Usai menghubungi Gina, aku pun bermaksud turun kembali untuk menemui Mas Nathan dan Kayla lagi. Ketika menginjakkan kaki di ruang tengah, ternyata Mama dan Mbak Nadia sudah tidak ada di sana. Syukurlah, bukannya aku mau menghindari mereka, cuma hatiku kerap merasa tercubit mendengar ucapan Mbak Nadia yang selalu menyindirku. Beberapa langkah lagi sampai di pintu yang terhubung ke ke halaman belakang, sayup kudengar suara Mbak Nadia tengah berbincang. Awalnya aku tidak menyangka kalau kakak iparku itu sedang berbicara dengan Mas Nathan, tapi semakin mendekat semakin jelas terdengar suara dan pembicaraan mereka."Bukankah di sana juga ada perguruan tinggi yang bagus, Mbak?" Aku mendengar suara Mas Nathan setelah suara Mbak Nadia menghilang."Yesi maunya kuliah di luar kota. Dia menyelesaikan sekolah hingga tamat SMA di sana, katanya bosan dan ingin suasana baru. Sebenarnya BuLik dan Pak Lik tidak mengizinkan karena Yesi itu anak gadis yang belum terbiasa jauh dari orang tuanya. Tapi s
Sorenya Mbak Nadia berpamitan pada kami. Berkali-kali ia terus menitipkan Mama pada Mas Nathan, persis seperti menitipkan anak seusia Kayla. Mbak Nadia khawatir sekali nampaknya."Tenang saja, Mbak. Ini bukan pertama kalinya Mama tinggal bersamaku. Bukankah sebelumnya juga Mama berbulan-bulan tinggal di sini?" Dari intonasinya, Mas Nathan juga sepertinya kesal pada kakak perempuannya."Tapi sekarang beda, Nath. Dulu kamu tinggal sendiri dan aku tidak khawatir karena Mama tinggal bersama putranya."Apa maksudnya Mbak Nadia berkata seperti itu? Apa dia mengkhawatirkan Mama karena sekarang ada aku, menantu barunya? Keterlaluan!Mas Nathan melirikku, begitupun Mama. Keduanya nampak tidak enak karena ucapan Mbak Nadia seolah-olah menyindirku. Sementara Mbak Nadia sendiri bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dari awal aku memang dianggap tidak ada, hingga tak sekalipun dia menoleh ke arahku, apalagi menghargai perasaanku.Mobil yang membawa Mbak Nadia dan Mas Indra ke bandara sudah hilang
Ini hari kedua kami berada di pulau Dewata. Karena membawa Kayla turut serta, jadi fokus kami bukan untuk berbulan madu. Meskipun tidak dipungkiri kami memiliki waktu untuk berdua karena Kayla bersama Tuti. Tetap saja tidak sebebas jika pergi hanya berdua. Aktivitas pun tidak jauh seputar kegiatan Kayla di kolam renang. Karena sekarang ada Mas Nathan, jadi aku lebih sering duduk sambil memperhatikan mereka. Aku memang kurang suka bermain air. Dulu hanya terpaksa karena Mas Riko tidak mau menemani Kayla berenang. Kami menginap di sebuah resort yang memiliki pemandangan alam yang memanjakan mata. Resort yang berada di salah satu pantai yang sangat terkenal ini terletak di dataran tinggi hingga bisa melihat pemandangan pantai dari ketinggian. Sore ini Mas Nathan dan Kayla sudah bermain air selama satu jam. Padahal tadi pagi mereka pun berenang di pantai hingga menjelang siang. Sejak mereka menyeburkan diri ke dalam air, aku pun langsung duduk di kursi yang berada di pinggir kolam rena
Sambil menunggu pesanan makanan datang, aku kembali mengeluarkan ponsel. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor Mbak Nadia. Karena merasa risih dan terganggu akhirnya aku memberikan ponsel itu pada Mas Nathan."Biar aku saja yang bicara." Setelah membuang nafas kasar, Mas Nathan mengembalikan benda pipih itu padaku. Detik berikutnya dia merogoh satu celananya dan mengeluarkan benda pintar miliknya. Untuk beberapa saat dia mengutak-atik benda itu lalu melakukan panggilan."Ya Mbak, maaf. Tadi kami sedang di perjalanan dan susah sinyal.""Ponsel Lisa aktif tapi dia tidak menjawab panggilanku." Terdengar suara Mbak Nadia di seberang sana, rupanya Mas Nathan mengaktifkan speakernya."Lisa sedang tidak memegang ponsel, dia sibuk dengan Kayla." Mas Nathan membelaku."Itulah resikonya jika kamu menikah dengan perempuan yang memiliki anak. Kenapa kamu menyusahkan hidupku sendiri, Nath. Bukankah sudah bilang, menikahlah dengan .... ""Jadi Mbak Nadia dari tadi menghubungiku hanya un
