Share

2. kudengar sesuatu

Pagi sudah menjelang, gorden jendela sudah dibuka oleh suamiku, dia sendiri terlihat sedang duduk menikmati sarapannya di balkon kamar kami.

Kusibak selimut masih dengan sisa perasaan kesal tadi malam karena dia ... ah, sudahlah.

Perlahan kugeser pintu kaca dan hendak menyapanya tapi Mas Bendi terlihat menelpon seseorang di sana.

"Gue curiga, sama dia yang ada di penjara dan sudah menyuruh orang untuk menghancurkan pernikahan gue," ungkapnya sambil menghisap sebatang rokok.

"Iya ... walaupun tidak mungkin, tapi bisa jadi kan? keluarga tante Sakinah sudah bermusuhan lama dan mereka saling menjerumuskan sampai ke titik ini. Gua nggak mau, gua dan istri gua terus menerus terseret, sampai-sampai Imelda gak akan merasa aman."

"Hah, Kolonel William? Siapa dia? .... Oh hakim itu? ada apa dia? hah, anaknya?" Bendi terlihat kaget.

Aku makin makin tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Bendi tentang mama dan beberapa orang yang pernah menjadi musuh mama. Apakah kini mereka kembali untuk merongrong keluarga kami.

Tapi kenapa? Apa permusuhan itu tidak akan ada habisnya?

"Mas ...." Aku mencoba memanggil suamiku, dia tersentak dan membalikkan badan lalu buru-buru mematikan ponselnya.

"Oh, Sayang, kamu udah bangun?"

"Iya, Mas. Kamu lagi ngomong sama siapa?"

"Kawanku, Ridho, Dia menanyakan tentang pernikahan kita dan meminta maaf bahwa tidak bisa datang."

"Tapi, tadi aku sempat mendengar kamu membicarakan tentang mama dan beberapa orang ...."

"Oh, itu, enggak juga kok, hanya bertanya tanya biasa saja. Jangan dipikirkan," jawabnya sambil meraih pinggangku, mendudukkanku di pangkuannya dan mengecup pipiku dengan mesra.

"Kenapa Mas nggak cerita sih? Sejak kemarin aku bingung dengan yang terjadi, Apa yang membuat Mas terlambat datang ke pesta dan sampai babak belur seperti itu, siapa pelakunya?"

"Bisnis Yang kujalani ini adalah bisnis yang berat Imelda, teman bisa menjadi musuh dan musuh bisa menjadi teman, kemanapun aku berjalan maut selalu mengintai, jadi mau tidak mau aku harus menghadapi semua itu."

"Lantas, kenapa masih dilanjutkan Mas?" tanyaku sambil mendesah kesal.

"Karena banyak orang yang menggantungkan hidup denganku, anak buah, ibu-ibu janda dan mereka yang mengadu nasib di lapak kecil mereka, mereka terancam digusur sepanjang waktu, jika aku tidak memberi mereka perlindungan keamanan."

"Lalu apa gunanya polisi dan pemerintah Mas?"

"Kau tahu negeri ini adalah negeri para pecundang, Kamu lihat sendiri apa yang terjadi pada ibumu dimana kita tidak bisa mengandalkan hukum. Karena hukum bisa dibeli, dengan intrik dan uang."

Mendengar itu rasanya tubuh ini merinding tidak karuan, Tak kusangka dibalik aksi yang mungkin disebut jahat oleh beberapa orang dia ternyata mengorbankan dirinya untuk kepentingan banyak orang.

"Lalu apa yang akan kau lakukan seterusnya Mas? Apakah aman kita hidup seperti ini?"

"Sudah kukatakan dari dari awal bahwa seperti inilah aku dengan kehidupanku, jangan takut karena aku akan melindungimu sekuat yang aku bisa."

Dia kembali mengecup pipi dan menyuapiku sepotong roti.

**

Kulihat suamiku sudah masuk ke kamar mandi dan terdengar bunyi di sana, kuambil ponselku menghubungi Mama, dan tak lama kemudian suara wanita yang aku cintai itu terdengar dari seberang sana.

"Halo, Sayang... gimana kabarmu hari ini? bagaimana dengan malam tadi, apakah lancar?"

"Lupakan saja, Ma. Aku ingin bertanya apakah orang-orang yang pernah memusuhi Mama masih mengganggu?"

"Hah ...?" Mama terdengar heran dari seberang sana.

"Ma, aku dengar Mas Bendi berbicara dengan temannya dan membicarakan tentang orang-orang yang kembali mengancam dan meneror, mereka adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan Mama."

"Sungguhkah ...?" tanyanya tertahan.

"Kurang jelas sih, tapi mendengarnya saja sudah membuatku resah."

"Jangan begitu khawatir Nak. Selagi mereka tidak bisa menyentuh kalian."

"Tidak bisa menyentuh bagaimana Ma, lantas Siapa yang sudah membuat Mas Bendi babak belur kemarin?"

"Apakah itu mereka?"

"Tidak tahu, tapi Mas Bendi terdengar membahasnya," jawabku galau.

"Tenangkan dirimu, Sayang, kalau kalian sudah kembali ke rumah, maka, Mama akan menemui Bendi," jawabnya berusaha menenangkan.

"Mama jadi akan menemui Bendi dan menanyakan segalanya?"

"Iya, pasti."

Pintu kamar mandi tiba-tiba dibuka dan aku buru-buru mengucapkan pamit kepada mama dan kembali beralih kepada suamiku.

"Ngomong sama siapa?"

"Mama," jawabku menyodorkan pakaian untuknya.

"Apa ... kau sedang memberi tahu apa yang terjadi?" tanyanya sambil mengangkat alis sebelah.

"Ti-tidak, aku hanya bertanya kabar," jawabku gugup.

"Baiklah, aku tidak ingin kau memberi tahu siapa-siapa karena aku takut Ayahmu akan marah dan khawatir lalu memintamu untuk kembali kepada mereka."

"Itu tidak akan mungkin terjadi Mas, Aku adalah istrimu dan tidak mungkin mereka mengambil seorang wanita dari suaminya," jawabku membantunya mengancing pakaian.

"Kita akan pulang sekarang, kembali ke mansion dan menghabiskan waktu kita di sana," ajaknya sambil memegang kedua bahuku.

"Lho, kita tidak jadi menghabiskan bulan madu?"

"Pelayanan kamar dan kolam renang juga ada di rumah, jadi kita bisa bulan madu di rumah saja," jawabnya tertawa.

"Baiklah, terserah Mas saja," jawabku sambil mendesah pelan, sebenarnya ada rasa kecewa tapi aku harus menurut padanya.

"Mandilah, ganti baju karena sebentar lagi supir akan datang menjemput kita," suruhnya.

"Iya, Mas. Aku akan mandi," jawabku yang berangsur ke kamar mandi.

Aku masuk ke kamar mandi lalu menyalakan keran dan membiarkan pancuran membasahi badan, 10 menit kemudian kumatikan pancuran dan mengeringkan badan di depan wastafel.

Dari balik pintu kamar mandi terdengar kembali percakapan Mas Bendi, yang kunilai cukup aneh.

"Mami, aku udah nikah, mami tahu itu, gak bisa ...."

Hah, apa yang sedang mereka bicarakan?

"Kalau aku pergi sekarang Imelda akan curiga dan tentu aku tidak bisa meninggalkan istriku," jawabnya kesal.

Apa? Dia ingin pergi ke mana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status