Pov LisaSetelah dua minggu berada di rumahnya Mas Natan, hari ini kami pergi ke rumahku. Entah untuk berapa lama, sebab kebetulan di butik sedang banyak orderan. Sejak dua hari yang lalu, Gina terus menghubungiku dan meminta aku datang ke butik. Selama kami menikah dan tinggal di rumah Mas Nathan, aku memang tidak pernah berkunjung ke butik lantaran jaraknya yang cukup jauh. Selain itu, Mas tidak mengizinkan aku pergi sendirian. Akhirnya diambil kesepakatan bahwa untuk beberapa hari ke depan, kami akan tinggal di rumahku dan selanjutnya jika aku sedang berada di rumah Mas Nathan maka aku boleh mengunjungi butik dengan catatan harus diantar oleh sopir. "Kamu nggak boleh kecapean, Sayang. Mas khawatir kalau kamu nyetir bolak-balik dalam jarak jauh, itu akan membuatmu capek dan itu sangat membahayakan keselamatanmu." Itu yang diucapkan sebagai alasan kalau aku tidak boleh menyetir sendirian."Jadi bukan karena takut aku ada yang godain?" tanyaku cemberut."Itu juga salah satu alasan d
"Diperiksa oleh dokter Karina?" tanyaku ragu berharap kalau lelakiku tidak meng-iya-kan pertanyaanku barusan."Iya."Jawaban singkat dari mas Nathan sukses membuat irama jantungku berpacu lebih cepat. Jadi benar, Mama mertuaku periksa ke dokter Karina."Dokter Karina 'kan dokter anak, Mas?""Iya, tapi Mama lebih percaya dokter Karina dari pada yang lain. Ya sudah, untuk keluhan ringan biasanya Mama cukup ditangani oleh Karina. Tapi jika ada keluhan lebih lanjut pasti Mama mau mendengarkan jika Karina meminta Mama berobat ke dokter lain." Mas Nathan menjelaskan lebih lanjut. Tapi aku masih belum merasa lega dengan jawabannya."Sudah makan?" Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan untuk mengurangi perasaan tidak enak ini. Karena dengan terus membahasnya, maka rasa tidak enak itu makin tumbuh."Sudah, tadi kebetulan Karina bawa makanan banyak pas ke rumah."Astaga, niat mengalihkan pembicaraan agar tidak membahas lagi Karina malahan semakin membuatku diserang perasaan aneh. Apakah aku cembu
"Lho, baru beberapa hari kok, kalian sudah balik?" tanya Mama ketika kami sampai di rumah. Sebelum pergi ke kantornya, Mas Nathan mampir dulu ke rumah untuk mengantarkan kami. Aku, Kayla dan Tuti."Mama seperti tidak pernah muda saja. Pernikahan kami belum genap sebulan, jadi maklum saja kalau Dek Lisa tidak bisa lama-lama jauh dariku." Aku mendelik ketika Mas Nathan menuduhku depan Mama. Tak berani menatap Ibu mertuaku, maka kutundukkan wajah karena malu."Bukannya Nathan pulang tiap malam?""Katanya kasihan kalau aku bolak-balik dalam jarak cukup jauh, takut aku kecapean, Ma.""Mama apa kabar? Kata Mas Nathan kemarin Mama kurang sehat. Itu sebabnya aku memutuskan untuk kembali ke sini." Aku memberanikan diri mengangkat wajah ini."Mama tidak apa-apa, kok. Hal ini sudah biasa, kemarin itu Mama makan terlalu lahap. Jadi gula darah Mama naik." Mama mengusap pundakku setelah aku mencium tangannya."Karina sudah ke sini?" tanya Mas Nathan dan sukses membuat hatiku kembali tercubit. Lagi
Mama menyambut kedatangan Karina dengan antusias, sepertinya keduanya kenal dekat dan sangat akrab. Terlihat ada cara mereka berkomunikasi serta gestur tubuh keduanya yang sama sekali tidak terlihat canggung. "Oh ya, Mbak Lisa kapan datang?" Setelah berbasa-basi dengan Mama, Karina beralih padaku."Baru beberapa menit yang lalu." Aku memaksakan tersenyum pada wanita cantik di hadapanku."Kemarin Mas Nathan bilang kalau Mbak Lisa akan tinggal di sana cukup lama."Hmm, jadi dia mengharapkan aku tidak ada di rumah ini lebih lama lagi? Supaya dia leluasa bertemu dengan suamiku?"Iya, awalnya begitu, cuma aku khawatir setelah mendengar Mama kurang sehat. Jadi hari ini memaksakan ikut pulang dengan Mas Nathan."Karina tersenyum mendengar jawabanku, kemudian ia beralih melihat Mama yang duduk di sampingnya lalu berkata seraya mengusap paha ibu mertuaku."Bude beruntung punya menantu yang baik dan sayang sama Bude juga Mas Nathan."Bude? Aku bertanya dalam hati. Karina menyebut Mama mertuaku