Hingga malam hari, ketika kami sudah berdua di kamar karena Kayla tidur bersama Tuti di kamar lain."Dek, Sayang, maaf ya.""Maaf untuk apa, Mas. Mas Nathan tidak punya salah, kok.""Aku merasa tidak enak saja oleh ucapan Mbak Nadia tadi di telepon." Mas Nathan menggeser duduknya."Yang diucapkan Mbak Nadia memang benar, aku hanya perlu menyiapkan hati untuk lebih legowo lagi. Semua kakak pasti menginginkan hal yang sama, ingin adiknya berjodoh dengan orang yang sepadan." Aku menunduk, tiba-tiba seperti ada bongkahan batu besar di atas dadaku."Sudahlah, jangan diteruskan, ya. Mas tahu konsep itu ada, bahkan berlaku untuk mbak Nadia sendiri, tapi tidak berlaku bagiku. Mbak Nadia bisa mengatur karirku, sekolahku dan apapun yang aku lakukan. Tapi dia tidak berhak mengatur rumah tanggaku dan dengan siapa aku menghabiskan waktu sepanjang usiaku. Menikahi itu bukan perkara sehari dua hari." Mas Nathan membawaku ke dalam pelukannya. "Ingat ya, kita ke sini untuk bersenang-senang, bukan unt
Tiba di bandara kami sudah dijemput oleh salah satu sopir Mas Nathan. Sejak di pesawat tadi, Kayla tidak mau lepas dari pangkuanku. Bahkan yang biasanya menempel pada Tuti pun, sekarang tidak mau. Badannya sedikit panas, sepertinya Kayla masuk angin karena keseringan berenang sewaktu di Bali. Karena khawatir, Mas mantan menyarankan untuk mampir dulu ke dokter."Nggak usah Mas, sepertinya Kayla masuk angin dan kurang istirahat saja. Nanti sampai rumah diberi obat masuk angin untuk anak lanjut istirahat. Pasti akan sembuh.""Tapi aku merasa bersalah, Dek. Kemarin itu Kayla banyak main air sama aku." Mas Nathan menatapku."Memang Kayla yang mau 'kan, Mas. Nggak apa-apa, mungkin dia kaget karena selama ini berangkat renang sangat jarang. Bisa jadi badannya belum terbiasa.""Aku terlalu antusias untuk membuat dia senang, tanpa memikirkan kondisi badannya." Ada rasa bersalah yang dalamnya di matanya. Mas Nathan sangat menyayangi Kayla.Aku tersenyum, sejak menjelang pernikahan kami, Mas Na
Terlalu fokus pada Kayla hingga aku lupa pada Yesi. Padahal sejak kami masih di Bali, aku sudah penasaran dengan sosok gadis itu. Sosok yang begitu diistimewakan dan diperhatikan oleh Mbak Nadia. Mas Nathan menyusul masuk kamar setelah beberapa saat aku sampai dan membaringkan Kayla di ranjang. Suami gantengku itu menenteng tas selempang milikku beserta tas kosmetik yang tadi tidak aku bawa di mobil lantaran kesusahan membawa Kayla. "Mas mandi duluan, ya, Dek," ucapnya setelah meletakkan dua benda milikku di atas kasur."Iya, Mas," jawabku yang masih betah duduk di pinggir ranjang sambil memijit kedua bahuku dengan tangan sendiri. Membiarkan lelakiku berlalu dari hadapan."Atau mau bareng-bareng?" tanya Mas Nathan ketika tubuhnya hampir sampai di pintu kamar mandi. Dengan satu gerakan ia membalikkan badannya, senyum nakal beserta kerlingan mata begitu saja terbit di wajahnya."Masi saja duluan. Kalau kita mandi bareng, nanti lama. Bagaimana kalau Kayla terbangun?" Aku pura-pura tida
Posisiku sudah melewati Mas Nathan, tapi ketika melihat ponsel yang ada di tangannya, aku mundur dua langkah hingga tubuh ini sejajar dengan suamiku. Sekali lagi aku menyelidiki benda yang menempel di telinga pria itu."Siapa, Mas?" tanyaku setelah yakin kalau ponsel itu milikku.Namun Mas Nathan tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangan kirinya kemudian menempelkan telunjuk pada bibirnya sebagian isyarat aku tidak boleh berisik. Aku pun tak bertanya lagi, hanya berdiri di hadapannya tanpa bersuara.Setelah beberapa menit, Mas Nathan menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu menyerahkannya padaku. "Joan menelepon. Ada empat panggilan tidak terjawab, awalnya Mas tidak mau menanggapi. Namun karena terus menghubungi, siapa tahu ada keperluan penting, Mas angkat saja. Maksudnya, Mas mau memberitahu kalau Dek Lisa sedang mandi. Tapi Joan tidak bersuara, sudah Mas tanya juga tidak menjawab. Malahan panggilannya diputus."Aku memeriksa log panggilan dan benar saja, empat panggilan tidak ter