"Sakinah, apa yang terjadi, Sakinah ...."
Pendengaranku samar, perlahan kabur, sakit di perut makin menjadi jadi, sementara tubuh mulai lemas dan berkeringat dingin. "Apa yang kau rasakan?" tanya Mas Yadi panik. Aku tak mampu menjawab karena bibir ini sudah kelu dan rasa sakit yang melilit membuatku tak mampu menggerakkan lidah. Hingga semuanya buyar dan menggelap. ** "Nyonya Sakinah ...." "Lakukan sesuai prosedur!" "Tanda tangan di sini!" "Sakinah ... sadarlah, Sakinah ....." Lamat-lamat kudengar Mas Yadi dan orang orang ramai, lampu yang menyilaukan namun semuanya masih kabur. Mas Yadi dan seorang pria memanggil sambil mengguncang tubuhku, tapi tapi aku masih tidak sanggup membuka mata lagi. * Terbangun ketika diri ini menyadari bahwa aku sudah berada di sebuah ranjang dan ketika pupil mata membuka sempurna, kusadari semua infus menggantung di dekatku dan jarumnya menancap di tangan. Entah apa yang terjadi sebelum itu aku tidak tahu. "Nyonya sudah siuman?" "Iya, kenapa, saya di mana?" "Nyonya, di rumah sakit." "Iya, saya kenapa?" Aku penasaran sekali. "Nyonya mengalami pendarahan." "Lalu bagaimana dengan janin saya?" "Dokter akan memberi tahu Nyonya keadaannya," jawab Suster itu sambil tersenyum tipis, tapi entah kenapa aku sudah punya firasat yang tidak baik tentang ini. Tak lama kemudian seorang dokter datang diikuti oleh suster yang tadi merawatku, dia mendekat tersenyum sambil menyapaku. "Bagaimana keadaan anda sekarang Nyonya Sakinah?" "Saya merasa pusing dan perut saya sangat sakit, apa yang terjadi?" "Anda pendarahan karena kelelahan, ditambah kurang asupan gizi serta stress, ditambah pengaruh obat yang pernah masuk ke badan Anda memperparah segalanya. Andaipun bayinya selamat, bisa jadi ia lahir dalam keadaan cacat, maaf Bu, sekali lagi, maafkan saya," jawab dokter tersebut dengan wajah prihatin. Aku tahu, kekurangan gizi, stress dan riwayat obat, itu semua perbuatan Didit! "Ja-jadi, saya kehilangan anak?" tanyaku dengan bibir bergetar. "Kita semua pasti pernah merasakan sakit dan kehilangan, namun, mau tak mau kita harus menjalani kehendak Sang Pencipta. Saya turut berduka, semoga Nyonya diberi kesabaran dan keluasan hati untuk merelakan bayi Anda kembali ke pangkuan Tuhan." dokter itu menepuk bahuku pelan sedang aku yang masih terbaring lemah tak mampu membendung air mata. "Apakah keluarga saya ada di sini?" Tanyaku dengan suara parau. "Iya, Nyonya, suami anda sudah menunggu di luar." "Suami? Didit? Ah, Aku enggan bertemu dia!" Aku membatin sambil menggeleng pelan. "Kami akan panggilkan," lanjutnya. "Ti-tidak usah," bisikku lemah namun pria itu sudah menjauh pergi. Tak lama kemudian pintu terbuka dan aku ingin sekali melihat sosok yang berada di balik pintu itu untuk melabraknya. Betapa tidak, apa yang dia lakukan sudah membuatku kehilangan nyawa anak. "Sakinah ...." Ah, itu bukan Didit melainkan Suryadi. Dia mendekat dan menatapku iba, membuat hati ini makin tak karuan rasanya. "Maaf ya, karena kamu harus mengalami ini demi aku. Aku menyesal, kau harus mengikutiku ke rumah sakit karena khawatir._" pria itu menggenggam tanganku. "Lalu apa yang terjadi, apa aku dikuret?" "Aku terpaksa memberikan izin, karena jika tidak, nyawamu juga akan melayang sia-siaa." "Oh, Tuhan ....." Rasanya sakit sekali kehilangan anak yang sudah hampir empat bulan menghuni rahimku, sesak sekali rasanya seolah ditimpakan batu besar. "Apa dia laki laki atau perempuan?" bisikku sedih. "Laki laki." jawaban itu membuat dadaku makin terlubangi oleh kekecewaan, bayangkan, kehilangan anak laki-laki yang sudah kutunggu-tunggu, seolah menghancurkan segenap hati dan perasaan. "Ya Allah, aku makin benci