Share

132

"Sakinah, apa yang terjadi, Sakinah ...."

Pendengaranku samar, perlahan kabur, sakit di perut makin menjadi jadi, sementara tubuh mulai lemas dan berkeringat dingin.

"Apa yang kau rasakan?" tanya Mas Yadi panik.

Aku tak mampu menjawab karena bibir ini sudah kelu dan rasa sakit yang melilit membuatku tak mampu menggerakkan lidah.

Hingga semuanya buyar dan menggelap.

**

"Nyonya Sakinah ...."

"Lakukan sesuai prosedur!"

"Tanda tangan di sini!"

"Sakinah ... sadarlah, Sakinah ....."

Lamat-lamat kudengar Mas Yadi dan orang orang ramai, lampu yang menyilaukan namun semuanya masih kabur. Mas Yadi dan seorang pria memanggil sambil mengguncang tubuhku, tapi tapi aku masih tidak sanggup membuka mata lagi.

*

Terbangun ketika diri ini menyadari bahwa aku sudah berada di sebuah ranjang dan ketika pupil mata membuka sempurna, kusadari semua infus menggantung di dekatku dan jarumnya menancap di tangan. Entah apa yang terjadi sebelum itu aku tidak tahu.

"Nyonya sudah siuman?"

"Iya, kenapa, saya di mana?"

"Nyonya, di rumah sakit."

"Iya, saya kenapa?" Aku penasaran sekali.

"Nyonya mengalami pendarahan."

"Lalu bagaimana dengan janin saya?"

"Dokter akan memberi tahu Nyonya keadaannya," jawab Suster itu sambil tersenyum tipis, tapi entah kenapa aku sudah punya firasat yang tidak baik tentang ini.

Tak lama kemudian seorang dokter datang diikuti oleh suster yang tadi merawatku, dia mendekat tersenyum sambil menyapaku.

"Bagaimana keadaan anda sekarang Nyonya Sakinah?"

"Saya merasa pusing dan perut saya sangat sakit, apa yang terjadi?"

"Anda pendarahan karena kelelahan, ditambah kurang asupan gizi serta stress, ditambah pengaruh obat yang pernah masuk ke badan Anda memperparah segalanya. Andaipun bayinya selamat, bisa jadi ia lahir dalam keadaan cacat, maaf Bu, sekali lagi, maafkan saya," jawab dokter tersebut dengan wajah prihatin.

Aku tahu, kekurangan gizi, stress dan riwayat obat, itu semua perbuatan Didit!

"Ja-jadi, saya kehilangan anak?" tanyaku dengan bibir bergetar.

"Kita semua pasti pernah merasakan sakit dan kehilangan, namun, mau tak mau kita harus menjalani kehendak Sang Pencipta. Saya turut berduka, semoga Nyonya diberi kesabaran dan keluasan hati untuk merelakan bayi Anda kembali ke pangkuan Tuhan." dokter itu menepuk bahuku pelan sedang aku yang masih terbaring lemah tak mampu membendung air mata.

"Apakah keluarga saya ada di sini?" Tanyaku dengan suara parau.

"Iya, Nyonya, suami anda sudah menunggu di luar."

"Suami? Didit? Ah, Aku enggan bertemu dia!" Aku membatin sambil menggeleng pelan.

"Kami akan panggilkan," lanjutnya.

"Ti-tidak usah," bisikku lemah namun pria itu sudah menjauh pergi. Tak lama kemudian pintu terbuka dan aku ingin sekali melihat sosok yang berada di balik pintu itu untuk melabraknya. Betapa tidak, apa yang dia lakukan sudah membuatku kehilangan nyawa anak.

"Sakinah ...."

Ah, itu bukan Didit melainkan Suryadi. Dia mendekat dan menatapku iba, membuat hati ini makin tak karuan rasanya.

"Maaf ya, karena kamu harus mengalami ini demi aku. Aku menyesal, kau harus mengikutiku ke rumah sakit karena khawatir._" pria itu menggenggam tanganku.

"Lalu apa yang terjadi, apa aku dikuret?"

"Aku terpaksa memberikan izin, karena jika tidak, nyawamu juga akan melayang sia-siaa."

