Tentu saja mendengar kata-kataku dia langsung syok dan membeliak nanar menatap sorot mataku."Kamu sungguh wanita jahat ... aku membencimu, Sakinah," desisnya."Bahkan di lubang paling kecil pun aku akan menemukan bukti , tenang saja, aku adalah orang yang gigih, Mas," ujarku sambil tersenyum puas.Sesaat kemudian dia terlihat meringis memegangi dadanya dan mengadu dengan nada lirih."Ah, ad-aduh ...."Dia mulai gelisah kesakitan."Kenapa? kamu syok dan tidak bisa menerima kenyataan sekarang?" "Pe-pergi kamu dari sini," ucapnya terengah-engah.Kelihatannya ia kesakitan, terbukti wajahnya memerah dan mulai berkeringat deras. Tarikan napasnya cepat, dan terlihat sulit mengais udara."Akh-akh-ah," dia kelojotan dan tubuhnya menegang, lalu ambruk ke tempat tidur."Baiklah, aku pergi, Mas," ujarku sambil menekan tombol darurat di samping tempat tidurnya lalu beranjak meninggalkan tempat itu."Sa-sa-kinah ...." Ia menggapai minta bantuan.Aku bergeming, ingin menolong tapi teringat saat a
"Memangnya Nyonya tega meninggalkan kedua anak itu tanpa orang tua di rumah mereka? Bagaimana kalo ada perampok atau penculik anak, Nyonya," tanya asistenku itu ketika kusuruh dia memulangkan kedua anak itu."Aduh, jangan ngomong gitu, Bi," balasku."Bagaimana kalo mereka ternyata belum bayar sewa dan dua anak malang itu diusir, aduh Nyonya ....""Lalu saya harus bagaimana?" tanyaku frustrasi."Tampung aja di kamar belakang Nyonya, kasihan," pinta si Bibi.Rasa iba pun muncul dari lubuk hati terdalam, tapi aku ... Aduh kenapa bisa jadi dilema begini."Saya akan cari solusinya nanti," kataku sambil masuk ke dalam kamar.***Kedua anak itu sudah diurus si bibi, diber baju ganti dan disuruh tidur di kamar belakang. Kusuruh Bibi memberi tahu jika mereka akan aman di sini atau mereka bisa pergi kalau tidka bersedia di sini.Kini giliran kedua anakku yang harus kuhadapi responnya. Dan mereka baru pulang sekolah, terlihat lelah melepas sepatu sembari menatapku yang sedang duduk di sofa ruang
"Ibu, Ibu kenapa?" tanya kedua anaknya yang melihat ibunya ditahan."Anak-anak, untuk sementara Ibu kalian akan tinggal di sini sampai proses dia dibebaskan nanti, kita harus pulang, karena jam besuk sudah berakhir," ajakku pada anak Kartika."Jangan ... ibu, kami masih mau sama Ibu," rengek kedua bocah itu sambil memeluk kaki ibunya.Wanita itu menunduk sambil membalas pelukan anaknya."Maafin Ibu ya, gak bisa jaga kalian ssementara, kalo kalian merasa tidak aman, langsung ke kantor polisi saja," bisiknya pada anaknya.Kedua bocah itu menggeleng cepat sambil menyeka air mata mereka."Gak mau, kita maunya sama Ibu," jawab si adik."Gak bisa, Nak," jawab Kartika, "kalo kalian ga enak di rumah Sakinah, kalian pergi saja, lagipula wanita itu tidak baik," desisnya.Ah, rasanya ingin sekali kubotaki rambut dan menggunting bibirnya, wanita ini sungguh tidak tahu diuntung dan tidak punya rasa berterima kasih.Aku ingin sekali menyakitinya andai kedua bocah ini tidak sedang bersama kami."Ib
Ternyata tanpa bantuan dari Mas Yadi, Kartika sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Dia kupastikan akan mendekam lama dipenjara. Begitupun Mas Yadi, dia akan lemah tanpa dukungan dan perawatan dariku, mana bisa dia mengharap kartika menjenguknya.Setelah salat isya, kuangkat tangan berdoa, memohon petunjuk pada Allah agar menguatkanku dari segala cobaan ini."Ya Allah, ampunkanlah dosa hamba, berikan kekuatan serta teguhkan hati untuk menjalani hidup yang keras ini."Besok adalah hari sidang banding Mas Yadi, aku cemas sekaligus mengharap semoga permintaan bandingnya ditolak dan dia dihukum seberat-beratnya. Dia harus merasakan karma akibat perbuatan buruknya.*"Halo, Nyonya Fransiska, saya Ibu mantan Ibu Dandim, Sakinah Suryadi, saya ingin bicara.""Oh, sahabat saya, ya ampun ... sudah lama sekali sejak kita berjumpa, apa kabar?" ucapnya antusias dari seberang sana."Saya ingin konsultasi tentang yayasan dan panti asuhan, Nyonya," ujarku sedikit ragu."Oh, silakan, ada apa, Bu?""Hm