pada Didit Mas, aku benci sekali," jawabku mengusap air mata. " ... Seharusnya bayi ini masih baik baik saja, jika dia tidak menyuntikkan obat keras." Sabar sakinah, sabar ya ... dia akan mendapatkan akibat perbuatannya." "Itu harus terjadi Mas, harus ...." Aku menangis sambil mencengkeram lengan. "Iya, tenangkan dirimu, anak anak akan datang dan mereka pasti sedih melihatmu hancur begini," bisiknya sambil memelukku, membiarkan aku menumpahkan sakit di dadanya. Tangisanku bergulir, menyayat hati dan mungkin menghancurkan perasaan orang mendengarnya. Aku tahu bahwa kepergian bayi itu akan meringankan langkahku untuk lepas dari ayahnya jahat, namun tetap sakitnya kehilangan anak sungguh tak terkira. * Pukul delapan malam, kedua putriku datang untuk menjenguk, baru saja mereka masuk dan melihatku sudah terbaring lemah dengan cekungan kantung mata yang hampir berwarna ungu, putriku nampak terkejut, sedih, dan langsung memelukku. "Mama apa yang terjadi? Siska langsung melabuhkan diri ke pelukanku. "Sudahlah, Sis, jangan ingatkann terus apa yang terjadi, nanti Mama gak sembuh-sembuh," sela Imel. "Makanya aku sedih banget, Kak. Kenapa keluarga kita hancur begini? Musibah demi musibah silih berganti dan akhir-akhirnya Papa dan Mama juga yang saling bahu membahu membereskan masalah mereka, gak ada yang lain yang siap bantu." "Mama minta maaf apa yang terjadi sejauh ini, minta maaf sekali," bisikku lirih pada kedua anakku. "Its, oke, Ma, kita gak pernah tahu bahwa orang akan berbuat jahat." Imel membalas genggaman tanganku. "Makanya aku juga gak mau dari awal Papa sama Mama cerai, lihat kita hanya dijadikan korban dari mereka yang punya dendam. Papa itu dulu adalah Dandim yang terkenal baik dan tegas, kenapa kini orang tuaku berada di titik paling memalukan?" Anakku menjatuhkan diri kursi dengan lemah lalu mengusap air matanya. "Mama minta maaf sudah terlalu emosional dengan perkawinan Papa yang kedua," bisikku pelan. "Iya, gak bisa disalahkan. Wajar juga sih, Ma, kita aja bisa bayangkan. Udahlah, jangan pikirkan lagi, Ma. fokus aja pada kesembuhan. Bukannya Mama mau balas Om Didit?" "Iya, Imel." "Kalo begitu jangan ditangisi lagi, kita harus ikhlas dengan kepergian adik bayi, meski itu menyedihkan." "Iya." Kupeluk mereka dengan sepenuh jiwa, aku tahu, tak semudah ini untuk melupakan kesakitan, namun, aku harus bersikap tegar di depan kedua anakku. Mas Yadi tak lama kemudian datang membawakan nasi bungkus dan bubur untukku, tak lupa sekantong buah dan sekotak susu. "Aku beli ini untuk makan malam," ujarnya sambil menyerahkan bawaannya itu pada putri Putri kami. "Sakinah kau harus makan dan minum susu, agar segera sembuh," ujarnya sambil tersenyum. "Baik, Mas, makasih ya," jawabku memaksakan senyum. Dulu, ia tak banyak bicara, hanya beberapa kata dan seperlunya, apalagi jika ia kembali dari tempat tugas maka sikap diamnya bertambah dua kali lipat. Namun, entah mengapa sekarang ia sangat hangat. Mungkinkah ia sedang mencari kesempatan kedua??? Aku harus bagaimana?Selagi hendak memejamkan mata, tiba tiba pintu kabar dibuka kasar dan Mas Didit datang dengan waja memberingas, ia mendekati ranjangku dan mencekal lengan ini dengan keras "Kamu kan yang sengaja gugurin anakku?!""Astaghfirullah, kamu udah gila ya? Sejahat jahatnya wanita tak akan mau membunuh anak mereka!""Bohong! Kamu sengaja bikin onar dan banyak masalah, lari dan pergi ke sana kemari demi menggugurkan bayi itu, kau memang pantas dipenjara!"Mendengar keributan, Mas Yadi yang tertidur di sofa langsung terbangun dan mendekat sigap."Apa-apaan kamu?!" tanya Mas Yadi mwnfekal tangan pria yang coba menyakitiku itu."Kamu gak usah ikut campur ketika sakinah sudah membunuh anakku!" teriak Mas Didit dengan mata membeliak, dia marah sekali rupanya sampai-sampai menabrakkan tubuhnya ke tubuh Mas Yadi."Ini adalah musibah dan kejinya kamu menuduh sakinah, lagian apa pedulimu sedang kamu sudah mesra dengan Kartika?!"Kedua pria itu hampir saling mencekik andai kedua anakku tak mencegah d
