Karena tidak tahan dan terus terus dibayangi oleh kekhawatiran karena ditelepon oleh pria misterius itu. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya langsung kepada Bendi setelah pagi hari.
"Mas, aku mau tanya," ucapku setelah dia bergabung di meja makan dan menikmati sarapannya. "Apa?" "Apa kau menikahiku untuk membalas dendam pada orang tuaku?" "Apa maksudmu?" Dia tertawa begitu saja. "Apa benar ayahku sudah menghalangi bisnis real estate kalian? Apa benar kau menikahiku hanya untuk menyakitiku?" "Apa kau pernah merasa disakiti?" "Tidak, belum ..." "Dan tidak akan pernah itu terjadi, buat apa aku harus menyakiti istri yang sudah susah payah kukejar?" tanyanya mengernyitkan alis. "Aku terus-menerus mendapatkan telepon misterius yang mengingatkan bahwa aku harus segera kabur darimu," bisikku pelan. "Kalau begitu masalahnya akan selesai dengan cara yang sangat mudah," ucapnya sembari bangkit dan langsung menuju di mana telepon rumah terpasang lalu dia memotong kabel nya dengan pisau roti yang dipegangnya. "Mulai sekarang tidak ada yang akan menelponmu, jadi sudah beres ya." Dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu. "Tapi nggak motong kabel telepon juga kali ....." "Biarin aja, aku tidak mau seseorang mempengaruhi dirimu dan memperkeruh hubungan kita. Aku tidak mau ada seorangpun yang mengganggu istriku atau membuatnya khawatir." "Bagaimana jika yang diungkapkan adalah kenyataan?" "Ah, bagaimana mungkin jika aku akan melenyapkanmu, untuk apa aku berpura-pura menikahimu? mudah sekali untuk mencabut nyawa seseorang hanya dengan satu tembakan." "Ya, betul." "Jadi kamu menerima argumenku?" Tanyanya. "Ehm, mungkin ...." Aku menggeleng dan mengangguk dalam waktu bersamaan, sedikit ragu tapi juga yakin. "Berarti kau setuju dengan semua ucapanku?" "Bisa jadi." "Kau meragukan suamimu?" "Enggak." "Bagus." "Tapi aku harus memastikan," ucapku pelan. "Apa lagi?" "Keamanan." Dia tergelak dan tertawa sejadi-jadinya, makan sampai perutnya nampak sakit. Kembali duduk di sampingku dan dia masih saja tertawa. "Hei, Nyonya, kau terlalu lembut dan cantik untuk bisa kusentuh dengan kejam, aku mencintaimu," ucapnya mencium pipiku. "Tapi, Mamamu memintaku untuk tidak terlalu dekat denganmu." "Jangan hiraukan, mana ada istri yang harus menjauh dari suaminya, itu tidak masuk akal." "Baiklah, selesai." "Ya, kuharap sudah tidak ada lagi pembahasan tentang ini karena itu sama sekali tidak ada artinya dibahas-bahas." ** Dengan diantar dua orang penjaga dan supir, aku diantar ke rumah Mama, rumah lantai dua di kompek perumahan Puri Indah Lestari. Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah yang sudah belasan tahun kami tinggali sebagai keluarga. Kupencet bel dan tak lama kemudian Siska keluar untuk menyambutku. "Kakak, tumben datang." "Ah, iya aku rindu." "Tapi bukannya kemarin Mama ke rumah kakak?" "Iya tapi cuma sebentar, karena itu aku ingin bertemu mama lagi dan ingin meminta kejelasan." "Hah, kejelasan ... apaan?" "Gak tahu, pokoknya ada deh, mama di mana?" "Di dalam," jawab Siska. "Yuk, masuk." Ketika masuk ke dalam itu aku langsung mengedarkan mata dan memanggil mama. "Ma, Mama ...." "Iya, Sayang." Mama keluar dari ruang tengah dan langsung memelukku. "Ya, Allah, kamu datang, Nak." "Iya, aku mau kunjungi Mama dan Papa sebentar, habis itu ke supermarket," balasku senyum. "Aku pikir kamu sudah memutuskan untuk tinggal dengan Mama." "Mana bisa Ma, suami aku gimana?". "Ah, iya." Mamanya menggigit bibirnya lalu kemudian setelah beberapa detik permainan ia langsung mengajakku meja makan dan menyuruhku menyantap