Share

133

Selagi hendak memejamkan mata, tiba tiba pintu kabar dibuka kasar dan Mas Didit datang dengan waja memberingas, ia mendekati ranjangku dan mencekal lengan ini dengan keras

"Kamu kan yang sengaja gugurin anakku?!"

"Astaghfirullah, kamu udah gila ya? Sejahat jahatnya wanita tak akan mau membunuh anak mereka!"

"Bohong! Kamu sengaja bikin onar dan banyak masalah, lari dan pergi ke sana kemari demi menggugurkan bayi itu, kau memang pantas dipenjara!"

Mendengar keributan, Mas Yadi yang tertidur di sofa langsung terbangun dan mendekat sigap.

"Apa-apaan kamu?!" tanya Mas Yadi mwnfekal tangan pria yang coba menyakitiku itu.

"Kamu gak usah ikut campur ketika sakinah sudah membunuh anakku!" teriak Mas Didit dengan mata membeliak, dia marah sekali rupanya sampai-sampai menabrakkan tubuhnya ke tubuh Mas Yadi.

"Ini adalah musibah dan kejinya kamu menuduh sakinah, lagian apa pedulimu sedang kamu sudah mesra dengan Kartika?!"

Kedua pria itu hampir saling mencekik andai kedua anakku tak mencegah dan mengingatkan bahwa ini tempat yang salah

"Tolong Om, ini buka tempatnya," pinta Imel pada kedua pria yang pernah ada dalam hidupku itu.

Kedua itu saling melepaskan dengan kasar.

"Lihatlah sakinah, kamu akan terus sakit-sakitan karena kualat padaku," ancam Mas Didit.

"Enak saja dia kualat, kau yang sialan!" balas Mas Yadi kembali maju dan siap memukul Mas Didit.

"Lihat sakinah, kau sudah membunuh anakku," ancamnya sambil menunjuk wajahku.

"Kau itu yang ingin membunuhnya di rumah sakit jiwa dulu, jangan cari ribut, padahal kau lah yang ingin anak itu mati bersama ibunya. Sayang, sakinah terlampau kuat," jawab Mas Yadi membela.

"Sial!" Mas Didit menendang pintu dan pergid dari tempat itu. Ketika ia membuka pintu pria itu langsung berpapasan dengan rombongan Bendi yang membawa sekeranjang buah. Sayangnya ekspresinya yang santai membuat Mas Didit makin murka.

"Permisi Om, mau lewat," ujar Bendi minta izin pada suamiku yang masih melintang di pintu.

"Kamu siapa, berondong Sakinah?" selidiknya mendelik, sedang pemuda berdasi kupu-kupu merah dan berkumis tebal palsu itu langsung tertawa.

"Bukan Om, saya pacarnya Imel," balasnya

"Astaga bocah tengil ini ...." Mas Didit mendelik curiga, rasa-rasanya ia tahu bahwa bendi adalah mafia paling berbahaya di kota.

"Boleh masuk kan?" tanyanya untuk kesekian kali.

"Silakan!" Pria itu langsung meninggalkan kamarku.

Selepas kepergian Didit pemuda yang gayanya lebih mirip Ranveer Singh itu, mendekat dan menyerahkan keranjang buah ke dekatku.

"Ini Nyonya."

"Apa ini?"

"Ya, buahlah, formalitas menjenguk calon mertua," balasnya pelan, membuatku tertawa di sela-sela kekhawatiranku.

"Mana Imel?" tanya mengedarkan pandangan.

"Ini aku," jawab putriku cemberut.

"Kenapa cemberut?"

"Kamu kelamaan," jawabnya, " sudah banyak yang terjadi selagi kamu gak ada," lanjutnya sewot.

"Hei-hei, aku juga banyak urusan dan bisnis, aku harus cari nafkah buat masa depan kita, eeaaa," ujarnya menggoda membuat anakku mengulum senyumnya.

"Masa depan apa? Siapa yang bilang mau berbagi masa depan denganmu?" jawabnya.

"Rona di wajahmu bilang begitu," jawab pemuda itu sambil mengerling pada Imelda.

"Astaga kalian berdua di depan Papa dan Mama," ujar Siksa menengahi.

"Mana mau aku jadi istri pria tengil ini," timpal Imel.

"Halah, nanti juga cinta," balas Bendi sambil tertawa.

"Ekhemmm ...." Mas Yadi berdeham karena merasa diabaikan oleh kami semua

"Ap kabar Om?" tanya Bendi sambil mendekat dan meraih tangan Mas Yadi namun Ayah Imel tak mau menjabat tangannya.

"Aku mau menjabat tanganmu di hari tangan itu sudah bersih," balas Mas Yadi dengan wajah serius.

