Jalanan terjal menanti di depan mata. Pepohonan rindang memenuhi segala arah membuat suasana tampak gelap karena bayangannya. Hanya suara serangga berderik yang nyaring di kejauhan, menandakan waktu siang menjelang sore.
Seorang pemuda tampak lelah berjalan dengan tongkat di tangan. Duduk beristirahat di sebuah batu besar, dia mengeluarkan kantung kulit berisi air lalu meminumnya beberapa tegukan. Air pun habis.
“Sudah kantung ke-5 air yang kuhabiskan. Aku belum menemukan goa itu.“ Pemuda itu bergumam. Mengingat betapa jauh langkah yang telah dia lewati.
Melanjutkan langkah, pemuda itu mendengar suara air gemericik. Bermaksud memenuhi kembali kantung air yang dibawanya, dia bergerak ke arah sumber air itu.
Sebuah aliran air kecil mengalir di sela-sela batu. Airnya begitu jernih dan segar.
Pemuda yang memakai ikat kepala itu segera mengambil kelima kantung kulit miliknya, lalu mengisi penuh semuanya. Kemudian dia minum secara langsung dengan tangan sampai puas.
Setelah semua kantung penuh, dia bangkit dan hendak beranjak pergi.
“Awas!“
Pemuda itu kaget mendengar suara kecil berteriak keras. Melihat sekeliling, dia tidak menemukan seorangpun.
“Di bawah sini!“
“Kau hampir saja menginjakku! Ayo minta maaf!“ teriak sosok makhluk kecil berwarna sama dengan dahan kayu kering menjulur ke tepi air, tempat dimana dia berdiri.
Kaget dan mundur, pemuda itu meminta maaf.
“Maaf. Aku tak melihatmu.“
“Baiklah, baiklah. Siapa kamu? Kenapa kamu di sini?“ Makhluk kecil itu mulai merubah warna kulitnya sehingga terlihat jelas.
“Perkenalkan, saya Wira Soma atau kau bisa memanggilku Wira saja. Dan siapa kamu?“ Pemuda itu mulai berkenalan dengan makhluk kecil di depannya.
“Aku belum punya nama. Karena aku baru saja bisa berbahasa manusia setelah bersemedi selama beberapa tahun.“
“Kalau begitu, mari kita berteman. Nanti akan ku carikan nama yang cocok untukmu.“
“Terima kasih, Wira.“
“Ngomong-ngomong, kamu mau kemana?“
“Aku sedang mencari goa, tempat bertapanya Sang Garuda Emas. Apakah kamu tahu?“
“Baiklah, ikuti saja aku. Tapi sebelumnya, akan aku peringatkan kau, Wira.“
“Kenapa?“ tanya Wira penasaran.
“Garuda Emas, kakek tua itu bukan orang baik. Percayalah. Dia sakti dan pemarah.“
Sambil membicarakan banyak hal mereka mulai melanjutkan langkah. Tiba-tiba makhluk kecil yang awalnya hanya merambat di dahan-dahan pohon, sesekali melompat jauh seperti terbang ke arah dahan lain. Membuat Wira terkagum.
“Mahluk kecil?“
“Ada apa, Wira?“
“Sepertinya aku sudah menemukan nama yang cocok untukmu.“
“Apa itu, Wira?“
“Karena kamu terlihat dari jenis bunglon, dan lompatan kamu cukup jauh, maka kamu akan kupanggil 'Lonbur'. Bagaimana?“
“Bagus Wira. Terima kasih.“
Setelah menjelang gelap. Mereka akhirnya sampai di sebuah tempat yang cukup terbuka dan luas. Pepohonan tampak mengelilingi area itu dan di salah satu ujung jalan, ada sebuah goa besar dan gelap.
“Hati-hati, Wira! Itu goanya.“ Lonbur menunjuk ke arah pintu goa yang ditumbuhi banyak rumput menjalar. Lombur tampak takut untuk mendekati goa sehingga dia memilih bersembunyi di dahan.
“Terima kasih. Kamu tunggu saja di luar. Aku akan masuk sendirian.“
Berjalan perlahan, Wira mendekati pintu goa yang gelap di depannya. Dari jarak ini, aura pekat sudah bisa dirasakan oleh Wira. Sesekali, hembusan angin kencang keluar dan masuk goa, seolah-olah goa ini bernafas dan hidup.
