"Saya kemari mau jemput kamu!" ujarnya yang masuk tanpa salam dan merangsek ke dalam rumah dengan santainya.Sepertinya wanita itu tidak pernah belajar adab dan sopan santun, sehingga bisa melakukan sesuatu sesuka hatinya. Bebas melenggang masuk rumah orang tanpa izin dan salam."Mana ibumu, aku mau bicara?""Ada," balasku dingin."Ada apa Imel!"Ucapan mama tertahan ketika tahu siapa yang datang."Anda?" tanyanya pelan."Ya, aku. Aku datang membawa menantuku pulang," balasnya tanpa senyuman."Silakan duduk dulu," ucap Mama dengan ramah."Tidak usah, aku mau segera pulang.""Anda sudah datang ke rumah saya, berarti aturan dan keputusan tergantung mengikuti keputusan saya, iya kan?" Mama menatap wanita itu dengan senyum namun juga tegas.Wanita itu langsung duduk dan melempar tasnya kursi dengan raut setengah sebal. Entah apa yang dia pikirkan namun, wanita itu hanya mendecak."Saya tahu, anda kaya, kami pun juga punya uang meski tak sebanyak Anda, saya juga punya aturan dan harga diri
Karena tidak tahan dengan perang dingin yang ditunjukkan Mama dan ibu mertua via telepon dan sosial media, akhirnya aku memutuskan untuk memanggil suamiku ke rumah. Aku akan kembali padanya jika dia menyetujui banyak perjanjian dan kesepakatan dariku.Terakhir kali Bendi datang, dia memohon padaku untuk kembali dan aku pun mengiyakan dengan syarat dia akan memberiku wewenang untuk ikut dalam bisnisnya. Meski dia sendiri merasa berat hati dan tidak yakin. Tadinya pria itu terkesiap, tidak menyangka bahwa gadis baik-baik akan ikut terjun ke dalam dunia mafia dan kegelapan, namun itu sudah tekadku, sudah terlanjur jatuh dan basah, maka tak ayal mandi juga."Kau tidak akan mengatur dan melarang ke mana pun aku pergi," ucapku pada Mas Dendi yang sedang duduk di depanku."Baik.""Tidak akan melarang dengan siapapun aku bergaul atau berteman termasuk ikut dalam perkumpulan dan klub olahraga.""Iya, gak masalah.""Tidak akan menyatukan aku dengan partner bisnismu yang akan kau jadikan istri
"Kenapa kamu diam saja Roni, kenapa tidak bisa menjawab pertanyaanku? Dari semua gangguan dan pembicaraan yang coba kau lakukan denganku, di mana aku menganggapnya sebagai perhatian, apakah maksudmu sebenarnya?""Aku hanya ...." Pria itu juga nampak bingung."Hanya apa? Iseng atau ada maksud lebih, katakan!""Tidak ada.""Aku akan bercerai dengan Bendi, sesuai dengan keinginanmu," balasku."Siapa yang ingin kau bercerai, kau terlalu mudah menilai dan salah paham," keluhnya cepat."Lantas, apa maksud perlakuanmu selama ini? hanya ingin memisahkan aku dengan suami? haruskah aku memberitahu ini pada Bendi dan bagaimanakah respon Bendi setelah tahu?""Jangan menggertak," ucapnya santai, sembar menarik cangkir kopi dengan mengesapnya."Apa tujuannya untuk merebutku darinya, dan andai saja aku telah berhasil menikahimu Apa kau akan mencampakkanku karena tantangannya sudah selesai?""Ah, tidak begitu.""Baik ayahmu keluargamu ataupun keluarga Bendi sama-sama adalah musuh dari keluarga kami.
