Kedua teman Bang Jeky bukannya melerai, mereka malah seperti mendukung perbuatan rekannya itu. Bang Anto dan Bang Cungkring sekilas kulirik hanya berdiri di dekat tembok sambil menyilang tangan di dada. Entah rasa kemanusiaan yang sudah hilang atau takut pada ketua geng mereka. Hingga tak ada niat untuk menghentikan aksi pria berbadan besar ini meski aku sudah berteriak minta tolong.Beberapa orang sipir datang ketika tubuhku sudah benar-benar lemas. Wajahku terasa kebas karena beberapa kali terkena pukulan. Saat ini aku sudah tidak bisa bergerak sama sekali meskipun kesadaranku masih ada. Dua orang sipir memegangi tubuh Bang Jeky yang besar. Kemudian menariknya supaya menjauh dariku. Perlu tenaga yang ekstra untuk itu, bisa dilihatnya dari mimik wajah mereka yang serius."Kamu kalau tidak berbuat onar kenapa? Sudah dipindah ke mana-mana tetap saja bikin kerusuhan!" ujar salah seorang dari sipir sambil menoyor kepala bang Jeky. "Kalau gue kagak bikin onar, kalian kagak ada kerjaan,"
Pagi ini aku bangun kesiangan, itu pun karena beberapa sipir memukul besi sel kami sehingga menimbulkan suara berisik. Semalam setelah kejadian pemukulan oleh Bang Jeky, aku tertidur lelap, meskipun awalnya ada rasa khawatir kalau pria itu akan berulah lagi. Namun setelah salah seorang sipir selesai mengobatiku Bang Jeky sama sekali tidak bicara lagi, begitupun dengan dua temannya. Bang Anto malah yang pertama terdengar suara dengkurannya, disusul oleh Bang Cungkring yang tak hentinya menepuk beberapa bagian tubuhnya yang mungkin dihinggapi oleh nyamuk. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan Bang Jeky tadi. Dia baru beberapa hari saja menghuni sel ini. Awalnya dia berada di sel lain. Entah di mana, yang jelas begitu dia masuk ruangan ini, pria itu langsung terlibat percekcokan dengan Bang Andi di sel seberang. Semenjak ada Bang Jeky, sikap Bang dan Anto dan Bang Cungkring pun berubah. Semula, kedua teman satu selku itu banyak bercerita tentang kehidupannya di jalanan juga kesalaha
"Kenapa lu? Takut kalau tiba-tiba gue gelap mata dan menghabisi lu?!" Pria itu kembali terbahak. Sepertinya meledek, tapi aku jadi ketar ketir.Akhirnya aku hanya tersenyum miring, mau bilang takut tapi gengsi. Bilang tidak takut, hatiku sebenarnya was-was."Tenang saja gue tidak sembarangan menghabisi orang. Apalagi orang yang baru gue kenal," lanjutnya sambil terkekeh kemudian menepuk bahuku agak keras hingga aku tersentak dan sampai berteriak.Bersamaan dengan itu aku segera menoleh, mendapati pria itu makin keras tertawa."Lu beneran takut?" Dia kembali tertawa hingga bahunya terguncang."Bukan, Bang. Tapi badan saya lagi nggak enak. Ditepuk agak keras seperti itu jelas saja bertambah sakit.""Lu sakit apa habis berantem. Gue denger semalam Si Jeky bikin onar di sel. Atau ... jangan-jangan lu satu sel sama Jeky?""Iya Bang, tiba-tiba Bang Jeky mukulin saya.""Wah ... udah nggak bener, nih. Dari dulu dia itu bikin onar mulu sebenarnya buat cari perhatian saja. Si Jeky itu terkenal
"Tenang saja, Mas. Aku masih bisa jaga diri, kok. Cukup Mas Riko dan Mbak Alin saja yang menerima karma dari perbuatan kalian. Aku, ibu dan Mbak Lisa jangan sampai terkena karmanya."Lagi-lagi Reka menyebut nama Lisa membuatku makin merasa bersalah.Aku kembali membuang pandangan, Reka dan ibu sama saja. Mereka seperti sengaja menyudutkanku."Lalu uang dari mana kamu bisa tetap kuliah?" Aku menatap Reka, menuntut jawaban dari adikku itu."Mbak Lisa mentransfer uang ke rekeningku. Katanya uang itu dia selamatkan dari rekening Mas Riko, supaya tidak semuanya dihabiskan oleh pelakor itu. Alhamdulillah dengan uang itu aku bisa menyelesaikan kuliah dan bertahan hidup selama ini. Setelah wisuda nanti, aku akan langsung cari kerja biar bisa membahagiakan ibu. Kasihan Ibu, punya anak laki-laki yang sudah lebih dulu mapan tapi tidak pernah membahagiakannya," sindir Reka sambil mengalihkan pandangan.Deg! Ada sesuatu yang mengenai hatiku. Ucapan Reka benar, aku belum bisa membahagiakan ibu. Sem
JoanAku sangat senang ketika bertemu Lisa dan dia sedang dalam proses cerai dengan suaminya. Berarti kesempatanku untuk mendekatinya terbuka lagi, setelah dua kali gagal. Pertama kali aku menaruh hati padanya ketika sekolah, namun tak sempat diucapkan karena aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan ini. Pun ketika kami sama-sama lulus kuliah, aku yang masih belum percaya diri karena belum punya pekerjaan kalah star oleh pria bernama Riko. Aku patah hati, tapi melihat binar bahagia di mata wanita pujaanku saat di pelaminan, hatiku sedikit tenang. Itu artinya, meski tidak denganku, setidaknya Lisa bahagia bersama pilihannya. Pernikahannya terkesan sederhana, tapi saat itu Lisa selalu tersenyum.Tapi belakangan, ketika aku tidak sengaja bertemu dengannya atau melihat foto gadis itu diupload, aku kembali resah. Lisa nampak kurus dan tidak terawat. Apa itu artinya dia tidak bahagia bersama Riko? Tapi aku tidak mendapatkan informasi apapun. Lisa begitu tertutup, ia tidak me
Saat makan malam, mama masih membahas perih Lisa. Padahal aku masih malas membicarakannya. Alhasil Mama hanyalah bicara sendirian.Obrolan Mama terhenti ketika ponselnya berdering."Iya, Jeng. Nanti kita bisa atur, yang penting Bela sudah setuju."Bela siapa? Apa itu wanita yang ingin mama jodohkan denganku. Apa dia Bela anaknya tante Ina. Wanita yang gila kerja sehingga tidak memikirkan pernikahannya sampai usianya yang sekarang."Iya, coba kirim foto terbarunya, biar nanti aku tunjukan sama Joan."Benar, ternyata yang ingin mama jodohkan denganku itu adalah Bela anaknya tante Ina sesuai dengan pikiranku.Setelah Mama mengakhiri panggilannya, wanita yang melahirkanku itu kemudian mengotak-atiknya ponselnya sebentar lalu memberikannya padaku."Ini dia, kamu pasti kenal 'kan? Kalian pernah bertemu beberapa kali.""Ini Bela? Anaknya tante Ina yang perawan tua itu? Memangnya kenapa?" Pertanyaanku terkesan lucu karena aku berpura-pura tidak mengerti maksud mama."Kamu ini gimana, sih, Jo?
Setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Lisa mau juga datang di acara kumpul dengan teman-teman SMA. Awalnya dia menolak karena takut masalah rumah tangganya bocor pada teman-teman. Tapi setelah meyakinkan bahwa aku tidak akan mengatakannya pada siapapun, akhirnya Lisa mau kujemput di butiknya.Ini untuk pertama kalinya kami berada dalam satu mobil. Apalagi Lisa mau duduk di sampingku, rasanya bahagia sekali. Aku membayangkan jika dia menjadi istriku, mungkin seperti ini setiap hari. Dulu waktu sekolah, kami pernah berboncengan dengan sepeda motor. Saat itu Lisa sangat menjaga jarak, dia tidak mau tubuhnya menempel padaku. Sungguh dia memang wanita idaman. Kali ini pun, awalnya dia menolak duduk di depan. Tapi setelah kukatakan bahwa aku bukan supirnya, dengan ragu ia pun mau duduk di depan. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengajak Kayla, anaknya Lisa berbicara. Tentang apa saja yang dilihatnya, sebagai calon ayah yang baik, aku harus membangun komunikasi yang baik pula dengan anak
Dugaanku benar, mama mengajakku bertemu dengan tante Ina. Tapi di mana Bela? Perawan tua itu tidak ada duduk bersama ibunya. Tante Ina menunggu kami sendirian di sebuah cafe. Ingin bertanya pada mama ataupun tante Ina, tapi nanti malah mereka menyangka aku setuju dengan perjodohan ini. Lebih baik aku diam saja, paling juga perawan tua itu sibuk meeting atau kunjungan ke luar kota dan kegiatan kerja yang lainnya. Ah, mendengarnya saja aku sudah merasa bosan. Membayangkan jika nanti wanita seperti itu yang menjadi istriku. Lalu kapan kami punya waktu bersama?"Sudah lama nunggu, ya, Jeng? Maaf, ini anak ganteng mandinya lama," ucap mama begitu sampai di dekat meja tante Ina. Kenapa mama memutar balik fakta, padahal mandiku cepat, berpakaian juga cepat. Seolah-olah mama ingin mengatakan kalau aku ingin tampil sempurna di pertemuan ini. Menyebalkan."Tidak apa-apa, Jeng. Saya maklum, kok. Sepertinya Nak Joan juga ingin terlihat sempurna. Padahal nggak mandi dan dandan lama juga, Nak Joan
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny