Share

Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.
Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.
Author: Ria Abdullah

1. pernikahan

Cerbung ini adalah season kedua dari cerbung Karma: kupermalukan di Akad nikahnya, dengan tokoh utama Sakinah dan Letkol Suryadi.

Setelah pernikahan Imelda berlangsung mewah dan semarak dalam usia 19 tahun dia kemudian harus menjalani sebuah episode baru yang penuh tantangan dan emosi.

Akankah Imelda bertahan dan seperti apa lika-liku kehidupan yang penuh tantangan, apakah hidupnya akan lebih bahagia dari Sakinah atau malah penuh drama? bagaimana dia akan bertahan? Akankah Imelda sekuat Ibunya? Atau malah, menyerah.

Ikuti terus ya, 🌹🌹

Jangan lupa, Like, komen dan share ya Kak ❤️

2 .

Selepas acara, pernikahan bahagia yang megah, ketika ketika tamu-tamu berangsur berpamitan dan meninggalkan aula pernikahan, aku dan Bendi kemudian mengobrol berdua sembari menunggu giliran sisa anggota keluarga yang belum bergabung dan berfoto bersama kami.

"Kamu kenapa, Mas?"

"Wah, kamu manggil aku Mas?"

"Iya, bukankah, seorang istri harus menghormati suaminya?"

Raut wajah suamiku amat ceria mendengar jawaban seperti itu. Dia menggenggam tanganku dan tertawa kecil tapi aku masih heran kenapa ia terluka di hari pernikahan.

"Kenapa wajahmu bisa selebam itu, aku tidak percaya bahwa seseorang yang punya banyak anak buah bisa dipukul seperti itu, apa orang yang menyerangmu cukup banyak?" Aku berbisik tentang lebam di wajahnya.

"Iya, lumayan," jawabnya santai.

"Siapa?"

"Tidak usah tahu, dan tidak perlu membesarkan rasa penasaran karena itu tidak berguna sama sekali."

"Baiklah, tapi aku tetap akan bertanya beberapa saat lagi," jawabku sambil mengalihkan diri pada beberapa tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan pamit.

*

Mobil Merci hitam meluncur dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota menuju hotel di mana kita akan menghabiskan malam pertama.

Sesampainya di depan lobby hotel supir turun dan membukakan pintu untuk kami berdua lantas mempersilahkan kami untuk masuk dan dikawal oleh empat orang dari mobil yang berbeda.

Sewaktu memasuki lift aku bertanya padanya,

"Apa kita akan menghabiskan waktu bersama dengan keadaan dijaga?"

"Ya, tentu saja."

"Kenapa, kamu merasa tidak aman Mas?"

"Bukan aku yang kukhawatirkan, tapi keselamatan kamu."

"Apa kamu sudah menduga, apa yang akan terjadi padaku? Apakah bersuamikan seorang Bendi adalah hal yang akan mengancam hidupku?"

Tiba-tiba pertanyaanku membuat dia menatap dengan seksama lalu mendekat dan merangkul bahuku.

"Akan kulakukan hal yang terbaik untuk melindungi keselamatanmu."

"Bagaimana jika suatu hari aku hamil lalu seseorang datang menyerang dan mengancam keselamatan kita, apa yang harus aku lakukan?"

"Aku punya ratusan anak buah yang akan melindungimu sampai mempertaruhkan nyawa mereka, jadi kau tidak perlu khawatir."

*

Pintu kamar suite room hotel terbuka, aku dipersilahkan masuk dan pemandangan yang memanjakan mata langsung menyambut di dalam sana.

Ranjang yang ditata sedemikian rupa dengan taburan kelopak bunga mawar aneka warna, lilin-lilin dengan nyala temaram pemandangan kota yang megah dan indah serta nuansa romantis yang diciptakan membuatku bahagia.

"Aku pikir kita akan bermalam di rumah?"