Tidak menunggu lama setelah peristiwa Guci pecah, Mami langsung mendatangi rumah dan menemuiku. Saat naik ke balkon di dapatinya diri ini sedang asyik menikmati matahari. Tanpa aba aba lagi wanita itu menarik lenganku dan menyeretku masuk lantas melayangkan pukulannya. Aku tidak terkejut, hanya saja geram menahan sensasi rasa sakit di wajah dan selagi belum sempat menarik napas, dia telah menarik kerah bajuku dengan kejamnya."Kau pikir tikus kecil sepertimu bisa merusak hidup dan bisnis kami?!" tanyanya dengan tatapan mata membeliak."Tidak," jawabku berusaha tenang."Lantas kenapa kau terus mencoba mengacaukan segalanya, kau pikir harga guci itu setara dengan kepalamu, hah?!""Lepaskan! Mami selalu memukul dan mengintimidasiku, aku heran ketika kami hendak berpisah Mami menahan dan memaksaku pulang, apa sebenarnya yang Mami inginkan!" Aku menyentak dan membuat wanita yang selalu bergaya mewah itu kaget.Anak buah Mami yang kebetulan berdiri tak jauh dari tempat itu sigap datang
Sesampainya aku di kantor polisi kulihat kedua orang tuaku sudah terduduk di antara para petugas yang sedang mengintrogasi mereka. Papa terlihat lelah, begitu juga Mama yang masih terlihat kaget dengan kejadian ini."Saya dan istri tidak tahu apa apa," ujar Papa."Kalo tidak tau apa apa, kenapa bisa barang bukti ada di dalan rumah kalian?" tanya petugas sambil menggebrak meja."Bisa jdi itu adalah perbuatan orang yang memfitnah kami," jawab Mama."Halah, keluarga kalian memang langganan keluar masuk kantor polisi," jawab polisi itu dengan senyum sinis."Kami masuk ke kantor polisi kebanyakan bukan karena salah kami," ujar Mama pada petugas yang terlihat congkak itu.Tepat saat Mama menoleh dia bersitatap denganku dan mama memberi isyarat agar aku pergi dari tempat itu."Tunggu dulu, Pak, saya tahu pasti ini bukan perbuatan orang tua saya, bahkan mungkin mereka belum menyentuh barang barang itu.""Ah, gak usah ngeles, orang jelas-jelas ada di dalam lemarinya, kamu gak usah ikut campur
Di rumah Irina."Apa? Kau jangan mengada-ada!" Ayah Irina langsung bangun dari tempat duduknya."Untuk apa aku harus mengada-ada, aku lelah berpura-pura menjadi anggota keluarga yang tidak tahu apa-apa padahal hati ini tersakiti," jawabku sedih."Lalu, Kenapa kau tidak jujur sejak awal?""Karena mertuaku melarangku jujur demi bisa menyambung hubungan dengan keluarga kalian," jawabku lantang."Mungkin ini pasti mengada-ada saja, mana mungkin Nyonya Selina akan bersikap demikian, kamu ini mencoba merusak hubungan kami!""Kalo begitu, lihat ini!" Aku Buka layar ponsel lalu menunjukkan foto pernikahan dengan bendi pada keluarga itu.Tak pelak mereka semua terbelalak dan terkejut tidak karuan. Irina yang saat itu hanya duduk diam tak kuasa menahan amarahnya. Dia bangkit sambil meletakkan alat makan dengan kasar di meja makan, sehingga bunyi piranti yang terbuat dari porselen itu terdengar berdentingan."Apa maksudmu?! Jadi kamu ingin bilang bahwa kami semua sudah jahat padamu, mamanya Ben
