Sepanjang perjalanan pulang diri ini terngiang-ngiang kepada peringatan Papa sebelum pernikahanku terjadi, bahwa diri ini harus menerima konsekuensi pilihan sudah memutuskan untuk menikahi Bendi, bahwa aku harus menerima pahit manisnya membersamai ketua mafia itu.Kini aku tahu, pemimpin gangster tersebut bukanlah dia, tapi Nyonya Erika Ibunya.Mobilku meluncur pelan membelah jalanan aspal yang cukup ramai, kubuka jendela dan membiarkan angin menerbangkan rambut dan meniupkan wajahku. Desauan angin yang cukup ribut tidak kupedulikan lagi, seolah raga ini sudah hancur dilubangi oleh ibu mertua, keadaan hatiku runyam dan sudah tidak berbentuk lagi.Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar melempar tasku sembarang, melepas sepatu begitu saja di lantai dan langsung menjatuhkan diri ke kursi, kupijit kening dan kepalaku yang berdenyut dan hampir pecah. Aku tahu persis bahwa beban yang sedang diletakkan paksa di bahuku amat memberatkan. Berbagi suami, berbagi cinta, dapur, ran
Keesokan hari aku bertemu dengan Bendi di meja makan. Dia yang melihatku masih dengan wajah pucat dan nampak sedikit sakit kepala, hanya diam saja dan melanjutkan pekerjaan di laptopnya. Kuambil tempat duduk berhadapan dan langsung menuangkan segelas susu, lantas mengesapnya."Kamu masih sakit kepala?""Eng, tidak," jawabku sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa apa."Kamu masih marah?""Memangnya kalau marah apa untungnya?""Lihat kepikir karena melihat ekspresi kesedihan dan terkejut mu kemarin Kau pasti akan sangat meledak-ledak padaku.""Tidak menangis atau marah bukan berarti aku tidak mencintaimu, Mas, tapi melawan kehendak Ibumu itu adalah hal mustahil," balasku."Aku akan berusaha bicara pada Mama agar dia merevisi keputusannya, aku yakin mau makan dulu karena masih banyak cara lain untuk memutuskan bisnis Tidak harus menjadi sebuah keluarga.""Menurutnya meluaskan bisnis dengan membuat ikatan justru akan lebih terjamin Mas.""Ah, bocah kecil ini, ternyata biarpun masih m
"Harus ikut?" Tanyaku kepada mertua yang bersikeras mendesak agar aku ikut dengannya ke rumah wanita itu. "Iya." "Untuk apa lagi, Mi?" "Mempererat hubungan dan meyakinkan." "Tapi kenapa?" "Cepat! 15 menit lagi mobil akan datang menjemputmu dan kita akan pergi bersama-sama." Ya ampun aku hanya bisa menarik nafas dan berusaha menetralisir kekesalan yang terus menggumpal di hati. Rasanya ibu mertua baru saja meletakkan bara panas di atas kepala ku dengan memaksa untuk pergi ke rumah Irina dan berpura-pura baik pada calon istri suamiku. Sekali lagi, istri suamiku, horor bukan ...? "Baik, Mi." "Bagus!" Seperti biasa tanpa mengucapkan salam atau terimakasih mertuaku yang arogan langsung menutup teleponnya. Ah, kesalnya. "Mas, aku minta uangnya dong, aku mau beli baju untuk ke rumah Irina,", ucapku menemui suami di ruang kerjanya. "Hmm, istri kecilku baru pertama kali minta uang, aku pasti akan memberikanmu, kau butuh berapa?" "Dua lima juta," balasku. "Baju apa semahal itu?" "
Kumasuki rumah mewah itu dengan terpaksa, gontai rasanya lutut ini untuk meneruskan ayunan langkah kaki.Tiba di dalam sana, kedatangan kami disambut oleh keluarga Irina, mami menyalami orang tuanya, dan memperkenalkan aku sebagai keponakan Mami."Kenalin ini Imel keponakanku, dia bergabung tinggal denganku setelah orang tuanya berpindah ke Singapura," ucap Mami.Agak nyeri hati ini karena tidak diakui sebagai menantu tapi, demi profesionalisme sebagai menantu yang diajak berbisnis, aku akhirnya mengalah dan hanya menyunggingkan senyum miris, sambil menyalami kedua orang tua calon maduku."Kurasa tak ada wanita yang sungguh bisa sesabar ini kecuali marah atau menangis histeris." Begitu batinku."Selamat datang, senang mengenal kamu, sekarang Irina akan jadi bagian dari keluargamu. Aku mohon kau bisa bekerja sama dengannya," ucap nyonya bergaun putih selutut dengan anting-anting dan kalung mutiara menghiasi penampilannya.Wanita itu terlihat sangat keren dan elegan, bahkan kecantikan
Aku kembali ke rumah setelah acara jahanam itu berakhir. Mobilku tiba diiringi mobil suamiku."Tunggu! Tunggul Imelda!"Dia memburu langkah kakiku ketika masuk ke dalam mansion megah itu dan merangsek langsung ke dalam kamar ketika diri ini hendak menutup pintu.Melihatnya nampak khawatir padaku, aku hanya bisa menghela napas pelan, kududukkan diri di depan kaca rias dan mencopot semua perhiasan tanpa mengatakan apa apa."Aku minta maaf, Imel," ucapnya lirih sambil menyentuh bahuku."Aku menyesal bahwa nasib buruk mama juga terjadi padaku. Tapi, di sisi lain, aku juga yakin bahwa Allah tak akan membebani hambanya tanpa tahu batas kemampuan manusia itu sendiri.""Apa yang akan kamu lakukan?"tanyanya sambil membuang napas kasar."Kenapa tanya padaku, tanyakan pada dirimu sendiri Mas. Kau sendiri tak bisa melawan kehendak Ibumu, apalagi aku," balasku pelan, lantas aku bangkit untuk mengganti pakaian dengan gaun tidur lalu merebahkan diri ke ranjang."Jadi kamu akan menerima semua ke
Mas Bendi pulang dari misi bisnisnya pukul tujuh malam dan dia terlihat kesal sekali, aku yang sedang menunggu di kamar kami berpura-pura tersenyum untuk menyambutnya tapi pria itu kesal dan hanya menghela nafas sambil meletakkan jaketnya secara acak."Sudah, Mas?""Kenapa kau bertanya? Apa kau sungguh tidak tahu apa-apa?"Tiba-tiba cecaran pertanyaan Mas Bendi membuat dadaku mendadak berdegup kencang."A-apa maksudnya?""Dengar Imelda, aku menjadikanmu istri untuk partner berbagi hubungan romantis bukan sebagai wanita yang akan mencampuri semua urusan dan bisnisku. Aku tidak akan percaya bahwa kau akan merusak segalanya, aku juga tidak bisa menebak motifmu kenapa kau harus melakukan itu? Tapi seorang yang merupakan orang dalamku memberitahu bahwa sebuah laporan masuk ke kantor polisi dan itu berasal dari rumah ini!"Dia memberingas dan langsung melempar gelas ke dinding, aku terkejut, kaget dan merinding, sementara dia lantas pergi meninggalkan kamarku."Aku tak melakukan apa apa?"