Betapa heboh acara breaking news TV hari ini, skandal seorang petinggi polisi di daerahku, video mabuk dan berjoget dengan wanita beredar dan siapa lagi orangnya kalau bukan Didit Hendarto.Parahnya lagi, narasumber yang mengungkap fakta sebenarnya adalah sahabatnya sendiri, Letnan Heri, menurut wawancara ia mengungkap itu karena sudah malu dengan isu yang berembus liar dan jengah dengan kebobrokan sahabatnya. Menurutnya dia lelah dikaitkan dengan Kompol Didit terlebih dia juga punya masalah pribadi, ayahnya yang juga tersangkut masalah hukum serius. Ditambah harga dirinya yang tercoreng karena dianggap lolos seleksi akademi karena suap.Melihat itu aku gembira bukan kepalang, Tak kusangka bahwa rencanaku berjalan lancar dan memukul tepat sasaran. Didit dan Kolonel William sudah masuk ke dalam perangkap yang kubuat dengan umpan kesalahan mereka sendiri."Wah, apa kini mereka saling menusuk?" ungkap Mas Yadi sambil mengelap kopinya."Kenapa memangnya, apa itu mengejutkan?""Iya, aku t
Aku sudah kembali ke rumah dijemput oleh Bendi dan kedua anakku. Sesampainya di sana mereka langsung mengantarku ke sofa ruang tengah yang bentuknya memanjang sehingga aku bisa merebahkan dir sebentar.Mas Yadi juga kembali, wajahnya terlihat lelah dan mengantuk sekali sehingga aku memintanya untuk beristirahat di kamar saja.Sedang aku dan kedua anakku juga kekasihnya duduk di sofa ruang tengah."Nyonya, aku rasa Anda memang lebih baik tidak berpikir atau beraktivitas kelebihan dulu karena kondisi kesehatan anda," ujar pemuda itu sembari duduk di kursi seberangku."Aku rasa begitu, tapi aku minta padamu agar kau mencari bukti lab milikku untuk menjerat Didit lebih dalam lagi.""Sebenarnya tanpa bukti itupun dia sudah dijerat Nyonya," balas Bendi."Kalau cuma mabuk dan main perempuan itu hanya akan membuat dia disanksi sementara, kemungkinan terburuk dia dipecat tapi dia juga punya banyak jasa dan pendukung, sehingga Pak Kapolda pasti mempertimbangkan hal itu. Lain halnya jika dia pun
Pukul dua malam, Dor! Tiba tiba listrik rumah padam dan suasana menjadi gelap gulita.Tembakan di atap rumah menggema dan mengagetkan semua orang yang ada di dalamnya. Aku langsung tersentak dari tempat tidur dan pintu seketika terbuka. Mas Yadi segera datang memastikan keadaanku dan anak anak yang tidur bergelung di selimut yang sama, kami selalu waspada."Mereka datang lagi, sepertinya ini kode yag diberikan Didit pada anggota rahasianya untuk menuntaskan kita," bisik Mas Yadi sambil memberi isyarat agar kami perlahan turun dari ranjang dan merangkak pelan di lantai mencari tempat yang lebih aman dari tembakan.Heran sekali, di lingkungan komplek ini mereka berani berbuat demikian, agak tidak masuk akal keberaniannya.Nampaknya mereka adalah perusuh yang dibayar untuk membawa teror. Asumsiku, tentang ini adalah mungkin karena sudah merasa kepalang tanggung bermasalah maka Didit memerintah beberapa penjahat bayaran untuk menghabisi kami semua, sehingga ia menuntaskan dendam d
