Terlalu fokus pada Kayla hingga aku lupa pada Yesi. Padahal sejak kami masih di Bali, aku sudah penasaran dengan sosok gadis itu. Sosok yang begitu diistimewakan dan diperhatikan oleh Mbak Nadia. Mas Nathan menyusul masuk kamar setelah beberapa saat aku sampai dan membaringkan Kayla di ranjang. Suami gantengku itu menenteng tas selempang milikku beserta tas kosmetik yang tadi tidak aku bawa di mobil lantaran kesusahan membawa Kayla. "Mas mandi duluan, ya, Dek," ucapnya setelah meletakkan dua benda milikku di atas kasur."Iya, Mas," jawabku yang masih betah duduk di pinggir ranjang sambil memijit kedua bahuku dengan tangan sendiri. Membiarkan lelakiku berlalu dari hadapan."Atau mau bareng-bareng?" tanya Mas Nathan ketika tubuhnya hampir sampai di pintu kamar mandi. Dengan satu gerakan ia membalikkan badannya, senyum nakal beserta kerlingan mata begitu saja terbit di wajahnya."Masi saja duluan. Kalau kita mandi bareng, nanti lama. Bagaimana kalau Kayla terbangun?" Aku pura-pura tida
Posisiku sudah melewati Mas Nathan, tapi ketika melihat ponsel yang ada di tangannya, aku mundur dua langkah hingga tubuh ini sejajar dengan suamiku. Sekali lagi aku menyelidiki benda yang menempel di telinga pria itu."Siapa, Mas?" tanyaku setelah yakin kalau ponsel itu milikku.Namun Mas Nathan tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangan kirinya kemudian menempelkan telunjuk pada bibirnya sebagian isyarat aku tidak boleh berisik. Aku pun tak bertanya lagi, hanya berdiri di hadapannya tanpa bersuara.Setelah beberapa menit, Mas Nathan menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu menyerahkannya padaku. "Joan menelepon. Ada empat panggilan tidak terjawab, awalnya Mas tidak mau menanggapi. Namun karena terus menghubungi, siapa tahu ada keperluan penting, Mas angkat saja. Maksudnya, Mas mau memberitahu kalau Dek Lisa sedang mandi. Tapi Joan tidak bersuara, sudah Mas tanya juga tidak menjawab. Malahan panggilannya diputus."Aku memeriksa log panggilan dan benar saja, empat panggilan tidak ter
"Ngobrolnya disambung nanti lagi, masih banyak waktu. Sekarang, ayo makan dulu!" Suara Mama menyelamatkanku dari rasa canggung dan tidak nyaman.Tanpa suara kami pun melangkah menuju kursi masing-masing. Seperti biasa, kami memulai makan tanpa suara. Baik Mama maupun Mas Nathan, fokus pada piringnya masing-masing. Sementara Yesi sesekali mencuri pandang pada kami."Oh ya, Mas .... ""Makan dulu, Nduk .... " Belum juga Yesi melanjutkan ucapannya, Mama sudah angkat bicara. Mengisyaratkan kalau saat ini kami tetap fokus makan dan tidak boleh banyak bicara."Maaf Bude, kebiasaan kalau di rumah," jawab Yesi salah tingkah. Kukira gadis itu sering ke sini dan tahu peraturan rumah ini, kalau makan itu tidak boleh sambil berbicara. Mengingat sikap akrabnya pada Mama juga Mas Nathan. Atau mungkin dia lupa?Usai makan aku membantu para pelayan membereskan meja makan. Meskipun Mama melarangnya, tapi aku tetap melakukannya. Aku tidak bisa berpangku tangan menjadi ratu sepenuhnya di rumah sendiri.