Aku tahu Mama akan datang dan benar saja satu jam kemudian beliau datang tanpa memperdulikan waktu dan menimbang bahwa hari sudah malamDia mencariku dan memaksa ingin bertemu mau tidak mau harus bertemu meski aku sendiri sudah tidur. seorang asisten mengetuk pintu dan memberi tahu bahwa mami datang.Dengan hati berdebar aku turun ke ruang tamu untuk menemuinya. Benar saja ketika kami berhadapan mami langsung melayangkan sebuah tamparan ke wajahku. Aku tidak perlu bertanya kenapa, pasti dia geram karena perbuatanku yang melaporkan polisi kegiatan pengiriman mereka."Kurang ajar, ya," ucapnya sambil berkacak pinggang.Aku hanya memegangi pipi sambil menahan air mata."Mengelak aja kalo kamu mau!""Tidak," jawabku memberanikan diri, kukumpulkan kekuatan untuk membalas tatapannya."Aku tahu kau adalah anak sakinah, tapi, ibumu sangat cerdik. Dia tidak ceroboh dalam menentukan sikapnya. Kenapa kau bodoh sekali?" tanyanya dengan senyum sinis."Aku tidak mengakui perbuatan itu Mami, lagi
Kembali dari rumah mertua dan mengantarkan seserahan pernikahan membuat sudut pandangku tentang jalinan ini menjadi berbeda. Apa gunanya aku berdiri sebagai istri namun hanya dijadikan boneka.Aku kembali ke rumah pukul satu siang dan ternyata suamiku tidak terlihat sama sekali, baik di di ruang tengah atau di tempat biasa dia bersantai menikmati acara Tv.Tak lama kemudian aku lihat dia keluar dari kamar dan menuju mini bar untuk menuangkan segelas air."Mengapa menikahimu membuat hidupku lebih sulit, bahkan jauh lebih sulit ketika aku masih bersama ibuku?" tanyaku kepada pria itu. Kami sempat saling berpandangan, sementara dia tidak jadi meminum airnya."Kau ke mana saja semalam? aku tidak menemukanmu di kamar," gumamnya mengalihkan pembicaraan."Apa tidak ada yang memberitahumu bahwa aku dibawa ibumu ke rumahnya untuk menghukumku. Dia memaksaku untuk melakukan keinginannya dan aku baru saja kembali dari rumah irina untuk mengantarkan seserahan, dan pakaian pengantinnya."Kau men
Persidangan hari ini berakhir, para jaksa dan pengunjung ruang sidang nampak membubarkan diri. Dari sudut ruangan kulihat Irina nampak menatapku dengan mata penuh dendam dan air mata. Dia terlihat sangat murka dan mau melakukan apa saja demi menghukumku."Mari, Anda harus kami bawa ke mobil Tahanan," ucap seorang polisi. Aku yang kebetulan duduk di kursi pesakitan langsung diangkat menuju pintu utara demi meninggalkan ruang sidang. Sekilas kubalikkan badan dan melihat irina nampak berbisikan dengan jaksa yang baru saja menuntutku di depan sidang. Nampaknya jaksa itu memang mengenal Irina sehingga dia pun nampak sangat benci dan terus mengintimidasi diri ini.Ketika keluar ke pelataran pengadilan, aku disambut puluhan wartawan dan jepreten blitz kamera, berbagai pertanyaan mereka lemparkan membuat hati ini tersudut dan makin menciut."Nona Imelda, apa komentar Anda tentang sidang yang berlangsung hari ini?" tanya seorang wanita."Apa Anda sungguh membunuh seseorang demi dendam dan kec
Keesokan hari,Pagi pagi petugas sipir sudah menyuruh untuk bersiap-siap karena hari ini mobil kejaksaan akan datang menjemput untuk Pergi ke pengadilan menghadiri sidang pertama.Seusai sarapan dan merapikan kamar, dua orang petugas datang menjemput dan menyuruhku untuk ikut dengan mereka. Tanganku diborgol dan disuruh mengikuti mereka menyusuri lorong berjeruji di sebelah kanan dan kiri, lalu naik ke atas mobil tersebut.Kuperhatikan jalan yang dilewati mobil dengan perasaan gamang, ada gelisah dan ketegangan tersendiri mengetahui bahwa aku akan menghadapi meja hijau, duduk dan mendengarkan tuntutan jaksa, juga menyimak rentetan bukti-bukti yang mereka catat sebagai penghakiman.Ah, dunia ini kejam sekali untuk manusia sekecil aku.Di sisi lain, aku juga berpikir tentang Nyonya Erika, aku menebak-nebak apa yang terjadi padanya. Mungkinkah dia sudah dipindahkan ke lapas di luar kota atau malah dia sudah bebas dengan jaminan, aku tak tahu pasti.Seorang pengacara menghampiriku, dia Pa
