“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.
Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.
Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.
“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.
Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.
Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjalan santai, sementara Lonbur dan Blentung menempel di pundak Wira, menjadi teman setia dalam petualangan ini.
Diantara mereka, hanya Lonbur yang mempunyai kemampuan untuk terbang. Sesekali dia terbang menelusuri jalan ke depan sambil mengamati keadaan juga melemaskan otot sayapnya.
Perjalanan panjang dan berliku membawa mereka ke sebuah pasar ramai. Di tengah keramaian, terdengar suara ribut dan teriakan. Seketika Lonbur terbang ke arah keributan dan segera kembali.
“Sedang ada perampokan, Wira! Ayo kita selamatkan para warga!“ Lonbur kembali dengan tergesa-gesa dan langsung melapor pada Wira.
Sejumlah perampok telah meneror pasar itu, beberapa warga dan pedagang tampak meringkuk ketakutan. Tanpa ragu, Wira dan Meru bergegas membantu. Namun, ternyata mereka tak sendirian. Seorang pendekar wanita tangguh, sudah berada di sana dan turut melibatkan diri.
Walau Wira bisa berlari secepat angin, menghadapi situasi yang ramai dia memilih berlari normal dan menghampiri pendekar wanita itu.
“Salam, Nyisanak.“ Wira menyapa sambil membidikan panah melawan perampok.
Pendekar wanita itu tersenyum dan mengangguk sambil terus memainkan pedangnya.
Dua pendekar pedang dan satu pemanah bekerja sama dengan efisien. Dalam pertempuran sengit, mereka melawan gerombolan perampok. Satu persatu musuh dijatuhkan.
Pendekar wanita itu menunjukkan keterampilan berpedangnya yang luar biasa, hampir seimbang dengan keahlian pedang Meru melawan para penjahat. Namun, semakin banyak perampok, semakin sulit mereka dikalahkan.
Lonbur terbang membantu warga untuk pergi menjauh dibantu Sari dan Blentung yang telah berubah menjadi wujud manusia. Mereka mengarahkan warga untuk sembunyi di rumah padepokan terdekat.
Sementara di medan pertempuran, semua berandal kecil telah dikalahkan. Hanya menyisakan satu orang pemimpin yang beringas.
Tiba saatnya pertarungan tiga lawan satu. Wira dari kejauhan dengan panahnya, sementara Meru dan pendekar wanita berhadapan langsung dengan Jaka Sentana, pemimpin perampok yang sakti.
“Kamu sudah kalah, Jaka! Menyerahlah segera!“ Pendekar pedang berbaju merah itu mencibir.
“Selama aku masih bisa berdiri dan melawan, pantang untuk mengaku kalah!“ Jaka menepuk dadanya dengan sombong.
“Katakan pada gurumu, Rara! Kalau dia berani, temui aku segera!“
“Kurang ajar! Kau akan kuseret untuk menemui guru dan kau katakan sendiri ucapanmu tadi!“ Pendekar Rara semakin marah.
Pertarungan itu menjadi lebih menegangkan. Dua gadis pendekar pedang hampir saja dikalahkan oleh Jaka. Rara tersungkur dan Jaka langsung menerkam berniat melecehkannya. Namun secepatn kilat, Wira yang dari tadi di kejauhan menyerang dengan panah, tiba-tiba sudah berada di depan jaka dan mengayunkan tinju anginnya.
Jaka Sentana terlempar cukup jauh dan jatuh pingsan dengan wajah penuh memar dan memuntahkan seteguk darah segar.
Setelah pertarungan selesai, Wira dan rombongan memperkenalkan diri pada pendekar wanita yang bertarung bersama. Ternyata dia bernama Rada Dewi, dan Rara pun berterimakasih.
Mereka lalu memutuskan untuk mampir ke padepokan Rara. Serta membantu membawa tubuh Jaka yang telah diikat kedua tangannya. Supaya diadili oleh guru Rara.
