga," ucap Maya. Ia menyandarkan kepalanya pada dada Kalingga, sementara rengkuhannya pada tubuh Kalingga begitu erat.Kalingga panik. Ia berusaha mendorong Maya lepas, tetapi ia harus menahan kekuatannya untuk tidak sampai menyakiti Maya. Karena menahan diri itu jugalah, agak sulit untuk Kalingga melepaskan diri."Lepasin Abang, May. Jangan kayak gini.""Maya kangen banget, Bang." Maya mulai merengek."Nggak kayak gini caranya, May," tegas Kalingga. Maya cemberut. Namun, ia masih bertahan dengan memel
Wildan mengepalkan telapak tangannya. “Semuanya sia-sia. Semua sia-sia. Padahal aku sudah melakukan segala cara agar Bening nggak menikah dengan laki-laki lain. Tapi… tapi kenapa mereka malah tetap menikah?”Di kamar rumah sakit itu, Wildan terus meracau seperti orang gila. Ia benar-benar tidak terima dengan kenyataan ini. Baru saja ia sadar dari koma, kesehatannya pun bahkan belum membaik secara sempurna, dan ia harus merasakan tekanan mental seperti ini. Ia tidak bisa membayangkan Bening sudah dimiliki pria lain. Wildan meremas kepalanya sendiri, sesekali bahkan menjambak rambutnya karena tidak kuasa menahan rasa frustrasi yang mengguncang jiwa dan raganya.“Bening… Bening… Kamu seharusnya menjadi milikku, Bening. Kenapa kamu malah sama dia?” gumam Wildan berkali-kali.*Flashback Wildan tentu masih ingat dengan apa yang sudah ia lakukan kepada Bening. Bahkan setelah mengalami koma pun, tidak ada sedikit pun memorinya yang terganggu. Segalanya masih tampak jelas seolah masih baru
Bening langsung pergi ke dapur untuk memasak meninggalkan Kalingga yang terdiam di sana. Ia mengeluarkan seluruh bahan-bahan yang tadi sudah disiapkan dari kulkas dan mengambil pisau untuk memotong wortel yang belum dipotong. Kepala Bening seakan hanya dipenuhi oleh amarah sehingga ia hanya bisa berpikir untuk menyalurkan emosinya dengan memasak.Namun, memang benar kata pepatah jika tidak seharusnya melakukan sesuatu saat emosi. Bening memotong wortel dengan tergesa, dan secara tidak sengaja mengiris jarinya sendiri. Dan seketika itu pula telunjuknya langsung berdarah.“Akh!!” Bening meringis dan langsung mengangkat jari telunjuknya yang mengeluarkan darah. Ada robekan kecil dan cukup dalam di ujung jari Bening. Rasa perih di jarinya itu membuatnya menangis tanpa sadar.“Aku kok apes banget sih, hiks.”Kalingga mendengar isakan halus Bening dari dapur. Kepalanya terangkat dan alisnya saling bertaut, kenapa mendadak Bening menangis? Kalingga jadi khawatir dan memutuskan untuk mengecek
Tubuh Bening menjadi tegang. Dia tidak percaya dengan apa yang diucapkan Kalingga barusan. Ingin menyentuhnya? Bening tidak bodoh untuk mengetahui maksud Kalingga. Tetapi, dia tidak bisa melakukannya dengan Kalingga sekarang. Bening bahkan tidak tahu jika ucapan Kalingga tadi benar-benar tulus atau hanya caranya untuk menenangkan hati Bening.Di sisi lain, Kalingga menyadari reaksi spontan Bening. Wanita itu terlihat tidak bisa bernapas, dengan wajah yang menegang. “Kamu sudah mendengar rahasia saya. Selanjutnya, apa yang harus saya lakukan? Setidaknya beri saya jawaban,” bisik Kalingga sekali lagi.Bening membelalak dan mendorong Kalingga setelah ia menyadari situasi di antara mereka. “Awas! Tolong jangan lakukan ini lagi, Kapten.” Bening melemparkan tatapan memperingatkan dan kabur dari kungkungan Kalingga. Ia beringsut menjauh ke sudut kasur.“Jangan macam-macam. Kalau Maya tahu, aku yakin dia bakal marah.”“Maya?” Kalingga menggigit bibirnya saat nama Maya disinggung. “Saya seriu
