Aku sudah kembali ke rumah dijemput oleh Bendi dan kedua anakku. Sesampainya di sana mereka langsung mengantarku ke sofa ruang tengah yang bentuknya memanjang sehingga aku bisa merebahkan dir sebentar.
Mas Yadi juga kembali, wajahnya terlihat lelah dan mengantuk sekali sehingga aku memintanya untuk beristirahat di kamar saja. Sedang aku dan kedua anakku juga kekasihnya duduk di sofa ruang tengah. "Nyonya, aku rasa Anda memang lebih baik tidak berpikir atau beraktivitas kelebihan dulu karena kondisi kesehatan anda," ujar pemuda itu sembari duduk di kursi seberangku. "Aku rasa begitu, tapi aku minta padamu agar kau mencari bukti lab milikku untuk menjerat Didit lebih dalam lagi." "Sebenarnya tanpa bukti itupun dia sudah dijerat Nyonya," balas Bendi. "Kalau cuma mabuk dan main perempuan itu hanya akan membuat dia disanksi sementara, kemungkinan terburuk dia dipecat tapi dia juga punya banyak jasa dan pendukung, sehingga Pak Kapolda pasti mempertimbangkan hal itu. Lain halnya jika dia punya pelanggaran lain, dalam artian ... Itu pelanggaran berat, berupa tindak kriminal." "Anda tahu, bahwa apapun bisa dilakukan, bukti bisa dihilangkan, lalu dia memanipulasi bukti baru, saksi bisa dibungkam, lalu dia menghadirkan saksi baru yang justru akan memberatkan Anda. Ketika persidangan anda tuduhan anda tidak terbukti sama sekali, maka, Nyonya yang akan dihukum karena terjerang pasal pencemaran nama baik, coba pikirkan," pintanya dengan nada pelan. "Benar apa yang dikatakan Bendi, Ma. Sebaiknya Mama ikhlasin aja, kita akan pergi juga kota ini, melupakan semuanya," ujar Imelda. "Nyonya Sakinah, Siska dan Pak Yadi saja yang pergi, sedang kamu tetap di sini," sela Bendi di tengah percakapan kami. "Astaga ... Kau ini selalu merusak momen Bendi!" Imel membentaknya membuat pria itu hanya terdiam dan menelan ludah. "Bendi, sekali ini saja, menyusuplah di antara pendukung Didit dan temukan di mana bukti yang mereka sembunyikan." "Susah nyonya, kalaupun bisa itu membutuhkan waktu lama. Aku harus berkenalan dulu, membaur, lalu membuktikan kesetiaanku pada kelompok mereka, dan tantabgan yabg lebih besar dari itu adalah mereka hanya berteman dengan orang yang profesinya sama." "Suruh anak buahmu untuk menyamar jadi pelayan," pintaku. "Masalahnya mereka tak punya markas Nyonya, kalaupun meyusup ke salah satu dari mereka kita akan semakin butuh waktu lama untuk mendapatkan bukti itu." Ah, mendengarnya aku hanya bisa menghela napas lemah, aku sadar bahwa ini tidak pernah mudah. "Dari itu saya usulkan agar Nyonya melepaskan kasus ini, biarlah sisanya ditangani polisi. Kurasa Kompol Didit tidak punya kesempatan untuk kembali ke posisinya karena khalayak ramai sudah tahu keburukannya," bujuk Bendi. "Baiklah, kalo begitu, aku akan mencoba melepaskannya ...." "Kolonel William sudah diperiksa atas dugaan suapnya, Heri sudah ditangguhkan, kini Kompol Didit. Sisanya mereka akan dapatkan karma mereka." "Aku salut dengan kebijaksanaanmu, kau sungguh pintar. Tapi aku belum membereskan Kartika," ujarku sambil melipat tangan di dada. "Nyonya ... Wanita itu sedang menghabiskan hari untuk menemui ajalnya, Anda tidak perlu buang buang waktu. Setelah kehilangan Pak Yadi, kini ia juga kehilangan Didit yang akan masuk penjara, kurasa dia akan sangat merana ditambah kedua anaknya tidak berada dalam pelukannya, kurasa, itu adalah hukuman yang sebenarnya." "Mungkin