Share

5 apapun itu

"Apapun yang telah dilakukan ibuku, itu tidak ada kaitannya denganku, Pak."

"Hmm, begitu ya, kamu ini naif atau pura pura bodoh sih?" bisiknya dengan tatapan penuh makna.

Dadaku makin berdebar, takut dan tidak tahu harus apa pada situasi ini. Cemas dia akan terus mengancamku, akhirnya kuputuskan saja untuk menjauh.

"Maaf, aku masuk dulu, selamat bermain lagi, Pak," ucapku sambil memaksakan senyum.

"Kau takut ya, heran sekali bisa ada wanita yang takut padaku, padahal biasanya, wanita akan terpesona," ungkapnya sambil mengangkat kerah bajunya.

"Bagaimana pun saya akan mengingat perjumpaan kita," jawabku sambil menjauh.

"Aku pernah dengar kabar bahwa anak Nyonya Sakinah sangat cantik, dia bisa dijadikan alat negosiasi yang bagus alih-alih menikahkan dia dengan seorang preman," ungkapnya menahan langkahku.

"Saya bukan barang, Pak. Lagi pula saya menikah karena keinginan sendiri," jawabku yang langsung pergi membawa emosi.

Di depan pintu aku berpapasan dengan suami, dia terkejut melihatku yang berjalan terburu-buru dan hampir menabraknya.

"Lho, kenapa masuk, kok kamu kelihatan marah?"

Sepertinya Bendi bisa melihat ekspresi wajahku.

"Nggak marah tiba-tiba teringat sesuatu dan ingin masuk saja," ucapku menahan sakit hati.

"Kata harus menjalin hubungan yang baik dengan Roni karena dia adalah jaksa yang bisa membela kita. Kita bisa mengandalkannya ketika tersangkut perkara."

"Aku hanya tidak nyaman saja bertemu dengan pria lain yang bukan suamiku, aku tidak terbiasa."

"Kalau gitu kau harus membiasakan diri sayang, bisnis bisnis kita akan lebih sering bertemu dengan orang dari banyak latar belakang."

"Aku akan belajar," ujarku yang masih tak bisa mengendalikan gemetar badan.

Ya, Tuhan, siapa dia, mengapa dia mengaitkanku dengan masalah Mama, apa salahku? Dan aku terus teringat bagaimana tatapan tajam dan senyum nakalnya, aku benar-benar ketakutan.

**

Karena tidak membawa ponsel ketika keluar ke taman, sesampai di kamar ternyata ponselku sudah berdering dan ada panggilan tidak terjawab yang sudah beruntun di sana.

Ternyata, panggilan tidak terjawab itu adalah panggilan dari ibu mertua, aku yakin bahwa dia sekarang sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya kemarin.

Selagi bimbang memikirkan apa yang harus kulakukan ponselku berdering lagi dan menyentak lamunanku. Dia adalah Mami lagi

"Halo Mami," jawabku pelan.

"Hah, Bagaimana dengan keputusanmu?"

"Sebenarnya aku masih bingung Mami, aku tidak mengerti sebenarnya apa yang Mami inginkan."

"Kau tahu 'kan bahwa Bendi tidak sepenuhnya adalah milikmu, dia adalah anakku dan dia adalah pemimpin dari beberapa orang yang menggantungkan hidup keluarganya dari bisnis kami, kau akan mengancam kehidupan mereka, jika pengaruh burukmu masuk ke dalam anakku," balasnya dengan nada dingin.

"Tapi, saya tidak pernah mengatakan apa-apa Mami, saya hanya patuh pada arahannya saja" jawabku.

"Aku punya teman yang merupakan investor dan juga pelindung dari bisnisku, dia punya anak perempuan yang harus dilindungi masa depan dan keamanannya, kau harus bersedia membiarkan Bendi menikahi gadis itu. Bukan untuk berbagi kasih tapi untuk memuluskan bisnis, ingat bahwa ini adalah bisnis," tegasnya menekan.

"Bisnis memang adalah bisnis, aku sadar Mi. Tapi, Bagaimana dengan perasaan saya, belum sebulan saya jadi istrinya tapi saya sudah dapat ujian sebesar ini," ujarku yang tak mampu menahan tangis.

"Apa Bendi tak memberi tahu?"

"Tidak, mana mungkin Mas Bendi tega mengatakan itu, Mi," jawabku sambil mengusap air mata.

"Aku tak mau tahu ya, kalo gara gara kamu anakku melepaskan tanggung jawab dan tampuk kepemimpinan bisnis kami! dia adalah Bendi Hartono, dia adalah orang yang bisa diandalkan!"

"Saya tidak tahu harus jawab apa, saya mohon jangan paksa saya Mi, saya gak sanggup," jawabku menangis sejadi jadinya.

"Aku akan datang ke rumahmu sore nanti, dan meminta pendapat bendi, kau bersiaplah. Dan ya, jika kau pikir aku menyukaimu maka kau sudah salah anggapan, Dari dulu aku tidak menyukai sosok Ibumu dan keluarga kalian yang selalu masuk ke dalam berita dan membuat keributan, aku tidak menyukai latar belakang kalian."

"Tapi, saya bukan Mama saya," jawabku.

"Tetap saja sifatnya akan menurun, tapi kau jangan senang dulu dan berpikir mampu melakukan apapun hanya karena anakku sangat mencintaimu, aku ada di sini mengawasimu."

"A-aku tak akan macam-macam, Mi."

"Kau juga kularang terus menerus keluar dari mansion, tanpa seizinku dan Bendi. Kau tidak boleh pergi, dan ingat, tutup mulutmu rapat-rapat, karena aku tak mau mendengar rumor tak sedap karena keluhanmu!" Dia langsung menutup telpon dengan kasar.

Aku langsung lemas mendengar ucapan mertua, kembali kubuka kontak dan hendak menghubungi Mama, namun entah kenapa aku tak menemukan nomor kontaknya, yang tersisa di sana hanya nama Bendi dan ibu mertua. Entah siapa yang melakukan ini pada ponselku.

Tentu geram sekali rasanya, diperlakukan seperti ini.

Lalu aku tersadar, bahwa diri ini sudah terjebak dalam penjara yang kubuat sendiri, aku memilih menikah untuk bahagia dan punya suami, namun ternyata aku akan dipasung dengan cara paling konyol di dunia ini.

Ah, mama, aku merindukanmu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status