Share

135

Aku sudah kembali ke rumah dijemput oleh Bendi dan kedua anakku. Sesampainya di sana mereka langsung mengantarku ke sofa ruang tengah yang bentuknya memanjang sehingga aku bisa merebahkan dir sebentar.

Mas Yadi juga kembali, wajahnya terlihat lelah dan mengantuk sekali sehingga aku memintanya untuk beristirahat di kamar saja.

Sedang aku dan kedua anakku juga kekasihnya duduk di sofa ruang tengah.

"Nyonya, aku rasa Anda memang lebih baik tidak berpikir atau beraktivitas kelebihan dulu karena kondisi kesehatan anda," ujar pemuda itu sembari duduk di kursi seberangku.

"Aku rasa begitu, tapi aku minta padamu agar kau mencari bukti lab milikku untuk menjerat Didit lebih dalam lagi."

"Sebenarnya tanpa bukti itupun dia sudah dijerat Nyonya," balas Bendi.

"Kalau cuma mabuk dan main perempuan itu hanya akan membuat dia disanksi sementara, kemungkinan terburuk dia dipecat tapi dia juga punya banyak jasa dan pendukung, sehingga Pak Kapolda pasti mempertimbangkan hal itu. Lain halnya jika dia punya pelanggaran lain, dalam artian ... Itu pelanggaran berat, berupa tindak kriminal."

"Anda tahu, bahwa apapun bisa dilakukan, bukti bisa dihilangkan, lalu dia memanipulasi bukti baru, saksi bisa dibungkam, lalu dia menghadirkan saksi baru yang justru akan memberatkan Anda. Ketika persidangan anda tuduhan anda tidak terbukti sama sekali, maka, Nyonya yang akan dihukum karena terjerang pasal pencemaran nama baik, coba pikirkan," pintanya dengan nada pelan.

"Benar apa yang dikatakan Bendi, Ma. Sebaiknya Mama ikhlasin aja, kita akan pergi juga kota ini, melupakan semuanya," ujar Imelda.

"Nyonya Sakinah, Siska dan Pak Yadi saja yang pergi, sedang kamu tetap di sini," sela Bendi di tengah percakapan kami.

"Astaga ... Kau ini selalu merusak momen Bendi!" Imel membentaknya membuat pria itu hanya terdiam dan menelan ludah.

"Bendi, sekali ini saja, menyusuplah di antara pendukung Didit dan temukan di mana bukti yang mereka sembunyikan."

"Susah nyonya, kalaupun bisa itu membutuhkan waktu lama. Aku harus berkenalan dulu, membaur, lalu membuktikan kesetiaanku pada kelompok mereka, dan tantabgan yabg lebih besar dari itu adalah mereka hanya berteman dengan orang yang profesinya sama."

"Suruh anak buahmu untuk menyamar jadi pelayan," pintaku.

"Masalahnya mereka tak punya markas Nyonya, kalaupun meyusup ke salah satu dari mereka kita akan semakin butuh waktu lama untuk mendapatkan bukti itu."

Ah, mendengarnya aku hanya bisa menghela napas lemah, aku sadar bahwa ini tidak pernah mudah.

"Dari itu saya usulkan agar Nyonya melepaskan kasus ini, biarlah sisanya ditangani polisi. Kurasa Kompol Didit tidak punya kesempatan untuk kembali ke posisinya karena khalayak ramai sudah tahu keburukannya," bujuk Bendi.

"Baiklah, kalo begitu, aku akan mencoba melepaskannya ...."

"Kolonel William sudah diperiksa atas dugaan suapnya, Heri sudah ditangguhkan, kini Kompol Didit. Sisanya mereka akan dapatkan karma mereka."

"Aku salut dengan kebijaksanaanmu, kau sungguh pintar. Tapi aku belum membereskan Kartika," ujarku sambil melipat tangan di dada.

"Nyonya ... Wanita itu sedang menghabiskan hari untuk menemui ajalnya, Anda tidak perlu buang buang waktu. Setelah kehilangan Pak Yadi, kini ia juga kehilangan Didit yang akan masuk penjara, kurasa dia akan sangat merana ditambah kedua anaknya tidak berada dalam pelukannya, kurasa, itu adalah hukuman yang sebenarnya."

"Mungkin aku hanya perlu menertawainya."

"Jangan buang waktu, fokus saja pada kesehatan Anda."

"Lalu bagaimana jika kini justru mereka yang mengincar diriku?"

"Masalahnya akan panjang kalo begitu, tapi kita berharap aja bahwa ini akan usai," jawabnya.

"Aka usai ... Mereka tak akan semudah itu melepaskku, Bendi. Tidak bermasalah dengan mereka pun aku dimusuhi apalagi kini terang-terangan akulah yang menyebabkan mereka ditangkap."

"Itupun kalo mereka tahu bahwa nasib sial mereka adalah perbuatan Nyonya. Anak buahku akan menjaga Nyonya dan anak Nyonya, saya rasa tuntaslah sudah," pungkasnya.

"Baiklah, jika itu menurutmu," jawabku.

"Semua orang sudah menemui karma mereka, sekarang giliran Nyonya untuk kembali ke titik awal, di mana nyonya hanya seorang ibu dan istri biasa yang tidak terjerat banyak masalah. Nikmati hidup yang hanya sesaat ini, Nyonya."

"Tak kusangkau kau sangat manis, Bendi," ujar Imel menggodanya.

"Tentu saja, aku akan lebih manis ketika bersamamu, Sayang," jawabnya sambil mengedipkan mata, sedang

Imel langsung melemparnya dengan bantal sofa.