aku hanya perlu menertawainya." "Jangan buang waktu, fokus saja pada kesehatan Anda." "Lalu bagaimana jika kini justru mereka yang mengincar diriku?" "Masalahnya akan panjang kalo begitu, tapi kita berharap aja bahwa ini akan usai," jawabnya. "Aka usai ... Mereka tak akan semudah itu melepaskku, Bendi. Tidak bermasalah dengan mereka pun aku dimusuhi apalagi kini terang-terangan akulah yang menyebabkan mereka ditangkap." "Itupun kalo mereka tahu bahwa nasib sial mereka adalah perbuatan Nyonya. Anak buahku akan menjaga Nyonya dan anak Nyonya, saya rasa tuntaslah sudah," pungkasnya. "Baiklah, jika itu menurutmu," jawabku. "Semua orang sudah menemui karma mereka, sekarang giliran Nyonya untuk kembali ke titik awal, di mana nyonya hanya seorang ibu dan istri biasa yang tidak terjerat banyak masalah. Nikmati hidup yang hanya sesaat ini, Nyonya." "Tak kusangkau kau sangat manis, Bendi," ujar Imel menggodanya. "Tentu saja, aku akan lebih manis ketika bersamamu, Sayang," jawabnya sambil mengedipkan mata, sedang Imel langsung melemparnya dengan bantal sofa. Kami yang melihat langsung tertawa, aku ingin Imel segera menika denganku Nyonya,". pintanya yang langsung membuat kami bungkam seketika. "Tapi ... Imel masih sekolah ...." "Sebentar lagi tamat, masa kuliah bisa ditempuh selagi kami sudah berumah tangga." "Pernikahan dini seperti ini amat ditentang Mas Yadi, dia ingin anaknya sukses dengan pelajaran dan karir mereka, baru menikah," ujarku pelan. "Tetapi aku ingin tahu sebenarnya Ine bagaimana, apakah dia sendiri menolak lamaran atau bersedia, bagaimana Imel?" Imel yang ditanya hanya terdiam, untuk beberapa saat terdiam. "Saya baca dibuku agama bahwa diamnya seorang gadis adalah persetujuan, maka saya rasa saya harus segera membawa rombongan untuk meminangnya," ujar Bendi dengan tatapan penuh makna pada Imelda. "Aku mau kuliah dulu, Ben," ucap Imel lirih "Kau bisa kuliah selagi kau jadi istriku, akan ada pengawal yang mengantar jemput dan menjagamu, kau lebih terjamin. Aku sudah dewasa dan butuh seseorang di sampingku." "Kenapa tidak menikah dengan orang lain saja, toh kamu bisa dapatkan wanita model apapun," timpal Siska hag sukses membuat Imel melotot padanya. Aku geli pada tingkah anakku. "Masalahnya ... bukan gak bisa, aku cintanya ke dia." "Bagaimana kalo akhirnya kamu bosan dan menduakan dia?" "Justru aku sudah bosan dengan petualangan dan banyak jenis wanita. Aku lelah dan ingin tinggal di satu hati saja mulai saat ini," jawab Bendi menopang dagunya lalu mengalihkan pandangannya pada anakku, lekat. "Jangan menatapku begitu," seru Imel melempar pria itu dengan bantal lagi. "Maukah kau menikah denganku?" tanyanya pada Imelda. Tentu saja mendengar kalimat itu Siska bersorak, dan bertepuk tangan menimbulkan keriuhan di dalam rumah, Mas Yadi terbangun dan buru-buru datang ke ruang tengah. "Lamaran macam apa ini, kau bilang kau tak akan menikahi bocah," sanggah anakku dengan wajah merona. Ia tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. "Kau bocah yang akan tak lama lagi menjadi wanita dewasa yang penuh pesona, aku ingin di sana, menjadi satu-satunya orang yang menggenggam tanganmu ketika kau tumbuh dan menua," ujarnya sambil meraih tangan Imel, dan berlutut di depannya. Jangankan anak gadisku, aku pun juga ikut merona bahagia oleh kata kata preman tengil yang satu ini. "Kau belum meyakinkan