Di padepokan, Jaka Sentana langsung dibawa ke dalam penjara dan Rara langsung melapor pada gurunya, “Guru. Jaka sudah dilumpuhkan dan segera dimasukkan penjara.“
“Baguslah, Rara.“ Pria paruh baya yang tampak bijaksana mengangguk ringan.
“Lalu siapa mereka?“
“Ini adalah Kang Wira, murid Garuda Emas dan ini Nyi Dewi Meru, lalu Sari, dan juga teman kecil mereka. Mereka semua tengah melakukan perjalanan atas perintah guru Kang Wira. Dan mereka telah membantuku untuk mengalahkan Jaka baru saja.“
Guru Rara yang diketahui bernama Ki Karta Wirya itu mengangguk, “Jadi kalian murid-murid kakek tua itu?“
“Betul. Paman Guru!“ tegas Wira.
“Beristirahatlah sejenak di sini. Dan lanjutkan perjalanan kalian saat sudah cukup berisirahat.“
Wira dan teman-temannya menagkupkan tangannya sembari mengucap terimakasih.
Mereka segera berpindah ke ruang lain untuk berbincang dan istirahat. Mereka berbagi kisah dan pengalaman. Rara, yang terkesan dengan keberanian dan semangat perjalanan mereka, memutuskan untuk bergabung.
“Apakah aku boleh ikut kalian?“ Rara menyeringai setelah mendengar rentetan cerita mereka.
Wira menjawab, “Nyai adalah murid Paman Guru. Baiknya, mintalah petunjuk beliau. Kalau beliau mengizinkan, kamu boleh ikut kami.“
“Baiklah, aku akan minta pendapat guru.“ Rara segera beranjak menemui gurunya setelah menunjukkan kamar tempat istirahat teman barunya.
Dewi Meru dan Sari masuk ke dalam kamar di padepokan puteri. Sementara Wira dan para teman kecil memilih ke halaman belakang.
Wira seperti biasa, istirahatnya dilakukan sambil terus berlatih. Dia bermeditasi di sebuah saung kecil di halaman belakang. Fluktuasi angin mengelilingi tubuh Wira hingga beberapa lembar kain ikat kepalanya menari-nari.
Diam-diam, Rara Dewi mengintai di balik pintu. Memperhatikan setiap gerak tubuh Wira membuat dia semakin terpesona.
'Kang Wira, apakah masih ada ruang kosong di hatimu? Bisakah aku ikut mengisi ruang kosong itu?' Begitu terpesonanya sampai batin Rara bertanya-tanya.
Begitu pagi menampakkan sinarnya, Rara bergegas menuju saung tempat Wira bermeditasi. “Kang Wira! Guru sudah mengizinkan aku ikut, Kang.“ Tanpa disadari, Rara berteriak sedikit manja pada Wira.
Wira segera membuka mata dan mulai bersiap.
Segera semuanya dipanggil dan berkumpul. Mereka menemui guru padepokan untuk pamitan. Tak disangka, mungkin karena Rara Dewi salah satu muridnya ikut, jadi mereka diberi perbekalan banyak.
“Terimakasih, Paman Guru. Kami serombongan telah merepotkan padepokan Sekar Jagat ini. Kami mohon diri.“
Ki Karta Wirya mengangguk dan bangga. Mengirim mereka menapaki jalan di depan padepokan. Dengan kualifikasi Wira, dia berharap Rara bisa berjodoh dengannya.
Perjalanan mereka dilanjutkan dengan semangat baru. Keempat pendekar, bersatu dalam tujuan yang sama, mengarungi tantangan demi tantangan.
Dewi Meru dan Rara Dewi mulai terlihat seolah bersaing mendapatkan hati Wira. Sari yang paling muda hanya tersenyum melihat tingkah para seniornya.
Dengan setiap langkah, mereka semakin mendekati puncak gunung Susuh Angin, di mana anugerah dan kekuatan baru menanti untuk menguji dan memperkuat ikatan persahabatan mereka.
“Tujuan kita sudah terlihat, teman-teman! Ayo terus semangat!“ Lonbur yang telah terbang jauh ke depan dia kembali lagi menyemangati teman-temannya.