"Apanya yang lancang jika itu adalah kenyataan? Saya memang istrinya, jadi wajar ya, kalo saya speak up."Tanpa banyak bicara wanita itu memberi isyarat pada anak buahnya dengan anggukan. Mereka yang berdiri di tiap sudut ruang, menarik dan menyeretku."Kurung dia di basement, kunci semua pintu dan ambil ponselnya!""Tidak, ini tidak adil ... Bendi, lakukan sesuatu!"Mas Bendi meminta para anak buah untuk berhenti namun ibunya lebih memilih mengacungkan pistol dan mengarahkannya padaku."Pilih menurut atau kubunuh wanita itu?"" Aya allah, Mam!""Jangan lepaskan dia sebelum pernikahan Bendi dan Irina terlaksana!" Perintah wanita itu sambil pergi dengan gaya angkuhnya.Aku menjerit dan meronta berusaha untuk agar Bendi mau membantuku untuk lepas dari kurungan wanita itu, tapi tersadar diri ini bahwa ternyata suamiku adalah boneka ibunya dia tidak akan menolongku tanpa izin wanita jahat itu."Mas Bendi, aku istrimu ...""Sudah kukatakan agar kamu jangan banyak ikut campur," ucapnya sedi
Sesampai di rumah, aku telah mendapati Papa dan Mama bersama Siska sedang duduk di ruang tamu. Ada beberapa tetangga yang ingin tahu kejadian sebenarnya senang mendengar penuturan orang tuaku."Jadi benar bahwa kalian tidak tahu-menahu tentang barang haram tersebut?" tanya Pak RT yang sudah puluan tahun kami kenal."Pak RT tahu sendiri saya seperti apa," jawab Papaku."Mungkin seiring berjalan waktu manusia bisa berubah Pak Yadi.""Sementok-mentoknya saya terhadap hidup tak akan saya lakukan perbuatan itu. Lagipula saya sangat anti narkoba," jawab Papa."Lalu apa yang bisa membebaskan Anda secepat ini, Pa?" tanya pria itu."Barang itu memang bukan milik kami, DNA terbukti bukan milik kami," balas Papa.Menyadari kedatanganku, mama kemudian menyambut dan mengajakku masuk."Imel, ya Anakku, ayo masuk," ajak Mama.Kami kemudian masuk ke ruang tengah dan menuju kamar Mama."Mama, aku sudah pulang sekarang," ucapku."Mama gak ngerti kenapa Mama bisa dituduh dan tiba tiba kami digedor d
Tidak lama setelah kami semua bersukacita dengan kehamilanku, tiba-tiba suster datang dan memberi tahu bahwa kakek William sudah sadar. Tentu saja kebahagiaan keluarga kami bertambah tambah, dengan penuh tawa dan senyum, mertuaku dan segenap saudaranya langsung menuju kamar tempat kakek dirawat. "Pa, papa udah sadar?" "I-iya," jawab pria itu dengan nada lemah. "Kakek, kakek harus semangat, tidak inginkah kakek melihat cucu buyutmu?" tanyaku dengan mata berbinar kepada pria itu, tentu saja pria yang selalu dikenal angker dalam keluarga dan lingkungan kerjanya itu nampak menyunggingkan senyum samarnya. "Tapi kenapa kau memar?" "Kamu mengalami sedikit masalah, tapi tenang saja dokter memberi tahu bahwa bayiku baik-baik saja," jawabku. "Sepertinya kamu harus mulai berhenti bermain main Imelda." Aku dan seluruh anggota keluarga sering lirik tentu saja Kami paham apa maksud dan arah pembicaraan kakek bahwa aku harus berhenti main mengganggu orang dan terlibat tembak-tembakan.
"Itu bohong kan, kamu hanya mencoba untuk menghentikanku," desis Bendi."Itu yang dikatakan Mama, itu hasil kliniknya! Tolong lepaskan aku," pintaku dengan kalimat yang tegas."Tidak takutkah kamu bawa aku akan membunuh kalian, minimal salah satu dari kalian.""Cukup dengan omong kosongmu, Bendi, aku harus pergi. Aku harus melihat Kakek mertuaku," jawabku sambil menggandeng Roni."Roni ... pengkhianatan yang kau lakukan takkan pernah kumaafkan. Kau menusukku dari belakang dan merebut istriku!""Terserah aku tak peduli," jawab Roni."Dengar Imel, dalam kisah pernikahan kita yang jadi perebut bukan Irina, tapi Roni!" teriak Bendi memecah keheningan dan desau angin di sekitar tempat pembuangan itu. Kali ini sakit hatinya amat terlihat dari sorot matanya yang berkaca-kaca."Dia tak merebut, kami jalin hubungan sesaat setelah kau mencampakkanku, salahmu membiarkanku terombang-ambing dengan perasaan dan harapan palsu, sementara kau tidak kunjung datang menjemputku."Pria itu terduduk lesu d