Papa, lagipula aku belum melihatmu hijrah secara agama, maukah kau berubah untukku dan untuk dirimu sendiri?" tanya Imel. Mas Yadi yang menyaksikan di ambang pintu ruang keluarga hanya ternganga. "Iya, aku mau. Jadi kau mau?" "Mau apanya?" Anakku pura pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Bendi.. "Mau nikah?" "Ya udah nikah, tapi tunggu aku lulus beberapa bulan lagi." Mendengar itu, tak bisa dibendung bahagianya Bendi Hartono, pemuda tampan yang sekilas mirip pemuda Arab itu, langsung memeluk Imel dan mengangkat tubuhnya tinggi tinggi. "Hei, Ini tidak benar!" Mas Yadi menyela. Kami semua terdiam seketika. "Kenapa tidak benar Pa? Imel sudah hampir 19 tahun, secara hukum dia sudah punya KTP dan sudah terhitung dewasa. Biarlah kakak menentukan pilihannya, Pa," jawab Siska pada ayahnya. "Tapi dia ...." "Jangan bilang masih kecil Pa, Kakak udah besar, lagipula calon suaminya adalah pria kaya yang mapan," jawab Siska. "Ah, kalian sungguh ...." "Aku janji akan menjaga Imelda Om," ujar Bendi sambil menghampiri ayah Imel dan merah tangannya. "Aku belum siap melepas anakku," jawab Mas Yadi pelan, sudut matanya memerah oleh keharuan sekaligus, entah. "Anak Om tetaplah anak Om, saya tak akan membatasinya," jawab Bendi. "Bagaimana kalau terjadi sesuatu ...." "Bisnis saya tidaklah seberbahaya yang Om kira. Saya hanya memberikan pengamanan terhadap daerah-daerah yang diminta pemiliknya untuk diamankan. Saya juga menerima pengamanan untuk pejabat dan orang-orang penting, juga sedikit memberi pelajaran kepada mereka yang pantas diberi pelajaran, zaman sekarang bisnis berputar dan Om tahu sendiri bahwa semua profesi ada kebaikan dan kekurangannya. Beri saya kesempatan untuk perlahan memperbaiki diri." "Jika seperti itu keputusanmu dan Imel ... Maka aku tak punya alasan untuk mencegah, tolong jaga anakku," ujar Mas Yadi sambil memeluk pemuda itu dengan penuh haru, Bendi membalasnya dengan rangkulan penuh hormat "Oh ya, Pa, Ma ... Papa dan Mama silakan bercerai dengan pasangan kalian yang bejat dan kembalilah utuh seperti semula," ujar Siska yang sukses membuat keheningan dalam ruangan ini terulang untuk kesekian kalinya. Astaga .... Lupa ....Pukul dua malam, Dor! Tiba tiba listrik rumah padam dan suasana menjadi gelap gulita.Tembakan di atap rumah menggema dan mengagetkan semua orang yang ada di dalamnya. Aku langsung tersentak dari tempat tidur dan pintu seketika terbuka. Mas Yadi segera datang memastikan keadaanku dan anak anak yang tidur bergelung di selimut yang sama, kami selalu waspada."Mereka datang lagi, sepertinya ini kode yag diberikan Didit pada anggota rahasianya untuk menuntaskan kita," bisik Mas Yadi sambil memberi isyarat agar kami perlahan turun dari ranjang dan merangkak pelan di lantai mencari tempat yang lebih aman dari tembakan.Heran sekali, di lingkungan komplek ini mereka berani berbuat demikian, agak tidak masuk akal keberaniannya.Nampaknya mereka adalah perusuh yang dibayar untuk membawa teror. Asumsiku, tentang ini adalah mungkin karena sudah merasa kepalang tanggung bermasalah maka Didit memerintah beberapa penjahat bayaran untuk menghabisi kami semua, sehingga ia menuntaskan dendam d
