Beruntung aku tidak sampai pingsan. Masih tetap sadar meski tubuh kembali ambruk di sofa. Akhir-akhir ini mataku memang sering berkunang-kunang selain mual dan sensitif dengan wewangian. Menurut artikel yang kubaca, ini memang lumrah terjadi pada wanita hamil di trimester pertama. Tak hentinya aku mengumpat pada pria itu. Dika sudah benar-benar memberiku penderitaan yang berkepanjangan. Seandainya aku ada uang, mungkin saat ini aku sudah bisa menggagalkan kehamilan ini. Kutampar beberapa kali perut ini. Sungguh ini kondisi yang sama sekali tidak kuinginkan. Dulu waktu aku masih berstatus sebagai istrinya Mas Riko, sama sekali tidak menginginkan kehamilan. Kenapa di saat aku menjadi janda, harus mengalami kondisi ini. Belum lagi beban mental yang harus kutanggung setelah ini. Orang-orang pasti akan mempertanyakan kehamilanku, apalagi tanpa seorang suami di sampingku. Ditambah lagi hari-hari berat yang harus kulalui. "Lho, Mbak Alin kenapa perutnya dipukuli?!" Aku sontak mengangkat w
Wangi minyak kayu putih menguar memenuhi indera penciumanku. Sebelum membuka mata, aku mendengar suara seperti orang berbisik-bisik. Lalu keberanikan mengintip dan memutuskan membuka keseluruhan mata."Alhamdulillah, Mbak Alin sudah sadar." Orang pertama yang membuka suara adalah Ibu kontrakan. Sambil memegang kipas yang terbuat dari anyaman bambu, wanita itu duduk di sebelah kananku dan mengipasiku."Saya di mana, Bu?" Aku mengedarkan pandangan dan mendapati ruangan yang asing serta jarum infus yang tertancap di tangan kananku. Aku dirawat?"Kami membawa Mbak Alin ke tempat prakteknya bidan Susi karena khawatir. Mbak Alin pingsan cukup lama," jelas Ibu kontrakan sambil terus menggerakkan tangannya yang memegang kipas anyaman."Kenapa dibawa ke bidan?" Tentu saja aku panik, bagaimana kalau ketahuan aku tengah hamil. Tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan. "Karena ini tempat praktek terdekat dari tempat tinggal kita. Ada dokter, tempatnya agak jauh, klinik apalagi."Ya sudah, aku pa
Sore harinya Angel datang. Dugaanku tidak meleset, wanita itu habis-habisan memarahiku."Kenapa harus pingsan di tempat banyak orang, sih? Sekarang bagaimana, tetangga kita tahu kalau lu hamil?!" Meskipun pelan, nada bicara Angel terdengar sangat kesal."Itu nggak disengaja, Ngel. Siapa juga yang mau pingsan di depan banyak orang. Gue juga nggak mau, karena dengan kejadian itu, jadi ketahuan kalau gue hamil. Tapi kalau dipikir lagi ada untungnya gue pingsan di hadapan mereka. Lah, kalau sedang sendirian di rumah, siapa yang mau nolongin?" Aku tak bisa diam saja mendengar Angel menyalahkanku. Meskipun selama beberapa hari ini aku menumpang hidup, tapi Angel tidak bisa seenaknya memarahiku. Karena kondisi ini diluar kendaliku."Sekarang yang perlu dipikirkan adalah, bagaimana kalau para tetangga bertanya lebih lanjut tentang kehamilan lu?""Gue udah bilang kalau gue ke kota ini buat nyari suami gue yang nggak pulang selama dua bulan."Angel mengalihkan pandangan mendengar penjelasan dar
"Belum mateng juga, Lin?" Suara Angel terdengar nyaring dari arah depan."Belum, bentar lagi." Aku pun menjawab dengan setengah berteriak, supaya terdengar oleh Angel, ditambah kesal pula."Lama banget sih, Lin?! Gue 'kan udah laper!"Angel kembali berteriak membuatku terpaksa harus mengusap dada. Wanita itu tidak mengerti kondisiku saat ini. Kalau tidak karena balas budi, mana mau aku mengerjakan semua ini. Belum lagi aku tidak begitu menguasai soal masak-memasak. Jadi sebelum mengerjakan satu masakan, aku harus mencari dulu tutorialnya di internet. Disaat kondisiku seperti ini, kenapa justru keadaannya menjadi serba terbalik. Aku yang biasa hidup enak, banyak uang, mau apa tinggal beli, tinggal nyuruh. Sekarang justru harus berjuang dan melayani orang lain. Tidak ada pilihan kecuali pulang kampung dan menjadi buah bibir orang satu desa. Setengah jam kemudian masakan sudah selesai. Angel pun sudah mandi dan wangi, sementara aku masih bau asap. "Lu mandi dulu, gih, Lin. Jangan samp