"Entah sudah berapa kali saya menelepon untuk minta bantuan ibu, tapi saya mohon, saya ingin bertemu," ungkapku pada wanita yang akhirnya mau mengangkat teleponnya."Lho ada apa lagi, Dek? Bukankah kasusnya sudah ditangani?""Siap, mohon izin, dia ingin sidang Banding Bu, suami saya ingin melawan, dan saya tak ingin dia lolos dari hukumannya.""Lalu apa yang bisa saya lakukan?""Mohon izin, saya ingin agar Pak Danrem membantu saya memberi kesaksian bahwa beliau memang melihat saya dilukai," ujarku pelan."Siap, namun bagaimana jika suami saya menolak dan tidak mau terlibat lebih jauh?"tanyanya pelan."Siap, apakah beliau bilang begitu?""Kemarin sempat ngobrol sama saya, bahwa harapan dia ingin kasus adik berakhir karena suami saya cukup pusing dengan kemelut ini.""Apakah seorang anggota yang melanggar dengan menikah lagi dan penggelapan uang bisa diampuni?""Sepertinya tidak, namun jika suami Adik anggota yang baik mungkin saja ... tapi entahlah, sekali lagi saya tidak berani ber
Aku kembali ke rumah, aku kembali dengan hati setengah gembira. Tadinya, aku akan tidur saja, namun kurasa aku tak boleh membuang banyak waktu.Pukul sebelas malam, aku meluncur menuju rumah dinas yang baru kutempati selama tiga tahun sebagai Ibu Dandim. Kuncinya kubawa dan ketika melewati pos penjagaan aku memberi tahu petugas bahwa akan mengambil sisa barang yang tertinggal.Mereka sempat bertanya, apakah aku butuh pengawalan namun kutolak dengan senyum ramah."Tidak usah, saya cuma mau ambil sisa pakaian dan perhiasan rumah.""Kalo begitu kenapa tidak menunggu besok pagi?""Saya tidak sempat karena sibuk, ditambah lagi saya sering lupa."Mereka memberi hormat dan aku melanjutkan masuk ke dalam komplek.Kugeser gerbang, lalu menuju pintu depan dan memasukkan kunci. Aku hendak mengambil pedang yang kugunakan tempo hari untuk melindungi diri, pedang itu sempat menggores tangan salah seorang tentara yang berusaha menyakitiku."Alhamdulillah, masih ada di sini," gumamku sambil menatap
Setelah mengantar kantung darah ke bagian perawat aku segera menuju kamar Mas Yadi untuk menjenguk dan memastikan keadaannya.Kubuka pintu kamarnya dan mendapati pria itu sedang terbaring lemah dengan wajah kuyu, kelihatannya setelah meringkuk lama di tahanan, dia sedikit kehilangan berat badan."Apa kabar, Mas?"Ia menoleh lemah, memandangku tanpa menjawab "Aku membawa dua kantung darah untuk menambahkan stok darah yang sudah habis untukmu," ujarku."Terima kasih." Agaknya kekakuan wajahnya sudah membaik. "Apakah kamu susah bisa bergerak?Kelihatannya, moodmu juga sedang buruk, Mas, jadi aku akan pergi saja. Jangan lupa makan dan obatmu," ujarku sambil berlalu."Tidak bisakah gugatanmu diakhiri saja? Aku hanya ingin bertahan hidup dengan apa yang tersisa dariku, dan aku tak akan mengubah harta dan hakmu," katanya pelan membuatku menghentikan langkahku.Memang benar semua orang bertahan dengan apa yang tersisa dari diri mereka. Dan aku tak bisa memungkiri bahwa dia juga sedang berus
Alangkah terkejut diri ini mendapati bahwa 99,8 persen hasil tes adalah sama. Aku seolah mendapat kartu as yang akan kugunakan untuk membungkam semua orang.Namun, alih-alih menahan Heri, aku akan gunakan hasil tes ini sebagai alat untuk menekannya dan memaksanya bicara jujur, selain itu aku juga akan menekan ayahnya Letnan Heri--Kolonel William---agar tidak mengabulkan permintaan keringanan dari Mas Yadi. Aku yakin dengan menyodorkan bukti yang memberatkan anaknya, tak ada seorang dia akan mulai berpikir panjang.Andai ia memutuskan tidak membelaku dan tetap meringankan Mas Yadi, maka karier dan hidup anaknya akan berakhir, bahkan Letnan Heri juga akan membusuk dalam waktu lama di penjara. Kadang terlintas keheranan dalam pikiranku, betapa berani dan jauhnya langkah yang kuambil untuk memperjuangkan tekadku. Aku sudah mengorbankan banyak hal untuk mendapat keadilan. Maka, aku tak bisa menyerah di tengah jalan atau kabur dan tidak lantang bersuara seperti pengecut. Aku harus teta