Aku menahan nafas kala Ibu kontrakan berkata seperti itu. Apa maksudnya menyebutku wanita pendosa. Apa Ibu kontrakan tahu siapa aku yang sebenarnya?"Jangan pura-pura tidak mengerti, Mbak Alin. Saya merasa tertipu, saya pikir Mbak Alin memang benar sedang mencari suaminya. Ternyata Mbak Alin adalah wanita yang viral di video ini."Ibu kontrakan mengacungkan ponselnya yang menampilkan berita tentangku beberapa waktu yang lalu. Untuk beberapa saat aku hanya diam menatap ponsel itu lalu beralih pada wajah Ibu kontrakan."Mau menyangkal? Ini kamu 'kan? Lalu bayi dalam kandungan Mbak Alin itu tidak jelas siapa ayahnya, karena di sini sebutkan bahwa Mbak Alin seorang janda!!"Aku semakin tidak bisa berkata apa-apa mendengar Ibu kontrakan menuduhku. Bukan menuduh juga, karena memang itu kenyataannya, lebih tepatnya membuka aibku."Kami minta Mbak Alin meninggalkan tempat ini sekarang juga!" Tiba-tiba beberapa orang ibu-ibu yang tinggal di sekitaran rumah kontrakannya Angel datang dari belak
"Nggak ada lagi, gue sudah terlalu banyak membantu lu." Angel memalingkan wajahnya. Aku menjadi tidak enak karena selama ini sudah banyak merepotkan sahabatku itu."Oke, makasih. Gue pergi. Sekali lagi gua minta maaf udah ngerepotin lu." "Gue juga minta maaf kalau nggak bisa bantu lu lebih dari ini. Gue juga punya nama baik yang harus dijaga.""Ya, gue ngerti." Aku berbalik lalu melangkah. Berat rasanya meninggalkan tempat ini. Walau bagaimana Angel adalah sahabat terbaikku meskipun akhir-akhir ini sikapnya berubah, tapi dia tetap mau menampungku."Lin."Aku berhenti ketika mendengar Angel memanggilku."Sekali lagi maaf, gue gak bisa bantu lu. Jangan kemana-mana, sebaiknya lu pulang kampung. Karena berada di tengah keluarga bagaimanapun keadaannya, itu lebih baik dari pada bersama orang lain." Alin mendekat lalu merangkul tubuhku. Suara terdengar bergetar."Ya, gue balik kampung. Mungkin itu jalan satu-satunya yang terbaik buat gue. Siap tidak siap, gue harus menghadapi omongan orang
Botol mineral yang baru saja kuterima dari si Ibu berbaju hijau hampir saja terjatuh, ketika aku menyadari Dika sudah ada di belakangku. Pria itu entah datang dari mana, tahu-tahu sudah bersuara."Mas ini siapanya?" Si Ibu juga sepertinya heran karena kedatangan Dika begitu tiba-tiba."Saya suaminya," ucap Dika sambil berjalan lalu duduk merapat di sampingku, tangannya begitu saja terulur mengusap dan merapikan rambutku. Semua itu dia lakukan tanpa canggung. Aku hampir saja berontak, tapi ketika beradu tatap dengan pria itu, Dika seakan menegaskan bahwa aku tidak boleh menyangkal."Suaminya?" tanya si Ibu seakan tak percaya."Dia istri saya." Dika menegaskan."Mas dari mana saja? Kenapa tadi Mbak-nya sendirian saat pingsan? Terus barusan Mbak-nya juga bilang kalau dia pergi sendirian. Mas jangan ngaku-ngaku, deh!""Iya maaf ibu-ibu, sebenarnya kami sedang berselisih. Istri saya mencoba kabur dan saya barusan sempat kehilangan jejak. Saya minta maaf kalau sudah merepotkan ibu-ibu. Saya
Dika membawaku ke tempat yang sepi, tepatnya di belakang stasiun. Pria ini menyuruhku duduk dalam gerbong yang sudah tidak terpakai."Kamu ditakdirkan harus bersamaku. Jadi mau lari ke mana pun, tidak akan bisa. Paham?!""Brengsek kamu! Kembalikan uang dan barang-barangku!"Aku bangkit dan kembali mencengkram krah bajunya serta mengguncangkan tubuhnya, tapi reaksi Dika malah membuatku semakin emosi. Pria yang penampilannya tidak se-keren dulu itu tersenyum tipis. Seperti sedang meledek."Tenang, Sayang. Jangan keras-keras, nanti didengar oleh orang-orang yang sedang mencari pencopet dompet ini. Atau kamu mau aku berteriak dan mengatakan kalau pencurinya ada di sini?" Dika menyeringai. Lagi-lagi aku tidak bisa melawan. Dika terlalu licik dalam hal ini. Dia sudah merencanakan ini dengan matang untuk menjeratku."Aku tidak menyangka sama sekali, pria se-keren Dika ternyata penjahatnya kelas atas," cibirku sambil meliriknya. Kalau tidak takut pria ini berteriak dan mengatakan aku copet d
Karena takut pada ancamannya Dika, terpaksa aku menuruti pria itu. Malam ini kami tidur di dalam gerbong lapuk ini. Bercampur dengan tikus dan kecoa serta beralaskan kardus bekas botol mineral yang Dika bawa selepas dia membeli makanan. Setelah aku menyetujui rencananya, Dika tidak berbuat kasar lagi padaku. Meski tidak selembut seperti dulu, tapi pria ini cukup memperhatikan aku. "Sekarang kamu tidur dan jangan coba-coba kabur dariku. Atau kamu akan tahu akibatnya." Menjelang tidur pria itu tetap mengancamku, sepertinya semalaman dia tidak tidur. Entah ingin menjagaku dari hal-hal buruk selama aku tidur atau takut kalau aku benar-benar kabur. Paginya badanku terasa pegal, mungkin efek dari berjalan kaki kemarin ke stasiun ini, juga tidur beralaskan kardus bekas di atas gerbong tua. Tadi malam aku benar-benar menjadi gembel bersama pria yang kubenci setengah mati. Badanku lengket, dari semenjak pingsan lalu pergi ke klinik hingga pulang lagi, seingatku, aku belum membersihkan diri.