Bening mengerjapkan matanya. Ia berada di sebuah kamar. Bening menatap sekitar, dan itu bukan kamar di rumah dinas Kalingga seperti yang ia kenal. Ini seperti sebuah kamar hotel atau mansion yang mewah. Ada ranjang berukuran king size dengan sprei lembut dan juga selimut yang empuk, aroma kamar ini juga wangi seperti bunga-bunga. Interiornya benar-benar menarik, atau setidaknya, itulah yang Bening pikirkan di awal, sampai kemudian ia menyadari sesuatu.“Eh? Aku di sini ngapain?” gumamnya. Ia tidak ingat pernah merencanakan liburan dan menginap di sebuah hotel mewah seperti ini. Dan apakah ia sendirian?Bening mengedarkan pandangannya, kemudian matanya menangkap sosok yang amat familiar sedang berdiri di balkon kamar, kedua siku tangannya bertumpu pada besi pembatas balkon, dan orang itu sedang menatap ke depan, ke arah langit malam yang tampaknya cerah bertabur bintang.“Kapten Kalingga?” ucap Bening.Bening melebarkan senyum. Ia pikir, mungkin ia lupa pernah merencanakan liburan deng
Bening dan orang yang tidak sengaja bertabrakan dengannya itu saling menatap satu sama lain. Seketika, wajah manyun Bening berubah.“Mas Risky?”“Bening?”Risky tersenyum semakin lebar. “Wah, enggak nyangka banget bakal ketemu sama kamu di sini. Lagi jalan-jalan juga? Atau belanja?” Risky melirik tangan Bening, tetapi wanita itu tidak kelihatan sedang membawa tas belanjaan apapun.Bening tersenyum. “Ya, begitulah. Lagi suntuk aja di rumah makanya jalan-jalan,” jawabnya.“Terus, kamu sama siapa di sini?”Bening teringat dengan Kalingga yang sedang bersama Maya dan itu seketika membuatnya kesal bukan main. Sebenarnya ia hendak menjawab bersama Kalingga, tetapi karena bad mood luar biasa, akhirnya ia tidak jadi menjawab begitu.“Sendirian,” jawab Bening.Risky mangut-mangut. “Oh…”“Terus kalau Mas Risku sendiri ngapain di sini? Lagi jalan sama ceweknya, ya?”Risky sontak tertawa mendengar pertanyaan itu. “Cewek apa? aku nggak punya cewek kok.”Bening ikut tertawa. “Ah, bohong banget. Ngg
Kalingga benar-benar murka. Panggilannya itu membuat Risky dan Bening tersentak kaget. Risky spontan saja melepaskan tangannya dari wajah Bening. Lelaki itu membelalak saat melihat seorang pria berbadan tegap menghampiri mereka. Sementara itu, Bening membeku di tempatnya. Tanpa sadar ia menyebutkan nama Kalingga..“Kapten Kalingga..?”Kalingga menggeram rendah lalu menghampiri Bening dengan tatapan mautnya. Secara kasar ia menarik Bening dari Risky menjauh. Seolah sedang mengambil apa yang menjadi miliknya. Bening mengaduh kesakitan, es krim di tangannya jatuh ke lantai. Cengkeraman Kalingga di lengannya seperti akan mematahkan tulangnya jadi dua.“Aduh, sakit!”“Hei, jangan kasar-kasar dong sama perempuan!” seru Risky tidak terima. Ia benar-benar tidak menyangka akan ada seorang pria yang berani menyakiti perempuan. Risky bisa melihat Bening meringis dan bagaimana cara Kalingga memegangi lengannya, urat nadi sampai menonjol di pergelangan tangan wanita itu.“Tolong lepasin dia, kamu