Matahari meredup di langit senja saat Wira dan rombongan bersiap-siap menjalani malam yang penuh petualangan. Seperti biasa Wira duduk di tepi api unggun, matanya terpejam dalam meditasi, menyambut bisikan angin yang membawa pesan gurunya.Lonbur dan Blentung, sebagai teman-teman setia, mencoba membuat suasana lebih ceria. "Hei Blentung, malam ini kita harus memberikan penyambutan yang istimewa untuk Wira. Mungkin kita bisa menyanyi atau menari di sekitar api unggun?" ucap Lonbur sambil tertawa.Blentung menjawab dengan suara serak khasnya, "Ide yang bagus, Lonbur! Mungkin aku bisa menunjukkan gerak tarian katak yang selalu aku latih di sumur tua itu."Mereka adalah dua wujud makhluk yang berbeda, tapi dalam hal kekompakan bercanda, mereka nomor satu. Blentung dengan suara serak khasnya, membuat suara layaknya orkestra alam. Sambil menggerakkan tubuhnya menari tarian katak. Rupanya suara-suara Blentung memancing ratusan katak liar di alam untuk bersahutan memainkan orkestra. Lonbur me
Pohon-pohon besar menjulang tinggi tampak di kejauhan. Dikelilingi hamparan padang ilalang luas, yang tampak putih seperti kapas. Itu adalah bunga-bunga ilalang. Sesekali bunga-bunga itu rontok yang terbang terbawa angin kencang puncak gunung.Mendaki jalan yang terjal memerlukan kerjasama dan saling membantu. Para pendekar muda masih berada di kaki gunung. Mereka bertemu warga lokal yang memberikan petunjuk tentang kondisi puncak. "Puncak ini terkenal dengan keangkerannya. Tetapi jika kalian memiliki niat baik, mungkin kalian akan menemukan keberuntungan di sana," ujar seorang tua dengan rambut putih yang terurai panjang.Setelah melewati desa terakhir, mereka memasuki hutan lebat yang penuh dengan makhluk pengganggu. Semuanya bersatu untuk melindungi satu sama lain. Perjalanan ini tidaklah mudah. Hutan menyimpan berbagai rintangan yang tak terduga. Pohon-pohon besar dan akar-akar menjulang membuat mereka harus selalu berhati-hati dengan setiap langkah. Sering kali, suara aneh dan b
Wira Soma, dengan penuh rasa syukur menerima senjata busur sakti yang bernama "Tunggak Bawarastra". Busur sakti pemberian dewa angin ini sangat kental aura kekuatan anginnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Batara Bayu yang telah memberinya anugerah, pada gurunya yang memberi arahan dan mengawasi selama proses penerobosan, dan Sang Hyang Semar sebagai salah satu dewa tertinggi.Lalu, dengan tekad yang semakin kuat, Wira menyelaraskan kekuatannya pada busur sakti itu, merasakan energi yang mengalir di setiap urat tubuhnya. Begitu energi terserap sempurna, wujud busur pun menyatu dalam dirinya, tersimpan di Alam Pusarnya.Sementara itu, teman-teman yang menunggu juga menerima hadiah dari Batara Bayu, yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Mereka dengan antusias menyelaraskan diri dengan senjata baru mereka, merasakan kekuatan baru yang mengalir melalui tubuh mereka.Setelah selesai, rombongan itu memutuskan untuk menuruni gunung melalui jalan lain, mencari penginapan untuk beris
Sejauh mata memandang, semua tampak tenang dan tak ada gerakan apapun. Lingkungan yang luas membentang, langit biru cerah serta vegetasi hutan yang masih sangat alami. Padang rumput luas dengan beraneka jenis rerumputan yang tumbuh liar.Tiba-tiba muncul fluktuasi energi di atas langit kosong membentuk riak gelombang seperti kolam yang tenang terkena lemparan batu kecil.Wira Soma memasuki alam Mahapuspha melalui lorong hampa di tengah riak gelombang di langit. Dia memasuki sebuah dunia miniatur yang tersembunyi di dalam bunga raksasa.Melihat sekeliling, Wira bergumam, “Apakah aku salah masuk? Kenapa di tempat ini begitu sunyi? Bahkan tak ada jejak orang lewat sedikitpun, apalagi pertempuran.“ Begitu banyak pertanyaan dalam pikiran yang tau kepada siapa dia harus bertanya.Berjalan di padang rumput, Wira menemukan beberapa tumbuhan herbal liar yang memancarkan aura yang kuat menandakan tumbuhan itu benar-benar berkhasiat. Walaupun sebagian besar Wira belum mengetahui kegunaan pastiny
Wira Soma melangkah dengan hati penuh tekad menuju Rawa Kangkung, diiringi oleh suara gemercik air dan alunan angin yang sepoi-sepoi. Setiap langkahnya dihiasi dengan kecantikan alam yang mengelilinginya. Namun, perjalanannya tak sepenuhnya mulus.Tiba-tiba, lonceng di leher Blentung berdenting keras. Ada aura ancaman yang membuat mereka waspada. Melihat sekeliling, sebuah serangan mendadak melesat dari bayangan pepohonan di tepi rawa. Sebilah benda bercahaya melesat ek arah Wira, dengan ketajaman mata dan kekuatannya, benda itu ditangkap tanpa terlalu banyak usaha. Benda itu berbentuk seperti jarum kecil, tajam, beraura sangat kuat. Serangan itu dilakukan oleh makhluk halus yang ingin menggagalkan pencarian Wira.Dengan sigap, Lonbur dan Blentung bertindak. Lonbur terbang mengelilingi area untuk mengamati musuh yang tak terlihat. Blentung, dengan keahliannya sebagai makhluk halus, menggunakan kekuatan gaibnya untuk membuat selubung.Wira Soma, yang tetap berada di jalannya, menyadar
Padepokan Ki Santarja saat ini kedatangan beberapa pendekar baru. Mereka duduk bersila di halaman luas mendengarkan laporan Wira. Sang guru pun mengangguk dan memberi mereka wejangan yang lebih dalam.Ketenangan malam yang dihiasi derik serangga tiba-tiba terusik.Di salah satu sudut area, telah terjadi fluktuasi energi yang kacau. Sebuah pusaran cahaya tiba-tiba muncul di tengah dan berkembang menjadi sebuah portal dimensi. Aliran angin pun terasa kacau di dekat portal itu.Dari sana muncul sosok pendekar tua yang bermartabat.“Salam Kakek Garuda Emas!“ Pendekar yang tampak lebih tua itu justru memberi hormat pada Ki Santarja.Ki Santarja mengangguk, lalu mempersilakan duduk.“Mohon ampun. Saya datang ke sini hanya sebentar saja. Karena situasi di dunia kami, dunia Puser Bumi sedang kacau. Raja mengutusku untuk mencari bala bantuan. Menurut ramalan kuno, akan ada seorang pemuda sakti yang menjadi muri Garuda Emas. Dialah yang bisa membantu menyelamatkan Puser Bumi.“Ki Santarja terse
Di sebuah aula padepokan sederhana yang hanya cukup untuk 30 orang, 6 tetua tengah berunding bersama Ki Pranawa. Mereka berharap para ksatria muda mendapatkan hasil yang memuaskan.Wira, Meru dan Rara kembali ke padepokan bersama Ki Mantep dengan Mustika Angin yang telah berhasil mereka dapatkan dari Goa Luweng Angin. Ki Pranawa bersama semua tetua menyambut mereka dengan bangga, melihat bahwa para ksatria muda telah berhasil menyelesaikan misi pertama mereka di Puser Bumi."Tidak ada kata yang dapat menggambarkan rasa bangga dan terima kasihku pada kalian. Mustika Angin yang kalian bawa akan menjadi landasan untuk misi-misi berikutnya," ujar Ki Pranawa sambil menatap mata Wira dengan tajam, seakan membaca nasib yang menanti.Wira memegang mustika denga dibalut kain putih dan menunjukkan pada semua yang hadir. Setelah dibuka, terlihat sebongkah batu permata bersegi, berkilau putih. Wira menyerahkan pada Ki Pranawa, “Mustika ini sebenarnya tidak dicuri. Melainkan roh suci di dalamnya y
