Bening dan orang yang tidak sengaja bertabrakan dengannya itu saling menatap satu sama lain. Seketika, wajah manyun Bening berubah.“Mas Risky?”“Bening?”Risky tersenyum semakin lebar. “Wah, enggak nyangka banget bakal ketemu sama kamu di sini. Lagi jalan-jalan juga? Atau belanja?” Risky melirik tangan Bening, tetapi wanita itu tidak kelihatan sedang membawa tas belanjaan apapun.Bening tersenyum. “Ya, begitulah. Lagi suntuk aja di rumah makanya jalan-jalan,” jawabnya.“Terus, kamu sama siapa di sini?”Bening teringat dengan Kalingga yang sedang bersama Maya dan itu seketika membuatnya kesal bukan main. Sebenarnya ia hendak menjawab bersama Kalingga, tetapi karena bad mood luar biasa, akhirnya ia tidak jadi menjawab begitu.“Sendirian,” jawab Bening.Risky mangut-mangut. “Oh…”“Terus kalau Mas Risku sendiri ngapain di sini? Lagi jalan sama ceweknya, ya?”Risky sontak tertawa mendengar pertanyaan itu. “Cewek apa? aku nggak punya cewek kok.”Bening ikut tertawa. “Ah, bohong banget. Ngg
Kalingga benar-benar murka. Panggilannya itu membuat Risky dan Bening tersentak kaget. Risky spontan saja melepaskan tangannya dari wajah Bening. Lelaki itu membelalak saat melihat seorang pria berbadan tegap menghampiri mereka. Sementara itu, Bening membeku di tempatnya. Tanpa sadar ia menyebutkan nama Kalingga..“Kapten Kalingga..?”Kalingga menggeram rendah lalu menghampiri Bening dengan tatapan mautnya. Secara kasar ia menarik Bening dari Risky menjauh. Seolah sedang mengambil apa yang menjadi miliknya. Bening mengaduh kesakitan, es krim di tangannya jatuh ke lantai. Cengkeraman Kalingga di lengannya seperti akan mematahkan tulangnya jadi dua.“Aduh, sakit!”“Hei, jangan kasar-kasar dong sama perempuan!” seru Risky tidak terima. Ia benar-benar tidak menyangka akan ada seorang pria yang berani menyakiti perempuan. Risky bisa melihat Bening meringis dan bagaimana cara Kalingga memegangi lengannya, urat nadi sampai menonjol di pergelangan tangan wanita itu.“Tolong lepasin dia, kamu
Seluruh tubuh Bening bergetar ketakutan. Matanya menatap horor kepada Kalingga yang berada di hadapannya. Pria itu bagaikan seekor serigala ganas yang siap menerkam mangsanya. Ketika Kalingga mulai berusaha membuka pakaian Bening dengan paksa, wanita itu langsung menahan tangannya. Bening menggeleng penuh frustrasi. "Jangan Kapten!" seru Bening. Suaranya bergetar putus asa. Ia tidak mau. Ia tidak bisa. Ini semua pemaksaan dan Bening tidak akan pernah rela melakukannya atas dasar paksaan."Kenapa?" tanya Kalingga.Bening kembali menggeleng. "Aku nggak mau. Aku 'kan udah bilang kalau aku nggak mau melakukannya dengan...""Dengan suamimu? Tapi kamu mau melakukannya dengan lelaki lain yang bukan suamimu, begitu?" Kalingga langsung memotong ucapan Bening. Bening terlonjak kaget mendengar ucapan Kalingga. "Apa maksud Kapten bilang begitu?""Kamu mau melakukannya dengan pria yang bukan suami kamu, tapi kamu menolak saya yang suami kamu! Kamu itu durhaka, Bening!" Kalingga membentak dengan