Dalam beberapa langkah Wira telah mulai memasuki pintu goa yang luas dan gelap itu. Tak ada suara orang atau binatang apapun di dalam goa. Sepi dan dingin.
Hanya bermodal berkas cahaya dari luar goa, Wira telah sampai di bagian cukup dalam dari goa. Dia mendengar tetesan air stalaktit.
“Ada cahaya dari sana!“ Wira berseru melihat arah cahaya keemasan dari lorong yang lebih dalam lagi.
Di dekat lorong yang terkena sinar keemasan tadi, aura kuat semakin terasa menekan mental Wira.
“Siapa kau? Berani-beraninya kamu mengganggu meditasiku?“ Suara pria tua menggema dari dalam goa.
“Saya Wira dari desa Sena di bawah gunung.“ Wira menjawab tegas sambil menahan tekanan mentalnya.
Berjalan perlahan, sesekali merangkak. Wira terus berusaha maju di bawah tekanan mental luar biasa yang dirasakan.
“Untuk apa kamu datang menggangguku?“ Sosok burung garuda berwarna emas terlihat duduk di sebuah batu. Aura yang menekan Wira berasal dari sosok itu.
“Saya ingin menjadi muridmu, Guru.“ Wira berusaha bersimpuh dan memberi hormat.
“Lancang! Berani-beraninya kamu memanggilku guru tanpa persetujuan dariku!“
“Kalau kau mau menjadi muridku, kau harus lolos dalam tiga tantangan dariku!“ Garuda Emas beranjak dari atas batu dan perlahan berubah wujud menjadi seorang kakek berjenggot tipis berjalan ke arah Wira.
“Hamba siap, Guru!“
“Pertama, gunakan kekuatan terbaikmu untuk menahan tekanan dariku!“ Seketika ruang terasa semakin berat menekan tubuh Wira sampai ke tanah.
Wira berusaha duduk bersila. Memusatkan konsentrasi dan bermeditasi. Mengaktifkan kekuatan mentalnya sekuat tenaga.
Semakin lama, tekanan kekuatan garuda semakin berat. Tapi Wira masih bisa menahan sekuat tenaga hingga darah merah terlihat di ujung mulutnya.
Kakek tua mengangguk ringan. Setelah periode 1 gathika, kakek menghentikan tekanannya.
“Cukup. Aku cukup terkesan. Rupanya kamu telah mencapai alam Adhikara Pratama. Baguslah. Sekarang berdirilah.“
Merasa cukup puas, kakek tua meminta Wira untuk berdiri setelah mengurangi tekanannya.
“Lihatlah, di ujung sana ada sebuah wadah air. Wadah itu kosong. Tugasmu selanjutnya adalah, isi wadah itu sampai penuh. Gunakan apa saja untuk membawa air dari lembah, yang penting wadah itu penuh.“
“Sendika dawuh!“
Melihat sekeliling, Wira tidak menemukan satupun wadah yang kiranya cukup agar tidak terlalu banyak bolak-balik. Tapi ternyata tak ada.
Berpikir sejenak, Wira akhirnya memuangkan air yang ada dalam kelima kantung kulit yang dia miliki ke dalam wadah. Segera ia keluar goa dan kembali menuruni lereng dengan penuh semangat.
Di luar goa, ia kembali bertemu Lonbur. Lalu mereka bersama-sama pergi mengambil air.
Lonbur tak mau kalah, dia ikut membantu membawa salah satu kantung air milik Wira. Tapi ia tak ikut masuk ke dalam goa untuk menuang airnya karna takut Wira dianggap curang.
Butuh 20 kali Wira dan Lonbur turun dan naik gunung untuk membuat penuh wadah bejana di dalam goa. Saat kantung terakhir dituangkan sampai habis, kakek tua berkata, “Kamu tidak melakukannya sendirian kan? Ayo panggil temanmu masuk ke dalam goa!“
Wira kaget dan gemetar. Merasa bersalah dan takut dianggap curang.
“Tenang. Panggil saja temanmu itu.“
Dengan gugup, Wira keluar goa dan memanggil Lonbur.
Lonbur awalnya tak mau masuk, tapi setelah mendengar teriakkan dari dalam goa, dia akhirnya mau masuk.
Keduanya bersimpuh di tanah memohon belas kasihan dari kakek tua. Mereka mandi keringat dingin seketika. Merasakan tekanan luar biasa dari aura kakek Garuda Emas.
