"Hanya kakak?"Mas Nathan menoleh ketika mendengar pertanyaanku. Mungkin ia tidak menyangka aku akan bertanya hal itu."Kamu nanya apa, sih, Dek? Sudahlah jangan berpikir macam-macam yang hanya akan mengotori hatimu saja."Mas Nathan tidak memberikan jawaban yang pasti, dia juga sepertinya tidak ingin membahasnya. Membuatku makin curiga kalau antara dia dengan Yesi ada apa-apanya. "Baiklah, tapi aku ingin mengetahui satu hal lagi.""Dek .... ""Mas jawab dengan jujur, ya.""Tentang apa lagi, sih, Dek?""Sewaktu mendengar cerita dari Mbak Nadia, aku pikir Yesi itu gadis imut yang baru saja lulus SMA. Tapi setelah bertemu dengan orangnya, aku yakin usia Yesi yang sebenarnya lebih dari itu." Aku menoleh, kuamati wajahnya yang datar. Cangkir yang ada di genggaman kedua tangannya tak mampu mengalihkan perhatiannya, begitupun kehadiranku di sampingnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, entah apa yang sedang ia perhatikan. Atau mungkin dia sedang menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab
"Mbak Nadia?" tanyaku setelah dia berdiri lagi di sampingku."Hmm." Wajahnya kembali datar."Kenapa?" Aku yakin perubahan mimik wajahnya disebabkan oleh telepon dan Mbak Nadia."Yesi mengadu.""Perihal?""Oleh-oleh.""Apa yang salah?""Dia ingin oleh-oleh untuk Yesi tidak disamakan dengan para pelayan."Kuhela nafas panjang lalu membuangnya kasar. "Maaf, karena itu aku yang mengusulkan.""Tidak usah minta maaf, aku setuju dengan pendapatmu. Yang aku sayangkan adalah sikap berlebihan Mbak Nadia.""Bukankah ini terjadi sejak dulu, kenapa Mas Nathan tidak berontak saja dari awal?" Kedua alisku bertaut."Ada hal yang tidak bisa aku jelaskan, Dek. Lagi pula, dulu Mbak Nadia tidak seperti ini."Aku meluruskan pandang. Jika dulu Mbak Nadia tidak seperti ini, lalu sekarang? Apakah ada hubungannya dengan pernikahan kami? Sebab Mbak Nadia sudah jelas-jelas tidak suka padaku."Apa ada hubungannya denganku?"Secara bersamaan kami menoleh, Mas Nathan kemudian meraih tanganku. Tatapannya menajam.
Tangan kami masih saling menggenggam ketika Yesi mendekat lalu dengan satu hentakan menarik tangan Mas Nathan dan tangan kami pun terlepas.Astaghfirullah.Aku beristighfar dalam hati. Sikap Yesi kali ini sudah keterlaluan. "Kamu lihat nggak, sih, Yes. Kami sedang salaman, apa nggak bisa nunggu sebentar lagi?" Karena tidak tahan, akhirnya aku angkat bicara. Tak peduli bagaimana tanggapan mas Nathan nantinya padaku."Sorry, Mbak. Ini sudah siang, aku takut terlambat.""Tapi tidak harus begitu juga, 'kan?""Barusan aku sudah minta maaf, apa kurang jelas?" Yesi menatapku sinis."Lagi pulang, kamu itu sudah besar. Sudah bukan gadis ingusan lagi. Masa mengurus hal seperti itu saja tidak bisa sendirian.""Jadi Mbak Lisa tidak suka kalau aku pergi dengan mas Nathan?""Ini bukan masalah suka atau tidak suka, tapi sepertinya kamu harus lebih banyak lagi belajar tentang tata krama.""Dengan kata lain, aku harus nyembah-nyembah gitu sama Mbak Lisa untuk meminta izin pergi bersama Mas Nathan? Ak
Pov Alin"Cuciannya udah gue taruh di keranjang. Jangan lupa nyapu dan ngepel, kamar gue juga belum dibersihkan. Ini uang untuk belanja, nanti sore gue pengen dimasakin udang saus tiram. Udangnya lu beli di Abang sayur yang keliling," ucap Angel sebelum pergi kerja pagi ini sambil meletakkan satu lembar ratusan ribu di atas sofa satu-satunya di rumah ini. Aku mengangguk sebagai jawaban dan mewakili kata iya. Mentang-mentang dia yang punya uang, Angel seenaknya saja memerintahku. Tapi saat ini aku tidak bisa membantah apalagi melawan.Kontrakan Angel terbilang enak, terdiri dari dua kamar, ada dapur dan ruang tamu. Aku sudah dua minggu ini menumpang hidup padanya. Angel tidak mau menampungku dengan gratis, maka terpaksa aku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Biasanya Angel tidak pernah masak karena dia selalu pulang sore, cucian pun menggunakan jasa laundry. Sekarang, semua pekerjaan itu aku yang menyelesaikan."Uang laundry dialihkan buat uang makan lu, jadi terpaksa lu yang nyuci. T
