Selagi hendak memejamkan mata, tiba tiba pintu kabar dibuka kasar dan Mas Didit datang dengan waja memberingas, ia mendekati ranjangku dan mencekal lengan ini dengan keras
"Kamu kan yang sengaja gugurin anakku?!" "Astaghfirullah, kamu udah gila ya? Sejahat jahatnya wanita tak akan mau membunuh anak mereka!" "Bohong! Kamu sengaja bikin onar dan banyak masalah, lari dan pergi ke sana kemari demi menggugurkan bayi itu, kau memang pantas dipenjara!" Mendengar keributan, Mas Yadi yang tertidur di sofa langsung terbangun dan mendekat sigap. "Apa-apaan kamu?!" tanya Mas Yadi mwnfekal tangan pria yang coba menyakitiku itu. "Kamu gak usah ikut campur ketika sakinah sudah membunuh anakku!" teriak Mas Didit dengan mata membeliak, dia marah sekali rupanya sampai-sampai menabrakkan tubuhnya ke tubuh Mas Yadi. "Ini adalah musibah dan kejinya kamu menuduh sakinah, lagian apa pedulimu sedang kamu sudah mesra dengan Kartika?!" Kedua pria itu hampir saling mencekik andai kedua anakku tak mencegah dan mengingatkan bahwa ini tempat yang salah "Tolong Om, ini buka tempatnya," pinta Imel pada kedua pria yang pernah ada dalam hidupku itu. Kedua itu saling melepaskan dengan kasar. "Lihatlah sakinah, kamu akan terus sakit-sakitan karena kualat padaku," ancam Mas Didit. "Enak saja dia kualat, kau yang sialan!" balas Mas Yadi kembali maju dan siap memukul Mas Didit. "Lihat sakinah, kau sudah membunuh anakku," ancamnya sambil menunjuk wajahku. "Kau itu yang ingin membunuhnya di rumah sakit jiwa dulu, jangan cari ribut, padahal kau lah yang ingin anak itu mati bersama ibunya. Sayang, sakinah terlampau kuat," jawab Mas Yadi membela. "Sial!" Mas Didit menendang pintu dan pergid dari tempat itu. Ketika ia membuka pintu pria itu langsung berpapasan dengan rombongan Bendi yang membawa sekeranjang buah. Sayangnya ekspresinya yang santai membuat Mas Didit makin murka. "Permisi Om, mau lewat," ujar Bendi minta izin pada suamiku yang masih melintang di pintu. "Kamu siapa, berondong Sakinah?" selidiknya mendelik, sedang pemuda berdasi kupu-kupu merah dan berkumis tebal palsu itu langsung tertawa. "Bukan Om, saya pacarnya Imel," balasnya "Astaga bocah tengil ini ...." Mas Didit mendelik curiga, rasa-rasanya ia tahu bahwa bendi adalah mafia paling berbahaya di kota. "Boleh masuk kan?" tanyanya untuk kesekian kali. "Silakan!" Pria itu langsung meninggalkan kamarku. Selepas kepergian Didit pemuda yang gayanya lebih mirip Ranveer Singh itu, mendekat dan menyerahkan keranjang buah ke dekatku. "Ini Nyonya." "Apa ini?" "Ya, buahlah, formalitas menjenguk calon mertua," balasnya pelan, membuatku tertawa di sela-sela kekhawatiranku. "Mana Imel?" tanya mengedarkan pandangan. "Ini aku," jawab putriku cemberut. "Kenapa cemberut?" "Kamu kelamaan," jawabnya, " sudah banyak yang terjadi selagi kamu gak ada," lanjutnya sewot. "Hei-hei, aku juga banyak urusan dan bisnis, aku harus cari nafkah buat masa depan kita, eeaaa," ujarnya menggoda membuat anakku mengulum senyumnya. "Masa depan apa? Siapa yang bilang mau berbagi masa depan denganmu?" jawabnya. "Rona di wajahmu bilang begitu," jawab pemuda itu sambil mengerling pada Imelda. "Astaga kalian berdua di depan Papa dan Mama," ujar Siksa menengahi. "Mana mau aku jadi istri pria tengil ini," timpal Imel. "Halah, nanti juga cinta," balas Bendi sambil tertawa. "Ekhemmm ...." Mas Yadi berdeham karena merasa diabaikan oleh kami semua "Ap kabar Om?" tanya Bendi sambil mendekat dan meraih tangan Mas Yadi namun Ayah Imel tak mau menjabat tangannya. "Aku mau menjabat tanganmu di hari tangan itu sudah bersih," balas Mas Yadi dengan wajah serius. Mendadak hawa dalam ruagan kami jadi hening, panas dan pengap, aku tahu, bahwa Mas Yadi masih belum menerima sepenuhnya pemuda itu karena track recordnya yang berbahaya. "Baik, Om," jawab Bendi pelan sambil beringsut ke sofa dengan wajah kecewa, namun ia tetap menyembunyikan di depanku dan Imelda. "Berubahlah agar aku tak ragu menyerahkan anakku, aku khawatir padanya, karena ia tak setangguh ibunya." "Iya, Om. Meski itu butuh waktu, saya akan berusaha." "Tunjukkan keseriusanmu, aku tak butuh uang, aku butuh komitmen dan jaminan bahwa anakku akan baik-baik saja denganmu, aku tahu jika selamanya kau dalam bisnis ini, maka musuh abadimu adalah ayah tiri anakku," lanjut Mas Yadi dengan suara yang lebih pelan dari tadi. "Bsmisnis apa lagi Pa?" tanya Imelda dengan penasaran. "Bicaralah dengan dia. Tanya dengan detail agar kau tahu dari awal," jawab Mas Yadi. "Apaan si Bendi?" "Logika aja, dia bisa melawan para gerombolan polisi dan penjahat, punya mobil, akses dan senjata, kau pikir dia siapa?!" Suara Mas Yadi kembali meninggi. "Bend, kita harus bicara," ujar Imel memberi isyarat pada calon kekasihnya agar mengikutinya, dan mereka pun mereka Pintu kamarku tertutup setelah kepergian mereka, Mas Yadi duduk pelan sambil membuang napasnya kasar. Dan sesaat pasangan mata kami bertemu. "Mas ... Jangan terlalu keras pada anak anak, mereka tahu yang terbaik," bisikku pelan. "Masalahnya Bendi itu ...." Mas Yadi hanya berdecak sambil mengibaskan tangan ke udara. "Aku tahu, tapi bagaimana kalo pemuda itu ternyata setia dan berjodoh dengan anak kita?" "Mana mungkin sakinah, kau tahu jenis pria seperti dia pasti hobi mengoleksi wanita. Mereka anggap wanita yang sulit ditaklukkan akan jadi tantangan yang menarik, entah kenapa kalian percaya sekali padanya," desah Mas Yadi. "Dia sudah banyak bantu kita Mas," bujukku, " selama tak mengancam, kurasa, biarlah Imel mengenalnya secara pribadi," lanjutku. "Terserah kau saja, tapi kalo Imel ada aapa apa di masa depan nanti, kau akan kusalahkan," jawabnya sembari merebahkan badan. "Baiklah, aku pun akan berhati-hati dengan keputusanku Mas," jawabku. Mas Yadi mencoba memejamkan mata di sofa, Siska sibuk dengan ponselnya, sedang aku meraih secarik kertas dan polpen yang ada di atas meja dekat tempat tidur dan menuliskan pesan rahasia. * Setengah jam kemudian kedua pasangan muda mudi itu kembali dari luar dan menemui kami di kamar. "Semuanya baik baik saja?" tanyaku memperhatikan wajah mereka. "Iya," jawab Imel pelan. "Baiklah, Nyonya aku izin pulang dulu, ya," ujar Bendi menyalamiku. "Oh ya, Bendi, saya ingin menitipkan sesuatu lewat kamu," ujarku pada pemuda itu. "Apa itu?" "Tolong kirimkan ini pada Letnan Heri, saya percaya padamu," bisikku. "Apa Nyonya yakin percaya pada saya?" tanyanya mengangkat alis sebelah dan tersenyum. "Insya Allah, dikarenakan kamu juga menjaga perasaan Imelda," jawabku. "Jadi ini ujian lagi?" "Bukan, hanya permintaan," balasku. "Baiklah," jawabnya. "Apa sih itu Ma, jangan aneh-aneh deh," ujar Imel mulai cemas. "Ga apa apa Imel, hanya pesan biasa,"jawab Bendi. "Tapi Nyonya juga harus hati-hati karena saya juga pelaku bisnis, jika nyonya berkomitmen untukku dan Imel, maka sayapun akan komitmen pada Nyonya dan keluarga," bisiknya pelan. "Pasti itu Bendi." "Baiklah, kita deal!" dia menyodorkan tangannya, dan aku membalas. "Nego apaan sih?" tanya anakku tak sabar. "Ada deh ... bocah SD gak usah tahu," jawab pemuda itu sambil berlalu. "Dasar sakit!" Imel hendak melemparnya dengan buah apel sayang ia lebih sigap menghindar sehingga pintu tertutup dan suara tawa pemuda tadi masih terdengar dari luar hingga benar benar menghilangBetapa heboh acara breaking news TV hari ini, skandal seorang petinggi polisi di daerahku, video mabuk dan berjoget dengan wanita beredar dan siapa lagi orangnya kalau bukan Didit Hendarto.Parahnya lagi, narasumber yang mengungkap fakta sebenarnya adalah sahabatnya sendiri, Letnan Heri, menurut wawancara ia mengungkap itu karena sudah malu dengan isu yang berembus liar dan jengah dengan kebobrokan sahabatnya. Menurutnya dia lelah dikaitkan dengan Kompol Didit terlebih dia juga punya masalah pribadi, ayahnya yang juga tersangkut masalah hukum serius. Ditambah harga dirinya yang tercoreng karena dianggap lolos seleksi akademi karena suap.Melihat itu aku gembira bukan kepalang, Tak kusangka bahwa rencanaku berjalan lancar dan memukul tepat sasaran. Didit dan Kolonel William sudah masuk ke dalam perangkap yang kubuat dengan umpan kesalahan mereka sendiri."Wah, apa kini mereka saling menusuk?" ungkap Mas Yadi sambil mengelap kopinya."Kenapa memangnya, apa itu mengejutkan?""Iya, aku t
Aku sudah kembali ke rumah dijemput oleh Bendi dan kedua anakku. Sesampainya di sana mereka langsung mengantarku ke sofa ruang tengah yang bentuknya memanjang sehingga aku bisa merebahkan dir sebentar.Mas Yadi juga kembali, wajahnya terlihat lelah dan mengantuk sekali sehingga aku memintanya untuk beristirahat di kamar saja.Sedang aku dan kedua anakku juga kekasihnya duduk di sofa ruang tengah."Nyonya, aku rasa Anda memang lebih baik tidak berpikir atau beraktivitas kelebihan dulu karena kondisi kesehatan anda," ujar pemuda itu sembari duduk di kursi seberangku."Aku rasa begitu, tapi aku minta padamu agar kau mencari bukti lab milikku untuk menjerat Didit lebih dalam lagi.""Sebenarnya tanpa bukti itupun dia sudah dijerat Nyonya," balas Bendi."Kalau cuma mabuk dan main perempuan itu hanya akan membuat dia disanksi sementara, kemungkinan terburuk dia dipecat tapi dia juga punya banyak jasa dan pendukung, sehingga Pak Kapolda pasti mempertimbangkan hal itu. Lain halnya jika dia pun
Pukul dua malam, Dor! Tiba tiba listrik rumah padam dan suasana menjadi gelap gulita.Tembakan di atap rumah menggema dan mengagetkan semua orang yang ada di dalamnya. Aku langsung tersentak dari tempat tidur dan pintu seketika terbuka. Mas Yadi segera datang memastikan keadaanku dan anak anak yang tidur bergelung di selimut yang sama, kami selalu waspada."Mereka datang lagi, sepertinya ini kode yag diberikan Didit pada anggota rahasianya untuk menuntaskan kita," bisik Mas Yadi sambil memberi isyarat agar kami perlahan turun dari ranjang dan merangkak pelan di lantai mencari tempat yang lebih aman dari tembakan.Heran sekali, di lingkungan komplek ini mereka berani berbuat demikian, agak tidak masuk akal keberaniannya.Nampaknya mereka adalah perusuh yang dibayar untuk membawa teror. Asumsiku, tentang ini adalah mungkin karena sudah merasa kepalang tanggung bermasalah maka Didit memerintah beberapa penjahat bayaran untuk menghabisi kami semua, sehingga ia menuntaskan dendam d
Pukul dua malam, Dor! Tiba tiba listrik rumah padam dan suasana menjadi gelap gulita.Tembakan di atap rumah menggema dan mengagetkan semua orang yang ada di dalamnya. Aku langsung tersentak dari tempat tidur dan pintu seketika terbuka. Mas Yadi segera datang memastikan keadaanku dan anak anak yang tidur bergelung di selimut yang sama, kami selalu waspada."Mereka datang lagi, sepertinya ini kode yag diberikan Didit pada anggota rahasianya untuk menuntaskan kita," bisik Mas Yadi sambil memberi isyarat agar kami perlahan turun dari ranjang dan merangkak pelan di lantai mencari tempat yang lebih aman dari tembakan.Heran sekali, di lingkungan komplek ini mereka berani berbuat demikian, agak tidak masuk akal keberaniannya.Nampaknya mereka adalah perusuh yang dibayar untuk membawa teror. Asumsiku, tentang ini adalah mungkin karena sudah merasa kepalang tanggung bermasalah maka Didit memerintah beberapa penjahat bayaran untuk menghabisi kami semua, sehingga ia menuntaskan dendam d
Dari semua perkara yang bergulir, dan menumpuk satu di atas yang lainnya, aku kemudian tahu bahwa Didit yang telah merencanakan segalanya dan dia sedang bersiap menghadapi tuntutan hukum.Peristiwa penyuntikan diriku dengan obat ilegal yang hampir menyebabkan kelumpuhan juga akhirnya terungkap perlahan ke permukaan. Perlahan satu persatu topeng mas Didit dikuliti oleh orang-orang yang pernah dia sakiti, semua aib dan rahasianya terungkap dan memperburuk suasana.Lalu ada fakta baru yang aku temukan di proses penyelidikan bahwa akar dari semua petaka ini berasal darinya.Semua yang telah terjadi dialah yang merencanakannya, artinya konspirasi ini sudah diatur dari awal."Mengapa Anda berencana membuat lumpuh wanita itu?" Hakim ketua yang yang pertama kali bertanya kepada Mas Didik karena agenda persidangan hari ini adalah membahas segala kejahatannya padaku."Aku sakit hati pada wanita itu dan dendam padanya," ujarnya yang menjawab pertanyaan hakim di kursi terdakwa."Apa awalnya, An
"Lalu kami ingin tahu, siapa yang telah menyakiti Nyonya Sakinah di rumah sakit, siapa Dokter yang Anda tugaskan?""Teman saya.""Apakah dia sungguh seorang dokter?""Ia petugas medis juga," jawab Mas Yadi."Apa dia ahli kejiwaan?""Sebenarnya dia sering merawat ....""Katakan saja iya atau tidak.""Hmm, Mantri Pak.""Bukan ahli jiwa?""Bukan." Ia menyeringai seperti orang gila "Lalu obat apa yang dia suntikkan?""Sejenis obat penenang dan obat tidur, hanya itu saja.""Mengapa Anda menganggap bahawa obat penenang atau obat tidur adalah perkara yang sepele, saudara hampir membunuh," ujar Pak Hakim menggelengkan kepala.Nampaknya sejak kematian Bella Mas Didit sudah kehilangan akalnya, dia bahkan mengatakan semua itu dengan lantang dan berani, seolah tak takut akan ancaman hukuman yang mungkin memberatkan. Ah, ya Tuhan."Lalu gerombolan penjahat yang sampai saat ini msih buron, karena sudah menyerang rumah nyonya sakinah, apakah mereka juga adalah suruhan anda?""Iya, saya menyuruh mer
Aku kecewa, dan semakin memikirkan semua rentetan kejadian ini, mengumpulkan peristiwa demi peristiwa dan merangkainya seperti puzzle hingga mendapatkan kesimpulan sempurna, aku sungguh akan gila!Jika dihitung semua kesalahan Suryadi menyakitiku, tentu, aku sangat dendam padanya. Namun, si sisi lain dia juga berusaha membuktikan dirinya layak untuk diberi kesempatan, dengan hampir mati ketika mencoba menyelamatkanku di rumah sakit isolasi.Mestinya tidak akan ada hal yang membuatku bimbang karena ini sudah jelas. Lagipula, manusiawi seseorang melakukan khilaf, tapi ... aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan hati.Musuh menjadi teman, teman menjadi musuh, dan orang orang asing yang menurut orang lain jahat adalah penyelamat, sebuah skema kejadian dan hubungan yang lucu dalam hidupku. Entah apa salah dan dosaku di kehidupan sebelumya, hingga diri ini berada dalam takdir yang begitu nelangsa."Ah, Tuhan, lelah rasanya berada di titik ini, berada dalam permainan yang menguras tenag
Pagi ini, aku yang sedang menyiapkan sarapan tiba tiba dikejutkan dengan ketukan pintu. Agak heran karena pagi pagi kami telah didatangi seseorang.Kubuka pintu dan sosok Heri berdiri di sana.Dia menatap dingin sementara aku tak tahu harus bersikap seperti apa."Silakan masuk," ujarku dengan nada datar."Tidak terkejut dengan kedatangan saya kan?""Tidak. Aku sudah biasa."Kusuruh dia duduk di kursi kayu klasik peninggalan mertua sementara aku langsung memanggil Mas Yadi untuk menemui Heri. Bagaimana pun ia juga mantan bawahannya Heri.Dari dapur kuawasi gerak gerik pria itu yang nampak menjabat tangan Mas Yadi lalu mengobrol-ngobrol dengan santai. Tidak menunjukkan bahwa kami sedang bermusuhan.Kuletakkan dua cangkir kopi lalu bergabung di meja bersama Heri."Nyonya sakinah, saya ingin bicara," ujarnya membuka percakapan."Apa itu?""Bersihkan nama ayah saya, saya mohon ... sebagai balasannya saya sudah menjamin bahwa Anda akan aman dan pergilah ke luar negeri agar wartawan da