Ibu menyambut kedatangan anak bungsunya ini dengan tatapan heran. Lantaran selama aku merantau ke ibukota, jarang sekali pulang. Hanya setahun sekali saat hari raya, itu pun hanya sebentar. Alasanku karena tidak diberi libur yang lama, padahal jujur saja aku tidak betah dengan suasana kampung. Di sini tidak ada hiburan, disamping itu tempatnya pun becek di sana-sini. Selain karena pulang tidak biasanya dan tanpa kabar, Ibu juga heran ketika aku datang bersama seorang pria yang kuakui sebagai calon suamiku. Beberapa bulan yang lalu aku memberi kabar pada ibu kalau sudah bercerai dengan mas Riko. Perempuan yang usianya lebih dari setengah abad itu pun tidak bisa banyak berkomentar lantaran menurut dia Mas Riko bukan menantu idaman, apalagi setelah mengetahui status Mas Riko yang saat itu masih punya istri."Ini mendadak sekali, Nduk," bisik Ibu ketika kami berada di dapur untuk menyiapkan hidangan makan sore. Setelah selama satu malam mas Dika berada di kediaman kami. Baru kali ini aku
Pov LisaSetelah dua minggu berada di rumahnya Mas Natan, hari ini kami pergi ke rumahku. Entah untuk berapa lama, sebab kebetulan di butik sedang banyak orderan. Sejak dua hari yang lalu, Gina terus menghubungiku dan meminta aku datang ke butik. Selama kami menikah dan tinggal di rumah Mas Nathan, aku memang tidak pernah berkunjung ke butik lantaran jaraknya yang cukup jauh. Selain itu, Mas tidak mengizinkan aku pergi sendirian. Akhirnya diambil kesepakatan bahwa untuk beberapa hari ke depan, kami akan tinggal di rumahku dan selanjutnya jika aku sedang berada di rumah Mas Nathan maka aku boleh mengunjungi butik dengan catatan harus diantar oleh sopir. "Kamu nggak boleh kecapean, Sayang. Mas khawatir kalau kamu nyetir bolak-balik dalam jarak jauh, itu akan membuatmu capek dan itu sangat membahayakan keselamatanmu." Itu yang diucapkan sebagai alasan kalau aku tidak boleh menyetir sendirian."Jadi bukan karena takut aku ada yang godain?" tanyaku cemberut."Itu juga salah satu alasan d
"Diperiksa oleh dokter Karina?" tanyaku ragu berharap kalau lelakiku tidak meng-iya-kan pertanyaanku barusan."Iya."Jawaban singkat dari mas Nathan sukses membuat irama jantungku berpacu lebih cepat. Jadi benar, Mama mertuaku periksa ke dokter Karina."Dokter Karina 'kan dokter anak, Mas?""Iya, tapi Mama lebih percaya dokter Karina dari pada yang lain. Ya sudah, untuk keluhan ringan biasanya Mama cukup ditangani oleh Karina. Tapi jika ada keluhan lebih lanjut pasti Mama mau mendengarkan jika Karina meminta Mama berobat ke dokter lain." Mas Nathan menjelaskan lebih lanjut. Tapi aku masih belum merasa lega dengan jawabannya."Sudah makan?" Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan untuk mengurangi perasaan tidak enak ini. Karena dengan terus membahasnya, maka rasa tidak enak itu makin tumbuh."Sudah, tadi kebetulan Karina bawa makanan banyak pas ke rumah."Astaga, niat mengalihkan pembicaraan agar tidak membahas lagi Karina malahan semakin membuatku diserang perasaan aneh. Apakah aku cembu