Pukul dua malam, Dor! Tiba tiba listrik rumah padam dan suasana menjadi gelap gulita.Tembakan di atap rumah menggema dan mengagetkan semua orang yang ada di dalamnya. Aku langsung tersentak dari tempat tidur dan pintu seketika terbuka. Mas Yadi segera datang memastikan keadaanku dan anak anak yang tidur bergelung di selimut yang sama, kami selalu waspada."Mereka datang lagi, sepertinya ini kode yag diberikan Didit pada anggota rahasianya untuk menuntaskan kita," bisik Mas Yadi sambil memberi isyarat agar kami perlahan turun dari ranjang dan merangkak pelan di lantai mencari tempat yang lebih aman dari tembakan.Heran sekali, di lingkungan komplek ini mereka berani berbuat demikian, agak tidak masuk akal keberaniannya.Nampaknya mereka adalah perusuh yang dibayar untuk membawa teror. Asumsiku, tentang ini adalah mungkin karena sudah merasa kepalang tanggung bermasalah maka Didit memerintah beberapa penjahat bayaran untuk menghabisi kami semua, sehingga ia menuntaskan dendam d
Dari semua perkara yang bergulir, dan menumpuk satu di atas yang lainnya, aku kemudian tahu bahwa Didit yang telah merencanakan segalanya dan dia sedang bersiap menghadapi tuntutan hukum.Peristiwa penyuntikan diriku dengan obat ilegal yang hampir menyebabkan kelumpuhan juga akhirnya terungkap perlahan ke permukaan. Perlahan satu persatu topeng mas Didit dikuliti oleh orang-orang yang pernah dia sakiti, semua aib dan rahasianya terungkap dan memperburuk suasana.Lalu ada fakta baru yang aku temukan di proses penyelidikan bahwa akar dari semua petaka ini berasal darinya.Semua yang telah terjadi dialah yang merencanakannya, artinya konspirasi ini sudah diatur dari awal."Mengapa Anda berencana membuat lumpuh wanita itu?" Hakim ketua yang yang pertama kali bertanya kepada Mas Didik karena agenda persidangan hari ini adalah membahas segala kejahatannya padaku."Aku sakit hati pada wanita itu dan dendam padanya," ujarnya yang menjawab pertanyaan hakim di kursi terdakwa."Apa awalnya, An
"Lalu kami ingin tahu, siapa yang telah menyakiti Nyonya Sakinah di rumah sakit, siapa Dokter yang Anda tugaskan?""Teman saya.""Apakah dia sungguh seorang dokter?""Ia petugas medis juga," jawab Mas Yadi."Apa dia ahli kejiwaan?""Sebenarnya dia sering merawat ....""Katakan saja iya atau tidak.""Hmm, Mantri Pak.""Bukan ahli jiwa?""Bukan." Ia menyeringai seperti orang gila "Lalu obat apa yang dia suntikkan?""Sejenis obat penenang dan obat tidur, hanya itu saja.""Mengapa Anda menganggap bahawa obat penenang atau obat tidur adalah perkara yang sepele, saudara hampir membunuh," ujar Pak Hakim menggelengkan kepala.Nampaknya sejak kematian Bella Mas Didit sudah kehilangan akalnya, dia bahkan mengatakan semua itu dengan lantang dan berani, seolah tak takut akan ancaman hukuman yang mungkin memberatkan. Ah, ya Tuhan."Lalu gerombolan penjahat yang sampai saat ini msih buron, karena sudah menyerang rumah nyonya sakinah, apakah mereka juga adalah suruhan anda?""Iya, saya menyuruh mer
Aku kecewa, dan semakin memikirkan semua rentetan kejadian ini, mengumpulkan peristiwa demi peristiwa dan merangkainya seperti puzzle hingga mendapatkan kesimpulan sempurna, aku sungguh akan gila!Jika dihitung semua kesalahan Suryadi menyakitiku, tentu, aku sangat dendam padanya. Namun, si sisi lain dia juga berusaha membuktikan dirinya layak untuk diberi kesempatan, dengan hampir mati ketika mencoba menyelamatkanku di rumah sakit isolasi.Mestinya tidak akan ada hal yang membuatku bimbang karena ini sudah jelas. Lagipula, manusiawi seseorang melakukan khilaf, tapi ... aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan hati.Musuh menjadi teman, teman menjadi musuh, dan orang orang asing yang menurut orang lain jahat adalah penyelamat, sebuah skema kejadian dan hubungan yang lucu dalam hidupku. Entah apa salah dan dosaku di kehidupan sebelumya, hingga diri ini berada dalam takdir yang begitu nelangsa."Ah, Tuhan, lelah rasanya berada di titik ini, berada dalam permainan yang menguras tenag