Bening meringis kesakitan. Saking sakitnya, napas Bening sampai terasa sesak karena terus berusaha menahannya. Sementara itu, Kalingga masih syok berat melihat penyatuan mereka yang berakhir membuat Bening berdarah di bawah sana. Wajah Kalingga pucat pasi dan secara perlahan ia mengeluarkan miliknya dari area pribadi Bening. Benar saja, darah yang keluar lumayan banyak. “Bening, jangan bilang kamu masih…”Bening sendiri kebingungan. Ia juga tidak tahu mengapa sampai seperti itu. Sebenarnya Bening juga tahu kalau selaput dara bukanlah tanda mutlak seorang perempuan masih perawan. Bahkan seorang istri yang sudah pernah melahirkan pun masih bisa berdarah ketika berhubungan badan dengan suaminya. Namun, masalahnya ini berbeda. Bening bisa merasakan dengan jelas betapa sakitnya daerah itu, dan darah yang keluar pun lumayan banyak. “Kenapa ini bisa terjadi, Bening? Jawab saya!” pinta Kalingga. Bening mulai berpikir. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian di hotel saat itu ketika dirinya b
Kalingga langsung melompat dari kasur. Kepalanya masih agak pening karena belum mengumpulkan kesadaran tapi tiba-tiba sudah kaget perkara Bening tidak ada. Ia langsung keluar kamar dan mencari-cari keberadaan wanita itu. Rasa cemas dan takutnya menggelora, membuat Kalingga sampai berkeringat dingin. Bagaimana kalau Bening sengaja pergi meninggalkannya karena kejadian semalam? Bagaimana kalau Bening tidak mau lagi melihat wajah Kalingga? Berbagai pikiran buruk menghantui Kalingga dan itu membuat jantungnya berdetak semakin tak karuan.Kalingga menggeleng kencang. "Nggak... nggak... itu nggak mungkin."Kalingga pergi ke dapur, tetapi hasilnya nihil. Bening tidak ada di sana. Kalingga pun pindah ke kamar mandi, dan hasilnya juga serupa. Keberadaan Bening tidak tampak sama sekali. Masalahnya, ini masih subuh. Bahkan matahari saja belum benar-benar menampakkan dirinya, alias masih gelap di luar. Napas Kalingga memburu. Kepanikan tergambar jelas di wajahnya. Kalingga pun buru-buru keluar
Kalingga tidak menyangka kalau Maya mendengar semuanya. Jujur saja, ia bahkan tidak tahu kalau gadis itu ada di rumah mamanya. Kalingga pikir, waktu itu Maya hanya menginap semalam saja di rumah mamanya, ternyata sampai sekarang ia masih ada di sana. “Maaf May, tapi…”“Tapi apa?” sahut Maya. Kedua matanya berkaca-kaca. “Jangan bilang Abang mulai jatuh cinta sama perempuan itu dan mau melupakan janji kita. Iya?”“May, Abang enggak bermaksud untuk—”“Nggak usah ngeles lah, Bang. Bang Lingga harusnya inget dong sama masa lalu kita. Apa semuanya udah nggak berarti untuk Abang?”Kalingga menghela napas panjang. Masa lalu. Benar, mereka berdua terikat masa lalu. Jujur saja, posisi Kalingga sekarang ini sulit sekali. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Melihat Maya berkaca-kaca seperti itu membuat dirinya juga merasa bersalah. Namun, Kalingga sendiri juga ingin membahagiakan Bening. Setidaknya, ia ingin memberi sedikit hiburan kepada Bening setelah mengalami hal yang menyakit
Kalingga memucat, sementara Maya terkejut. Bu Rita menghampiri mereka berdua dengan tampang menuntut jawaban. Awalnya, Bu Rita tidak mendengar perdebatan Kalingga dan Maya. Namun, ketika ia kembali ke ruang tamu untuk mengambil sesuatu, ia melihat ada Maya di depan. Bu Rita heran, kapan Maya keluar padahal sejak tadi tidak melewati ruang tamu. Lalu, setelah diperhatikan baik-baik, Maya dan Kalingga seperti sedang bertengkar. Bu Rita akhirnya tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi dan akhirnya keluar untuk bertanya.“Lingga, Maya, ada apa sebenarnya?” tanya Bu Rita lagi.Kalingga langsung buru-buru menggeleng. “Eng… Enggak, Ma. Enggak ada apa-apa kok,” jawabnya agak terbata. Sementara Maya, ia terus menatap Kalingga dengan tajam. Ketika Maya bertemu pandang dengan pria itu, Kalingga bisa melihat dengan jelas betapa sadisnya tatapan gadis itu. Bu Rita mengernyit mendengar jawaban Kalingga. Entah mengapa, ia merasa tidak yakin saja dengan jawaban itu. “Masa sih? Mama lihat tadi kal