gulai daging kesukaaan. "Yuk, makan dulu." "Papa mana?" "Pergi ke kebun, sore baru kembali," jawabnya. "Baik. Oh ya, mau tanya apakah Mama didatangi oleh pemuda yang bernama Roni?" "Iya, kamu juga ya?" "Hu-uhm." "Dia bilang apa?" tanya mama penasaran. "Dia bilang hati-hati." "Apa dia nggak bilang... Seharusnya kamu nikahnya sama dia?" "Ehm, enggak sih, cuma hati hati aja." "Ya, ampun sayang ...." "Tapi aku heran loh, Ma. Karena pemuda itu juga adalah sahabat suamiku entah kenapa diam membisikku kata-kata yang membuat kaget, apa dia benar?" "Entahlah." Mama hanya mengangkat kedua bahunya. "Bagaimana kalau ternyata yang dia katakan benar dan kita akhirnya menyesal." "Emangnya Bendi berbuat macam-macam?" "Nggak pernah, Ma," jawabku. "Mama harap kita sudah hidup dalam tenang, setelah berbulan-bulan hidup dalam kesulitan dan ketegangan, Mama ingin semuanya akan baik-baik saja." "Pokoknya selama semuanya baik-baik saja tidak perlu ada yang dikhawatirkan." "Iya betul." Mama menghela nafas pelan dan di saat bersamaan Siska datang dan bertanya apa kiranya yang kami bicarakan. "Ngomongin apa?" "Enggak apa apa, biasalah bisnis istri istri," balasku tertawa. "Gitu ya Kak, btw, Kakak jadi masuk kuliah?" "Tergantung suamiku, jika mengizinkan aku akan melanjutkan kuliah ke fakultas pendidikan." "Bagaimana jika Bang Bendi menolak?" "Berarti aku gak lanjut." "Emang enak di rumah aja?" "Ada suamimu, ada banyak yang harus aku urusi, makanan, atau uang gaji anak buah, dan mengatur jadwal Mas Bendi." "Oh, mafia punya jadwal juga ya ...." "Emang artist aja yang menerima endorsement? Preman juga bisa," jawabku dan kami pun tergelak bersama. Tak lama dari itu, ponselku berdering ketika ketika kutatap layar ternyata yang menelpon adalah suami. "Ya, Mas ...?" "Kamu di mana?" "Di rumah Mama." "Kapan pulangnya?" "Sore, aku mau ketemu papa dulu, mau nanya sesuatu," jawabku. "Hah, nanya apa?" nadanya terkejut. "Enggak apa apa," jawabku. "Mau pulang sekarang deh, karena ada sedikit urusan," suruhnya. "Aduh, jangan dong, Sayang, nanggung banget." "Imel, sebagai istri kamu pasti dengerin omongan suami 'kan?" Tentu, pertanyaan demikian membuatku tidak berdaya. Aku terdesak dan harus menyerah untuk mengikuti keinginannya. "Ya, baiklah, aku pulang," balasku. "Supir ada sama kamu?" "Ada." "Kalo gitu, buruan ya, Sayang, aku tunggu. Kita akan pergi ke rumah Mami," imbuhnya. "Kok tiba tiba?" "Nggak tahu tiba-tiba disuruh aja," jawabnya. "Apa Mami akan mengatakan sesuatu?" "Kayaknya Iya." "Aku takut, Mas, aku khawatir jika hal yang kutakutkan terjadi." "Ah, bukan itu pastinya, paling Mami meminta kamu untuk mengatur keuangan." "Semudah itukah?" "Apa yang tidak mungkin, kamu mantunya?" Mas Bendi tertawa. "Baiklah mas sampai jumpa disana." Kututup ponsel dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan segera aku berpamitan kepada Mama dan adik ku selalu kembali ke mobil dan meluncur bersama dua orang pengawal. *** Sesampainya di depan rumah ibu mertua Mas Bendi sudah menunggu di depan gerbang dengan mobilnya. "Sayangku ...." Dia menyambut dan langsung memelukku. "Ah, Mas, jangan peluk di depan gerbang seperti ini orang-orang akan melihat dan aku malu sekali." "Malu kenapa, kalau mencuri baru malu?" jawabnya tertawa. "Ayo, masuk," ajakku. "Ayo." Ketika pintu rumah terbuka dengan diantar oleh asistennya kami menuju sebuah ruang yang cukup besar dengan, kursi warna emas yang melingkar dinding. ada meja marmer dan vas bunga berisi mawar di atasnya. Yang mengejutkan bukan itu, tapi seorang wanita cantik berbaju merah duduk berdekatan dengan ibu