Malam itu, di tepi hutan yang gelap, suasana menjadi semakin tenang, Wira dan Ratih merencanakan langkah mereka selanjutnya. Mereka duduk di sekitar api unggun kecil, sementara Lonbur, yang masih dalam wujud bunglon, bergelayutan di ranting pohon di dekat mereka."Kita harus mencari lebih banyak informasi tentang Ratu Angin Hitam dan sihir yang digunakannya," ujar Ratih dengan penuh tekad. "Mungkin ada petunjuk lain saat kita memasuki desa."Wira mengangguk setuju. "Kita harus siap untuk berhadapan dengan segala macam rintangan dan musuh yang mungkin kita temui di desa. Tidak boleh lengah."Kemretek suara kayu terbakar api unggun, menjadikan suasana lebih tenang malam itu.Saat mereka mengatur rencana, tiba-tiba Lonbur memperlihatkan sayapnya yang mengesankan. "Tidak perlu khawatir, saya pasti membantu," kata Lonbur dengan suara cemprengnya yang khas.Ratih terkesima melihat perubahan mendadak Lonbur. "Kamu benar-benar bisa berubah seperti itu?" Ratih heran.Lonbur mengangguk mantap.
Setelah kemenangan mereka atas Ratu Angin Hitam, suasana di desa kembali tenang. Penduduk desa bersukacita dan mengucapkan terima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas pertolongan mereka. Penduduk mengadakan perayaan sebagai bentuk rasa syukur dengan mengadakan jamuan di halaman rumah sesepuh kampung.“Nikmatilah jamuan sekedarnya ini, Pendekar. Sebagai wujud ucapan terimakasih kami karena telah menyelamatkan warga kami dari kekejaman Ratu Angin Hitam.“ Sesepuh kampung tersenyum ramah mempersilakan untuk makan.“Terima kasih, Sesepuh! Kebetulan kami juga tengah menelusuri jejak pengaruh kekuatan kegelapan itu.“ Wira menceritakan tentang tugas perjalanan dari gurunya di kerajaan Toya Legi ini. Sejak ia mendapat tugas di Puser Bhumi, dilanjutkan menuju kerjaan ini. Misinya masih sama, membasmi kekuatan kegelapan khususnya para pengikut Dewa Gempurana. Namun di kerajaan Toya Legi ini, Wira Soma harus mencari petunjuk dan langkahnya sendiri.Di balik kegembiraan kemenangan yang sementa
“Terima kasih, Ki!“ Wira Soma menagkupkan tangannya mengangguk pada Ki Mantep.Ki Mantep mengangguk dan juga tersenyum lalu perlahan menghilang kembali.Suasana di desa kembali damai sekali lagi. Penduduk desa bersukacita dan berterima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas kepahlawanan mereka. Tanpa disadari, sosok legenda yang telah membantu sebelumnya telah menghilang seolah tak pernah muncul.Namun, di balik kegembiraan, perasaan yang berbeda mulai tumbuh di antara Wira dan Ratih.Ratih, gadis desa yang memiliki kemampuan khusus dalam berkomunikasi dengan makhluk-makhluk mistis, merasakan getaran aneh saat bersama Wira. Dia mulai merasa tertarik pada pemuda itu, tetapi Wira masih ragu-ragu.Wira masih terbayang akan Dewi Meru, teman masa kecilnya yang selalu ada di sisinya. Meskipun ia merasakan getaran rasa spesial dari Ratih, namun ia merasa tidak pantas untuk melupakan Dewi Meru begitu saja.Mencoba mengingat sesuatu yang terlupakan, Wira akhirnya bertanya sambil berjalan, “