Pukul dua malam, Dor! Tiba tiba listrik rumah padam dan suasana menjadi gelap gulita.Tembakan di atap rumah menggema dan mengagetkan semua orang yang ada di dalamnya. Aku langsung tersentak dari tempat tidur dan pintu seketika terbuka. Mas Yadi segera datang memastikan keadaanku dan anak anak yang tidur bergelung di selimut yang sama, kami selalu waspada."Mereka datang lagi, sepertinya ini kode yag diberikan Didit pada anggota rahasianya untuk menuntaskan kita," bisik Mas Yadi sambil memberi isyarat agar kami perlahan turun dari ranjang dan merangkak pelan di lantai mencari tempat yang lebih aman dari tembakan.Heran sekali, di lingkungan komplek ini mereka berani berbuat demikian, agak tidak masuk akal keberaniannya.Nampaknya mereka adalah perusuh yang dibayar untuk membawa teror. Asumsiku, tentang ini adalah mungkin karena sudah merasa kepalang tanggung bermasalah maka Didit memerintah beberapa penjahat bayaran untuk menghabisi kami semua, sehingga ia menuntaskan dendam d
Dari semua perkara yang bergulir, dan menumpuk satu di atas yang lainnya, aku kemudian tahu bahwa Didit yang telah merencanakan segalanya dan dia sedang bersiap menghadapi tuntutan hukum.Peristiwa penyuntikan diriku dengan obat ilegal yang hampir menyebabkan kelumpuhan juga akhirnya terungkap perlahan ke permukaan. Perlahan satu persatu topeng mas Didit dikuliti oleh orang-orang yang pernah dia sakiti, semua aib dan rahasianya terungkap dan memperburuk suasana.Lalu ada fakta baru yang aku temukan di proses penyelidikan bahwa akar dari semua petaka ini berasal darinya.Semua yang telah terjadi dialah yang merencanakannya, artinya konspirasi ini sudah diatur dari awal."Mengapa Anda berencana membuat lumpuh wanita itu?" Hakim ketua yang yang pertama kali bertanya kepada Mas Didik karena agenda persidangan hari ini adalah membahas segala kejahatannya padaku."Aku sakit hati pada wanita itu dan dendam padanya," ujarnya yang menjawab pertanyaan hakim di kursi terdakwa."Apa awalnya, An
"Lalu kami ingin tahu, siapa yang telah menyakiti Nyonya Sakinah di rumah sakit, siapa Dokter yang Anda tugaskan?""Teman saya.""Apakah dia sungguh seorang dokter?""Ia petugas medis juga," jawab Mas Yadi."Apa dia ahli kejiwaan?""Sebenarnya dia sering merawat ....""Katakan saja iya atau tidak.""Hmm, Mantri Pak.""Bukan ahli jiwa?""Bukan." Ia menyeringai seperti orang gila "Lalu obat apa yang dia suntikkan?""Sejenis obat penenang dan obat tidur, hanya itu saja.""Mengapa Anda menganggap bahawa obat penenang atau obat tidur adalah perkara yang sepele, saudara hampir membunuh," ujar Pak Hakim menggelengkan kepala.Nampaknya sejak kematian Bella Mas Didit sudah kehilangan akalnya, dia bahkan mengatakan semua itu dengan lantang dan berani, seolah tak takut akan ancaman hukuman yang mungkin memberatkan. Ah, ya Tuhan."Lalu gerombolan penjahat yang sampai saat ini msih buron, karena sudah menyerang rumah nyonya sakinah, apakah mereka juga adalah suruhan anda?""Iya, saya menyuruh mer
Aku kecewa, dan semakin memikirkan semua rentetan kejadian ini, mengumpulkan peristiwa demi peristiwa dan merangkainya seperti puzzle hingga mendapatkan kesimpulan sempurna, aku sungguh akan gila!Jika dihitung semua kesalahan Suryadi menyakitiku, tentu, aku sangat dendam padanya. Namun, si sisi lain dia juga berusaha membuktikan dirinya layak untuk diberi kesempatan, dengan hampir mati ketika mencoba menyelamatkanku di rumah sakit isolasi.Mestinya tidak akan ada hal yang membuatku bimbang karena ini sudah jelas. Lagipula, manusiawi seseorang melakukan khilaf, tapi ... aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan hati.Musuh menjadi teman, teman menjadi musuh, dan orang orang asing yang menurut orang lain jahat adalah penyelamat, sebuah skema kejadian dan hubungan yang lucu dalam hidupku. Entah apa salah dan dosaku di kehidupan sebelumya, hingga diri ini berada dalam takdir yang begitu nelangsa."Ah, Tuhan, lelah rasanya berada di titik ini, berada dalam permainan yang menguras tenag
Pagi ini, aku yang sedang menyiapkan sarapan tiba tiba dikejutkan dengan ketukan pintu. Agak heran karena pagi pagi kami telah didatangi seseorang.Kubuka pintu dan sosok Heri berdiri di sana.Dia menatap dingin sementara aku tak tahu harus bersikap seperti apa."Silakan masuk," ujarku dengan nada datar."Tidak terkejut dengan kedatangan saya kan?""Tidak. Aku sudah biasa."Kusuruh dia duduk di kursi kayu klasik peninggalan mertua sementara aku langsung memanggil Mas Yadi untuk menemui Heri. Bagaimana pun ia juga mantan bawahannya Heri.Dari dapur kuawasi gerak gerik pria itu yang nampak menjabat tangan Mas Yadi lalu mengobrol-ngobrol dengan santai. Tidak menunjukkan bahwa kami sedang bermusuhan.Kuletakkan dua cangkir kopi lalu bergabung di meja bersama Heri."Nyonya sakinah, saya ingin bicara," ujarnya membuka percakapan."Apa itu?""Bersihkan nama ayah saya, saya mohon ... sebagai balasannya saya sudah menjamin bahwa Anda akan aman dan pergilah ke luar negeri agar wartawan da
Kami dibawa ke markas berlantai tiga di pinggir kota. Tak terlibat seperti sarang preman tapi sebuah villa Megah dengan semua fasilitas premiumnya.Mobil berhenti dan kami langsung di sambut oleh jajaran pria berjas hitam, dan kami dipersilahkan masuk.Ketika pintu utama terbuka mata kami langsung dimanjakan oleh kemegahan rumah pemuda itu. Aku dan Mas Yadi kagum pada interior, furniture mewah dan dan lukisan mahal yang terpajang di dinding, ada juga karya seni dan patung yang berwarna emas, juga gambar Bendi yang terpajang di dinding dalam ukuran besar, dia duduk mengenakan jas hitam, posenya menawan dan terlihat seperti artis film Jefri Nichols."Selamat datang, semoga betah tinggal di rumah saya," sambut Bendi."Terma kasih Bendi, terima kasih sudah mengajak kami ke tempat ini," balasku gembira."Kamar Tante dan Om ada di lantai dua, saling berhadapan, sedang Siska akan berada di sayap bara agar bisa leluasa melihat taman samping," jelasnya."Lalu kamarku di mana?""Kita akan ting
Seminggu berlalu tanpa gangguan, kami sekeluarga lega berada dalam ketenangan, tidak memikirkan banyak hal dalam hidup ini. Tidak ada lagi ketegangan dan ketakutan akan orang orang yang mungkin datang mengganggu. Tinggal menunggu ujian dan pengambilan ijazah Imelda, maka anak kami akan resmi disunting oleh pria yang mencintainya. Aku juga berniat pamit dari mansion Bendi yang mewah karena rasanya agak canggung tinggal di rumah orang begitu lama.Kuutarakan niat untuk pindah, namun calon menantuku agak keberatan karena menurutnya keadaan masih belum aman."Saya tidak keberatan Tante di sini, saya lebih tenang jika kalian sekeluarga di rumah ini. Oh ya, Ibu sayanhuga mau datang dari Singapura untuk bertemu calon besannya.""Oh, apakah kamu memberi tahu bahwa akan menikah?""Iya, tentu saja, saya memberi tahu Ibu saya. Dia gembira dan ingin segera bertemu keluarga Tante.""Tapi, rasanya malu sekali jika kami menumpang. Kurasa saatnya untuk kembali dan membenahi kekacauan ini. Kami har