Ibunya Bening panik dan langsung menghubungi ambulans. Dengan dibantu oleh tetangga di battalion, Bening akhirnya diangkut dengan ambulans untuk ke rumah sakit. Sepanjang jalan, Bening terus menggenggam telapak tangan ibunya sambil mengatur napas. Keringatnya bercucuran, dan wajahnya pucat pasi saking beratnya sakit yang harus ia tahan. Sesampainya di rumah sakit, Bening langsung dibawa ke ruang persalinan. Ibunya Bening diminta untuk keluar dulu sebentar karena para dokter dan perawat sedang menyiapkan penanganan. Saat itu, ibunya Bening menghubungi Damar karena Bu Rita dirawat di rumah sakit yang sama juga. Kesehatan Bu Rita semakin menurun seiring waktu, sampai pada titik beliau harus dirawat di rumah sakit. “Halo, Ibu?” sapa Damar.“Nak Damar? Damar kamu di rumah sakit ‘kan, Nak?” tanya ibunya Bening.Damar di seberang panggilan mengernyit mendengar nada panik dari ibunya Bening. “Iya, masih nemenin Mama, kenapa Bu? Kok kayaknya lagi panik?”“Bening mau melahirkan sekarang. Baru
Maya dirawat di rumah sakit selama beberapa hari pasca melahirkan hingga kesehatannya pulih. Ia sudah memantapkan diri untuk memberikan anaknya kepada Damar dan Kinan, lalu ia akan pergi jauh dan memulai hidup baru dengan melupakan segalanya. Ia bukannya tidak sayang dengan anak itu, kalau ia benci, dari awal sebelum Damar menyuruhnya aborsi, ia pasti sudah melakukannya sendiri. Hanya saja, Maya merasa anaknya tidak akan ada masa depan cerah kalau bertahan dengan dirinya. Lebih baik memberikan anak itu kepada Damar dan Kinan di mana mereka berdua memang sedang berharap untuk punya anak. Maya hanya berharap kalau Damar dan Kinan bisa menjaga anaknya dengan baik. Hari ini, Maya sudah sehat. Ia merasa sudah bisa keluar dari rumah sakit. Jadi ia bersiap-siap mau pergi. Tidak ada yang menjemputnya atau menemaninya, dan Maya sendiri juga tidak butuh itu. Seluruh tagihan rumah sakit sudah diurus Damar, intinya Maya tinggal pergi saja. Sebelum pergi, Maya berniat untuk bertemu dengan anakny
Beberapa bulan berlalu, masalah Kinan dan Damar mulai membaik seiring waktu. Setidaknya sejak beberapa minggu belakangan, Kinan sudah tidak cuek lagi. Damar memang melakukan sesuai apa yang Kinan perintahkan. Ia jarang menemui Maya, hanya di waktu-waktu yang penting saja. Maka dari itulah, Damar dan Kinan tidak saling marah lagi. Kinan juga sudah mau kembali ke rumah mereka dan tidak melarikan diri di rumah Bu Rita lagi.Malam itu, Maya tiba-tiba datang ke rumah Damar dan Kinan ketika mereka berdua sedang makan malam. Kandungan Maya sudah masuk ke masa melahirkan. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai anak Maya lahir. Maya merasa semakin sengsara dengan hidupnya. Ia tidak bahagia menjadi istri Damar. Sebab ia tidak merasakan diperlakukan selayaknya seorang istri. Tentu ia sadar sebab Damar sangat mencintai Kinan. Maya memutuskan datang ke rumah Damar dan Kinan untuk bicara. Mungkin sebaiknya memang memperjelas bagaimana kelanjutan hubungan Maya dan Damar setelahnya.Ketika bel rum
