Share

3. kubiarkan saja

Aku tidak bertanya banyak kepada Bendi apa saja yang dibicarakan dengan ibunya, Aku khawatir bahwa semakin tahunya diri ini maka akan membuat diriku sakit hati. Jadi kuikuti saja kemana langkahnya yang mengajakku kembali pulang ke rumah yang sekaligus difungsikan sebagai markas anak buahnya.

Sore itu aku berinisiatif menemui orang tua yang masih berada di ibukota, aku ingin memanfaatkan waktu untuk mengambil hatinya sebelum dia kembali ke Singapura.

Aku ingin membuktikan bahwa aku juga menantu yang layak diterima, karenanya, setelah meminta izin Bendi dan diantar oleh seorang supir, aku meluncur ke sebuah villa mewah di pinggir kota.

Kupegang kuat di pangkuan, sebuah kotak berisi songket dengan sulaman benang emas yang akan kujadikan hadiah untuk ibu mertua, besar harapan agar dia menerima hadiah tersebut sebagai simbol bahwa aku sangat menghormatinya.

Sesampainya di sebuah vila mewah, yang dari luar saja sudah kelihatan estetik, aku langsung turun dari mobil dan menuju pintu utama lalu mengetuknya.

Ketika pintu terbuka seorang wanita yang merupakan pekerjaan rumah langsung menyapa.

"Selamat malam apakah ibunda Mas Bendi ada di rumah?"

Agak canggung yang sebenarnya karena aku tidak punya pengalaman sebelumnya dalam hal menemui seseorang dan mengambil hatinya.

"Ada, silakan masuk Mbak Imel," jawabnya yang kemudian mempersilahkanku untuk mengikutinya.

Sesampainya di sebuah ruang keluarga aku terpukau dengan tema kayu yang terlihat natural, kursi kulit sepanjang dinding, lampunya diset temaram dan nampak elegan, aku dipersilakan untuk menunggu kedatangan ibu mertua ddnganperasaan gugup tak menentu

"Selamat malam Mami," sapaku pelan saat wanita itu datang, aku mengulurkan tangan untuk mencium tangannya wanita itu terlihat tidak tersenyum atau pun menolak uluran tanganku.

"Kamu ngapain datang ke sini? Siapa yang nganterin kamu?"

Mungkin gaya bicaranya yang ketus dan to the point seperti ini ada ciri khasnya, meski terdengar kasar aku tetap harus bersikap sopan.

"Aku datang untuk mengunjungi Mami dan bersilaturahmi sebelum Mami pulang ke Singapura,"jawabku.

"Kau tidak perlu repot-repot, urus saja suamimu dengan benar," balasnya sembari menjatuhkan diri di sofa.

"Katakan saja apa yang kau inginkan?" lanjutnya dengan senyum sinis, aku jadi tak nyaman.

"Karena Mami pun berbicara secara langsung maka, izinkan saya untuk bicara secara langsung," balasku

"Ya."

"Aku dengar kemarin Mami sempat berdebat dengan mas Bendi tentang keberadaanku, aku dengar dia menolak Mami untuk menyuruhnya pergi, kalau boleh tahu dia hendak disuruh pergi ke mana?"

Wanita yang masih energik dan cantik itu langsung marah.

"Apa kebiasaan tidak sopan menguping seperti itu, adalah kebiasaanmu juga?"

"Bukan menguping tapi tidak sengaja mendengar, aku minta maaf untuk itu, aku juga minta maaf karena lancang tapi aku ingin tahu karena setelah pembicaraan itu mas Bendi terlihat resah," jawabku yang mencoba mengumpulkan keberanian menatap sorot mata tajam wanita itu.

Wanita dengan gaya elegan khas nyonya besar, berasal dari keturunan cina itu masih menatapku dengan sorot mata yang sulit artikan.

"Jika ada hal yang akan memberatkan pikiran Mami aku ingin mengatakannya padaku karena aku adalah menantu dan orang yang akan mengurus Mas Bendi selanjutnya setelah Mami," jawabku lirih.

Tanpa menjawab wanita itu hanya terkekeh pelan, lalu menghentikan tawanya dan kembali menatapku dengan tajam.

"Apapun yang aku lakukan pada anakku itu bukan urusanmu, kau jadilah istrinya dan hiduplah dengan nyaman semua hal yang menyangkut urusan dan privasi kami, kau tidak perlu mencampurinya!"

Agak tersinggung sebenarnya mendengar ungkapan semacam itu tapi aku harus menahan karena dia adalah wanita yang paling dicintai suamiku di dalam hidupnya.

"Aku hanya memohon pertolongan dan dukungan Mami agar bisa mendampingi Mas Bendi dengan paripurna," balasku

"Aku terkejut dan tidak menyangka bahwa kedewasaan yang sangat melebihi dari umur, bagus karena akan mudah diajak kerjasama dan berdiskusi, jika kau mempercayakanku sebagai orang tuamu juga maka kau pasti percaya bahwa Apa keputusan yang kuambil pada kehidupan kalian adalah hal yang terbaik?"

"Insya Allah saya percaya," jawabku mantap.

"Kalo begitu, aku menunggu pertemuan berikutnya di mana aku ingin membahas sesuatu yang penting bersama kalian berdua."

"Apa itu Mami, katakan saja sekarang?"

"Bisnisku saat ini mengalami kemunduran, begitu juga bendi yang setelah menikah mulai kehilangan koneksinya, aku ingin kita mengembalikan lagi kepercayaan mereka," ucap Mami sambil menyalakan rokoknya lalu menghisapnya membiarkan kepulan asap memenuhi ruangan.

"Bagaimana cara kita mengembalikan kepercayaan mereka mami?"

"Dengan cara menjalin hubungan, mengambil hati dan melakukan apa saja termasuk berkorban agar kembali mendapatkan simpati."

"Maaf aku belum mengerti karena belum adanya pengalaman dalam bisnis ini," balasku dengan dada yang mulai berdebar.

"Bisnis semacam ini adalah bisnis yang berbahaya tapi di sisi lain penghasilannya sangat besar, beberapa orang menggantungkan hidupnya di tangan kita, dan beberapa orang kehilangan nyawa, semua itu adil sebagai seleksi alam dan kau harus terbiasa untuk menguatkan perasaanmu."

"Jadi apa yang akan aku korbankan?"

"Rupanya kau sangat pintar menangkap omongan," balasnya dengan senyum seolah-olah ingin menyindir atau melecehkan namun, itu mungkin sudah gaya khas dia.

"Jadi apa yang harus saya lakukan?" ulangku.

"Lepaskan anakku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status