Beruntung aku tidak sampai pingsan. Masih tetap sadar meski tubuh kembali ambruk di sofa. Akhir-akhir ini mataku memang sering berkunang-kunang selain mual dan sensitif dengan wewangian. Menurut artikel yang kubaca, ini memang lumrah terjadi pada wanita hamil di trimester pertama. Tak hentinya aku mengumpat pada pria itu. Dika sudah benar-benar memberiku penderitaan yang berkepanjangan. Seandainya aku ada uang, mungkin saat ini aku sudah bisa menggagalkan kehamilan ini. Kutampar beberapa kali perut ini. Sungguh ini kondisi yang sama sekali tidak kuinginkan. Dulu waktu aku masih berstatus sebagai istrinya Mas Riko, sama sekali tidak menginginkan kehamilan. Kenapa di saat aku menjadi janda, harus mengalami kondisi ini. Belum lagi beban mental yang harus kutanggung setelah ini. Orang-orang pasti akan mempertanyakan kehamilanku, apalagi tanpa seorang suami di sampingku. Ditambah lagi hari-hari berat yang harus kulalui. "Lho, Mbak Alin kenapa perutnya dipukuli?!" Aku sontak mengangkat w
Wangi minyak kayu putih menguar memenuhi indera penciumanku. Sebelum membuka mata, aku mendengar suara seperti orang berbisik-bisik. Lalu keberanikan mengintip dan memutuskan membuka keseluruhan mata."Alhamdulillah, Mbak Alin sudah sadar." Orang pertama yang membuka suara adalah Ibu kontrakan. Sambil memegang kipas yang terbuat dari anyaman bambu, wanita itu duduk di sebelah kananku dan mengipasiku."Saya di mana, Bu?" Aku mengedarkan pandangan dan mendapati ruangan yang asing serta jarum infus yang tertancap di tangan kananku. Aku dirawat?"Kami membawa Mbak Alin ke tempat prakteknya bidan Susi karena khawatir. Mbak Alin pingsan cukup lama," jelas Ibu kontrakan sambil terus menggerakkan tangannya yang memegang kipas anyaman."Kenapa dibawa ke bidan?" Tentu saja aku panik, bagaimana kalau ketahuan aku tengah hamil. Tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan. "Karena ini tempat praktek terdekat dari tempat tinggal kita. Ada dokter, tempatnya agak jauh, klinik apalagi."Ya sudah, aku pa
Sore harinya Angel datang. Dugaanku tidak meleset, wanita itu habis-habisan memarahiku."Kenapa harus pingsan di tempat banyak orang, sih? Sekarang bagaimana, tetangga kita tahu kalau lu hamil?!" Meskipun pelan, nada bicara Angel terdengar sangat kesal."Itu nggak disengaja, Ngel. Siapa juga yang mau pingsan di depan banyak orang. Gue juga nggak mau, karena dengan kejadian itu, jadi ketahuan kalau gue hamil. Tapi kalau dipikir lagi ada untungnya gue pingsan di hadapan mereka. Lah, kalau sedang sendirian di rumah, siapa yang mau nolongin?" Aku tak bisa diam saja mendengar Angel menyalahkanku. Meskipun selama beberapa hari ini aku menumpang hidup, tapi Angel tidak bisa seenaknya memarahiku. Karena kondisi ini diluar kendaliku."Sekarang yang perlu dipikirkan adalah, bagaimana kalau para tetangga bertanya lebih lanjut tentang kehamilan lu?""Gue udah bilang kalau gue ke kota ini buat nyari suami gue yang nggak pulang selama dua bulan."Angel mengalihkan pandangan mendengar penjelasan dar
"Belum mateng juga, Lin?" Suara Angel terdengar nyaring dari arah depan."Belum, bentar lagi." Aku pun menjawab dengan setengah berteriak, supaya terdengar oleh Angel, ditambah kesal pula."Lama banget sih, Lin?! Gue 'kan udah laper!"Angel kembali berteriak membuatku terpaksa harus mengusap dada. Wanita itu tidak mengerti kondisiku saat ini. Kalau tidak karena balas budi, mana mau aku mengerjakan semua ini. Belum lagi aku tidak begitu menguasai soal masak-memasak. Jadi sebelum mengerjakan satu masakan, aku harus mencari dulu tutorialnya di internet. Disaat kondisiku seperti ini, kenapa justru keadaannya menjadi serba terbalik. Aku yang biasa hidup enak, banyak uang, mau apa tinggal beli, tinggal nyuruh. Sekarang justru harus berjuang dan melayani orang lain. Tidak ada pilihan kecuali pulang kampung dan menjadi buah bibir orang satu desa. Setengah jam kemudian masakan sudah selesai. Angel pun sudah mandi dan wangi, sementara aku masih bau asap. "Lu mandi dulu, gih, Lin. Jangan samp