Lurung Angin, sebuah tempat sakral yang menyimpan kebijaksanaan dan kekuatan spiritual di dalam alam Puser Bumi. Dataran tinggi yang meluas, hutan yang rimbun, dan berbagai makhluk alam menjadi ujian bagi Wira dan teman-temannya, namun semangat mereka tidak pernah surut.Dengan Harimau Angin yang memimpin jalan, mereka menjelajahi dataran tinggi yang terbentang luas. Pemandangan yang memukau dengan bunga-bunga berwarna-warni dan angin yang berdesir melintas, Wira merasa ada energi yang begitu kuat mengalir di sana. Ini bukan hanya sebuah tempat fisik, melainkan juga wilayah di mana energi alam dan spiritual bersatu.Meru dan Rara, di sisi lain, menghadapi ujian yang unik. Burung-burung kecil berkumpul di langit biru, membentuk pola yang indah. Dengan pandangan tajam, mereka memandu Meru dan Rara melewati jalur yang berliku, memberikan petunjuk yang hanya dapat dimengerti oleh hati yang jujur. Mereka memasuki sebuah gerbang yang membuat mereka berpisah dengan Wira dan Teja.Wira Soma d
“Kalian tidak akan bisa meninggalkan tempat ini!” Seorang pemimpin penjaga berteriak sambil mengacungkan pedang panjangnya ke arah pria dan wanita muda di mulut gua.“Tangkap mereka!” lanjutnya.Tiga orang penjaga lain menyiapkan senjata mereka dan segera menyerang ke arah pria dan wanita muda yang tidak lain adalah Wira Soma dan Ratih. Seorang pendekar pemanah dan seorang wanita yang tampak biasa.Lonbur, seekor bunglon bersayap yang luput dari perhatian para penjaga segera terbang ke sisi gua.Dalam pertarungan jarak dekat, Wira mengandalkan sebilah pedang kecil dan juga batang busur panahnya sebagai tongkat. Dia bersiap pada setiap serangan para musuhnya.Sementara Ratih, dia berbalik memunggungi Wira untuk berjaga dari serangan menjepit dari arah belakang dengan bibir seperti merapalkan sesuatu.Tiga orang penjaga yang menyerang dari depan langsung berhadapan dengan Wira Soma dan pedang pendeknya. Serangan pedang dan golok sesekali menghampirinya, tapi dengan busur di tangan, peda
Mengikuti arah getaran pada pusaka Pring Petuk, Wira Soma dan kawan-kawan ternyata telah berbelok dari arah pusat kota kerajaan. Mereka menuju ke kaki gunung. Melewati ngarai yang dalam dan tebing terjal di sepanjang jalan.Alam di sekitar area ini seperti tak pernah dijamah manusia. Tebing berbatu dipenuhi lumut yang tebal, semak-semak tinggi menutupi jalan setapak.“Ke arah mana sebenarnya kita ini, Kang? Bukannya kamu bilang mau ke kota kerajaan?” Ratih mulai tak sabar untuk bertanya.“Aku hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pusaka ini. Sepertinya dia mendeteksi tempat persembunyian Ratu Angin Hitam atau pengikutnya.” Wira menggenggam Pring Petuk di tangan kanannya dan menggerakkan ke menghadap beberapa arah, potongan bambu itu akan terus bergetar dengan kekuatan yang lebih lemah saat Wira mengarah ke dalam ngarai yang lebih gelap.Memasuki lembah terdalam, aura mistis semakin terasa. Lonbur yang sebelumnya bersantai di pundak Wira, dia melompat ke pundak Ratih. “Nyai! Apaka
Wira tetap teguh. "Kekuatan dan kehormatan tidak bisa dibeli dengan uang," katanya. "Pring Petuk ini adalah anugerah dari alam dan hasil dari kerja keras. Aku tidak akan pernah menjualnya."Para pendekar lain mengangguk setuju, menghargai prinsip dan integritas Wira. Pria kaya itu akhirnya pergi dengan rasa malu, meninggalkan Wira, Ratih, dan Lonbur dengan kebanggaan yang semakin kuat.Semua yang hadir tahu, bahwa mereka memang tidak cocok untuk mendapatkan pusaka sakti itu. Banyak dari mereka telah mencoba tapi tak sedikit yang gagal. Bahkan ada yang terluka parah sampai ada juga yang tewas. Hingga akhirnya hanya pendekar pemanah yang datang terakhir ini yang berhasil memenangkan pertarungan.Dengan Pring Petuk yang kini ada di tangan mereka, Wira dan Ratih melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan. Namun, dengan tekad dan semangat yang tidak pernah pudar, mereka siap menghadapi apapun yang datang.Mengingat tujuan awal Wira So
Sejak tiba, karena masih ada beberapa orang lain yang sedang berusaha mendapat Pring Petuk, Wira Soma langsung duduk di dekat lokasi rumpun bambu gading dan mulai bermeditasi.Di dalam kedalaman meditasinya, dia mendapatkan petunjuk spiritual yang mengejutkan bahwa sosok penjaga Pring Petuk sebenarnya adalah makhluk yang sangat sakti dan independen. Makhluk itu tidak hanya menjaga pring petuk dengan kekuatan fisiknya, tetapi juga dengan kekuatan spiritual yang mengikat pada batang bambu tersebut.Tentu saja Wira tidak mendengar informasi tentang beberapa kejadian yang telah terjadi sebelumnya dari diskusi di sekitar.Saat Wira terbangun dari meditasinya dia mendapat pemahaman yang baru.Ratih segera melaporkan hasil penyelidikan pada makhluk mistis di sekitar area pada Wira Soma, sehingga Wira semakin paham situasinya.Dia menemukan seekor ular yang tampak menempel di batang bambu gading di dekat ruas yang terjadi petuk. Dalam pandangan sekilas ular itu tampak samar, bisa dianggap han
“Terima kasih, Ki!“ Wira Soma menagkupkan tangannya mengangguk pada Ki Mantep.Ki Mantep mengangguk dan juga tersenyum lalu perlahan menghilang kembali.Suasana di desa kembali damai sekali lagi. Penduduk desa bersukacita dan berterima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas kepahlawanan mereka. Tanpa disadari, sosok legenda yang telah membantu sebelumnya telah menghilang seolah tak pernah muncul.Namun, di balik kegembiraan, perasaan yang berbeda mulai tumbuh di antara Wira dan Ratih.Ratih, gadis desa yang memiliki kemampuan khusus dalam berkomunikasi dengan makhluk-makhluk mistis, merasakan getaran aneh saat bersama Wira. Dia mulai merasa tertarik pada pemuda itu, tetapi Wira masih ragu-ragu.Wira masih terbayang akan Dewi Meru, teman masa kecilnya yang selalu ada di sisinya. Meskipun ia merasakan getaran rasa spesial dari Ratih, namun ia merasa tidak pantas untuk melupakan Dewi Meru begitu saja.Mencoba mengingat sesuatu yang terlupakan, Wira akhirnya bertanya sambil berjalan, “
Setelah kemenangan mereka atas Ratu Angin Hitam, suasana di desa kembali tenang. Penduduk desa bersukacita dan mengucapkan terima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas pertolongan mereka. Penduduk mengadakan perayaan sebagai bentuk rasa syukur dengan mengadakan jamuan di halaman rumah sesepuh kampung.“Nikmatilah jamuan sekedarnya ini, Pendekar. Sebagai wujud ucapan terimakasih kami karena telah menyelamatkan warga kami dari kekejaman Ratu Angin Hitam.“ Sesepuh kampung tersenyum ramah mempersilakan untuk makan.“Terima kasih, Sesepuh! Kebetulan kami juga tengah menelusuri jejak pengaruh kekuatan kegelapan itu.“ Wira menceritakan tentang tugas perjalanan dari gurunya di kerajaan Toya Legi ini. Sejak ia mendapat tugas di Puser Bhumi, dilanjutkan menuju kerjaan ini. Misinya masih sama, membasmi kekuatan kegelapan khususnya para pengikut Dewa Gempurana. Namun di kerajaan Toya Legi ini, Wira Soma harus mencari petunjuk dan langkahnya sendiri.Di balik kegembiraan kemenangan yang sementa
Malam itu, di tepi hutan yang gelap, suasana menjadi semakin tenang, Wira dan Ratih merencanakan langkah mereka selanjutnya. Mereka duduk di sekitar api unggun kecil, sementara Lonbur, yang masih dalam wujud bunglon, bergelayutan di ranting pohon di dekat mereka."Kita harus mencari lebih banyak informasi tentang Ratu Angin Hitam dan sihir yang digunakannya," ujar Ratih dengan penuh tekad. "Mungkin ada petunjuk lain saat kita memasuki desa."Wira mengangguk setuju. "Kita harus siap untuk berhadapan dengan segala macam rintangan dan musuh yang mungkin kita temui di desa. Tidak boleh lengah."Kemretek suara kayu terbakar api unggun, menjadikan suasana lebih tenang malam itu.Saat mereka mengatur rencana, tiba-tiba Lonbur memperlihatkan sayapnya yang mengesankan. "Tidak perlu khawatir, saya pasti membantu," kata Lonbur dengan suara cemprengnya yang khas.Ratih terkesima melihat perubahan mendadak Lonbur. "Kamu benar-benar bisa berubah seperti itu?" Ratih heran.Lonbur mengangguk mantap.
Hari mulai gelap di dekat gerbang perbatasan kerajaan Toya Legi. Lampu-lampu kecil dari potongan kayu damar telah dinyalakan. Dan sebuah api unggun menyala terang di dekat gerbang menghasilkan suara kemretek dari pembakaran kayu.“Malam ini kita akan makan sate rusa muda, Slur! Pasti mantap!“ Seorang penjaga gerbang memanggul rusa kecil yang masih sekarat, dia bersiap untuk memotong rusa itu.“Ah! Rusa sekecil itu! Mana cukup dagingnya buat kita semua, Kang!“ Penjaga yang lain malah protes. “Kenapa tak kamu ambil rusa besar itu saja? Walau kurus, pasti dagingnya lebih banyak daripada anak rusa ini!““Kalau mau, ayo bantu aku persiapkan buat sate saja! Tidak perlu protes! Yang tidak membantu, tidak kebagian!“ Penjaga yang memanggul rusa kecil menyiapkan golok untuk menyembelih rusa yang masih sekarat itu. Dia meletakkannya di tanah dan menghunus goloknya.…“Semoga mereka tidak berniat benar-benar memakan Lonbur yang kecil dan kurus itu,” gumam Wira pada diri sendiri di dekat api unggu
Di dalam goa yang luas, tiga orang terlihat duduk saling berhadapan. Dua diantaranya duduk di lantai yang lebih rendah, menghadap ke arah satunya.Goa itu cukup gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos dari arah pintu masuk yang menjadi penerang suasana di dalam goa. Di sudut goa, terlihat ada sebuah bejana air yang cukup besar. Juga ada beberapa kantung kulit yang tergeletak.Sosok tua yang duduk di pelataran tinggi memulai berbicara.“Setelah ini, kalian pergilah ke arah barat daya. Masuklah ke negeri Toya Legi, di sana kalian akan mendapat petunjuk lainnya.“ Ki Santarja menampilkan gambaran samar melayang di udara. Gambaran bercahaya emas itu memperlihatkan sebuah peta menuju kerajaan di sisi barat daya.“Lonbur, kamu gunakanlah wujud besar sehingga Wira bisa naik di atas punggungmu. Supaya perjalanan kalian menjadi lebih cepat. Namun janganlah kalian terbang seperti itu di dalam wilayah kerajaan Toya Legi kalau Kanuraganmu belum bisa untuk terbang sendiri tanpa say