“Kamu makhluk kecil! Sudah berapa abad kau bertapa brata sampai kau bisa berbahasa manusia? Lalu kau membantu pemuda ini tanpa seizinku!“ Kakek membentak Lonbur.
Semakin takut dan gemetar, Lonbur hampir pingsan.
“Ampun, Guru! Bukan salah Lonbur, tapi ini salahku, hukumlah aku, Guru!“ Wira memohon ampun pada kakek tua.
“Kamu belum resmi jadi muridku saja sudah berani menyela!“
Kakek Garuda semakin marah. Dia mencabut sehelai bulu emas dan mengarahkan pada Lonbur. Bulu itu berfluktuasi dengan aura tajam seperti panah yang siap melesat.
Tak mau temannya mati karena serangan kakek tua, Wira bergerak menghalangi arah pandangan kakek pada Lonbur.
Bulu pun melesat cepat ke arah Lonbur. Melewati Wira dan menukik tajam tepat ke arah bunglon itu.
Wira semakin takut dan menoleh ke belakang. Dia melihat bulu emas itu tertancap di punggung sahabatnya.
Wira berteriak dan sangat marah. Fluktuasi energinya bergejolak hebat. Bahkan dia mampu berdiri dan melotot pada kakek tua saat dibawah tekanan luar biasa yang semakin meningkat.
Wira mengepalkan tangannya, niat membunuh meledak dalam dada, mengalir dan berkumpul dalam kepalan tangannya.
Angin berputar hebat di sekitar kepalan tangan kanan Wira. Bersiap menghantam ke arah kakek tua Garuda Emas.
Dengan terus memaksa kekuatannya sampai melewati batas, Wira bergerak maju dan mengirimkan pukulannya pada kakek tua.
Pukulan tangan Wira yang mengandung kekuatan angin mengenai dada kakek tua. Tak bergeming sedikitpun, kakek hanya tersenyum sinis.Dengan lambaian tangan kakek tua sedikit saja, Wira terlempar sampai keluar goa. Dia langsung bangkit kembali masuk dan menyerang kakek tua.Setelah beberapa kali serangan dan Wira terus terlempar keluar goa. Di serangan terakhirnya, kekuatan semakin meningkat ke mendekati alam diatasnya.Namun kali ini, tinju angin wira masih ditahan dan ditangkap oleh kakek tua. Fluktuasi energi terpecah ke belakang kakek dan menjatuhkan beberapa batu stalaktit.Seketika aura Wira turun drastis hingga terkapar lemas.…Tak sadar entah berapa lama Wira tak sadarkan diri, dia akhirnya membuka mata.Dia duduk di batu datar, tempat yang sebelumnya ditempati oleh Garuda Emas. Auranya semakin murni dan stabil.“Akhirnya kamu bangun juga, bocah bau!“ seru kakek tua.Melihat sekeliling, Wira langsung kepikiran sahabatnya yang terakhir dia ingat sahabatnya tertusuk bulu emas di p
Hari kedua Wira bermeditasi, auranya semakin pekat dan kuat. Gerakan tangan semakin selaras dengan aliran energi dalam tubuhnya.Sesekali muncul fluktuasi energi keluar tubuh dan membentuk pusaran-pusaran angin kecil. Dalam beberapa nafas, pusaran itu menghilang lagi.Di luar goa, pepohonan bergoyang hebat. Menari dan mengikuti irama. Senada dengan gerakan angin di dalam goa.Ki Santarja memperhatikan dengan seksama dan mengangguk beberapa kali.'Sungguh anak yang berbakat. Tidak salah aku menerimanya sebagai murid.'Lonbur terbang mendekat dan memberikan sekantung bunga senggani pada Ki Santarja. Melihat sekilas pada sahabatnya, lalu dia keluar dari goa lagi.“Sepertinya kamu akan segera naik ke alam Adhikara Madhyama. Stabilkan terus dan padatkan energimu. Misteri kekuatan angin mulai kau kuasai.“ Ki Santarja berkata dengan suara dalam membimbing meditasi Wira.Di hari ketiga, pusaran angin di sekitar Wira semakin kuat dan cepat. Hingga seluruh ruangan dalam goa terpengaruh.Rambut