“Apa?! Susan masuk rumah sakit jiwa? Kok bisa, Bu?”Ibunya Bening menghela napas panjang. “Katanya karena Wildan. Susan benar-benar terobsesi sama Wildan. Sekarang pas satgas di Papua, Wildan nggak bisa dihubungi. Dia stress dan kebablas jadi kayak begitu. Katanya juga sih karena Wildan nggak mau nikahin Susan sementara Susan udah berharap banget. Terus ini juga jadi perbincangan warga di kampung, katanya Susan itu udah hamil anaknya Wildan tapi keguguran gitu. Apa bener, ya?”Bening terdiam. Ia sudah tahu mengenai fakta itu karena sebelumnya Kalingga menjelaskan semua hal yang ia dapatkan ketika memata-matai Wildan. “Kalau itu… Bening nggak tau, Bu,” jawab Bening. Agak berat sebenarnya berbohong, tetapi masalah kehamilan Susan itu masih menjadi rumor di kampung, jadi lebih baik Bening tidak perlu mengatakan yang sebenarnya. Takutnya nanti malah lebih besar rumornya.“Kok bisa ya Susan mengharap banget sama Wildan? Itu juga Wildan dulu ‘kan katanya mau nikah sama Susan sampai mutusin
Kinan kepikiran dengan apa yang sudah ia lakukan di masa lalu. Selama beberapa saat, ia bad mood berat dan diam saja di ruang televisi. Sampai kemudian ia mengembuskan napas panjang. Kinan beranjak dari sofa dan mengintip ke kamar Bu Rita. Beliau masih tertidur. Kinan baru saja hendak ke dapur mengambil minum, tetapi ia mendengar suara Damar yang baru datang. Kinan tetap mengabaikannya. Ia berpura-pura tidak melihat meskipun Damar menghampirinya ke dapur.“Mama gimana, Kin?” tanya Damar.Kinan malah asyik menenggak air minumnya dan sama sekali tidak menatap Damar. “Kinan…”“Apa sih?”“Mama gimana?”“Coba tanya sendiri sana. Emang Mas pikir gara-gara siapa Mama kayak gini, hah?”Damar menghela napas panjang. “Maka dari itu aku bilang jangan ngomong ke Mama dulu, Kinan. Jadinya—”“Oh, kamu nyalahin aku? Lagian kamu dari mana sih? Ketemuan sama si Maya lagi, ya? Kamu nggak denger apa yang aku bilang sebelumnya?”“Astaga, Cuma ke kantor, Kin. Kerja kayak biasa.”Kinan mencebik. “Heleh,
“Ngomong apa kamu Kinan?” Kinan menatap tajam kepada Damar. “Aku serius. Kalau Mas Damar tetap ngeyel mau ketemu Maya terus, aku singkirin beneran anak itu. Lagian itu juga anak haram!”“Kinan!” bentak Damar. “Jangan ngomong sembarangan kamu.”“Kenapa?! Oh, sekarang lebih suka belain selingkuhan kamu itu ya?” Damar mengusap wajahnya kasar. “Kinan, aku udah jelasin semuanya sama kamu. Tolonglah, anak itu nggak salah apa-apa. Itu semua salahku.”“Ya udah, makanya jangan ngeyel. Permintaanku juga nggak aneh, ‘kan? Wajarlah seorang istri ngelarang suaminya ketemu perempuan lain.”“Tapi—”“Aku mau pergi ke rumah Mama aja,” potong Kinan.Damar membelalak. “Apa?”Kinan langsung keluar kamar dan berniat pergi ke rumah Bu Rita, tetapi Damar menahan pergelangan tangannya.“Mau apa kamu ke rumah Mama, Kinan?” tanya Damar.“Mau ngelaporin kalau anaknya udah selingkuh sampai bikin sepupunya sendiri hamil!” seru Kinan.“Jangan! Kinan, jangan lakukan itu.”“Kenapa? Kamu takut Mama marah? Sebelum k
