"Ngobrolnya disambung nanti lagi, masih banyak waktu. Sekarang, ayo makan dulu!" Suara Mama menyelamatkanku dari rasa canggung dan tidak nyaman.Tanpa suara kami pun melangkah menuju kursi masing-masing. Seperti biasa, kami memulai makan tanpa suara. Baik Mama maupun Mas Nathan, fokus pada piringnya masing-masing. Sementara Yesi sesekali mencuri pandang pada kami."Oh ya, Mas .... ""Makan dulu, Nduk .... " Belum juga Yesi melanjutkan ucapannya, Mama sudah angkat bicara. Mengisyaratkan kalau saat ini kami tetap fokus makan dan tidak boleh banyak bicara."Maaf Bude, kebiasaan kalau di rumah," jawab Yesi salah tingkah. Kukira gadis itu sering ke sini dan tahu peraturan rumah ini, kalau makan itu tidak boleh sambil berbicara. Mengingat sikap akrabnya pada Mama juga Mas Nathan. Atau mungkin dia lupa?Usai makan aku membantu para pelayan membereskan meja makan. Meskipun Mama melarangnya, tapi aku tetap melakukannya. Aku tidak bisa berpangku tangan menjadi ratu sepenuhnya di rumah sendiri.
Aku menunggu jawaban Mas Nathan yang seketika kaget mendengar kalau kopi itu buatanku."Jadi ini yang bikin kamu, Dek?" tanya Mas Nathan sambil mengacungkan cangkirnya. Lalu menyeruput sekali lagi. "Iya. Gimana, Mas?" Aku mengulang pertanyaan."Beneran?""Ih, sudah dibilang iya juga.""Maksud Mas, ini takarannya inisiatif kamu gitu? Soalnya rasanya pas.""Takarannya aku tanya pada pelayanan, tapi yang bikin tanganku sendiri.""Kalau gitu sih, semua orang juga bisa, Mbak. Jadi nggak ada yang perlu dibanggakan." Tak kuduga Yesi menyela obrolan kami.Aku mengatur nafas, sepertinya Yesi memang tidak suka padaku. Entah apa alasannya, yang jelas dari pertama bertemu tadi, Yesi sudah menunjukkan sikap tidak sukanya. "Meskipun resepnya sama, jika yang membuatnya tangan yang berbeda, pasti tidak akan sama persis. Begitu 'kan, Mas?" Tanpa menghiraukan ucapan Yesi, aku berbicara pada Mas Nathan."Ya betul sekali, tapi ini benar-benar mirip, seperti yang dibuat para pelayan." Mas Nathan kembali
"Hanya kakak?"Mas Nathan menoleh ketika mendengar pertanyaanku. Mungkin ia tidak menyangka aku akan bertanya hal itu."Kamu nanya apa, sih, Dek? Sudahlah jangan berpikir macam-macam yang hanya akan mengotori hatimu saja."Mas Nathan tidak memberikan jawaban yang pasti, dia juga sepertinya tidak ingin membahasnya. Membuatku makin curiga kalau antara dia dengan Yesi ada apa-apanya. "Baiklah, tapi aku ingin mengetahui satu hal lagi.""Dek .... ""Mas jawab dengan jujur, ya.""Tentang apa lagi, sih, Dek?""Sewaktu mendengar cerita dari Mbak Nadia, aku pikir Yesi itu gadis imut yang baru saja lulus SMA. Tapi setelah bertemu dengan orangnya, aku yakin usia Yesi yang sebenarnya lebih dari itu." Aku menoleh, kuamati wajahnya yang datar. Cangkir yang ada di genggaman kedua tangannya tak mampu mengalihkan perhatiannya, begitupun kehadiranku di sampingnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, entah apa yang sedang ia perhatikan. Atau mungkin dia sedang menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab
"Mbak Nadia?" tanyaku setelah dia berdiri lagi di sampingku."Hmm." Wajahnya kembali datar."Kenapa?" Aku yakin perubahan mimik wajahnya disebabkan oleh telepon dan Mbak Nadia."Yesi mengadu.""Perihal?""Oleh-oleh.""Apa yang salah?""Dia ingin oleh-oleh untuk Yesi tidak disamakan dengan para pelayan."Kuhela nafas panjang lalu membuangnya kasar. "Maaf, karena itu aku yang mengusulkan.""Tidak usah minta maaf, aku setuju dengan pendapatmu. Yang aku sayangkan adalah sikap berlebihan Mbak Nadia.""Bukankah ini terjadi sejak dulu, kenapa Mas Nathan tidak berontak saja dari awal?" Kedua alisku bertaut."Ada hal yang tidak bisa aku jelaskan, Dek. Lagi pula, dulu Mbak Nadia tidak seperti ini."Aku meluruskan pandang. Jika dulu Mbak Nadia tidak seperti ini, lalu sekarang? Apakah ada hubungannya dengan pernikahan kami? Sebab Mbak Nadia sudah jelas-jelas tidak suka padaku."Apa ada hubungannya denganku?"Secara bersamaan kami menoleh, Mas Nathan kemudian meraih tanganku. Tatapannya menajam.