*Kuhentikan mobil kesayangan mantan suaminya yang harganya hampir empat digit itu di tempat pandangi paling jauh, terpencil dari kota, kupandangi body kendaraan yang sudah hancur dan tergores parah di berbagai sisi dengan hati puas. Aku memang tak bisa menyakitinya, tapi merugikan dia kini menjadi hobi baruku.Kukeluarkan sebatang rokok yang kebetulan berada di mobil itu, kunyalakan pemantik lalu mengisap asapnya dalam dalam. Kupandangi cakrawala yang membentang di mana hanya ada warna gelap di setiap sisinya. Bintang tak lagi berkelipan dan kenangan tentang bahagianya aku memandangi langit sudah berakhir entah sejak kapan. Mungkin langit sudah kelabu jauh seperti jalan hidupku yang belum jelas hitam dan putihnya. Keluarga Roni meyakini aku hamil sementara diri ini terus membohongi semua orang. Aku kelimpungan dengan kebohongan sendiri tapi terus merasa santai, seakan semuanya baik-baik saja.Sekali lagi, kuisap batang rokokku dengan dalam."Asyik sekali ya, duduk di atas kap mobil
Entah sudah berapa kali anakku memberiku kejutan yang tidak terduga, dia menyimpan begitu banyak misteri dalam hidupnya dan sekali lagi membuat kami semua terperanjat. Dia mengatakan hamil syaraf-syaraf kepalaku langsung menegang, adrenalinku naik, pun perasaan kaget yang bergejolak.Aku tidak percaya dia hamil, lebih tidak percaya pada apa yang sudah dia lakukan, dia berusaha melenyapkan nyawa seseorang. Sungguh Ka sakit hatinya Imelda membuat Dia kehilangan akal sehat mengambil resiko terburuk yang ancamannya bisa 20 tahun penjara atau bahkan mati di tiang gantungan."Ya Allah, Imelda." Aku hanya bisa terbelalak ketika Dia meyakinkan semua orang bahwa dia sedang hamil, pun Kolonel William, Papua yang terkenal angker dan kejam itu tatapan matanya langsung meredup ketika mengetahui cucunya menghamili putriku."Sekarang, apa rencanamu?!" biskku pada Imelda, di sela-sela keributan keluarga itu, mereka gaduh menimbang apakah anakku harus dilepas atau dibawa pulang oleh mereka."Entahlah
Melihat Mantan ibu mertua makin kalap, aku segera bangun dan kabur dari tempat itu. Tak tinggal diam, para pengawal rumah sigap bergerombol menahanku di depan tangga. "Lepaskan dia, biarkan pergi," ucap Bendi.Kubalikkan badan dan melihat sorot matanya yang kosong, aku tak paham, setelah kemarahan tadi kenapa dia langsung berubah melepaskanku.Tujuanku datang ke rumah mereka untuk menyelesaikan masalah yang Bendi buat di rumah mertuaku, mengapa kini jadi aku yang ditembaki.Tiba-tiba ada dorongan untuk tidak jadi kabur dan memilih menyelesaikan ini dengan cara mereka.Lagipula posisiku sulit, belasan orang menghadang sementara di depan sana Bendi sedang berjibaku menahan gerakan ibunya, mereka sedang memperebutkan pistol.Tanpa banyak berpikir lagi, dengan gerakan cepat aku langsung menarik pistol di pinggang salah seorang pengawal Nyonya Erika.Mereka sigap ingin mengambil kembali namun aku langsung menodongkan benda itu ke salah seorang dari mereka."Diam, kalian, jangan coba-coba