Pria bernama Dodi itu benar-benar kurang ajar. Pantas saja Alin nekat meninggalkan aku demi laki-laki tidak goodlooking itu. Jika dibandingkan denganku, wajah Dodi tidak ada apa-apanya. Sudah hitam, tidak ganteng dan postur tubuh mirip gentong. Sekarang aku mengerti kenapa Alin memilihnya. Pria itu sekarang menikah dengan salah satu pemilik saham hotel tempatnya bekerja. Ditambah lagi dari dulu dia sudah kaya dari hasil kerja kerasnya. Dari informasi yang kudapat, Dodi itu dulunya memang naksir pada Alin. Tapi Ali lebih memilihku, jelas saja karena aku memang lebih tampan. Tapi sekarang ketika aku sudah bangkrut dan tidak punya apa-apa, maka Alin berpaling. Dia memanfaatkan perasaan Dodi yang sepertinya masih suka padanya. Meskipun aku menyadari kekuranganku, tapi aku tidak bisa menerima begitu saja. Wanita yang kucintai lalu sudah kumodali dan telah menguras semua kekayaanku itu jatuh pada pelukan pria lain. Akhirnya aku nekad membuat perhitungan dengan pria gentong itu.Sialnya, D
"Berisik, woi!!"Aku dan Bang Jeky sontak menoleh ke arah sel yang berada di seberang sel kami. Begitupun Bang Cungkring yang tadi kembali merebahkan diri, sekarang duduk bersamaan dengan bang Anto."Ini masih malam, waktunya orang istirahat. Bukannya pada tidur, malah ngobrol, ganggu orang saja!" teriak suara di seberang lagi, yang ku tahu itu adalah suaranya Bang Andi. Tahanan yang sudah menghuni sel selama beberapa bulan, itu menurut Bang Jeky. Bang Andi adalah salah seorang koruptor yang kasusnya masih diproses. Untuk kasus yang satu ini memang prosesnya selalu lama dan diperlambat, entah apa alasannya."Eh, pencuri uang rakyat! Kalau mau tidur, tidur aja! Lu pikir apa yang lu kerjakan di luar itu kagak ganggu orang lain?" Bang Jeky balas berteriak."Kenapa lu bawa-bawa kasus gue?!" Aku melihat bang Andi berdiri sambil memegangi teralis."Lu itu merugikan orang banyak!" Bang Jeky tak mau kalah, pria yang sedari tadi duduk itu pun ikut berdiri lalu melakukan hal yang sama dengan pr
Kedua teman Bang Jeky bukannya melerai, mereka malah seperti mendukung perbuatan rekannya itu. Bang Anto dan Bang Cungkring sekilas kulirik hanya berdiri di dekat tembok sambil menyilang tangan di dada. Entah rasa kemanusiaan yang sudah hilang atau takut pada ketua geng mereka. Hingga tak ada niat untuk menghentikan aksi pria berbadan besar ini meski aku sudah berteriak minta tolong.Beberapa orang sipir datang ketika tubuhku sudah benar-benar lemas. Wajahku terasa kebas karena beberapa kali terkena pukulan. Saat ini aku sudah tidak bisa bergerak sama sekali meskipun kesadaranku masih ada. Dua orang sipir memegangi tubuh Bang Jeky yang besar. Kemudian menariknya supaya menjauh dariku. Perlu tenaga yang ekstra untuk itu, bisa dilihatnya dari mimik wajah mereka yang serius."Kamu kalau tidak berbuat onar kenapa? Sudah dipindah ke mana-mana tetap saja bikin kerusuhan!" ujar salah seorang dari sipir sambil menoyor kepala bang Jeky. "Kalau gue kagak bikin onar, kalian kagak ada kerjaan,"
Pagi ini aku bangun kesiangan, itu pun karena beberapa sipir memukul besi sel kami sehingga menimbulkan suara berisik. Semalam setelah kejadian pemukulan oleh Bang Jeky, aku tertidur lelap, meskipun awalnya ada rasa khawatir kalau pria itu akan berulah lagi. Namun setelah salah seorang sipir selesai mengobatiku Bang Jeky sama sekali tidak bicara lagi, begitupun dengan dua temannya. Bang Anto malah yang pertama terdengar suara dengkurannya, disusul oleh Bang Cungkring yang tak hentinya menepuk beberapa bagian tubuhnya yang mungkin dihinggapi oleh nyamuk. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan Bang Jeky tadi. Dia baru beberapa hari saja menghuni sel ini. Awalnya dia berada di sel lain. Entah di mana, yang jelas begitu dia masuk ruangan ini, pria itu langsung terlibat percekcokan dengan Bang Andi di sel seberang. Semenjak ada Bang Jeky, sikap Bang dan Anto dan Bang Cungkring pun berubah. Semula, kedua teman satu selku itu banyak bercerita tentang kehidupannya di jalanan juga kesalaha
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny