Ibu menyambut kedatangan anak bungsunya ini dengan tatapan heran. Lantaran selama aku merantau ke ibukota, jarang sekali pulang. Hanya setahun sekali saat hari raya, itu pun hanya sebentar. Alasanku karena tidak diberi libur yang lama, padahal jujur saja aku tidak betah dengan suasana kampung. Di sini tidak ada hiburan, disamping itu tempatnya pun becek di sana-sini. Selain karena pulang tidak biasanya dan tanpa kabar, Ibu juga heran ketika aku datang bersama seorang pria yang kuakui sebagai calon suamiku. Beberapa bulan yang lalu aku memberi kabar pada ibu kalau sudah bercerai dengan mas Riko. Perempuan yang usianya lebih dari setengah abad itu pun tidak bisa banyak berkomentar lantaran menurut dia Mas Riko bukan menantu idaman, apalagi setelah mengetahui status Mas Riko yang saat itu masih punya istri."Ini mendadak sekali, Nduk," bisik Ibu ketika kami berada di dapur untuk menyiapkan hidangan makan sore. Setelah selama satu malam mas Dika berada di kediaman kami. Baru kali ini aku
Pov LisaSetelah dua minggu berada di rumahnya Mas Natan, hari ini kami pergi ke rumahku. Entah untuk berapa lama, sebab kebetulan di butik sedang banyak orderan. Sejak dua hari yang lalu, Gina terus menghubungiku dan meminta aku datang ke butik. Selama kami menikah dan tinggal di rumah Mas Nathan, aku memang tidak pernah berkunjung ke butik lantaran jaraknya yang cukup jauh. Selain itu, Mas tidak mengizinkan aku pergi sendirian. Akhirnya diambil kesepakatan bahwa untuk beberapa hari ke depan, kami akan tinggal di rumahku dan selanjutnya jika aku sedang berada di rumah Mas Nathan maka aku boleh mengunjungi butik dengan catatan harus diantar oleh sopir. "Kamu nggak boleh kecapean, Sayang. Mas khawatir kalau kamu nyetir bolak-balik dalam jarak jauh, itu akan membuatmu capek dan itu sangat membahayakan keselamatanmu." Itu yang diucapkan sebagai alasan kalau aku tidak boleh menyetir sendirian."Jadi bukan karena takut aku ada yang godain?" tanyaku cemberut."Itu juga salah satu alasan d
"Diperiksa oleh dokter Karina?" tanyaku ragu berharap kalau lelakiku tidak meng-iya-kan pertanyaanku barusan."Iya."Jawaban singkat dari mas Nathan sukses membuat irama jantungku berpacu lebih cepat. Jadi benar, Mama mertuaku periksa ke dokter Karina."Dokter Karina 'kan dokter anak, Mas?""Iya, tapi Mama lebih percaya dokter Karina dari pada yang lain. Ya sudah, untuk keluhan ringan biasanya Mama cukup ditangani oleh Karina. Tapi jika ada keluhan lebih lanjut pasti Mama mau mendengarkan jika Karina meminta Mama berobat ke dokter lain." Mas Nathan menjelaskan lebih lanjut. Tapi aku masih belum merasa lega dengan jawabannya."Sudah makan?" Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan untuk mengurangi perasaan tidak enak ini. Karena dengan terus membahasnya, maka rasa tidak enak itu makin tumbuh."Sudah, tadi kebetulan Karina bawa makanan banyak pas ke rumah."Astaga, niat mengalihkan pembicaraan agar tidak membahas lagi Karina malahan semakin membuatku diserang perasaan aneh. Apakah aku cembu
"Lho, baru beberapa hari kok, kalian sudah balik?" tanya Mama ketika kami sampai di rumah. Sebelum pergi ke kantornya, Mas Nathan mampir dulu ke rumah untuk mengantarkan kami. Aku, Kayla dan Tuti."Mama seperti tidak pernah muda saja. Pernikahan kami belum genap sebulan, jadi maklum saja kalau Dek Lisa tidak bisa lama-lama jauh dariku." Aku mendelik ketika Mas Nathan menuduhku depan Mama. Tak berani menatap Ibu mertuaku, maka kutundukkan wajah karena malu."Bukannya Nathan pulang tiap malam?""Katanya kasihan kalau aku bolak-balik dalam jarak cukup jauh, takut aku kecapean, Ma.""Mama apa kabar? Kata Mas Nathan kemarin Mama kurang sehat. Itu sebabnya aku memutuskan untuk kembali ke sini." Aku memberanikan diri mengangkat wajah ini."Mama tidak apa-apa, kok. Hal ini sudah biasa, kemarin itu Mama makan terlalu lahap. Jadi gula darah Mama naik." Mama mengusap pundakku setelah aku mencium tangannya."Karina sudah ke sini?" tanya Mas Nathan dan sukses membuat hatiku kembali tercubit. Lagi
Mama menyambut kedatangan Karina dengan antusias, sepertinya keduanya kenal dekat dan sangat akrab. Terlihat ada cara mereka berkomunikasi serta gestur tubuh keduanya yang sama sekali tidak terlihat canggung. "Oh ya, Mbak Lisa kapan datang?" Setelah berbasa-basi dengan Mama, Karina beralih padaku."Baru beberapa menit yang lalu." Aku memaksakan tersenyum pada wanita cantik di hadapanku."Kemarin Mas Nathan bilang kalau Mbak Lisa akan tinggal di sana cukup lama."Hmm, jadi dia mengharapkan aku tidak ada di rumah ini lebih lama lagi? Supaya dia leluasa bertemu dengan suamiku?"Iya, awalnya begitu, cuma aku khawatir setelah mendengar Mama kurang sehat. Jadi hari ini memaksakan ikut pulang dengan Mas Nathan."Karina tersenyum mendengar jawabanku, kemudian ia beralih melihat Mama yang duduk di sampingnya lalu berkata seraya mengusap paha ibu mertuaku."Bude beruntung punya menantu yang baik dan sayang sama Bude juga Mas Nathan."Bude? Aku bertanya dalam hati. Karina menyebut Mama mertuaku
Pria bernama Dodi itu benar-benar kurang ajar. Pantas saja Alin nekat meninggalkan aku demi laki-laki tidak goodlooking itu. Jika dibandingkan denganku, wajah Dodi tidak ada apa-apanya. Sudah hitam, tidak ganteng dan postur tubuh mirip gentong. Sekarang aku mengerti kenapa Alin memilihnya. Pria itu sekarang menikah dengan salah satu pemilik saham hotel tempatnya bekerja. Ditambah lagi dari dulu dia sudah kaya dari hasil kerja kerasnya. Dari informasi yang kudapat, Dodi itu dulunya memang naksir pada Alin. Tapi Ali lebih memilihku, jelas saja karena aku memang lebih tampan. Tapi sekarang ketika aku sudah bangkrut dan tidak punya apa-apa, maka Alin berpaling. Dia memanfaatkan perasaan Dodi yang sepertinya masih suka padanya. Meskipun aku menyadari kekuranganku, tapi aku tidak bisa menerima begitu saja. Wanita yang kucintai lalu sudah kumodali dan telah menguras semua kekayaanku itu jatuh pada pelukan pria lain. Akhirnya aku nekad membuat perhitungan dengan pria gentong itu.Sialnya, D
"Berisik, woi!!"Aku dan Bang Jeky sontak menoleh ke arah sel yang berada di seberang sel kami. Begitupun Bang Cungkring yang tadi kembali merebahkan diri, sekarang duduk bersamaan dengan bang Anto."Ini masih malam, waktunya orang istirahat. Bukannya pada tidur, malah ngobrol, ganggu orang saja!" teriak suara di seberang lagi, yang ku tahu itu adalah suaranya Bang Andi. Tahanan yang sudah menghuni sel selama beberapa bulan, itu menurut Bang Jeky. Bang Andi adalah salah seorang koruptor yang kasusnya masih diproses. Untuk kasus yang satu ini memang prosesnya selalu lama dan diperlambat, entah apa alasannya."Eh, pencuri uang rakyat! Kalau mau tidur, tidur aja! Lu pikir apa yang lu kerjakan di luar itu kagak ganggu orang lain?" Bang Jeky balas berteriak."Kenapa lu bawa-bawa kasus gue?!" Aku melihat bang Andi berdiri sambil memegangi teralis."Lu itu merugikan orang banyak!" Bang Jeky tak mau kalah, pria yang sedari tadi duduk itu pun ikut berdiri lalu melakukan hal yang sama dengan pr
Kedua teman Bang Jeky bukannya melerai, mereka malah seperti mendukung perbuatan rekannya itu. Bang Anto dan Bang Cungkring sekilas kulirik hanya berdiri di dekat tembok sambil menyilang tangan di dada. Entah rasa kemanusiaan yang sudah hilang atau takut pada ketua geng mereka. Hingga tak ada niat untuk menghentikan aksi pria berbadan besar ini meski aku sudah berteriak minta tolong.Beberapa orang sipir datang ketika tubuhku sudah benar-benar lemas. Wajahku terasa kebas karena beberapa kali terkena pukulan. Saat ini aku sudah tidak bisa bergerak sama sekali meskipun kesadaranku masih ada. Dua orang sipir memegangi tubuh Bang Jeky yang besar. Kemudian menariknya supaya menjauh dariku. Perlu tenaga yang ekstra untuk itu, bisa dilihatnya dari mimik wajah mereka yang serius."Kamu kalau tidak berbuat onar kenapa? Sudah dipindah ke mana-mana tetap saja bikin kerusuhan!" ujar salah seorang dari sipir sambil menoyor kepala bang Jeky. "Kalau gue kagak bikin onar, kalian kagak ada kerjaan,"