Tidak!Aku tidak bisa duduk di sini dan menunggu keajaiban, aku harus bereskan masalah yang sudah kubuat dari awal agar kesalahpahaman dalam keluarga ini bisa segera diatasi. Rasanya tak baik, baru saja jadi pengantin tapi sudah terkena masalah.Tring ....Ponsel berdering dan dia segera mengangkatnya, ternyata itu adalah panggilan dari Tante Vina di rumah sakit."Halo, Ma, gimana?""Kakekmu sudah sadar setelah begitu panjang upaya dokter untuk menyelamatkannya, tapi kondisinya masih memprihatinkan.""Syukurlah kalau begitu Ma, menurut dokter apa yang telah terjadi pada kakek?" Sembari bertanya pria itu, menatapku dengan penuh rasa khawatir."Iya, kakekmu diracuni.""Ya Tuhan ... lalu siapa yang mungkin melakukannya, Imelda tak mungkin berbuat semacam itu, Mam.""Mama tak tahu Roni, bagaimanapun keluarga kita dan keluarganya adalah musuh kebuyutan yang sudah lama saling membenci, Mama jadi bingung juga, Ron...."Sekarang sudah berbeda, Ma.""Mama tidak tahu cara menjernihkan keraguan,
Bagaimana ini, mereka menyalahkan untuk hal yang sama sekali tak kuketahui, aku berada di posisi sulit karena apa yang terjadi saat ini sama sekali di luar dugaan dan rencanaku. Aku tersungkur lemas dalam keadaan mereka semua masih menghujat dan menyalahkanku. "Sudah jangan ribut dulu! Mari kita obati papa, baru kita bicarakan sisanya!" ujar Tante Vina Tidak lama kemudian ambulans datang dan Kolonel William digotong beramai-ramai untuk dibawa ke rumah sakit. Ibu mertua dan anak-anak kakek William naik ke atas ambulans dan pergi ke rumah sakit sementara ada aku, Roni dan Om Heri di rumah."Sini kau! Aku akqn membunuhmu!" teriak pria itu sambil menyeretku dengan kasar dan membuatku menabrak bufet kaca lalu menjatuhkan pajangan yang ada di atasnya."Ah, sakit.""Rasa sakit itu belum sepadan dengan apa yang kau lakukan, kau ini sungguh tidak tahu diuntung ya kami menikahkanmu dengan anggota keluarga kami tapi kau malah membunuh!""Aku tidak melakukannya," sanggahku dengan lantang."Kak
Setelah pesta kami berakhir, tamu undangan sudah pulang dan petugas event organizer mulai membereskan dekorasi pesta, aku dan Roni naik ke kamar dan mengganti baju kami."Bagaimana hari ini menurutmu?" tanyanya begitu kami berdua saja."Tak begitu buruk, aku suka kemeriahan kekompakan keluarga kita," jawabku sambil melepaskan perhiasan di depan kaca rias."Apa yang dikatakan Bendi padamu?"Pertanyaaan itu sontak membuatku menghentikan gerakanku membuka gelang, aku harus menjawab dengan benar, karena jika aku terlihat bohong di awal pernikahan maka semuanya akan kacau."Hmm, kamu tahu itu adalah dia?""Tentu saja, dia sahabatku, segala bentuk penyamarannya sudah kuketahui. Kenapa kau mencoba melindunginya?""Ti-tidak, aku hanya menghindari konflik dan keributan yang mungkin terjadi," jawabku hampir gelagapan."Jawabanmu bisa kuterima," jawabnya sambil membuka kencing kemeja dan bersiap mandi.Setelah selesai mengganti gaun, kukenakan baju casual lalu bersiap turun untuk membantu kelu
Ada perasaan yang berbeda ketika seseorang secara spesial menjadi pengantin untuk yang kedua kalinya, dirias, lalu mengenakan gaun menutup kepala dengan cadar pengantin dan merasa berdebar-debar menunggu calon suami.Kini aku duduk memegangi buket bungaku di atas tempat tidur dengan warna bed cover emas, perabotan juga didominasi warna emas. Entah kenapa kakek menghadiahiku kamar baru ini, tanpa banyak bicara dia memberikanku kunci lalu pergi."Bagaimana, sudah siap mengikrarkan janji pernikahan?" Katrine datang diiringi 3 orang wanita dengan warna baju yang sama, mereka yang akan jadi Bridesmaids."Iya, siap.""Kamu mungkin tidak akan merasakan antusias, karena ini adalah pernikahanmu yang kedua." Wanita itu tak pernah melewatkan kesempatan untuk menyakiti hatiku."Ah, tidak juga, aku merasa gugup dan telapak tanganku dingin, mungkin karena aku akan menikahi jaksa tampan.""Kau beruntung, sangat beruntung, baik suamimu yang pertama maupun yang kedua mereka sama-sama menarik dan k