mertua, dan di seberang sana adalah Roni yang memegang segelas minuman, dia tersenyum padaku sambil mengulurkan gelasnya, dan dia melakukannya dengan santai dengan isyarat mata seolah menertawakan apa yang akan terjadi."Bagus karena Imelda sudah datang, Jadi kita bisa memulai acara ini." Ibu mertua menyambut dan menyentuh kedua sikuku dengan lengannya. Dia menyeretku ke depan."Oke," jawab wanita berbaju merah itu dengan lembut. Dia nampak cantik dan elegan bak seorang putri, dia pasti anak orang yang sangat kaya. Gaunnya merah menjuntai hingga ke lantai, belahan di kaki menunjukkan betisnya yang mulus dan seksi.Dia begitu percaya diri, dan levelnya jauh di atasku. Mendadak saat melihatnya perasaanku merasa rendah. Terlebih menyaksikan kedekatannya dengan ibu mertua, dan tangannya yang sejak tadi bergelayut di telapak tangan Mami membuatku seakan-akan harus bersiap patah hati."Dia menantuku, ia adalah wanita yang bijak dan tangguh, bukan begitu Imel?""I-iya, Mi, insya Allah," jawabku. Mas Bendi yang ada di sampingku menggenggam tangan dan tersenyum dengan tulusnya."By the way, ada apa Mi? Mengapa tiba tiba mengundang kami?" tanya suamiku."Ini Irina, anak Om Hardi, pengusaha batu bara dan pe
Sepanjang perjalanan pulang diri ini terngiang-ngiang kepada peringatan Papa sebelum pernikahanku terjadi, bahwa diri ini harus menerima konsekuensi pilihan sudah memutuskan untuk menikahi Bendi, bahwa aku harus menerima pahit manisnya membersamai ketua mafia itu.Kini aku tahu, pemimpin gangster tersebut bukanlah dia, tapi Nyonya Erika Ibunya.Mobilku meluncur pelan membelah jalanan aspal yang cukup ramai, kubuka jendela dan membiarkan angin menerbangkan rambut dan meniupkan wajahku. Desauan angin yang cukup ribut tidak kupedulikan lagi, seolah raga ini sudah hancur dilubangi oleh ibu mertua, keadaan hatiku runyam dan sudah tidak berbentuk lagi.Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar melempar tasku sembarang, melepas sepatu begitu saja di lantai dan langsung menjatuhkan diri ke kursi, kupijit kening dan kepalaku yang berdenyut dan hampir pecah. Aku tahu persis bahwa beban yang sedang diletakkan paksa di bahuku amat memberatkan. Berbagi suami, berbagi cinta, dapur, ran
Keesokan hari aku bertemu dengan Bendi di meja makan. Dia yang melihatku masih dengan wajah pucat dan nampak sedikit sakit kepala, hanya diam saja dan melanjutkan pekerjaan di laptopnya. Kuambil tempat duduk berhadapan dan langsung menuangkan segelas susu, lantas mengesapnya."Kamu masih sakit kepala?""Eng, tidak," jawabku sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa apa."Kamu masih marah?""Memangnya kalau marah apa untungnya?""Lihat kepikir karena melihat ekspresi kesedihan dan terkejut mu kemarin Kau pasti akan sangat meledak-ledak padaku.""Tidak menangis atau marah bukan berarti aku tidak mencintaimu, Mas, tapi melawan kehendak Ibumu itu adalah hal mustahil," balasku."Aku akan berusaha bicara pada Mama agar dia merevisi keputusannya, aku yakin mau makan dulu karena masih banyak cara lain untuk memutuskan bisnis Tidak harus menjadi sebuah keluarga.""Menurutnya meluaskan bisnis dengan membuat ikatan justru akan lebih terjamin Mas.""Ah, bocah kecil ini, ternyata biarpun masih m
"Harus ikut?" Tanyaku kepada mertua yang bersikeras mendesak agar aku ikut dengannya ke rumah wanita itu. "Iya." "Untuk apa lagi, Mi?" "Mempererat hubungan dan meyakinkan." "Tapi kenapa?" "Cepat! 15 menit lagi mobil akan datang menjemputmu dan kita akan pergi bersama-sama." Ya ampun aku hanya bisa menarik nafas dan berusaha menetralisir kekesalan yang terus menggumpal di hati. Rasanya ibu mertua baru saja meletakkan bara panas di atas kepala ku dengan memaksa untuk pergi ke rumah Irina dan berpura-pura baik pada calon istri suamiku. Sekali lagi, istri suamiku, horor bukan ...? "Baik, Mi." "Bagus!" Seperti biasa tanpa mengucapkan salam atau terimakasih mertuaku yang arogan langsung menutup teleponnya. Ah, kesalnya. "Mas, aku minta uangnya dong, aku mau beli baju untuk ke rumah Irina,", ucapku menemui suami di ruang kerjanya. "Hmm, istri kecilku baru pertama kali minta uang, aku pasti akan memberikanmu, kau butuh berapa?" "Dua lima juta," balasku. "Baju apa semahal itu?" "
Kumasuki rumah mewah itu dengan terpaksa, gontai rasanya lutut ini untuk meneruskan ayunan langkah kaki.Tiba di dalam sana, kedatangan kami disambut oleh keluarga Irina, mami menyalami orang tuanya, dan memperkenalkan aku sebagai keponakan Mami."Kenalin ini Imel keponakanku, dia bergabung tinggal denganku setelah orang tuanya berpindah ke Singapura," ucap Mami.Agak nyeri hati ini karena tidak diakui sebagai menantu tapi, demi profesionalisme sebagai menantu yang diajak berbisnis, aku akhirnya mengalah dan hanya menyunggingkan senyum miris, sambil menyalami kedua orang tua calon maduku."Kurasa tak ada wanita yang sungguh bisa sesabar ini kecuali marah atau menangis histeris." Begitu batinku."Selamat datang, senang mengenal kamu, sekarang Irina akan jadi bagian dari keluargamu. Aku mohon kau bisa bekerja sama dengannya," ucap nyonya bergaun putih selutut dengan anting-anting dan kalung mutiara menghiasi penampilannya.Wanita itu terlihat sangat keren dan elegan, bahkan kecantikan
Aku kembali ke rumah setelah acara jahanam itu berakhir. Mobilku tiba diiringi mobil suamiku."Tunggu! Tunggul Imelda!"Dia memburu langkah kakiku ketika masuk ke dalam mansion megah itu dan merangsek langsung ke dalam kamar ketika diri ini hendak menutup pintu.Melihatnya nampak khawatir padaku, aku hanya bisa menghela napas pelan, kududukkan diri di depan kaca rias dan mencopot semua perhiasan tanpa mengatakan apa apa."Aku minta maaf, Imel," ucapnya lirih sambil menyentuh bahuku."Aku menyesal bahwa nasib buruk mama juga terjadi padaku. Tapi, di sisi lain, aku juga yakin bahwa Allah tak akan membebani hambanya tanpa tahu batas kemampuan manusia itu sendiri.""Apa yang akan kamu lakukan?"tanyanya sambil membuang napas kasar."Kenapa tanya padaku, tanyakan pada dirimu sendiri Mas. Kau sendiri tak bisa melawan kehendak Ibumu, apalagi aku," balasku pelan, lantas aku bangkit untuk mengganti pakaian dengan gaun tidur lalu merebahkan diri ke ranjang."Jadi kamu akan menerima semua ke
Mas Bendi pulang dari misi bisnisnya pukul tujuh malam dan dia terlihat kesal sekali, aku yang sedang menunggu di kamar kami berpura-pura tersenyum untuk menyambutnya tapi pria itu kesal dan hanya menghela nafas sambil meletakkan jaketnya secara acak."Sudah, Mas?""Kenapa kau bertanya? Apa kau sungguh tidak tahu apa-apa?"Tiba-tiba cecaran pertanyaan Mas Bendi membuat dadaku mendadak berdegup kencang."A-apa maksudnya?""Dengar Imelda, aku menjadikanmu istri untuk partner berbagi hubungan romantis bukan sebagai wanita yang akan mencampuri semua urusan dan bisnisku. Aku tidak akan percaya bahwa kau akan merusak segalanya, aku juga tidak bisa menebak motifmu kenapa kau harus melakukan itu? Tapi seorang yang merupakan orang dalamku memberitahu bahwa sebuah laporan masuk ke kantor polisi dan itu berasal dari rumah ini!"Dia memberingas dan langsung melempar gelas ke dinding, aku terkejut, kaget dan merinding, sementara dia lantas pergi meninggalkan kamarku."Aku tak melakukan apa apa?"
Aku tahu Mama akan datang dan benar saja satu jam kemudian beliau datang tanpa memperdulikan waktu dan menimbang bahwa hari sudah malamDia mencariku dan memaksa ingin bertemu mau tidak mau harus bertemu meski aku sendiri sudah tidur. seorang asisten mengetuk pintu dan memberi tahu bahwa mami datang.Dengan hati berdebar aku turun ke ruang tamu untuk menemuinya. Benar saja ketika kami berhadapan mami langsung melayangkan sebuah tamparan ke wajahku. Aku tidak perlu bertanya kenapa, pasti dia geram karena perbuatanku yang melaporkan polisi kegiatan pengiriman mereka."Kurang ajar, ya," ucapnya sambil berkacak pinggang.Aku hanya memegangi pipi sambil menahan air mata."Mengelak aja kalo kamu mau!""Tidak," jawabku memberanikan diri, kukumpulkan kekuatan untuk membalas tatapannya."Aku tahu kau adalah anak sakinah, tapi, ibumu sangat cerdik. Dia tidak ceroboh dalam menentukan sikapnya. Kenapa kau bodoh sekali?" tanyanya dengan senyum sinis."Aku tidak mengakui perbuatan itu Mami, lagi
Kami memang merayakan malam itu dengan gembira, anggur dituangkan dan gelembung campagne dilayangkan ke udara tanda selebrasi bahwa kami berhasil memenangkan sesuatu yang besar dalam hidup, untuk pertana kalinya aku berhasil dalam rencanaku, dan aku bangga dengan pencapaian sendiri. "Antar aku pulang, suamiku sudah menunggu di rumah, aku harus sampai dalam tiga puluh menit," ujarku."Kau sedang terluka, Roni harusnya tidak menyadari luka yang kau alami sebab jika dia menyadarinya, maka dia akan tahu kalau kamu sebenarnya habis menjarah mafia," jawab adikku."Uhmm, aku bisa bilang kalau aku kecelakaan," jawabku."Luka akibat gesekan akan beda dengan luka bekas tembakan, Aku yakin Roni menyadarinya sebab dia adalah jaksa yang sering bersinggungan dengan masalah hukum dan penjahat, ayolah, pikirkan ide lain.""Belum lagi jika luka itu akan tertekan dan berdarah lagi, lalu bengkak dan infeksi ketika tidak dirawat," timpal Diki."Mungkin aku akan minta izin untuk menginap dulu di rumah Ma
Dari kejauhan kapal pengiriman itu sudah datang, kami yang sadar bahwa target akan segera mendekat, segera menuju kabin di mana Diki sedang sibuk dengan komputer dan alat pemindainya. Ada beberapa layar yang dibuat menyala bersamaan, layar untuk GPS dan navigasi, layar untuk pemindai radar serta layar yang berisi proyeksi empat dimensi gambar kapal target yang akan kami jarah. "Kau sudah dapatkan skema kapal tersebut?""Ya dengan kecanggihan teknologi," jawabnya sambil menunjukkan arah kursor dan memperlihatkan kepada kami penampilan kapal itu, meliputi geladak depan, dek atas ke bawah juga penampilan lambung kapan yang saat ini berisi banyak kontainer.""Salah satu dari tumpukan peti kemas itu adalah target kita," ucapku sambil memperhatikan layar."Bagaimana kita akan tahu mana peti kemas yang paling berharga.""Tentu saja peti kemas yang paling canggih kuncinya."" Menurut penyadap yang kudengar, rencana Bos mafia itu ada dua, jika mereka tidak bisa memindahkan barang di pelabuhan
Beranggotakan enam orang, empat pria dan dua wanita kami berada ke sebuah kapal sewaan berukuran sedang yang memiliki lambung luas dan terbuka dari bagian atas, mirip kapal ikan pada umumnya. Kami sedang bersiap menunggu kapal anak buah Bendi berangkat. Angin laut bertiup lumayan kencang, suara ombak saling bersahutan menghantam dinding batu tepi dermaga. Aku dan "Aku dengar apa yang kau rencanakan," ujar Roni ketika aku kembali dari rumah orang tuaku. Hari itu sudah kususun rencana dengan detail dari mana dan kapan kami akan memulai serangan. Aku dan siska, juga Diki dan beberapa orang berencana untuk pergi memasang penyadap ke pesta yang diadakan bendi di mansion house megahnya. Kedua orang tuaku tidak ikut karena Mama melarang papa untuk terlibat, Siska juga sebenarnya tidak ketahuan terlibat, sebab mama pasti akan membunuhnya jika beliau tahu. "Apa yang hendak kau lakukan, Imelda?" tanya Roni sekali lagi, dia menarik tanganku lalu menatap mata ini dengan intensnya. "Menjarah
"Aku dengar apa yang kau rencanakan," ujar Roni ketika aku kembali dari rumah orang tuaku. Hari itu sudah kususun rencana dengan detail dari mana dan kapan kami akan memulai serangan. Aku dan siska, juga Diki dan beberapa orang berencana untuk pergi memasang penyadap ke pesta yang diadakan bendi di mansion house megahnya. Kedua orang tuaku tidak ikut karena Mama melarang papa untuk terlibat, Siska juga sebenarnya tidak ketahuan terlibat, sebab mama pasti akan membunuhnya jika beliau tahu."Apa yang hendak kau lakukan, Imelda?" tanya Roni sekali lagi, dia menarik tanganku lalu menatap mata ini dengan intensnya."Menjarah Bendi," jawabku tegas.Pria yang tadinya mencekal pergelanganku dengan keras kini perlahan melepaskan tangannya."Kau tidak memikirkan aku dan anak kita?""Sangat," jawabku serius."Mana yang lebih besar obsesi untuk mengikuti keserakahan itu atau memilih hidup tenang dengan kami?" Tanyanya lagi."Dua-duanya, balas dendam dan hidup bahagia," jawabku."Bagaimana jika a
Aku harus merencanakan semuanya dengan matang, anggota tim yang bisa dipercaya, para profesional yang telah terlatih, serta biaya yang akan kudapatkan dari sokongan mama dan kakek william.Dan ya, aku harus menyusupkan seseorang ke dalam rumah Bendi untuk jadi pelayan sekaligus mata-mata yang bisa memberitahuku detail kegiatan mafia itu, juga meletakkan penyadap sehingga aku tahu jadwal kegiatan pengiriman dan apa saja yang Bendi lakukan.Kedengarannya mudah tapi tidak mudah, Bendi tak akan semudah itu menerima anggota atau mempercayai orang baru untuk bekerja di rumahya, satu-satunya harapan adalah menyogok seseorang yang berpotensi jadi pembelot dalam organisasi gelapnya, mungkin anak buahnya yang dulu dekat denganku atau asisten rumah tangga yang sudah belasan tahun mengikutinya.Namun semuanya tidak ada yang bisa kuharapkan, satu satunya cara adalah melakukannya sendiri atau menyamarkan siska adikku sebagai wanita penghibur yang biasa disewa dari klub-klub malam untuk menghibur
Kalau sungguh aku tertarik pada ide yang diungkapkan kakek maka aku butuh beberapa orang ahli untuk menolongku, satu ahli senjata, satu ahli IT yang pandai meretas dan satu lagi ahli pemindai GPS untuk menentukan koordinat di mana Bendi dan lokasi kapal yang digunakannya untuk menyelundupkan barang.Aku yakin rencana yang digunakan mantan suamiku kali ini bisa sangat detail dan hati-hati, dia tak akan biarkan satu celah yag akan membuat rencananya gagal atau ketahuan aparat korup yang justru akan memerasnya alih-alih menahan.Karena merasa penting untuk memberi Nyonya Erika pelajaran dan balas dendam karena wanita keji itu terus berhasil lolos dari cengkeraman polisi maka aku pun memutuskan untuk pergi berdiskusi dengan Kakek. Lagipula siapa yang bisa menahan godaan uang jutaan dollar yang kalau dirupiahkan bisa jadi miliaran. Aku akan punya modal untuk membeli rumah baru, punya tabungan masa depan untuk calon bayiku, juga bisa membuat Bendi merugi dalam satu rencana cerdik, ya, aku a
Memang beberapa pekan setelah kejadian malam itu, mantan suamiku sering menghubungi kakek. Kadang pagi ketika sarapan, sore ketika kami minum teh di kebun belakang, atau kadang anak buahnya datang, membawakam tas hitam lalu pergi begitu saja. Aku tak bisa mengasumsikan apa yang mereka bawa, tapi biar kutebak saja. Uang!Kalau pun bukan uang, maka itu 20 persen dari kesepakatan. Boleh jadi barang antik, emas batangan atau apa saja.Hmm, sebenarnya aku iri ada Kakek William yang cerdik, kata kata dan pembacaan tenang saja bisa menghasilkan uang ratusan juta, sungguh beruntung menjadi dirinya.Beberapa minggu keadaan membaik, tenang, tanpa gangguan. Tapi tiba tiba, Boom!Setelah masalah satu selesai, kini timbul masalah lain.Secara mengejutkan, Nyonya Erika bisa bebas, itu kabar yang menghebohkan meja makan keluarga kami. Betapa tidak, dia yang sudah kami percayai akan dieksekusi kini terlihat bahagia di layar tivi."Sekali lagi kami gagal membuat dia membayar apa yang telah diperbuatn
Setelah kepergian Bendi, kami semua kembali bisa bernapas lega dan lebih tenang, Tante dan om yang sebagian terlihat khawatir kini bisa kembali duduk dan membenahi posisi jas dan pistol mereka. Tapi, ada hal yang aku herankan, kenapa mereka semua bisa memliki senjata, padahal tidak semuanya merupakan polisi atau tentara, apakah senjata yang mereka miliki sudah punya izin atau malah mereka memilikinya sebagai koleksi semata.Ah, entahlah, hendak bertanya pun aku tidak punya jawabannya."Silakan duduk Imelda, kenapa masih berdiri saja?" tanya Kakek heran."Uhm, ma-maaf," ucapku canggung kududukkan bokong tepat di samping kursi suamiku lalu mengusap segelas air untuk menetralisir rasa syok."Silahkan mulai makan, makanan kalian bisa dingin," ucap Kakek."Baik ..." Anak anak kakek menjawab, tapi keadaan meja yang hangat dan penuh canda menjadi kaku dan penuh kebisuan."Imelda, lain kali kendalikan dirimu, jangan mudah terpancing emosi dan marah," ujar kakek sambil menatap mataku dengan se
"Apa yang membawamu datang ke ruang privat kami?" tanya kakek dengan wajah tak suka."Kudengar Kakek William sedang berulang tahun, jadi aku tidak ingin melewatkan kesempatan, seperti tahun-tahun kemarin, aku selalu diundang kan?""Sekarang beda, kami tidak sedang mengundangmu," jawab Tante Vina."Mengapa, dulu aku layaknya anak Tante, kenapa dengan sekarang?""Kalau kau anakku, tentu Roni adalah saudaramu, mana ada saudara yang tega berbuat jahat kepada saudaranya yang lain, teganya kamu mencabik perut dan menembak Roni. Tadinya kau anakku, sekarang kau tidak lebih musuh keluarga ini," jawab ibu mertua dengan mata berkaca-kaca."Aku sungguh minta maaf untuk itu, aku menyesal, tapi tahukah Tante... aku ingin menebus segalanya," ucap pria itu sambil merogoh saku.Melihat dia merogoh bagian dalam jas, tentu memantik kecurigaan dan rasa waspada, tiba-tiba anggota keluarga yang lain langsung berdiri dan menarik pistol dari belakang jas mereka, lalu, terjadilah aksi saling todong-menodong