“Mas Wildan..?!”Bening benar-benar terkejut dengan suara yang terdengar di ponselnya. Untuk sesaat, Bening tidak percaya dengan sang pemanggil. Bening menjauhkan ponsel dan sekali lagi melihat nomor asing tersebut. Wildan sengaja menghubunginya dengan nomor baru. Tapi, bukannya Wildan masih koma? Sejak kapan dia sadar?Bening mendesah keras dan kembali menempelkan ponsel ke telinganya. “Ini beneran kamu Mas Wildan? Kamu udah sadar?”Di seberang telepon, Wildan tersenyum tipis. Ia mengangguk menjawab pertanyaan Bening, meski saat itu Bening sedang tidak ada di sana. Rasanya sudah cukup lama sejak ia mendengar suara Bening. Wildan lega karena Bening akhirnya mengangkat panggilannya. Wildan sengaja menggunakan nomor baru untuk mengecoh wanita itu. Bening pasti tidak akan mau berbicara dengannya kecuali dengan cara ini.Wildan menyahut dengan suara pelan. Ada sedikit seringai di sudut bibirnya. “Iya, Ning. Aku udah sadar. Kenapa? Kaget ya tiba-tiba aku telpon? Atau jangan-jangan kamu...
Ibu dan bapaknya Vina tersenyum melihat Vina membelalak dan menganga karena terkejut. Yang datang adalah Yudha beserta Bening dan Kalingga. Mereka juga berdandan rapi, benar-benar seperti sudah mempersiapkan segalanya demi acara ini.Vina yang masih kebingungan menatap bapak dan ibunya. Pandangannya mengisyaratkan tanya, tetapi orang tuanya malah hanya mesam-mesem lucu kepadanya.“Gimana, Vin? Bener ‘kan apa yang Ibu bilang? Calonmu itu sangat cocok untuk kamu ‘kan?” kata ibunya.Vina seketika cemberut. “Ibu sama Bapak mau ngerjain Vina, ya?” Jujur saja, Vina tidak tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang. Senang? Tentu saja. Siapa sangka calon yang katanya cocok dengan Vina itu ternyata adalah Yudha sendiri. Padahal, sudah sejak semalam Vina kepikiran karena pertemuan dadakan ini. Namun meski ia senang, tetap saja Vina merasa kaget dan tidak menyangka. Sebuah pertanyaan muncul di benak Vina sekarang, sejak kapan orang tuanya merencanakan pertemuan ini bersama dengan keluarga Yudha?
Vina masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Baru saja ia merasa senang karena akhirnya hubungan dengan Yudha membaik. Mereka sudah sama-sama saling mengakui kalau perasaan mereka mutual satu sama lain. Vina tidak cinta sendirian, pun dengan Yudha sendiri, ia juga mencintai Vina. Ia pikir, setelah ini hubungan mereka bisa melangkah ke jenjang selanjutnya setelah berbicara dengan kedua keluarga, tetapi mengapa tiba-tiba ibunya berniat mengenalkan Vina dengan pria lain?Vina menghela napas panjang. “Padahal aku sama Om Yudha baru aja damai,” gumamnya lesu. Vina mencoba untuk menghubungi nomor Yudha. Ia rasa, hal ini tidak seharusnya disimpan sendiri. Lebih baik dikomunikasikan saja daripada nanti urusannya malah runyam.Panggilan pertama, sama sekali tidak ada jawaban. Vina semakin resah. “Apa Om Yudha belum sampai rumah ya makanya nggak diangkat?”Vina menunggu sebentar lagi. Ia berusaha berpikir positif, sebab nomor Yudha aktif, hanya panggilannya saja yang tidak terjawab. B