Malam ini kulewati dengan air mata yang tidak henti-hentinya menetes tubuhku kedinginan harus meringkuk di lantai lembab karena sangat berdekatan dengan WC. Perutku yang mulai membuncit terasa berkali-kali keram mungkin karena pengaruh pikiran dan beban yang sedang bergelayut di dalam benakku.Aku pikir aku akan tangguh berada disini, tapi rasa sedih dan tersisih itu membuat pikiran liar di dalam otakku berkelana ke mana-mana. Ternyata begini rasanya, ternyata sakit dan sepahit ini."Maafkan Mami ya, Nak, karena kecerobohan Mami kita harus mendekam di tempat sekotor ini. Tapi Mami percaya bahwa kamu kuat," mengelus perut sendiri.Tak terasa air mata ini kembali menetes jatuh ke lantai dingin di mana aku merebahkan kepala berbantalkan tangan.*Teeeet ....Bunyi alarm panjang khas penjara besar berbunyi, para sipir terdengar mendentang-dentangkan tongkat mereka ke pintu sel para napi."Bangun ... bangun!"Teeet ...Alarm sirine kedua menandakan bahwa pintu penjara sudah tidak dikunci s
"Aku membawamu ke ruang tertutup ini untuk bertanya sekali lagi apa kau membunuh wanita itu?" tanya kepala polisi yang kutaksir sudah berumur juga senior.Dia membawaku pada ruang tertutup yang kedap suara serta di atasnya dilengkapi cctv, jelas dia ingin mengulik informasi dan berusaha menyalahkanku. Jika aku salah bicara maka rekaman video itu akan menjadi bukti."Tidak, aku tidak tahu apa-apa dan aku tidak mau diintrogasi tanpa pengacara," balasku pelan."Jadi begini sikapmu sekarang? Apakah kamu tidak mau kooperatif lagi, Mbak Imelda?""Beberapa saat yang lalu saya mencoba memberi tahu Anda fakta sebenarnya, tapi setelah saya fikir, sudut pandang tersangka akan sangat berbeda dengan sudut pandang polisi. Saya berusaha untuk melepaskan diri sementara polisi akan mencari cara untuk meyakinkan bahwa orang yang mereka sangkakan adalah pelaku sebenarnya. Bagaimana pun keterangan saya, itu akan semakin memberatkan saya, makanya saya butuh pengacara.""Tapi bukti-bukti mengarah padamu!"
Aku khawatir bukan untuk diriku sendiri, tapi aku khawatir pada bayiku. Semakin mendekam di sini, semakin cemas diri ini pada proses lahiran dan pastinya kami akan terpisah jika aku akan menerima hukuman.Beberapa hari kemarin aku masih seorang istri dan menantu yang bahagia, tapi keadaan berbalik dengan cepat, aku kehilangan segalanya, sendirian, tidak punya siapapun di dalam sel ini. Aku menyesali perbuatan, dan harusnya, seseorang memang pantas menyesal dan menyalahkan kecerobohan dirinya. Saat ini kurasakan kerinduan mendalam pada pria dengan senyum manis dan tatapan melelehkan hati, entah bagaimana keadaannya sekarang, apakah sudah membaik dan pulang atau masih sakit parah di ranjang rumah sakit, aku sangat galau akan dirinya. Perlahan air mataku meleleh, dadaku hampa dan pikiran liar ini membunuh rasa kantuk lalu mengajakku untuk tercenung sembari diri ini mengaitkan pegangan pada besi jeruji. Aku tiba tiba ingin pergi dari tempat ini."Kenapa kau tak tidur?""Memikirkan kenapa
Sampai hari keempat, Mama baru datang berkunjung ke tempatku membawakan makanan dan baju ganti. Raut wajah Mama sangat sedih saat memelukku, dia sangat prihatin pada apa yang menimpa diri ini sejak memutuskan untuk menikah dengan Bendi."Imel ... berhari hari Mama menunggu kabar, ternyata kamu ditahan di sini," ucapnya sedih."Lalu siapa yang memberi tahu Mama?""Mertuamu, dia bilang kalau tidak didesak Roni dia tak akan mau menemuiku," jawab Mama dengan sedih."Lalu bagaimana keadaan suamiku, Ma?""Dia masih sakit, dia masih sulit bergerak akibat operasi yang dilakukan dokter, ususnya dipotong karena sobek, terburai bekas perlakuan keji preman jahat itu. Roni masih bisa hidup saja, Mama udah sangat bersyukur." Mama bercerita sambil menggenggam tanganku."Mungkin Tante Vina sangat sakit hati, anaknya sampai kritis seperti itu karena perbuatanku, ah, aku harus minta maaf, Ma....""Iya, kita harus membuat mereka mengetahui bahwa kamu tidak bersalah, kita harus yakinkan.""Tapi, bagaiman
"Bukankah dia dulu adalah anak Dandim 1809, Letkol Suryadi? Apa yang dia lakukan di sini mengapa bisa masuk ke dalam penjara?"Kudengar percakapan itu ketika melewati jajaran terali besi yang berisikan banyak orang.Penghuni blok menatapku dengan segala bentuk tatapan kecurigaan, benci dan sinis karena akhirnya derajatku juga sama dengan mereka. Blok yang kuhuni saat ini adalah blok penjara khusus wanita yang lumayan padat.Hanya satu ruang yang dikosongkan yakni ruang selku yang berisikan aku dan penghuni baru, Nyonya Erika.Tidak banyak yang bisa kupahami mengapa polisi menyatukan kami dalam sel yang sama. Entah itu permintaan Nyonya Erika atau polisi yang sengaja ingin mengerjai kami, aku tidak bisa memikirkannya, yang pasti aku begitu sebal melihat sorot dendam di mata wanita tua yang masih terlihat mewah meski dalam penjara.Aku sangat tidak nyaman dengan caranya!"Apa kau bangga bisa satu sel denganku?" Kini dia membuka pembicaraan."Ya, bangga. Aku bersama seorang penjahat kela
Beberapa jam kemudian Bendi dan anak buahnya digelandang ke kantor polisi, pria itu nampak sangat emosi berpapasan denganku di tempat itu, ada raut kaget, tak percaya dan syok karena tahu bahwa diseretnya dia pasti adalah perbuatanku. Terlebih ada ibunya juga yang duduk di meja lain setelah kami kembali dari ruang introgasi tertutup."Kau ... di sini?" tanyanya dengan mata terbelalak."Sudah kubilang aku tak mau sendiri," jawabku sambil melipat tangan di dada."Polisi tak akan menahan kami, karena mereka tak menemukan bukti, kau tak akan puas!" ujar Bendi menyeringai jahat."Aku tahu kau sembunyikan barang bukti di ruang rahasia yang bahkan aku pun tak pernah mengaksesnya, kau kunci segala barang kejahatanmu di rubanah dengan kode akses dan pintu baja otomatis di bawah kamar tidur mami, kau pikir aku bodoh, sebentar lagi aku akan memberi tahu polisi!""Tutup mulutmu, sebelum kucekik dan kuputar lehermu, dalam sedetik kau akan meninggal," ancamnya."Aku tak takut, mati itu sebuah keni
"Apa?!" Saking kagetnya Nyonya Erika sampai berdiri."Iya, Nyonya, sepertinya ini sangat serius," jawab pria itu."Ya ampun ...." Wanita membeliak ke arahku." ... apa yang sudah kau lakukan?""Sedikit gerakan kecil, dan ya, kau lupa suamiku jaksa, dia punya teman lho, Nyonya," jawabku terkekeh."Jaksa yang kau andalkan itu sedang sekarat!"Rahang wanita itu menegas, memperlihatkan dendamnya padaku."Sudah, jangan pikirkan suamiku, pikir saja keselamatan putramu," balasku."Panggil pengacara saya, suruh semua orang datang dan melindungi aset kita, jangan sampai mereka menyita barang barang berharga!""Ba-baik Nyonya." Orang yang diperintahkan nampak gelagapan, sekali lagi aku tertawa sementara wanita itu masih memicingkan mata, sinis padaku."Kudengar kau hamil, kenapa kau tidak berhati-hati, tidakkah kamu khawatir bahwa anak itu akan kucelakai?""Ah, kamu bicara seakan-akan tidak ada Tuhan yang akan melindungi seseorang."Percakapan kami terhenti karena beberapa orang petugas polis