Karena tidak tahan dan terus terus dibayangi oleh kekhawatiran karena ditelepon oleh pria misterius itu. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya langsung kepada Bendi setelah pagi hari.
"Mas, aku mau tanya," ucapku setelah dia bergabung di meja makan dan menikmati sarapannya. "Apa?" "Apa kau menikahiku untuk membalas dendam pada orang tuaku?" "Apa maksudmu?" Dia tertawa begitu saja. "Apa benar ayahku sudah menghalangi bisnis real estate kalian? Apa benar kau menikahiku hanya untuk menyakitiku?" "Apa kau pernah merasa disakiti?" "Tidak, belum ..." "Dan tidak akan pernah itu terjadi, buat apa aku harus menyakiti istri yang sudah susah payah kukejar?" tanyanya mengernyitkan alis. "Aku terus-menerus mendapatkan telepon misterius yang mengingatkan bahwa aku harus segera kabur darimu," bisikku pelan. "Kalau begitu masalahnya akan selesai dengan cara yang sangat mudah," ucapnya sembari bangkit dan langsung menuju di mana telepon rumah terpasang lalu dia memotong kabel nya dengan pisau roti yang dipegangnya. "Mulai sekarang tidak ada yang akan menelponmu, jadi sudah beres ya." Dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu. "Tapi nggak motong kabel telepon juga kali ....." "Biarin aja, aku tidak mau seseorang mempengaruhi dirimu dan memperkeruh hubungan kita. Aku tidak mau ada seorangpun yang mengganggu istriku atau membuatnya khawatir." "Bagaimana jika yang diungkapkan adalah kenyataan?" "Ah, bagaimana mungkin jika aku akan melenyapkanmu, untuk apa aku berpura-pura menikahimu? mudah sekali untuk mencabut nyawa seseorang hanya dengan satu tembakan." "Ya, betul." "Jadi kamu menerima argumenku?" Tanyanya. "Ehm, mungkin ...." Aku menggeleng dan mengangguk dalam waktu bersamaan, sedikit ragu tapi juga yakin. "Berarti kau setuju dengan semua ucapanku?" "Bisa jadi." "Kau meragukan suamimu?" "Enggak." "Bagus." "Tapi aku harus memastikan," ucapku pelan. "Apa lagi?" "Keamanan." Dia tergelak dan tertawa sejadi-jadinya, makan sampai perutnya nampak sakit. Kembali duduk di sampingku dan dia masih saja tertawa. "Hei, Nyonya, kau terlalu lembut dan cantik untuk bisa kusentuh dengan kejam, aku mencintaimu," ucapnya mencium pipiku. "Tapi, Mamamu memintaku untuk tidak terlalu dekat denganmu." "Jangan hiraukan, mana ada istri yang harus menjauh dari suaminya, itu tidak masuk akal." "Baiklah, selesai." "Ya, kuharap sudah tidak ada lagi pembahasan tentang ini karena itu sama sekali tidak ada artinya dibahas-bahas." ** Dengan diantar dua orang penjaga dan supir, aku diantar ke rumah Mama, rumah lantai dua di kompek perumahan Puri Indah Lestari. Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah yang sudah belasan tahun kami tinggali sebagai keluarga. Kupencet bel dan tak lama kemudian Siska keluar untuk menyambutku. "Kakak, tumben datang." "Ah, iya aku rindu." "Tapi bukannya kemarin Mama ke rumah kakak?" "Iya tapi cuma sebentar, karena itu aku ingin bertemu mama lagi dan ingin meminta kejelasan." "Hah, kejelasan ... apaan?" "Gak tahu, pokoknya ada deh, mama di mana?" "Di dalam," jawab Siska. "Yuk, masuk." Ketika masuk ke dalam itu aku langsung mengedarkan mata dan memanggil mama. "Ma, Mama ...." "Iya, Sayang." Mama keluar dari ruang tengah dan langsung memelukku. "Ya, Allah, kamu datang, Nak." "Iya, aku mau kunjungi Mama dan Papa sebentar, habis itu ke supermarket," balasku senyum. "Aku pikir kamu sudah memutuskan untuk tinggal dengan Mama." "Mana bisa Ma, suami aku gimana?". "Ah, iya." Mamanya menggigit bibirnya lalu kemudian setelah beberapa detik permainan ia langsung mengajakku meja makan dan menyuruhku menyantap gulai daging kesukaaan. "Yuk, makan dulu." "Papa mana?" "Pergi ke kebun, sore baru kembali," jawabnya. "Baik. Oh ya, mau tanya apakah Mama didatangi oleh pemuda yang bernama Roni?" "Iya, kamu juga ya?" "Hu-uhm." "Dia bilang apa?" tanya mama penasaran. "Dia