Sekarang aku malah yang terdiam. Apa yang dikatakan oleh Mas Dodi memang sangat benar."Lagi pula, sebelum kamu benar-benar lepas dariku, kamu sudah bersama pria lain. Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Mas Dodi menambahkan sambil menatapku tajam."Tapi aku yakin ini anakmu, Mas!""Bagaimana kalau aku tidak yakin, bahkan tidak mau mengakuinya? Wanita sepertimu itu tidak pantas dipercaya." Sekarang Mas Dodi bisa berkata seperti itu. Apa dia lupa beberapa bulan yang lalu dia sangat bucin padaku."Kalau Mas Dodi tidak mau mengakuinya. Berarti terpaksa aku harus menghubungi istrimu dan memberitahu bahwa ini perbuatanmu." Aku mengancamnya supaya Mas Dodi mempertimbangkan ucapannya barusan.Mendengar itu, Mas Dodi malah tertawa kecil. Ancamanku barusan seolah tidak berpengaruh sama sekali."Silakan saja, aku tidak takut. Apa kamu pikir saat ini orang akan mempercayai ucapan seorang wanita yang viral di media sosial setelah ditemukan dalam keadaan hampir telanjang?" Mas Dodi menyeringai. As
Aku menahan nafas kala Ibu kontrakan berkata seperti itu. Apa maksudnya menyebutku wanita pendosa. Apa Ibu kontrakan tahu siapa aku yang sebenarnya?"Jangan pura-pura tidak mengerti, Mbak Alin. Saya merasa tertipu, saya pikir Mbak Alin memang benar sedang mencari suaminya. Ternyata Mbak Alin adalah wanita yang viral di video ini."Ibu kontrakan mengacungkan ponselnya yang menampilkan berita tentangku beberapa waktu yang lalu. Untuk beberapa saat aku hanya diam menatap ponsel itu lalu beralih pada wajah Ibu kontrakan."Mau menyangkal? Ini kamu 'kan? Lalu bayi dalam kandungan Mbak Alin itu tidak jelas siapa ayahnya, karena di sini sebutkan bahwa Mbak Alin seorang janda!!"Aku semakin tidak bisa berkata apa-apa mendengar Ibu kontrakan menuduhku. Bukan menuduh juga, karena memang itu kenyataannya, lebih tepatnya membuka aibku."Kami minta Mbak Alin meninggalkan tempat ini sekarang juga!" Tiba-tiba beberapa orang ibu-ibu yang tinggal di sekitaran rumah kontrakannya Angel datang dari belak
"Nggak ada lagi, gue sudah terlalu banyak membantu lu." Angel memalingkan wajahnya. Aku menjadi tidak enak karena selama ini sudah banyak merepotkan sahabatku itu."Oke, makasih. Gue pergi. Sekali lagi gua minta maaf udah ngerepotin lu." "Gue juga minta maaf kalau nggak bisa bantu lu lebih dari ini. Gue juga punya nama baik yang harus dijaga.""Ya, gue ngerti." Aku berbalik lalu melangkah. Berat rasanya meninggalkan tempat ini. Walau bagaimana Angel adalah sahabat terbaikku meskipun akhir-akhir ini sikapnya berubah, tapi dia tetap mau menampungku."Lin."Aku berhenti ketika mendengar Angel memanggilku."Sekali lagi maaf, gue gak bisa bantu lu. Jangan kemana-mana, sebaiknya lu pulang kampung. Karena berada di tengah keluarga bagaimanapun keadaannya, itu lebih baik dari pada bersama orang lain." Alin mendekat lalu merangkul tubuhku. Suara terdengar bergetar."Ya, gue balik kampung. Mungkin itu jalan satu-satunya yang terbaik buat gue. Siap tidak siap, gue harus menghadapi omongan orang
Botol mineral yang baru saja kuterima dari si Ibu berbaju hijau hampir saja terjatuh, ketika aku menyadari Dika sudah ada di belakangku. Pria itu entah datang dari mana, tahu-tahu sudah bersuara."Mas ini siapanya?" Si Ibu juga sepertinya heran karena kedatangan Dika begitu tiba-tiba."Saya suaminya," ucap Dika sambil berjalan lalu duduk merapat di sampingku, tangannya begitu saja terulur mengusap dan merapikan rambutku. Semua itu dia lakukan tanpa canggung. Aku hampir saja berontak, tapi ketika beradu tatap dengan pria itu, Dika seakan menegaskan bahwa aku tidak boleh menyangkal."Suaminya?" tanya si Ibu seakan tak percaya."Dia istri saya." Dika menegaskan."Mas dari mana saja? Kenapa tadi Mbak-nya sendirian saat pingsan? Terus barusan Mbak-nya juga bilang kalau dia pergi sendirian. Mas jangan ngaku-ngaku, deh!""Iya maaf ibu-ibu, sebenarnya kami sedang berselisih. Istri saya mencoba kabur dan saya barusan sempat kehilangan jejak. Saya minta maaf kalau sudah merepotkan ibu-ibu. Saya
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny