Share

134

Betapa heboh acara breaking news TV hari ini, skandal seorang petinggi polisi di daerahku, video mabuk dan berjoget dengan wanita beredar dan siapa lagi orangnya kalau bukan Didit Hendarto.

Parahnya lagi, narasumber yang mengungkap fakta sebenarnya adalah sahabatnya sendiri, Letnan Heri, menurut wawancara ia mengungkap itu karena sudah malu dengan isu yang berembus liar dan jengah dengan kebobrokan sahabatnya. Menurutnya dia lelah dikaitkan dengan Kompol Didit terlebih dia juga punya masalah pribadi, ayahnya yang juga tersangkut masalah hukum serius. Ditambah harga dirinya yang tercoreng karena dianggap lolos seleksi akademi karena suap.

Melihat itu aku gembira bukan kepalang, Tak kusangka bahwa rencanaku berjalan lancar dan memukul tepat sasaran. Didit dan Kolonel William sudah masuk ke dalam perangkap yang kubuat dengan umpan kesalahan mereka sendiri.

"Wah, apa kini mereka saling menusuk?" ungkap Mas Yadi sambil mengelap kopinya.

"Kenapa memangnya, apa itu mengejutkan?"

"Iya, aku tidak menyangka," balas Mas Yadi dengan raut seriusnya.

"Kau akan lebih terkejut lagi ketika tahu bahwa itu adalah perbuatan ku," bisikku pelan sambil tersenyum jahat.

"Hah?!" Mas Yadi terkejut sampai matanya membulat sempurna.

"Ba-bagaimana bisa sedetail itu, kau su-sungguh bisa memanipulasi orang lain dan membuat mereka membenci?"

"Semua orang yang pernah berurusan percaya bahwa aku berbahaya, kau masih ragu?"

"Eh, eng ... Iya juga," jawabnya sambil mengusap wajah. "... tapi aku masih belum percaya bahwa mereka kini saling menyedang dan jadi tertawaan warga kota," ujar Mas Yadi sambil menunjuk layar TV yang terpampang di dinding dimana laporan penangkapan Mas Didit sedang berlangsung.

Dia terlihat digiring oleh segerombolan provost dan dinaikkan ke atas mobil patroli. Ketika sesi wawancara dengan Kapolda berlangsung, seorang wartawan bertanya apa sanksi yang mungkin akan dia berikan dan Pak Kapolda menjawab bahwa dia tidak akan segan-segan mau memecat Kompol Didik jika terbukti 100% bersalah.

"Bagus, sampai sejauh ini aku sudah berhasil memecat 2 orang petinggi dan dua orang lagi sedang dalam pemeriksaan." Aku tersenyum sambil menggumam sendiri.

"Sakinah, kau tidak takut sama sekali, bahwa mereka semua akan membunuhmu?"

"Apa .... aku tidak bisa mengandalkanmu untuk melindungiku, Mas?"

"Itu kalo aku suamimu," jawabnya sambil melirikku dengan ekor matanya.

"Hmmm, jadi modusmu sekarang ....?"

tanyaku sambil membulatkan mata,

Kami saling berpandangan dan tertawa bersamaan.

Lalu pandangan kami kembali tertuju ke layar TV di mana mas di terlihat di seret paksa sementara wartawan memaksa untuk meminta keterangannya.

"Ini fitnah, ini fitnah yang sungguh keji, saya tidak menerima ini?"

"Bagaimana dengan bukti video yang beredar bahwa itu memang terlihat seperti anda?" tanya Wartawan itu lagi.

"Bisa jadi itu hanya mirip, belum ada konfirmasi yang mengatakan bahwa itu saya, jadi tidak seharusnya saya ditahan seperti ini, yang pasti, saya akan menempuh jalur hukum, berusaha mengungkap dan membersihkan nama baik saya."

Mobil polisi itu lalu terlihat pergi diikuti oleh beberapa mobil lain dan gerombolan anggota yang mengendarai motor. Nampaknya pagi itu terjadi kehebohan karena terlihat di komplek rumahku banyak warga yang berkumpul menonton di kanan dan kiri jalan. Mungkin mereka tidak percaya bahwa seorang anggota polisi yang sudah tinggi pangkatnya bisa melakukan perbuatan yang bisa mencoreng nama baiknya sendiri.

Kembali lagi pada logika, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, manusia tidak pernah luput dari sebuah kekeliruan dan kehilafan.

*

"Lalu apa rencanamu, Bagaimana jika anggota Didit yang membelanya berusaha mengatakan bahwa bukti itu hanya rekayasa, dan Didit kembali dibebaskan lagi?"

"Ayolah, Mas, bukti sudah banyak. Kamu juga salah satu dari orang yang bisa menjadi saksi sedang aku yang sakit bisa menjadi bukti. Aku yakin hasil tes lab yang sebenarnya masih mereka simpan, di hari aku menemukan hasil tes kandungan obat yang mereka suntikan di hari itulah dia tidak akan mampu lagi melawan."

"Apa rencanamu untuk menemukan hasil laporan itu?"

"Kamu adalah seorang Dandim Apa kau kehilangan kemampuan untuk menyusun strategi?"

Tanyaku heran sambil mendecak kesal.

"Memangnya kau yakin aku akan berkorban lebih jauh untukmu?" godanya sambil mengulum senyum.

"Lantas kau tak mau menolongku?"

"Ada caranya," ujarnya memutar bola mata dengan jenaka. Dia terlihat menggemaskan, jauh perubahan semenjak ia keluar dari penjara.

"Apa?!" Aku mulai tak sabar.

"Kita harus hidup kembali di dalam satu rumah."

"Ah, itu lagi, itu lagi." Aku melemparnya dengan bantal dan dia hanya tertawa.

"Aku akan menolongmu asal kau setuju dengan syaratku," balasnya makin terpingkal-pingkal.

"Malas!" kubalikkan badan dan merebahkan kembali tubuhku ke ranjang.

Sementara itu, pikiranku terus berputar bagaimana cara agar aku bisa memenangkan perkara ini dengan memukul telak Didit, sehingga dia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk bebas atau keringanan di pengadilan.

Akunyqkin, laporan hasil lab tentang suntikan melumpuhkan itu disembunyikan di suatu tempat, belum lagi surat saham berharga milikkku yang hilang sebagiannya. Namun, aku beruntung karena kebunku tak sampai di jual olehnya.

Kebun itu, satu satunya tempat untuk mengais pundi rupiah dan menyokong kegiatanku selama ini untuk mendapatkan bukti. Aku harus mempertahankan semua itu.

Orang yang akan aku andalkan berikutnya adalah pemuda yang sedang dekat dengan anakku Imelda. Tapi, aku juga harus berhati-hati kepadanya, karena bagaimanapun seorang Mafia selalu mengutamakan jiwa bisnis yang liar, intrik dan bagaimana cara bermain aman tanpa diketahui siapapun. Tidak melulu soal uang mereka juga memperdulikan kehormatan dan bagaimana cara untuk menjadi menang, apapu caranya! itulah hal yang akan membuatku lebih yakin untuk menggunakan jasa Bendi.

"Kenapa kau diam saja?" Pertanyaan Mas Yadi menyatakan lamunanku.

"Seperti biasa aku sedang menyusun strategi," jawabku pelan.

"Astaga .... Semenjak aku berpoligami dengan Kartika kau sudah menjelma menjadi ular berbisa. Ayolah, kembalilah menjadi Sakinah yang dulu ibu rumah tangga biasa yang mencintai rumah dan tanaman hiasnya."

"Hahaha, sudah kepalang tanggung Mas, kakiku sudah kotor oleh lumpur. Aku harus menempuh jalan panjang agar bisa keluar dari kubangan ini. Aku harus menghukum orang yang bersalah, juga menebus perbuatanku padamu."

"Aku tidak pernah meminta kau menebusnya Sakinah, aku hanya ingin kau aman dan tenang seperti sedia kala," jawabnya.

"Aku berencana untuk mengembalikan posisimu, bagaimanapun caranya aku ingin kau diangkat kembali sebagai komandan Kodim."

"Itu mustahil sakinah, kau menyalurkan bukti bahwa aku korupsi, padahal meski berkali-kali aku mengatakan bahwa dana itu sudah digunakan semestinya dan aku tidak mengambil sepeserpun, tapi karena matamu sudah buta oleh amarah, kau melakukan apapun untuk bisa membuktikan bahwa bukti yang kau sodorkan adalah bukti yang sebenarnya."

"Apa kau masih dendam, Mas, aku tak akan mencegahnya," tanyaku lirih.

"Aku tidak dendam, justru aku kagum kepada potensi istriku, tapi tolonglah, mari lupakan ini dan cukup sampai di sini saja."

"Izinkan sekali lagi untuk memberi hukuman pada Didit dan mengembalikan kehormatanmu, sekali pun kau tak akan diangkat lagi. Setidaknya para bawahan masih membungkukkan badan mereka ketika berjumpa denganmu. Aku akan buktikan bahwa bukti tuduhan sebelumnya palsu dan sebagai penebusanaku rela dihukum."

"Aku tidak mau itu, aku hanya ingin bahagia bersama keluarga kecilku, aku tidak mau kehilangan kesempatan yang dulu sudah terlewatkan. Kusadari ternyata kalian lebih berharga dari jabatan atau berlian termahal di dunia ini." Ia menggenggam tanganku sambil mengangguk, meyakinkanku dengan isyarat matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status