Kinan yang sudah menangkap basah Damar ternyata berselingkuh dengan Maya langsung bergerak untuk melabrak mereka. Kinan menghampiri apartemen Maya kemudian menggedor-gedor pintunya sambil berteriak keras.“Keluar! Mas Damar! Maya! Keluar kalian!” seru Kinan penuh amarah.Damar dan Maya yang ada di dalam kaget karena mendengar suara Kinan berteriak juga gedoran pintu memb abi buta di sana. Mereka berdua segera keluar, dan benar saja, Kinan berdiri di sana, dengan tatapan nyalang seolah siap untuk melontarkan seluruh amarah yang telah ia tahan-tahan sejak lama.“Kinan… Kamu… Kamu di sini?” Damar panik.Kinan menggeram marah. “Oh, jadi ini ya yang katanya Mas Damar pergi ketemu kolega? Ckckck… Ketemu kolega buat tidur bareng maksudnya?”“Kinan, hentikan omongan kamu itu!” seru Damar.Kinan malah semakin marah mendengar ucapan Damar. “Kenapa? Emang bener, ‘kan? Aku selama ini diem aja karena aku mau nunggu kamu sendiri yang ngaku ada apa sebenarnya, ternyata bener kamu selingkuh.”“Kinan,
“H-hah?”Rekan Wildan semakin menaruh curiga. Sebenarnya, rekan Wildan ini sudah beberapa kali melihat gerak-gerik aneh Wildan. Namun, berhubung tugas mereka di sini juga semakin sibuk karena terbagi dua antara tugas satgas dan juga mencari Kalingga, jadi rekan Wildan ini kadang juga lupa mau bertanya. “Kamu ngomong apa sih?” kata Wildan.Si rekan Wildan ini mengendikkan bahunya. “Cuma nanya. Soalnya kamu kayak menyelinap gitu, diam-diam segala. Kamu nggak ngelakuin hal aneh-aneh ‘kan Dan?”Wildan tertawa hambar, berusaha mengusir kegugupan yang melanda dirinya. Sial, ia ceroboh. Ia sama sekali tidak sadar kalau ada rekannya yang melihat bahwa ia seriang menyelinap diam-diam. Wildan kira ia sudah aman, tetapi ternyata masih ada yang melihat.“Ngaco kamu. Jangan nuduh sembarangan lah,” balas Wildan.Rekan Wildan menghela napas panjang. “Yang nuduh juga siapa, Dan? Aku ‘kan cuma nanya. Masalahnya nggak sekali atau dua kali aja aku lihat kamu kayak gini. Aku udah mau nanya dari kemarin-
Bening tidak tahu mana yang lebih menyebalkan, Susan yang terus meminta agar Bening membujuk Wildan supaya mau menikahinya, atau Wildan yang tidak mau berhenti mengganggu kehidupan Bening. Sungguh, Bening tidak paham dengan kedua orang itu. Mereka pernah menjadi orang yang dekat dengan Bening, siapa sangka malah sekarang dua-duanya menjadi sosok paling mengganggu dalam hidupnya. Apa sih sebenarnya yang ada di otak Wildan sampai ia santai sekali berkata seperti itu? membercandai seseorang yang saat ini mungkin sedang mempertaruhkan nyawa bukanlah hal yang etis. Lebih-lebih, Kalingga itu jelas adalah atasan Wildan sendiri. Di mana sebenarnya akal sehat pria itu?“Dengar ya Mas, ngelihat wajah kamu aja aku jijik, jadi jangan ngarep apa-apa! Mas Lingga pasti masih hidup, aku yakin itu,” tegas Bening.Wildan malah terkekeh menyebalkan di seberang panggilan. “Oh ya? Hm… ya ini hanya untuk jaga-jaga aja sih. Kan nggak mungkin ya wanita secantik kamu dibiarin menjanda gitu aja. Makanya aku s