Wira membuka mata perlahan. Setelah bermeditasi beberapa hari, akhirnya dia selesai menyerap kekuatan Aji Saipi Angin yang ia dapat sebelumnya. Auranya semakin pekat dan stabil.“Tak heran, perkembanganmu selalu berjalan lancar. Bakatmu memang bagus. Beruntung aku bisa punya murid sepertimu.“ Ki Santarja mengamati Wira sambil memegangi dagunya.“Guru terlalu memuji.““Baiklah. Sekarang apalah artinya kamu telah menguasai ajian itu kalau kamu hanya berdiam di dalam goa. Pergilah berkelana untuk mendapat pengalaman sejati di dunia persilatan.““Sendika dawuh, Guru!““Tapi sebelumnya, jemputlah Lonbur, dia kemarin ku tugaskan mencari sesuatu, tapi dia belum kembali.““Kemana aku harus mencarinya, Guru?““Kau rasakan auranya saja, lalu konsentrasi padanya. Dengan begitu, Aji Saipi Angin akan membantumu menuju tempat dimana Lonbur berada. Setelah ketemu, segera kembali.““Baik, Guru.““Baru selanjutnya kalian pergilah bersama.“Segera Wira memejamkan mata dan merasakan pancaran aura dari s
Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah loron
“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjal
Matahari meredup di langit senja saat Wira dan rombongan bersiap-siap menjalani malam yang penuh petualangan. Seperti biasa Wira duduk di tepi api unggun, matanya terpejam dalam meditasi, menyambut bisikan angin yang membawa pesan gurunya.Lonbur dan Blentung, sebagai teman-teman setia, mencoba membuat suasana lebih ceria. "Hei Blentung, malam ini kita harus memberikan penyambutan yang istimewa untuk Wira. Mungkin kita bisa menyanyi atau menari di sekitar api unggun?" ucap Lonbur sambil tertawa.Blentung menjawab dengan suara serak khasnya, "Ide yang bagus, Lonbur! Mungkin aku bisa menunjukkan gerak tarian katak yang selalu aku latih di sumur tua itu."Mereka adalah dua wujud makhluk yang berbeda, tapi dalam hal kekompakan bercanda, mereka nomor satu. Blentung dengan suara serak khasnya, membuat suara layaknya orkestra alam. Sambil menggerakkan tubuhnya menari tarian katak. Rupanya suara-suara Blentung memancing ratusan katak liar di alam untuk bersahutan memainkan orkestra. Lonbur me
Pohon-pohon besar menjulang tinggi tampak di kejauhan. Dikelilingi hamparan padang ilalang luas, yang tampak putih seperti kapas. Itu adalah bunga-bunga ilalang. Sesekali bunga-bunga itu rontok yang terbang terbawa angin kencang puncak gunung.Mendaki jalan yang terjal memerlukan kerjasama dan saling membantu. Para pendekar muda masih berada di kaki gunung. Mereka bertemu warga lokal yang memberikan petunjuk tentang kondisi puncak. "Puncak ini terkenal dengan keangkerannya. Tetapi jika kalian memiliki niat baik, mungkin kalian akan menemukan keberuntungan di sana," ujar seorang tua dengan rambut putih yang terurai panjang.Setelah melewati desa terakhir, mereka memasuki hutan lebat yang penuh dengan makhluk pengganggu. Semuanya bersatu untuk melindungi satu sama lain. Perjalanan ini tidaklah mudah. Hutan menyimpan berbagai rintangan yang tak terduga. Pohon-pohon besar dan akar-akar menjulang membuat mereka harus selalu berhati-hati dengan setiap langkah. Sering kali, suara aneh dan b
Wira Soma, dengan penuh rasa syukur menerima senjata busur sakti yang bernama "Tunggak Bawarastra". Busur sakti pemberian dewa angin ini sangat kental aura kekuatan anginnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Batara Bayu yang telah memberinya anugerah, pada gurunya yang memberi arahan dan mengawasi selama proses penerobosan, dan Sang Hyang Semar sebagai salah satu dewa tertinggi.Lalu, dengan tekad yang semakin kuat, Wira menyelaraskan kekuatannya pada busur sakti itu, merasakan energi yang mengalir di setiap urat tubuhnya. Begitu energi terserap sempurna, wujud busur pun menyatu dalam dirinya, tersimpan di Alam Pusarnya.Sementara itu, teman-teman yang menunggu juga menerima hadiah dari Batara Bayu, yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Mereka dengan antusias menyelaraskan diri dengan senjata baru mereka, merasakan kekuatan baru yang mengalir melalui tubuh mereka.Setelah selesai, rombongan itu memutuskan untuk menuruni gunung melalui jalan lain, mencari penginapan untuk beris