Vina tertegun atas pelukan tiba-tiba tersebut. Ia membeku, diam, dan tidak tahu harus melakukan apa. Guyuran hujan deras dan embusan angin kencang begitu dingin menusuk tulang. Vina seharusnya sudah menggigil gara-gara situasi hujan angin deras tersebut, tetapi entah mengapa tubuhnya merasa biasa saja. Mungkinkah dekapan Yudha melindunginya dari hawa dingin tersebut? entahlah, yang jelas, Vina merasa nyaman. Selama beberapa saat, Vina tidak melakukan apa-apa. Ia biarkan saja lengan kekar Yudha mendekapnya dengan begitu erat. Secara refleks, Vina malah menyandarkan kepalanya pada dada Yudha, tetapi kedua lengannya tidak melakukan apa-apa. Ia tidak balas memeluk, sebab situasi ini terlalu mengejutkan untuk Vina. Sampai kemudian, ia tersadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Yudha akan menikah dengan wanita lain. Tak seharusnya Vina terlalu dekat dengan Yudha bahkan sampai melakukan kontak fisik seperti ini. Vina yang tersadar bahwa hal ini tak seharusnya dilakukan segera mendo
Vina diam saja setelah mendengar jawaban Bening mengenai barang-barang yang ia beli untuk calon menantunya itu. Ia terus mengekori Irene dan Bening yang sedang berdiskusi, tetapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah ke mana. Ia berusaha biasa saja, padahal hatinya menjerit frustrasi. Selesai berbelanja, Vina membantu mengepak semua item yang dibeli oleh Bening ke dalam kotak-kotak dengan ukuran beragam kemudian memasukkannya ke paper bag. Belanjaan Bening lumayan banyak, dan wanita itu tampak agak kesusahan membawanya sendirian. “Biar saya bantu bawakan sampai ke mobil, Tante,” kata Vina.Bening mengangguk. “Terima kasih ya, Vin.”Kebetulan, Bening datang ke butik itu hanya bersama dengan supir, dan biasanya supir Bening hanya menunggu di dalam mobil kalau tidak disuruh oleh Bening untuk mengawal. Makanya, Vina berinisiatif membantu membawakan semua paper bag belanjaan itu sampai ke mobilnya. Ketika sudah keluar dari butik, Bening langsung teringat dengan permasalahan yang d
Vina tidak kuat melihat kedekatan Bening dengan Raisa. Jujur saja, ia iri. Mungkin, Vina hanya merasa diistimewakan saat itu. Ia terlalu percaya diri karena Bening baik padanya, padahal Bening memang baik kepada semua orang. Dari awal, karakter Bening memang orang baik dan lemah lembut. Perlakuan baik Bening kepada Vina juga merupakan hal yang biasa, Vina saja yang menanggapinya berbeda seolah-olah ia sangat penting untuk Bening. “Harusnya aku nggak ke-PD-an pas Tante Bening baik sama aku. Tante Bening ‘kan emang selalu baik ke semua orang,” gumam Vina getir. Tujuannya ke sana untuk membicarakan masalah Garuda berdasarkan keterangan Raya, tetapi melihat Raisa di sana, Vina mengurungkan niat itu. Hatinya tak sanggup. Vina pun berbalik dan hendak pergi, tetapi ketika ia memutar badannya, malah ada Yudha di sana. Vina sontak menghentikan langkahnya karena terkejut. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Yudha dingin. Vina menggeleng. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya berdebar ta
Vina seketika berwajah datar. Mengapa pula ia harus bertemu Raya di sini? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Hubungan Vina dan Raya sebelumnya baik-baik saja. Raya juga ramah padanya karena tahu kalau Vina adalah pacar kakaknya. Namun, kali ini karena Vina sudah tidak pacaran dengan Reyhan, sikap Raya juga kelihatan sekali berubah. Vina yang tadinya sedang memilih-milih lotion badan langsung mengambil secara random yang ada di depan matanya. Ia memandang Raya sekilas, tak ada niatan sama sekali untuk berinteraksi lebih lama dengan gadis itu."Maaf, aku lagi sibuk. Lain kali aja," kata Vina. Ia segera berbalik dan hendak pergi ke kasir. Namun, Raya lebih dulu menarik bahunya dari belakang."Nggak bisa lain kali. Kita harus bicara sekarang," tegas Raya.Vina mengernyit. "Apa sih, Ray? Kan aku udah bilang kalau aku sibuk. Lain kali sajalah."Raya tetap bersikeras. Ia yang tadinya mencengkeram bahu Vina beralih menahan lengan gadis itu. "Nggak mau. Pokoknya harus sekaran