bilang hati-hati." "Apa dia nggak bilang... Seharusnya kamu nikahnya sama dia?" "Ehm, enggak sih, cuma hati hati aja." "Ya, ampun sayang ...." "Tapi aku heran loh, Ma. Karena pemuda itu juga adalah sahabat suamiku entah kenapa diam membisikku kata-kata yang membuat kaget, apa dia benar?" "Entahlah." Mama hanya mengangkat kedua bahunya. "Bagaimana kalau ternyata yang dia katakan benar dan kita akhirnya menyesal." "Emangnya Bendi berbuat macam-macam?" "Nggak pernah, Ma," jawabku. "Mama harap kita sudah hidup dalam tenang, setelah berbulan-bulan hidup dalam kesulitan dan ketegangan, Mama ingin semuanya akan baik-baik saja." "Pokoknya selama semuanya baik-baik saja tidak perlu ada yang dikhawatirkan." "Iya betul." Mama menghela nafas pelan dan di saat bersamaan Siska datang dan bertanya apa kiranya yang kami bicarakan. "Ngomongin apa?" "Enggak apa apa, biasalah bisnis istri istri," balasku tertawa. "Gitu ya Kak, btw, Kakak jadi masuk kuliah?" "Tergantung suamiku, jika mengizinkan aku akan melanjutkan kuliah ke fakultas pendidikan." "Bagaimana jika Bang Bendi menolak?" "Berarti aku gak lanjut." "Emang enak di rumah aja?" "Ada suamimu, ada banyak yang harus aku urusi, makanan, atau uang gaji anak buah, dan mengatur jadwal Mas Bendi." "Oh, mafia punya jadwal juga ya ...." "Emang artist aja yang menerima endorsement? Preman juga bisa," jawabku dan kami pun tergelak bersama. Tak lama dari itu, ponselku berdering ketika ketika kutatap layar ternyata yang menelpon adalah suami. "Ya, Mas ...?" "Kamu di mana?" "Di rumah Mama." "Kapan pulangnya?" "Sore, aku mau ketemu papa dulu, mau nanya sesuatu," jawabku. "Hah, nanya apa?" nadanya terkejut. "Enggak apa apa," jawabku. "Mau pulang sekarang deh, karena ada sedikit urusan," suruhnya. "Aduh, jangan dong, Sayang, nanggung banget." "Imel, sebagai istri kamu pasti dengerin omongan suami 'kan?" Tentu, pertanyaan demikian membuatku tidak berdaya. Aku terdesak dan harus menyerah untuk mengikuti keinginannya. "Ya, baiklah, aku pulang," balasku. "Supir ada sama kamu?" "Ada." "Kalo gitu, buruan ya, Sayang, aku tunggu. Kita akan pergi ke rumah Mami," imbuhnya. "Kok tiba tiba?" "Nggak tahu tiba-tiba disuruh aja," jawabnya. "Apa Mami akan mengatakan sesuatu?" "Kayaknya Iya." "Aku takut, Mas, aku khawatir jika hal yang kutakutkan terjadi." "Ah, bukan itu pastinya, paling Mami meminta kamu untuk mengatur keuangan." "Semudah itukah?" "Apa yang tidak mungkin, kamu mantunya?" Mas Bendi tertawa. "Baiklah mas sampai jumpa disana." Kututup ponsel dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan segera aku berpamitan kepada Mama dan adik ku selalu kembali ke mobil dan meluncur bersama dua orang pengawal. *** Sesampainya di depan rumah ibu mertua Mas Bendi sudah menunggu di depan gerbang dengan mobilnya. "Sayangku ...." Dia menyambut dan langsung memelukku. "Ah, Mas, jangan peluk di depan gerbang seperti ini orang-orang akan melihat dan aku malu sekali." "Malu kenapa, kalau mencuri baru malu?" jawabnya tertawa. "Ayo, masuk," ajakku. "Ayo." Ketika pintu rumah terbuka dengan diantar oleh asistennya kami menuju sebuah ruang yang cukup besar dengan, kursi warna emas yang melingkar dinding. ada meja marmer dan vas bunga berisi mawar di atasnya. Yang mengejutkan bukan itu, tapi seorang wanita cantik berbaju merah duduk berdekatan dengan ibu mertua, dan di seberang sana adalah Roni yang memegang segelas minuman, dia tersenyum padaku sambil mengulurkan gelasnya, dan dia melakukannya dengan santai dengan isyarat mata seolah menertawakan apa yang akan terjadi."Bagus karena Imelda sudah datang, Jadi kita bisa memulai acara ini." Ibu mertua menyambut dan menyentuh kedua sikuku dengan lengannya. Dia menyeretku ke depan."Oke," jawab wanita berbaju merah itu dengan lembut. Dia nampak cantik dan elegan bak seorang putri, dia pasti anak orang yang sangat kaya. Gaunnya merah menjuntai hingga ke lantai, belahan di kaki menunjukkan betisnya yang mulus dan seksi.Dia begitu percaya diri, dan levelnya jauh di atasku. Mendadak saat melihatnya perasaanku merasa rendah. Terlebih menyaksikan kedekatannya dengan ibu mertua, dan tangannya yang sejak tadi bergelayut di telapak tangan Mami membuatku seakan-akan harus bersiap patah hati."Dia menantuku, ia adalah wanita yang bijak dan tangguh, bukan begitu Imel?""I-iya, Mi, insya Allah," jawabku. Mas Bendi yang ada di sampingku menggenggam tangan dan tersenyum dengan tulusnya."By the way, ada apa Mi? Mengapa tiba tiba mengundang kami?" tanya suamiku."Ini Irina, anak Om Hardi, pengusaha batu bara dan pe
Sepanjang perjalanan pulang diri ini terngiang-ngiang kepada peringatan Papa sebelum pernikahanku terjadi, bahwa diri ini harus menerima konsekuensi pilihan sudah memutuskan untuk menikahi Bendi, bahwa aku harus menerima pahit manisnya membersamai ketua mafia itu.Kini aku tahu, pemimpin gangster tersebut bukanlah dia, tapi Nyonya Erika Ibunya.Mobilku meluncur pelan membelah jalanan aspal yang cukup ramai, kubuka jendela dan membiarkan angin menerbangkan rambut dan meniupkan wajahku. Desauan angin yang cukup ribut tidak kupedulikan lagi, seolah raga ini sudah hancur dilubangi oleh ibu mertua, keadaan hatiku runyam dan sudah tidak berbentuk lagi.Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar melempar tasku sembarang, melepas sepatu begitu saja di lantai dan langsung menjatuhkan diri ke kursi, kupijit kening dan kepalaku yang berdenyut dan hampir pecah. Aku tahu persis bahwa beban yang sedang diletakkan paksa di bahuku amat memberatkan. Berbagi suami, berbagi cinta, dapur, ran
Keesokan hari aku bertemu dengan Bendi di meja makan. Dia yang melihatku masih dengan wajah pucat dan nampak sedikit sakit kepala, hanya diam saja dan melanjutkan pekerjaan di laptopnya. Kuambil tempat duduk berhadapan dan langsung menuangkan segelas susu, lantas mengesapnya."Kamu masih sakit kepala?""Eng, tidak," jawabku sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa apa."Kamu masih marah?""Memangnya kalau marah apa untungnya?""Lihat kepikir karena melihat ekspresi kesedihan dan terkejut mu kemarin Kau pasti akan sangat meledak-ledak padaku.""Tidak menangis atau marah bukan berarti aku tidak mencintaimu, Mas, tapi melawan kehendak Ibumu itu adalah hal mustahil," balasku."Aku akan berusaha bicara pada Mama agar dia merevisi keputusannya, aku yakin mau makan dulu karena masih banyak cara lain untuk memutuskan bisnis Tidak harus menjadi sebuah keluarga.""Menurutnya meluaskan bisnis dengan membuat ikatan justru akan lebih terjamin Mas.""Ah, bocah kecil ini, ternyata biarpun masih m
"Harus ikut?" Tanyaku kepada mertua yang bersikeras mendesak agar aku ikut dengannya ke rumah wanita itu. "Iya." "Untuk apa lagi, Mi?" "Mempererat hubungan dan meyakinkan." "Tapi kenapa?" "Cepat! 15 menit lagi mobil akan datang menjemputmu dan kita akan pergi bersama-sama." Ya ampun aku hanya bisa menarik nafas dan berusaha menetralisir kekesalan yang terus menggumpal di hati. Rasanya ibu mertua baru saja meletakkan bara panas di atas kepala ku dengan memaksa untuk pergi ke rumah Irina dan berpura-pura baik pada calon istri suamiku. Sekali lagi, istri suamiku, horor bukan ...? "Baik, Mi." "Bagus!" Seperti biasa tanpa mengucapkan salam atau terimakasih mertuaku yang arogan langsung menutup teleponnya. Ah, kesalnya. "Mas, aku minta uangnya dong, aku mau beli baju untuk ke rumah Irina,", ucapku menemui suami di ruang kerjanya. "Hmm, istri kecilku baru pertama kali minta uang, aku pasti akan memberikanmu, kau butuh berapa?" "Dua lima juta," balasku. "Baju apa semahal itu?" "
Cerbung ini adalah season kedua dari cerbung Karma: kupermalukan di Akad nikahnya, dengan tokoh utama Sakinah dan Letkol Suryadi. Setelah pernikahan Imelda berlangsung mewah dan semarak dalam usia 19 tahun dia kemudian harus menjalani sebuah episode baru yang penuh tantangan dan emosi. Akankah Imelda bertahan dan seperti apa lika-liku kehidupan yang penuh tantangan, apakah hidupnya akan lebih bahagia dari Sakinah atau malah penuh drama? bagaimana dia akan bertahan? Akankah Imelda sekuat Ibunya? Atau malah, menyerah. Ikuti terus ya, 🌹🌹 Jangan lupa, Like, komen dan share ya Kak ❤️ 2 . Selepas acara, pernikahan bahagia yang megah, ketika ketika tamu-tamu berangsur berpamitan dan meninggalkan aula pernikahan, aku dan Bendi kemudian mengobrol berdua sembari menunggu giliran sisa anggota keluarga yang belum bergabung dan berfoto bersama kami. "Kamu kenapa, Mas?" "Wah, kamu manggil aku Mas?" "Iya, bukankah, seorang istri harus menghormati suaminya?" Raut wajah suamiku amat c
Pagi sudah menjelang, gorden jendela sudah dibuka oleh suamiku, dia sendiri terlihat sedang duduk menikmati sarapannya di balkon kamar kami.Kusibak selimut masih dengan sisa perasaan kesal tadi malam karena dia ... ah, sudahlah.Perlahan kugeser pintu kaca dan hendak menyapanya tapi Mas Bendi terlihat menelpon seseorang di sana."Gue curiga, sama dia yang ada di penjara dan sudah menyuruh orang untuk menghancurkan pernikahan gue," ungkapnya sambil menghisap sebatang rokok."Iya ... walaupun tidak mungkin, tapi bisa jadi kan? keluarga tante Sakinah sudah bermusuhan lama dan mereka saling menjerumuskan sampai ke titik ini. Gua nggak mau, gua dan istri gua terus menerus terseret, sampai-sampai Imelda gak akan merasa aman.""Hah, Kolonel William? Siapa dia? .... Oh hakim itu? ada apa dia? hah, anaknya?" Bendi terlihat kaget.Aku makin makin tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Bendi tentang mama dan beberapa orang yang pernah menjadi musuh mama. Apakah kini mereka kembali untuk m
Aku tidak bertanya banyak kepada Bendi apa saja yang dibicarakan dengan ibunya, Aku khawatir bahwa semakin tahunya diri ini maka akan membuat diriku sakit hati. Jadi kuikuti saja kemana langkahnya yang mengajakku kembali pulang ke rumah yang sekaligus difungsikan sebagai markas anak buahnya.Sore itu aku berinisiatif menemui orang tua yang masih berada di ibukota, aku ingin memanfaatkan waktu untuk mengambil hatinya sebelum dia kembali ke Singapura.Aku ingin membuktikan bahwa aku juga menantu yang layak diterima, karenanya, setelah meminta izin Bendi dan diantar oleh seorang supir, aku meluncur ke sebuah villa mewah di pinggir kota.Kupegang kuat di pangkuan, sebuah kotak berisi songket dengan sulaman benang emas yang akan kujadikan hadiah untuk ibu mertua, besar harapan agar dia menerima hadiah tersebut sebagai simbol bahwa aku sangat menghormatinya.Sesampainya di sebuah vila mewah, yang dari luar saja sudah kelihatan estetik, aku langsung turun dari mobil dan menuju pintu utama l
"A-apa maksud Mami?" tanyaku, tenggorokanku kering seketika mendengar ungkapannya."Kenapa kau kaget? kau bilang bahwa kau akan siap dengan segala konsekuensi karena sudah memilih Bendi sebagai suamimu?""Ta-tapi bukan begitu," sanggahku."Kami tumbuh dalam lingkungan bisnis kotor dan penuh dengan kelicikan, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kami adalah bisnis yang harus dimanfaatkan potensinya," desisnya dengan kejam."Tapi, ini hubungan, Mi ....""Jika kau yakin pada Bendi bahwa cintanya hanya untukmu maka biarkan saja dia pergi ke mana pun, karena pada akhirnya dia akan kembali ke dermaga hatimu," jawabnya santai."Menurut Mami itu mudah tapi menurutku ....""Jangan merasa terbebani, ini hanya permintaan kecil dari mertuamu. Apa kau tidak akan meluluskannya?" tanyanya dengan enteng sambil mengangkat sebelah alisnya."Aku ...." Tak mampu kuberi jawaban yang bisa melegakan antara aku dan dia. Mustahil menyetujui perpisahan di hari kedua setelah pernikahan."Pulanglah, pik