"Malam yang istimewa harus dihabiskan di tempat yang istimewa," jawabnya sembari memeluk pinggangku dan mendaratkan kecupan di bahu yang terasa begitu hangat langsung di kulitku karena model kebaya yang kukenakan adalah model off shoulder.

"Mas ... Aku merasa gugup dengan apa yang akan terjadi malam nanti," bisikku membalikkan badan, lalu memeluknya.

"Tenang saja, aku bukan tipe orang yang akan terburu-buru sekarang duduklah di sini dan aku akan membantu melepas hiasan kepala mu," ujarnya dengan penuh kelembutan.

"Apakah seorang mafia bisa melepas siger kepala?"

"Ya, ampun, sebagai orang yang kerap menyamar aku dituntut untuk bisa menjadi apa saja, tukang masak, tukang cuci, tukang rias tukang bangunan, bahkan pria kaleng kaleng degan rok mini di jalanan?" Jawabnya sambil mendudukkanku dan mencoba mencabut satu persatu kembang goyang yang menghiasi sanggulku.

"Oh, ya, apa Mas Bendi pernah melakukan itu?"

"Tentu."

"Aku ingin tanya, seberapa orang yang sudah kau bunuh?"

"Aku tidak membunuh, aku hanya memberi mereka pelajaran agar tidak melakukan kesalahan yang sama mencoba mempermainkan dan bersikap tidak profesional dalam pekerjaan dan bisnis," jawabnya dengan tatapan tegas.

"Aku percaya, meski kau jahat bagi sebagian orang tapi aku yakin kau masih punya sisi terbaik dalam dirimu?"

"Ya, manusia punya sisi iblis dan malaikat didalam diri mereka, Aku ingin dengan kedatanganmu aku lebih mendominasikan sisi malaikatku."

"Terima kasih telah berjuang untuk memilihku dan sampai berada di titik ini," balasku pelan.

"Sama sama, Sayang," balasnya yang perlahan mendekatkan wajah, aku gugup, debaran jantungku berlomba, tak tau harus bagaimana di momen canggung ini, bahkan mengintip sudah sampai di mana dia, aku tak bisa.

Kutunggu kecupan itu mendarat di bibirku sementara napas ini tertahan di dalam sana.

"Apa kau gugup?" godanya sambil mengulum senyum.

"Astaga kau bertanya, Mas."

"Aku pikir tidak jadi karena kasihan padamu yang masih gugup lagipula ini masih siang, kau pasti tidak siap," cibirnya sambil beralih ke meja di mana minuman dan makanan kecil disajikan.

"Dasar mengesalkan," rutukku.

Pria itu membuka kancing beskap yang dia kenakan lantas meletakkannya di atas ranjang, membuka kain jarik yang jadi bawahan, dan kaus yang dia kenakan. Jantungku rasanya makin tak karuan melihat bentuk tubuhnya yang atletis dengan perut sixpack, sebuah tato elang tergambar di punggungnya dan memberikan kesan sangar sekaligus tegas. Dia berjalan membiarkanku yang ternganga menatap dan dia meraih handuk lalu berangsur ke kamar mandi.

*

Pukul, sembilan malam, aku sudah menunggu di ranjang, dengan piyama Hello Kitty memainkan ponselku, berharap ia segera bergabung denganku di ranjang. Namun, sejak petang tadi ia sibuk dengan laptop dan ponselnya.

Setiap aku bertanya ia hanya diam, dan menjawab sekenanya saja, seolah sengaja membuatku kesal, dan menguji kesabaranku.

Akhirnya kuputuskan untuk tidur saja tanpa banyak bertanya, kumatikan lampu dan ponsel lalu menarik selimut dengan hati kesal.

Pukul dua belas malam aku terbangun dan sadar bahwa lengan kekarnya melingkar di perutku, dia sudah tidur dengan dengkuran halus yang yang bisa kurasakan aliran napasnya di belakang leherku.

Ah, apakah dia tidak seantusias aku malam ini? Entahlah, mungkin lelah. Aku tak tahu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status