Selesai wawancara di butik tadi, Vina tidak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke rumah sakit untuk menemui orang tuanya. Suasana hati Vina membaik setelah ia berhasil mendapatkan kerja. Ia pergi ke rumah sakit dengan memesan ojek.Sesampainya di sana, Vina malah melihat ibunya sedang melipat semua pakaian yang dibawa untuk bapaknya.“Assallammuallaikum,” ucap Vina.“Waallaikumsalam. Kamu habis keluar, Vin?” tanya ibunya.Vina mengangguk. “Iya, Bu. Cari kerja. Alhamdulillah Vina tadi udah tanda tangan kontrak kerja.”Ibunya Vina senang mendengar hal itu. “Beneran? Kerja di mana, Vin?”“Di butik, Bu. Tadi udah sekalian wawancara terus diterima, makanya langsung tanda tangan kontrak kerja. Besok udah mulai kerja di sana.”“Alhamdulillah… Ibu turut senang, Vin. Semoga perkerjaannya berkah dan bisa membawa rezeki yang halal.”Vina mengangguk. “Iya, Bu. Aamiin. Oh iya, Ibu kok udah ngeringkes semua pakaian Bapak?”“Tadi pas dokter meriksa Bapak, katanya kondisi bapak sudah sangat mem
Yudha hanya bisa membeku selama beberapa saat usai mendengar perkataan Vina. "Tunggu sebentar, kamu ngomong apa sih Vin?" tanya Yudha. "Ya itu, Om. Aku yakin Om paham."Yudha menggeleng. "Maksud kamu apa tiba-tiba ngomong gitu?"Vina menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap mata Yudha. Ia takut, kalau ia menatap mata pria itu, maka pendiriannya akan goyah. Hatinya hancur, tetapi ia harus tetap tegar dan kelihatan biasa saja di depan Yudha supaya pria itu mau untuk mengakhiri hubungan mereka. "Maksud aku sesuai dengan apa yang aku katakan. Pokoknya gitulah. Aku minta maaf karena udah nyusahin Om Yudha. Aku janji ini yang terakhir," kata Vina. Yudha heran. Ini terlalu mendadak. Vina kelihatan baik-baik saja sebelumnya. Mereka berdua datang ke acara di rumah Kalingga dan Bening juga dalam situasi yang bahagia. Namun, mengapa tiba-tiba jadi seperti ini?"Sebenarnya ada apa sih, Vin? Apa saya melakukan kesalahan sama kamu? Jangan bikin saya bingung.""Apa kurang jelas yang aku omo
Yudha masih terus berusaha mencari keberadaan Vina. Ia berkeliling ke seluruh rumah, bahkan sampai ke halaman samping rumah keluarganya hanya untuk mencari tahu di mana keberadaan Vina. Namun, meskipun ia sudah berkeliling sampai ke area yang seharusnya tidak didatangi Vina pun, keberadaan gadis itu nihil. Yudha sudah berkali-kali menghubungi nomor Vina. Dan semua panggilannya tidak ada jawaban. Yudha semakin khawatir. Ini memang bukan pertama kalinya Vina datang ke rumah keluarga Yudha, tetapi ini adalah pertama kalinya Vina datang dalam acara yang dihelat oleh keluarganya. Yudha takut kalau Vina merasa tidak nyaman atau bagaimana sehingga tiba-tiba pergi.Yudha langsung menggeleng. "Nggak mungkin Vina kayak gitu. Dia pasti ngomong kalau memang nggak nyaman," gumam Yudha. Setelah menelusuri hampir seluruh penjuru rumah keluarganya, Yudha kembali ke depan. Acara akan segera dimulai beberapa menit lagi, tapi keberadaan Vina tidak juga ditemukan. Bening yang sedang menyapa tamu-tamu y