Share

7. menemui orang tua

Karena tidak tahan dan terus terus dibayangi oleh kekhawatiran karena ditelepon oleh pria misterius itu. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya langsung kepada Bendi setelah pagi hari.

"Mas, aku mau tanya," ucapku setelah dia bergabung di meja makan dan menikmati sarapannya.

"Apa?"

"Apa kau menikahiku untuk membalas dendam pada orang tuaku?"

"Apa maksudmu?" Dia tertawa begitu saja.

"Apa benar ayahku sudah menghalangi bisnis real estate kalian? Apa benar kau menikahiku hanya untuk menyakitiku?"

"Apa kau pernah merasa disakiti?"

"Tidak, belum ..."

"Dan tidak akan pernah itu terjadi, buat apa aku harus menyakiti istri yang sudah susah payah kukejar?" tanyanya mengernyitkan alis.

"Aku terus-menerus mendapatkan telepon misterius yang mengingatkan bahwa aku harus segera kabur darimu," bisikku pelan.

"Kalau begitu masalahnya akan selesai dengan cara yang sangat mudah," ucapnya sembari bangkit dan langsung menuju di mana telepon rumah terpasang lalu dia memotong kabel nya dengan pisau roti yang dipegangnya.

"Mulai sekarang tidak ada yang akan menelponmu, jadi sudah beres ya." Dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu.

"Tapi nggak motong kabel telepon juga kali ....."

"Biarin aja, aku tidak mau seseorang mempengaruhi dirimu dan memperkeruh hubungan kita. Aku tidak mau ada seorangpun yang mengganggu istriku atau membuatnya khawatir."

"Bagaimana jika yang diungkapkan adalah kenyataan?"

"Ah, bagaimana mungkin jika aku akan melenyapkanmu, untuk apa aku berpura-pura menikahimu? mudah sekali untuk mencabut nyawa seseorang hanya dengan satu tembakan."

"Ya, betul."

"Jadi kamu menerima argumenku?" Tanyanya.

"Ehm, mungkin ...." Aku menggeleng dan mengangguk dalam waktu bersamaan, sedikit ragu tapi juga yakin.

"Berarti kau setuju dengan semua ucapanku?"

"Bisa jadi."

"Kau meragukan suamimu?"

"Enggak."

"Bagus."

"Tapi aku harus memastikan," ucapku pelan.

"Apa lagi?"

"Keamanan."

Dia tergelak dan tertawa sejadi-jadinya, makan sampai perutnya nampak sakit. Kembali duduk di sampingku dan dia masih saja tertawa.

"Hei, Nyonya, kau terlalu lembut dan cantik untuk bisa kusentuh dengan kejam, aku mencintaimu," ucapnya mencium pipiku.

"Tapi, Mamamu memintaku untuk tidak terlalu dekat denganmu."

"Jangan hiraukan, mana ada istri yang harus menjauh dari suaminya, itu tidak masuk akal."

"Baiklah, selesai."

"Ya, kuharap sudah tidak ada lagi pembahasan tentang ini karena itu sama sekali tidak ada artinya dibahas-bahas."

**

Dengan diantar dua orang penjaga dan supir, aku diantar ke rumah Mama, rumah lantai dua di kompek perumahan Puri Indah Lestari. Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah yang sudah belasan tahun kami tinggali sebagai keluarga.

Kupencet bel dan tak lama kemudian Siska keluar untuk menyambutku.

"Kakak, tumben datang."

"Ah, iya aku rindu."

"Tapi bukannya kemarin Mama ke rumah kakak?"

"Iya tapi cuma sebentar, karena itu aku ingin bertemu mama lagi dan ingin meminta kejelasan."

"Hah, kejelasan ... apaan?"

"Gak tahu, pokoknya ada deh, mama di mana?"

"Di dalam," jawab Siska.

"Yuk, masuk."

Ketika masuk ke dalam itu aku langsung mengedarkan mata dan memanggil mama.

"Ma, Mama ...."

"Iya, Sayang." Mama keluar dari ruang tengah dan langsung memelukku.

"Ya, Allah, kamu datang, Nak."

"Iya, aku mau kunjungi Mama dan Papa sebentar, habis itu ke supermarket," balasku senyum.

"Aku pikir kamu sudah memutuskan untuk tinggal dengan Mama."

"Mana bisa Ma, suami aku gimana?".

"Ah, iya." Mamanya menggigit bibirnya lalu kemudian setelah beberapa detik permainan ia langsung mengajakku meja makan dan menyuruhku menyantap gulai daging kesukaaan.

"Yuk, makan dulu."

"Papa mana?"

"Pergi ke kebun, sore baru kembali," jawabnya.

"Baik. Oh ya, mau tanya apakah Mama didatangi oleh pemuda yang bernama Roni?"

"Iya, kamu juga ya?"

"Hu-uhm."

"Dia bilang apa?" tanya mama penasaran.

"Dia bilang hati-hati."

"Apa dia nggak bilang... Seharusnya kamu nikahnya sama dia?"

"Ehm, enggak sih, cuma hati hati aja."

"Ya, ampun sayang ...."

"Tapi aku heran loh, Ma. Karena pemuda itu juga adalah sahabat suamiku entah kenapa diam membisikku kata-kata yang membuat kaget, apa dia benar?"

"Entahlah." Mama hanya mengangkat kedua bahunya.

"Bagaimana kalau ternyata yang dia katakan benar dan kita akhirnya menyesal."

"Emangnya Bendi berbuat macam-macam?"

"Nggak pernah, Ma," jawabku.

"Mama harap kita sudah hidup dalam tenang, setelah berbulan-bulan hidup dalam kesulitan dan ketegangan, Mama ingin semuanya akan baik-baik saja."

"Pokoknya selama semuanya baik-baik saja tidak perlu ada yang dikhawatirkan."

"Iya betul." Mama menghela nafas pelan dan di saat bersamaan Siska datang dan bertanya apa kiranya yang kami bicarakan.

"Ngomongin apa?"

"Enggak apa apa, biasalah bisnis istri istri," balasku tertawa.

"Gitu ya Kak, btw, Kakak jadi masuk kuliah?"

"Tergantung suamiku, jika mengizinkan aku akan melanjutkan kuliah ke fakultas pendidikan."

"Bagaimana jika Bang Bendi menolak?"

"Berarti aku gak lanjut."

"Emang enak di rumah aja?"

"Ada suamimu, ada banyak yang harus aku urusi, makanan, atau uang gaji anak buah, dan mengatur jadwal Mas Bendi."

"Oh, mafia punya jadwal juga ya ...."

"Emang artist aja yang menerima endorsement? Preman juga bisa," jawabku dan kami pun tergelak bersama.

Tak lama dari itu, ponselku berdering ketika ketika kutatap layar ternyata yang menelpon adalah suami.

"Ya, Mas ...?"

"Kamu di mana?"

"Di rumah Mama."

"Kapan pulangnya?"

"Sore, aku mau ketemu papa dulu, mau nanya sesuatu," jawabku.

"Hah, nanya apa?" nadanya terkejut.

"Enggak apa apa," jawabku.

"Mau pulang sekarang deh, karena ada sedikit urusan," suruhnya.

"Aduh, jangan dong, Sayang, nanggung banget."

"Imel, sebagai istri kamu pasti dengerin omongan suami 'kan?"

Tentu, pertanyaan demikian membuatku tidak berdaya. Aku terdesak dan harus menyerah untuk mengikuti keinginannya.

"Ya, baiklah, aku pulang," balasku.

"Supir ada sama kamu?"

"Ada."

"Kalo gitu, buruan ya, Sayang, aku tunggu. Kita akan pergi ke rumah Mami," imbuhnya.

"Kok tiba tiba?"

"Nggak tahu tiba-tiba disuruh aja," jawabnya.

"Apa Mami akan mengatakan sesuatu?"

"Kayaknya Iya."

"Aku takut, Mas, aku khawatir jika hal yang kutakutkan terjadi."

"Ah, bukan itu pastinya, paling Mami meminta kamu untuk mengatur keuangan."

"Semudah itukah?"

"Apa yang tidak mungkin, kamu mantunya?" Mas Bendi tertawa.

"Baiklah mas sampai jumpa disana."

Kututup ponsel dan memasukkannya ke dalam tas.

Dengan segera aku berpamitan kepada Mama dan adik ku selalu kembali ke mobil dan meluncur bersama dua orang pengawal.

***

Sesampainya di depan rumah ibu mertua Mas Bendi sudah menunggu di depan gerbang dengan mobilnya.

"Sayangku ...." Dia menyambut dan langsung memelukku.

"Ah, Mas, jangan peluk di depan gerbang seperti ini orang-orang akan melihat dan aku malu sekali."

"Malu kenapa, kalau mencuri baru malu?" jawabnya tertawa.

"Ayo, masuk," ajakku.

"Ayo."

Ketika pintu rumah terbuka dengan diantar oleh asistennya kami menuju sebuah ruang yang cukup besar dengan, kursi warna emas yang melingkar dinding. ada meja marmer dan vas bunga berisi mawar di atasnya.

Yang mengejutkan bukan itu, tapi seorang wanita cantik berbaju merah duduk berdekatan dengan ibu mertua, dan di seberang sana adalah Roni yang memegang segelas minuman, dia tersenyum padaku sambil mengulurkan gelasnya, dan dia melakukannya dengan santai dengan isyarat mata seolah menertawakan apa yang akan terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status