Tangan kami masih saling menggenggam ketika Yesi mendekat lalu dengan satu hentakan menarik tangan Mas Nathan dan tangan kami pun terlepas.Astaghfirullah.Aku beristighfar dalam hati. Sikap Yesi kali ini sudah keterlaluan. "Kamu lihat nggak, sih, Yes. Kami sedang salaman, apa nggak bisa nunggu sebentar lagi?" Karena tidak tahan, akhirnya aku angkat bicara. Tak peduli bagaimana tanggapan mas Nathan nantinya padaku."Sorry, Mbak. Ini sudah siang, aku takut terlambat.""Tapi tidak harus begitu juga, 'kan?""Barusan aku sudah minta maaf, apa kurang jelas?" Yesi menatapku sinis."Lagi pulang, kamu itu sudah besar. Sudah bukan gadis ingusan lagi. Masa mengurus hal seperti itu saja tidak bisa sendirian.""Jadi Mbak Lisa tidak suka kalau aku pergi dengan mas Nathan?""Ini bukan masalah suka atau tidak suka, tapi sepertinya kamu harus lebih banyak lagi belajar tentang tata krama.""Dengan kata lain, aku harus nyembah-nyembah gitu sama Mbak Lisa untuk meminta izin pergi bersama Mas Nathan? Ak
Pov Alin"Cuciannya udah gue taruh di keranjang. Jangan lupa nyapu dan ngepel, kamar gue juga belum dibersihkan. Ini uang untuk belanja, nanti sore gue pengen dimasakin udang saus tiram. Udangnya lu beli di Abang sayur yang keliling," ucap Angel sebelum pergi kerja pagi ini sambil meletakkan satu lembar ratusan ribu di atas sofa satu-satunya di rumah ini. Aku mengangguk sebagai jawaban dan mewakili kata iya. Mentang-mentang dia yang punya uang, Angel seenaknya saja memerintahku. Tapi saat ini aku tidak bisa membantah apalagi melawan.Kontrakan Angel terbilang enak, terdiri dari dua kamar, ada dapur dan ruang tamu. Aku sudah dua minggu ini menumpang hidup padanya. Angel tidak mau menampungku dengan gratis, maka terpaksa aku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Biasanya Angel tidak pernah masak karena dia selalu pulang sore, cucian pun menggunakan jasa laundry. Sekarang, semua pekerjaan itu aku yang menyelesaikan."Uang laundry dialihkan buat uang makan lu, jadi terpaksa lu yang nyuci. T
Beruntung aku tidak sampai pingsan. Masih tetap sadar meski tubuh kembali ambruk di sofa. Akhir-akhir ini mataku memang sering berkunang-kunang selain mual dan sensitif dengan wewangian. Menurut artikel yang kubaca, ini memang lumrah terjadi pada wanita hamil di trimester pertama. Tak hentinya aku mengumpat pada pria itu. Dika sudah benar-benar memberiku penderitaan yang berkepanjangan. Seandainya aku ada uang, mungkin saat ini aku sudah bisa menggagalkan kehamilan ini. Kutampar beberapa kali perut ini. Sungguh ini kondisi yang sama sekali tidak kuinginkan. Dulu waktu aku masih berstatus sebagai istrinya Mas Riko, sama sekali tidak menginginkan kehamilan. Kenapa di saat aku menjadi janda, harus mengalami kondisi ini. Belum lagi beban mental yang harus kutanggung setelah ini. Orang-orang pasti akan mempertanyakan kehamilanku, apalagi tanpa seorang suami di sampingku. Ditambah lagi hari-hari berat yang harus kulalui. "Lho, Mbak Alin kenapa perutnya dipukuli?!" Aku sontak mengangkat w
Wangi minyak kayu putih menguar memenuhi indera penciumanku. Sebelum membuka mata, aku mendengar suara seperti orang berbisik-bisik. Lalu keberanikan mengintip dan memutuskan membuka keseluruhan mata."Alhamdulillah, Mbak Alin sudah sadar." Orang pertama yang membuka suara adalah Ibu kontrakan. Sambil memegang kipas yang terbuat dari anyaman bambu, wanita itu duduk di sebelah kananku dan mengipasiku."Saya di mana, Bu?" Aku mengedarkan pandangan dan mendapati ruangan yang asing serta jarum infus yang tertancap di tangan kananku. Aku dirawat?"Kami membawa Mbak Alin ke tempat prakteknya bidan Susi karena khawatir. Mbak Alin pingsan cukup lama," jelas Ibu kontrakan sambil terus menggerakkan tangannya yang memegang kipas anyaman."Kenapa dibawa ke bidan?" Tentu saja aku panik, bagaimana kalau ketahuan aku tengah hamil. Tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan. "Karena ini tempat praktek terdekat dari tempat tinggal kita. Ada dokter, tempatnya agak jauh, klinik apalagi."Ya sudah, aku pa