"Oh, Tuhan ....." Rasanya sakit sekali kehilangan anak yang sudah hampir empat bulan menghuni rahimku, sesak sekali rasanya seolah ditimpakan batu besar.

"Apa dia laki laki atau perempuan?" bisikku sedih.

"Laki laki."

jawaban itu membuat dadaku makin terlubangi oleh kekecewaan, bayangkan, kehilangan anak laki-laki yang sudah kutunggu-tunggu, seolah menghancurkan segenap hati dan perasaan.

"Ya Allah, aku makin benci pada Didit Mas, aku benci sekali," jawabku mengusap air mata.

" ... Seharusnya bayi ini masih baik baik saja, jika dia tidak menyuntikkan obat keras."

Sabar sakinah, sabar ya ... dia akan mendapatkan akibat perbuatannya."

"Itu harus terjadi Mas, harus ...." Aku menangis sambil mencengkeram lengan.

"Iya, tenangkan dirimu, anak anak akan datang dan mereka pasti sedih melihatmu hancur begini," bisiknya sambil memelukku, membiarkan aku menumpahkan sakit di dadanya.

Tangisanku bergulir, menyayat hati dan mungkin menghancurkan perasaan orang mendengarnya. Aku tahu bahwa kepergian bayi itu akan meringankan langkahku untuk lepas dari ayahnya jahat, namun tetap sakitnya kehilangan anak sungguh tak terkira.

*

Pukul delapan malam, kedua putriku datang untuk menjenguk, baru saja mereka masuk dan melihatku sudah terbaring lemah dengan cekungan kantung mata yang hampir berwarna ungu, putriku nampak terkejut, sedih, dan langsung memelukku.

"Mama apa yang terjadi?

Siska langsung melabuhkan diri ke pelukanku.

"Sudahlah, Sis, jangan ingatkann terus apa yang terjadi, nanti Mama gak sembuh-sembuh," sela Imel.

"Makanya aku sedih banget, Kak. Kenapa keluarga kita hancur begini? Musibah demi musibah silih berganti dan akhir-akhirnya Papa dan Mama juga yang saling bahu membahu membereskan masalah mereka, gak ada yang lain yang siap bantu."

"Mama minta maaf apa yang terjadi sejauh ini, minta maaf sekali," bisikku lirih pada kedua anakku.

"Its, oke, Ma, kita gak pernah tahu bahwa orang akan berbuat jahat." Imel membalas genggaman tanganku.

"Makanya aku juga gak mau dari awal Papa sama Mama cerai, lihat kita hanya dijadikan korban dari mereka yang punya dendam. Papa itu dulu adalah Dandim yang terkenal baik dan tegas, kenapa kini orang tuaku berada di titik paling memalukan?"

Anakku menjatuhkan diri kursi dengan lemah lalu mengusap air matanya.

"Mama minta maaf sudah terlalu emosional dengan perkawinan Papa yang kedua," bisikku pelan.

"Iya, gak bisa disalahkan. Wajar juga sih, Ma, kita aja bisa bayangkan. Udahlah, jangan pikirkan lagi, Ma. fokus aja pada kesembuhan. Bukannya Mama mau balas Om Didit?"

"Iya, Imel."

"Kalo begitu jangan ditangisi lagi, kita harus ikhlas dengan kepergian adik bayi, meski itu menyedihkan."

"Iya." Kupeluk mereka dengan sepenuh jiwa, aku tahu, tak semudah ini untuk melupakan kesakitan, namun, aku harus bersikap tegar di depan kedua anakku.

Mas Yadi tak lama kemudian datang membawakan nasi bungkus dan bubur untukku, tak lupa sekantong buah dan sekotak susu.

"Aku beli ini untuk makan malam," ujarnya sambil menyerahkan bawaannya itu pada putri Putri kami.

"Sakinah kau harus makan dan minum susu, agar segera sembuh," ujarnya sambil tersenyum.

"Baik, Mas, makasih ya," jawabku memaksakan senyum.

Dulu, ia tak banyak bicara, hanya beberapa kata dan seperlunya, apalagi jika ia kembali dari tempat tugas maka sikap diamnya bertambah dua kali lipat. Namun, entah mengapa sekarang ia sangat hangat. Mungkinkah ia sedang mencari kesempatan kedua???

Aku harus bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status