Kami yang melihat langsung tertawa, aku ingin Imel segera menika denganku Nyonya,". pintanya yang langsung membuat kami bungkam seketika.

"Tapi ... Imel masih sekolah ...."

"Sebentar lagi tamat, masa kuliah bisa ditempuh selagi kami sudah berumah tangga."

"Pernikahan dini seperti ini amat ditentang Mas Yadi, dia ingin anaknya sukses dengan pelajaran dan karir mereka, baru menikah," ujarku pelan.

"Tetapi aku ingin tahu sebenarnya Ine bagaimana, apakah dia sendiri menolak lamaran atau bersedia, bagaimana Imel?"

Imel yang ditanya hanya terdiam, untuk beberapa saat terdiam.

"Saya baca dibuku agama bahwa diamnya seorang gadis adalah persetujuan, maka saya rasa saya harus segera membawa rombongan untuk meminangnya," ujar Bendi dengan tatapan penuh makna pada Imelda.

"Aku mau kuliah dulu, Ben," ucap Imel lirih

"Kau bisa kuliah selagi kau jadi istriku, akan ada pengawal yang mengantar jemput dan menjagamu, kau lebih terjamin. Aku sudah dewasa dan butuh seseorang di sampingku."

"Kenapa tidak menikah dengan orang lain saja, toh kamu bisa dapatkan wanita model apapun," timpal Siska hag sukses membuat Imel melotot padanya. Aku geli pada tingkah anakku.

"Masalahnya ... bukan gak bisa, aku cintanya ke dia."

"Bagaimana kalo akhirnya kamu bosan dan menduakan dia?"

"Justru aku sudah bosan dengan petualangan dan banyak jenis wanita. Aku lelah dan ingin tinggal di satu hati saja mulai saat ini," jawab Bendi menopang dagunya lalu mengalihkan pandangannya pada anakku, lekat.

"Jangan menatapku begitu," seru Imel melempar pria itu dengan bantal lagi.

"Maukah kau menikah denganku?" tanyanya pada Imelda.

Tentu saja mendengar kalimat itu Siska bersorak, dan bertepuk tangan menimbulkan keriuhan di dalam rumah, Mas Yadi terbangun dan buru-buru datang ke ruang tengah.

"Lamaran macam apa ini, kau bilang kau tak akan menikahi bocah," sanggah anakku dengan wajah merona. Ia tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.

"Kau bocah yang akan tak lama lagi menjadi wanita dewasa yang penuh pesona, aku ingin di sana, menjadi satu-satunya orang yang menggenggam tanganmu ketika kau tumbuh dan menua," ujarnya sambil meraih tangan Imel, dan berlutut di depannya.

Jangankan anak gadisku, aku pun juga ikut merona bahagia oleh kata kata preman tengil yang satu ini.

"Kau belum meyakinkan Papa, lagipula aku belum melihatmu hijrah secara agama, maukah kau berubah untukku dan untuk dirimu sendiri?" tanya Imel.

Mas Yadi yang menyaksikan di ambang pintu ruang keluarga hanya ternganga.

"Iya, aku mau. Jadi kau mau?"

"Mau apanya?" Anakku pura pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Bendi..

"Mau nikah?"

"Ya udah nikah, tapi tunggu aku lulus beberapa bulan lagi."

Mendengar itu, tak bisa dibendung bahagianya Bendi Hartono, pemuda tampan yang sekilas mirip pemuda Arab itu, langsung memeluk Imel dan mengangkat tubuhnya tinggi tinggi.

"Hei, Ini tidak benar!" Mas Yadi menyela. Kami semua terdiam seketika.

"Kenapa tidak benar Pa? Imel sudah hampir 19 tahun, secara hukum dia sudah punya KTP dan sudah terhitung dewasa. Biarlah kakak menentukan pilihannya, Pa," jawab Siska pada ayahnya.

"Tapi dia ...."

"Jangan bilang masih kecil Pa, Kakak udah besar, lagipula calon suaminya adalah pria kaya yang mapan," jawab Siska.

"Ah, kalian sungguh ...."

"Aku janji akan menjaga Imelda Om," ujar Bendi sambil menghampiri ayah Imel dan merah tangannya.

"Aku belum siap melepas anakku," jawab Mas Yadi pelan, sudut matanya memerah oleh keharuan sekaligus, entah.

"Anak Om tetaplah anak Om, saya tak akan membatasinya," jawab Bendi.

"Bagaimana kalau terjadi sesuatu ...."

"Bisnis saya tidaklah seberbahaya yang Om kira. Saya hanya memberikan pengamanan terhadap daerah-daerah yang diminta pemiliknya untuk diamankan. Saya juga menerima pengamanan untuk pejabat dan orang-orang penting, juga sedikit memberi pelajaran kepada mereka yang pantas diberi pelajaran, zaman sekarang bisnis berputar dan Om tahu sendiri bahwa semua profesi ada kebaikan dan kekurangannya. Beri saya kesempatan untuk perlahan memperbaiki diri."

"Jika seperti itu keputusanmu dan Imel ... Maka aku tak punya alasan untuk mencegah, tolong jaga anakku," ujar Mas Yadi sambil memeluk pemuda itu dengan penuh haru, Bendi membalasnya dengan rangkulan penuh hormat

"Oh ya, Pa, Ma ... Papa dan Mama silakan bercerai dengan pasangan kalian yang bejat dan kembalilah utuh seperti semula," ujar Siska yang sukses membuat keheningan dalam ruangan ini terulang untuk kesekian kalinya.

Astaga .... Lupa ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status