Aku menunggu jawaban Mas Nathan yang seketika kaget mendengar kalau kopi itu buatanku."Jadi ini yang bikin kamu, Dek?" tanya Mas Nathan sambil mengacungkan cangkirnya. Lalu menyeruput sekali lagi. "Iya. Gimana, Mas?" Aku mengulang pertanyaan."Beneran?""Ih, sudah dibilang iya juga.""Maksud Mas, ini takarannya inisiatif kamu gitu? Soalnya rasanya pas.""Takarannya aku tanya pada pelayanan, tapi yang bikin tanganku sendiri.""Kalau gitu sih, semua orang juga bisa, Mbak. Jadi nggak ada yang perlu dibanggakan." Tak kuduga Yesi menyela obrolan kami.Aku mengatur nafas, sepertinya Yesi memang tidak suka padaku. Entah apa alasannya, yang jelas dari pertama bertemu tadi, Yesi sudah menunjukkan sikap tidak sukanya. "Meskipun resepnya sama, jika yang membuatnya tangan yang berbeda, pasti tidak akan sama persis. Begitu 'kan, Mas?" Tanpa menghiraukan ucapan Yesi, aku berbicara pada Mas Nathan."Ya betul sekali, tapi ini benar-benar mirip, seperti yang dibuat para pelayan." Mas Nathan kembali
"Hanya kakak?"Mas Nathan menoleh ketika mendengar pertanyaanku. Mungkin ia tidak menyangka aku akan bertanya hal itu."Kamu nanya apa, sih, Dek? Sudahlah jangan berpikir macam-macam yang hanya akan mengotori hatimu saja."Mas Nathan tidak memberikan jawaban yang pasti, dia juga sepertinya tidak ingin membahasnya. Membuatku makin curiga kalau antara dia dengan Yesi ada apa-apanya. "Baiklah, tapi aku ingin mengetahui satu hal lagi.""Dek .... ""Mas jawab dengan jujur, ya.""Tentang apa lagi, sih, Dek?""Sewaktu mendengar cerita dari Mbak Nadia, aku pikir Yesi itu gadis imut yang baru saja lulus SMA. Tapi setelah bertemu dengan orangnya, aku yakin usia Yesi yang sebenarnya lebih dari itu." Aku menoleh, kuamati wajahnya yang datar. Cangkir yang ada di genggaman kedua tangannya tak mampu mengalihkan perhatiannya, begitupun kehadiranku di sampingnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, entah apa yang sedang ia perhatikan. Atau mungkin dia sedang menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab
"Mbak Nadia?" tanyaku setelah dia berdiri lagi di sampingku."Hmm." Wajahnya kembali datar."Kenapa?" Aku yakin perubahan mimik wajahnya disebabkan oleh telepon dan Mbak Nadia."Yesi mengadu.""Perihal?""Oleh-oleh.""Apa yang salah?""Dia ingin oleh-oleh untuk Yesi tidak disamakan dengan para pelayan."Kuhela nafas panjang lalu membuangnya kasar. "Maaf, karena itu aku yang mengusulkan.""Tidak usah minta maaf, aku setuju dengan pendapatmu. Yang aku sayangkan adalah sikap berlebihan Mbak Nadia.""Bukankah ini terjadi sejak dulu, kenapa Mas Nathan tidak berontak saja dari awal?" Kedua alisku bertaut."Ada hal yang tidak bisa aku jelaskan, Dek. Lagi pula, dulu Mbak Nadia tidak seperti ini."Aku meluruskan pandang. Jika dulu Mbak Nadia tidak seperti ini, lalu sekarang? Apakah ada hubungannya dengan pernikahan kami? Sebab Mbak Nadia sudah jelas-jelas tidak suka padaku."Apa ada hubungannya denganku?"Secara bersamaan kami menoleh, Mas Nathan kemudian meraih tanganku. Tatapannya menajam.
Tangan kami masih saling menggenggam ketika Yesi mendekat lalu dengan satu hentakan menarik tangan Mas Nathan dan tangan kami pun terlepas.Astaghfirullah.Aku beristighfar dalam hati. Sikap Yesi kali ini sudah keterlaluan. "Kamu lihat nggak, sih, Yes. Kami sedang salaman, apa nggak bisa nunggu sebentar lagi?" Karena tidak tahan, akhirnya aku angkat bicara. Tak peduli bagaimana tanggapan mas Nathan nantinya padaku."Sorry, Mbak. Ini sudah siang, aku takut terlambat.""Tapi tidak harus begitu juga, 'kan?""Barusan aku sudah minta maaf, apa kurang jelas?" Yesi menatapku sinis."Lagi pulang, kamu itu sudah besar. Sudah bukan gadis ingusan lagi. Masa mengurus hal seperti itu saja tidak bisa sendirian.""Jadi Mbak Lisa tidak suka kalau aku pergi dengan mas Nathan?""Ini bukan masalah suka atau tidak suka, tapi sepertinya kamu harus lebih banyak lagi belajar tentang tata krama.""Dengan kata lain, aku harus nyembah-nyembah gitu sama Mbak Lisa untuk meminta izin pergi bersama Mas Nathan? Ak
Pov Alin"Cuciannya udah gue taruh di keranjang. Jangan lupa nyapu dan ngepel, kamar gue juga belum dibersihkan. Ini uang untuk belanja, nanti sore gue pengen dimasakin udang saus tiram. Udangnya lu beli di Abang sayur yang keliling," ucap Angel sebelum pergi kerja pagi ini sambil meletakkan satu lembar ratusan ribu di atas sofa satu-satunya di rumah ini. Aku mengangguk sebagai jawaban dan mewakili kata iya. Mentang-mentang dia yang punya uang, Angel seenaknya saja memerintahku. Tapi saat ini aku tidak bisa membantah apalagi melawan.Kontrakan Angel terbilang enak, terdiri dari dua kamar, ada dapur dan ruang tamu. Aku sudah dua minggu ini menumpang hidup padanya. Angel tidak mau menampungku dengan gratis, maka terpaksa aku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Biasanya Angel tidak pernah masak karena dia selalu pulang sore, cucian pun menggunakan jasa laundry. Sekarang, semua pekerjaan itu aku yang menyelesaikan."Uang laundry dialihkan buat uang makan lu, jadi terpaksa lu yang nyuci. T
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny