Dugaanku benar, mama mengajakku bertemu dengan tante Ina. Tapi di mana Bela? Perawan tua itu tidak ada duduk bersama ibunya. Tante Ina menunggu kami sendirian di sebuah cafe. Ingin bertanya pada mama ataupun tante Ina, tapi nanti malah mereka menyangka aku setuju dengan perjodohan ini. Lebih baik aku diam saja, paling juga perawan tua itu sibuk meeting atau kunjungan ke luar kota dan kegiatan kerja yang lainnya. Ah, mendengarnya saja aku sudah merasa bosan. Membayangkan jika nanti wanita seperti itu yang menjadi istriku. Lalu kapan kami punya waktu bersama?"Sudah lama nunggu, ya, Jeng? Maaf, ini anak ganteng mandinya lama," ucap mama begitu sampai di dekat meja tante Ina. Kenapa mama memutar balik fakta, padahal mandiku cepat, berpakaian juga cepat. Seolah-olah mama ingin mengatakan kalau aku ingin tampil sempurna di pertemuan ini. Menyebalkan."Tidak apa-apa, Jeng. Saya maklum, kok. Sepertinya Nak Joan juga ingin terlihat sempurna. Padahal nggak mandi dan dandan lama juga, Nak Joan
Para orang tua memang selalu antusias pada pernikahan anak-anaknya. Tanpa bertanya kesiapan mereka, baru kalau sudah ada apa-apa dengan rumah tangganya, anak juga yang disalahkan."Oh ya, Jeng Anita. Bela 'kan sudah datang, bagaimana kalau kita tinggal saja mereka berdua. Supaya lebih akrab lagi." Tante Ina mencolek lengan mama yang duduk di hadapannya. Matanya mengerling yang kemudian disambut oleh suara tawa mama."Ah iya, Jeng Ina. Saya sampai lupa, kalau begitu kita jalan dulu ke seberang, yuk. Lihat-lihat barangkali ada diskon." Mama menunjuk ke arah seberang cafe, di mana terdapat sebuah mall besar di sana."Ide bagus Jeng Anita, ibu-ibu memang selalu gila belanja tapi jangan lupa juga melihat-lihat diskon. Itu sangat penting." Keduanya lalu tertawa, kemudian mereka bangkit hampir bersamaan."Jo kamu ngobrol sama Bela, ya. Mama mau jalan dulu ke depan," pamit Mama padaku. Mau tidak mau aku pun mengiyakan, tidak enak kalau menolak secara langsung."Mama juga pamit dulu, ya. Kalia
Pertemuan ini ternyata tidak se-seram yang kubayangkan. Lantaran Bela sama halnya dengan diriku, tidak setuju dengan perjodohan ini. Wanita itu sedang mengejar karirnya, sementara aku sedang mengejar cinta wanita pujaanku. Kerjasama yang ditawarkan oleh Bela pun kusambut dengan baik. Untuk beberapa hari ke depan, kami berkomitmen untuk pura-pura ingin mengenal lebih dekat."Ini bukan yang pertama kali bagiku, Jo. Beberapa waktu yang lalu, mama juga pernah mengenalkan aku pada salah seorang anak rekan bisnis papa. Sayangnya pria itu malah menyetujui rencana orang tua kami. Jadi langsung kutolak saja." Bela memulai percakapan lagi sambil sesekali menyeruput minumannya.Aku tersenyum miris mendengar penuturan Bela. "Mama memang sering membahas soal pernikahan. Tapi baru kali ini aku dipertemukan dengan seseorang." Aku mengusap tengkuk. Kami berdua jadi saling curhat tentang keinginan orang tua masing-masing. Obrolan kami berlanjut beberapa menit sampai pada akhirnya Bela berpamitan. "
Saat jam makan siang esok harinya, tanpa memberitahu Lisa terlebih dahulu aku pun datang ke butiknya, bermaksud untuk mengajak makan siang di luar. Akan tetapi, dia bilang mau makan di butik saja lantaran Kayla sedang tidur. Lisa memang seorang ibu yang sangat memperhatikan anaknya, aku tahu itu. Tapi setelah kubujuk dengan alasan ada hal penting yang ingin aku sampaikan, akhirnya dia mau pergi denganku. Aku pun mengajaknya makan siang di sebuah restoran yang cukup mewah. Kemarin, ketika aku dan Bela berpisah di parkiran, sebelum dia menuju mobilnya, Bela sempat berpesan padaku."Jika kamu sedang suka sama seseorang, perjuangkan Jo. Jangan sampai kamu menyesal karena membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja."Aku hanya mengacungkan dua jempol sebagai respon pada ucapan Bela. Dari semalam, aku terus berpikir. Maka hari ini aku harus bergerak cepat, khawatir kalau Agus, atau siapapun teman kami mendahuluiku mendekati Lisa lebih serius.Aku memberanikan diri untuk mengatakan perasa
Berselang dua hari, aku sengaja lewat ke butik. Tapi tidak melihat Lisa ada di sana. Mungkin sedang di dalam atau keluar makan siang. Sebenarnya aku ingin menemui wanita itu, tapi khawatir Lisa masih marah. Iseng aku menghubungi Bela dan ternyata perawan tua itu sedang makan siang tak jauh dari kantorku."Oke, aku ke sana, ya."Setelah mengakhiri panggilan, aku pun segera tancap gas menuju cafe tempat Bela berada. Tak sulit menemukan tempat duduk gadis itu lantaran Bela sudah memberitahukannya."Mama kamu pasti senang jika tahu anaknya berada di sini bersamaku," kekeh Bela sesaat setelah aku menghempaskan tubuh di kursi yang berhadapan dengannya."Aku memang berniat mengajakmu bertemu siang ini." "Oh ya?" "Ya.""Ada apa?""Supaya mama senang." Tawa bela kembali berderai. Aku juga tak mengerti kenapa bisa mudah akrab dengan Bela. Apa mungkin karena kami punya komitmen yang sama, sama-sama menolak perjodohan ini."Apa kamu bermaksud melaporkan pertemuan kita pada tante Anita?" tany
"Benarkah?""Iya, sepulang dari kita ketemuan. Aku nganterin sepupu ke Mall. Kebetulan dia pengen beli ponsel baru. Di sana aku ketemu tante Anita dan .... ""Dan apa?""Aku memperkenalkan sepupuku itu sebagai kekasihku pada tante Anita."Sampai di situ Bella berhenti, memberikan ruang karena dia sudah menduga aku akan kaget mendengarnya. Aku teringat percakapanku dengan mama barusan. Pantas saja wanita yang melahirkanku itu tidak lagi bersikeras mendesakku untuk menerima perjodohanku dengan Bella. Rupanya mama baru saja bertemu dengan Bela dan mengetahui kalau gadis sudah punya kekasih."Lalu bagaimana reaksi mama?""Tante Anita sepertinya kaget. Beliau tidak banyak bicara karena buru-buru berpamitan. Semoga saja ini berhasil supaya kita sama-sama tidak tertekan lagi.""Oke, thanks ya, Bel.""Santai aja, Jo. Semoga setelah ini tante Anita merestui kamu dengan cewek itu."Panggilan berakhir, aku duduk di ranjang segera. Terasa ada beban yang hilang dari dadaku, meskipun belum sepenuhn
Beberapa hari ini aku menahan gelisah serta rasa penasaran tentang keadaan Lisa di rumahnya Riko. Bertanya terus-menerus pada Meti juga membuatku tidak enak. Lisa bukan orang yang suka mengumbar perasaannya di media sosial. Jadi aku tidak bisa memantaunya lewat unggahannya.Pagi ini aku memberanikan diri menghubungi Lisa. Syukurlah, saat ini wanita itu mau menerima panggilanku. Sebisa mungkin aku menormalkan nada bicaraku padahal hatiku dipenuhi cemburu mengetahui dirinya berada di rumah Riko.Dia baik-baik saja, itu menurutnya. Tak kudengar kesedihan dalam nada bicaranya. Apakah Lisa bahagia bisa tinggal bersama Riko lagi. Hatiku sakit. Padahal aku bukan siapa-siapanya Lisa. Hanya seseorang yang terlalu banyak berharap. Kuakhiri telepon karena takut mengganggu. Senang bisa mendengar suaranya meski sebentar. ***Aku ingin Lisa cepat kembali, tak sabar ingin segera meminta maaf dan memperbaiki hubungan kami. Kemarin aku terlalu bersemangat hingga kesannya seperti tergesa-gesa dan mema
"Bagaimana Bela? Apa kalian sering bertemu?" tanya Mama suatu malam. Saat itu aku baru pulang dari kantor, selesai membersihkan diri, aku duduk di ruang keluarga bersama mama. "Kebetulan sudah agak lama kami tidak bertemu. Mama tahu sendiri Bela itu orang yang super sibuk. Bahkan untuk keluarganya sendiri dia tidak punya waktu. Apalagi sama aku, teman bukan, rekan bisnis bukan, saudara apalagi." Dengan kalimat itu aku ingin menegaskan bahwa aku dan Bela tidak ada hubungan apa-apa. Kalaupun ada hubungan, maka kami akan sulit sekali berkomunikasi. Mudah-mudahan saja mama mengerti.Untuk beberapa saat aku terdiam, menunggu reaksi mama pada jawabanku barusan. Tapi wanita yang masih cantik di usianya yang sudah terbilang tidak muda ini sepertinya enggan berkomentar, terbukti mama hanya menatap lurus ke arah televisi yang sedang menayangkan acara ajang pencarian bakat di sebuah stasiun swasta."Mama sendiri sudah lama tidak berbelanja ke butik," pancingku sambil harap-harap cemas."Maksud
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny