Share

6. Mama datang

Esok.hari.

Entah kenapa pagi sekali mama datang ke rumah, ia masuk ke kamar dan membangunkanku setelah seorang pengawal Bendi mengantarnya ke kamarku.

" Bangun imel."

"Ada apa?"aku yang masih setengah mengantuk tentu saja terkejut.

"Bendi di mana?'

"Lagi pergi."

"Ayo kita pergi," ujarnya Mama sambil menarik lenganku dengan keras. Dia mengajakku pergi dan dari rumah suamiku tanpa alasan yang jelas.

"Kemana Ma?"

"Pulang ke rumah!"

"Kenapa?"

"Aku tahu, aku merestui pernikahanmu, tapi kami sudah salah," ucap Mama panik.

"Apa maksudnya Ma, aku gak paham?"

"Ayo pulang, jangan di sini lagi," ujarnya.

"Tapi aku istrinya, aku pengantinnya, ini rumahku sekarang," jawabku berusaha menenangkan Mama.

"Kita salah, Nak, mama minta maaf, Papamu selalu berat untuk setuju dari dulu, dan kini semuanya jelas, sebelum terlambat ayo pergi."

"Aku belum mengerti," balasku ragu.

"Ayo ambil barang penting dan kabur dari sini," ajaknya dengan cepat, kuambil ponsel dan mengikuti mama yang panik, meski bingung, aku berusaha mengikuti agar dia tenang.

Sewaktu membuka pintu, Bendi datang dan langsung heran melihat mama yang membawaku dengan cara ditarik. Dia terkejut dan heran sekali.

"Lho mau kemana Ma?"

"Aku mau ngajakin Imel pulang," jawabnya tegas.

"Kenapa Ma?"

"Karena dia anakku!"

"Aku tahu, tapi kenapa, Ma? Dia istriku sekarang."

"Pergi dan temukan istri baru untukmu, kalo kalian dendam, jangan jadikan anakku tumbal."

"Astaga Mama, aku gak paham, Mama ngomong apa, aku lho, cinta sekali dengan Imelda, kenapa Mama memgajak dia pergi? Di separuh jiwaku di mana aku ingin mati saja jika hidup tanpa dia."

"Mama ..." Aku memohon pada mama.

"Tidak Bendi, anakku bukan korban kalian, kalo ada masalah hadapi saja aku langsung," ungkap mama meracau.

"Aku gak paham, Ma. Imelda orang yang kucintai, mana mungkin aku mengorbankannya? Lagipula aku gak pake pesugihan kok?" jawab suamiku tersenyum santai. Dia mendekat, ia mengambilku dari tangan Mama.

"Mama duduk dulu deh, kita bicarakan baik-baik," suruhnya sambil mengajak kami kembali ke dalam dan duduk di sofa.

Aku dan Mama mengikuti langkahnya dan kami duduk di sofa saling berhadapan.

"Katakan hal yang sebenarnya. Apa tujuanmu menikahi anakku?" tanya Mama dengan nada tegas.

"Mama, kenapa Mama baru menanyakan itu sekarang, aku sudah katakan bahwa aku mencintai Imel," jawab bendi. Aku yang berada diantara percakapan itu merasa bingung.

"Apakah kau mengemban dendam keluargamu untuk menghancurkan kami?"

"Aku tidak paham, jangankan dendam kenal pun tidak. Bagaimana orang tuaku akan mendendam kepada keluarga Mama kalau mereka sama sekali tidak mengenal." Suamiku menjawab dengan wajah heran.

"Argumenmu bagus, tapi aku yakin kau pasti mengenal suamiku dari dulu?" tanya Mama meyelidik.

"Iya, aku mengenalnya, kami juga berhati hati padanya, karena bisnis kami bertentangan dengan idealisme petugas."

"Kau sungguh menikah Imelda karena cinta?"

"Iya, aku tidak punya alasan lain untuk mengejarnya sedemikian rupa, aku mencintainya, Ma."

"Sebenarnya kau bisa dapatkan wanita manapun yang kau mau, iya, kan?"

"Ya, tapi herannya, hatiku hanya untuk Imel," balasnya menggengam tanganku lalu mengecupnya.

"Jadi Mama tidak perlu khawatir lagi ya," ucap Bendi.

"Masalahnya aku gelisah karena ..." Ucapan mama menggantung, dia menggigit bibirnya sesaat lalu bangkit dan berpamitan kepada kami.

"Aku pulang dulu, tolong jaga Imelda."

"Baik, Ma, itu pasti, aku akan mengurusnya dengan baik."

"Pastikan bahwa anakku selalu aman ya," ungkap mama yang lalu menjauh, meninggalkanku dan menghilang dari balik pintu.

Ada apa sebenarnya dengan Mama? Kenapa dia begitu panik dan gelisah, apa yang terjadi?

Melihatku tercenung, Mas Bendi menyentakku dengan menjentikkan jarinya di depan wajah.

"Ada apa, Sayang?"

"Gak ada, Mas," jawabku.

"Kamu mikirin apa, heran ya?"

"Iya," jawabku singkat.

"Aku juga, tapi kamu jangan khawatir semuanya akan baik-baik saja."

"Apakah ini berkaitan dengan permintaan Mami yang menyuruhku untuk merelakanmu, jujur aku sangat sedih dengan itu, sangat gelisah sampai tak tertidur di malam hari, katakan Mas, apa rencana Mami?" tanyaku pada suami perihal niat ibunya.

"Ah, mami hanya memikirkan kelancaran Bisnis, aku tahu persis dia hanya ingin memastikan bahwa aku tidak akan pernah bangkrut. Tapi tenang saja Sayang, aku juga cerdik, banyak bisnis yang bisa di menguruskan tanpa harus melakukan pernikahan dengan anak kolega."

"Kau terlalu tampan dan karismatik, juga berduit, siapa pun mau menikahimu," ungkapku mengusap wajahnya.

"Tapi aku hanya mau menikah denganmu," balasnya sambil mendaratkan ungkapan cinta di bibirku.

"Astaga, kau ini ... sempat-sempatnya," gumamku menusuk dada dengan ujung jari.

"Ayo kita ke kamar, aku merindukanmu," bisiknya mesra.

"Ini masih siang," balasku mendorong wajah Bendi.

"Ya, bercinta bisa kapan saja, kan, tidak ada aturan baku di mana hanya boleh melakukannya di malam hari," jawabnya lalu mengangkat tubuh ini tinggi-tinggi lalu membawaku masuk ke dalam kamar kami.

*

Pukul dua belas malam,

Ponselku berdering, aku bangkit, memeriksa keadaan, nampak suamiku yang sedang bertelanjang dada, tertidur pulas di sampingku.

"Ha-halo?" Dadaku berdebar ingin tahu siapa yang menelpon di tengah malam begini.

"Bagaimana malammu?" tanya suara pria dari seberang sana.

"Baik," jawabku tanpa curiga. "Tapi, kau siapa?"

"Aku ucapkan selamat, tapi jangan sampai kau punya anak, karena itu akan memberatkan keadaanmu," balasnya.

"Memangnya kau siapa berani mencegahku!"

"Aku memberimu saran, Imel, selagi belum terlambat kabur dan kembalilah ke rumah orang tuamu."

Pria di seberang sana tertawa dan aku langsung menutup ponsel dan menghempaskannya di nakas, dasar konyol!

Tapi di sisi lain, kenapa permintaan untuk menyuruh kabur dari tempat ini terus menerus datang dari segala sisi? Mengapa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status