Mendadak hawa dalam ruagan kami jadi hening, panas dan pengap, aku tahu, bahwa Mas Yadi masih belum menerima sepenuhnya pemuda itu karena track recordnya yang berbahaya.

"Baik, Om," jawab Bendi pelan sambil beringsut ke sofa dengan wajah kecewa, namun ia tetap menyembunyikan di depanku dan Imelda.

"Berubahlah agar aku tak ragu menyerahkan anakku, aku khawatir padanya, karena ia tak setangguh ibunya."

"Iya, Om. Meski itu butuh waktu, saya akan berusaha."

"Tunjukkan keseriusanmu, aku tak butuh uang, aku butuh komitmen dan jaminan bahwa anakku akan baik-baik saja denganmu, aku tahu jika selamanya kau dalam bisnis ini, maka musuh abadimu adalah ayah tiri anakku," lanjut Mas Yadi dengan suara yang lebih pelan dari tadi.

"Bsmisnis apa lagi Pa?" tanya Imelda dengan penasaran.

"Bicaralah dengan dia. Tanya dengan detail agar kau tahu dari awal," jawab Mas Yadi.

"Apaan si Bendi?"

"Logika aja, dia bisa melawan para gerombolan polisi dan penjahat, punya mobil, akses dan senjata, kau pikir dia siapa?!" Suara Mas Yadi kembali meninggi.

"Bend, kita harus bicara," ujar Imel memberi isyarat pada calon kekasihnya agar mengikutinya, dan mereka pun mereka

Pintu kamarku tertutup setelah kepergian mereka, Mas Yadi duduk pelan sambil membuang napasnya kasar. Dan sesaat pasangan mata kami bertemu.

"Mas ... Jangan terlalu keras pada anak anak, mereka tahu yang terbaik," bisikku pelan.

"Masalahnya Bendi itu ...." Mas Yadi hanya berdecak sambil mengibaskan tangan ke udara.

"Aku tahu, tapi bagaimana kalo pemuda itu ternyata setia dan berjodoh dengan anak kita?"

"Mana mungkin sakinah, kau tahu jenis pria seperti dia pasti hobi mengoleksi wanita. Mereka anggap wanita yang sulit ditaklukkan akan jadi tantangan yang menarik, entah kenapa kalian percaya sekali padanya," desah Mas Yadi.

"Dia sudah banyak bantu kita Mas," bujukku, " selama tak mengancam, kurasa, biarlah Imel mengenalnya secara pribadi," lanjutku.

"Terserah kau saja, tapi kalo Imel ada aapa apa di masa depan nanti, kau akan kusalahkan," jawabnya sembari merebahkan badan.

"Baiklah, aku pun akan berhati-hati dengan keputusanku Mas," jawabku.

Mas Yadi mencoba memejamkan mata di sofa, Siska sibuk dengan ponselnya, sedang aku meraih secarik kertas dan polpen yang ada di atas meja dekat tempat tidur dan menuliskan pesan rahasia.

*

Setengah jam kemudian kedua pasangan muda mudi itu kembali dari luar dan menemui kami di kamar.

"Semuanya baik baik saja?" tanyaku memperhatikan wajah mereka.

"Iya," jawab Imel pelan.

"Baiklah, Nyonya aku izin pulang dulu, ya," ujar Bendi menyalamiku.

"Oh ya, Bendi, saya ingin menitipkan sesuatu lewat kamu," ujarku pada pemuda itu.

"Apa itu?"

"Tolong kirimkan ini pada Letnan Heri, saya percaya padamu," bisikku.

"Apa Nyonya yakin percaya pada saya?" tanyanya mengangkat alis sebelah dan tersenyum.

"Insya Allah, dikarenakan kamu juga menjaga perasaan Imelda," jawabku.

"Jadi ini ujian lagi?"

"Bukan, hanya permintaan," balasku.

"Baiklah," jawabnya.

"Apa sih itu Ma, jangan aneh-aneh deh," ujar Imel mulai cemas.

"Ga apa apa Imel, hanya pesan biasa,"jawab Bendi.

"Tapi Nyonya juga harus hati-hati karena saya juga pelaku bisnis, jika nyonya berkomitmen untukku dan Imel, maka sayapun akan komitmen pada Nyonya dan keluarga," bisiknya pelan.

"Pasti itu Bendi."

"Baiklah, kita deal!" dia menyodorkan tangannya, dan aku membalas.

"Nego apaan sih?" tanya anakku tak sabar.

"Ada deh ... bocah SD gak usah tahu," jawab pemuda itu sambil berlalu.

"Dasar sakit!" Imel hendak melemparnya dengan buah apel sayang ia lebih sigap menghindar sehingga pintu tertutup dan suara tawa pemuda tadi masih terdengar dari luar hingga benar benar menghilang

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status