Sejak tiba, karena masih ada beberapa orang lain yang sedang berusaha mendapat Pring Petuk, Wira Soma langsung duduk di dekat lokasi rumpun bambu gading dan mulai bermeditasi.Di dalam kedalaman meditasinya, dia mendapatkan petunjuk spiritual yang mengejutkan bahwa sosok penjaga Pring Petuk sebenarnya adalah makhluk yang sangat sakti dan independen. Makhluk itu tidak hanya menjaga pring petuk dengan kekuatan fisiknya, tetapi juga dengan kekuatan spiritual yang mengikat pada batang bambu tersebut.Tentu saja Wira tidak mendengar informasi tentang beberapa kejadian yang telah terjadi sebelumnya dari diskusi di sekitar.Saat Wira terbangun dari meditasinya dia mendapat pemahaman yang baru.Ratih segera melaporkan hasil penyelidikan pada makhluk mistis di sekitar area pada Wira Soma, sehingga Wira semakin paham situasinya.Dia menemukan seekor ular yang tampak menempel di batang bambu gading di dekat ruas yang terjadi petuk. Dalam pandangan sekilas ular itu tampak samar, bisa dianggap han
Wira tetap teguh. "Kekuatan dan kehormatan tidak bisa dibeli dengan uang," katanya. "Pring Petuk ini adalah anugerah dari alam dan hasil dari kerja keras. Aku tidak akan pernah menjualnya."Para pendekar lain mengangguk setuju, menghargai prinsip dan integritas Wira. Pria kaya itu akhirnya pergi dengan rasa malu, meninggalkan Wira, Ratih, dan Lonbur dengan kebanggaan yang semakin kuat.Semua yang hadir tahu, bahwa mereka memang tidak cocok untuk mendapatkan pusaka sakti itu. Banyak dari mereka telah mencoba tapi tak sedikit yang gagal. Bahkan ada yang terluka parah sampai ada juga yang tewas. Hingga akhirnya hanya pendekar pemanah yang datang terakhir ini yang berhasil memenangkan pertarungan.Dengan Pring Petuk yang kini ada di tangan mereka, Wira dan Ratih melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan. Namun, dengan tekad dan semangat yang tidak pernah pudar, mereka siap menghadapi apapun yang datang.Mengingat tujuan awal Wira So
Mengikuti arah getaran pada pusaka Pring Petuk, Wira Soma dan kawan-kawan ternyata telah berbelok dari arah pusat kota kerajaan. Mereka menuju ke kaki gunung. Melewati ngarai yang dalam dan tebing terjal di sepanjang jalan.Alam di sekitar area ini seperti tak pernah dijamah manusia. Tebing berbatu dipenuhi lumut yang tebal, semak-semak tinggi menutupi jalan setapak.“Ke arah mana sebenarnya kita ini, Kang? Bukannya kamu bilang mau ke kota kerajaan?” Ratih mulai tak sabar untuk bertanya.“Aku hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pusaka ini. Sepertinya dia mendeteksi tempat persembunyian Ratu Angin Hitam atau pengikutnya.” Wira menggenggam Pring Petuk di tangan kanannya dan menggerakkan ke menghadap beberapa arah, potongan bambu itu akan terus bergetar dengan kekuatan yang lebih lemah saat Wira mengarah ke dalam ngarai yang lebih gelap.Memasuki lembah terdalam, aura mistis semakin terasa. Lonbur yang sebelumnya bersantai di pundak Wira, dia melompat ke pundak Ratih. “Nyai! Apaka
“Kalian tidak akan bisa meninggalkan tempat ini!” Seorang pemimpin penjaga berteriak sambil mengacungkan pedang panjangnya ke arah pria dan wanita muda di mulut gua.“Tangkap mereka!” lanjutnya.Tiga orang penjaga lain menyiapkan senjata mereka dan segera menyerang ke arah pria dan wanita muda yang tidak lain adalah Wira Soma dan Ratih. Seorang pendekar pemanah dan seorang wanita yang tampak biasa.Lonbur, seekor bunglon bersayap yang luput dari perhatian para penjaga segera terbang ke sisi gua.Dalam pertarungan jarak dekat, Wira mengandalkan sebilah pedang kecil dan juga batang busur panahnya sebagai tongkat. Dia bersiap pada setiap serangan para musuhnya.Sementara Ratih, dia berbalik memunggungi Wira untuk berjaga dari serangan menjepit dari arah belakang dengan bibir seperti merapalkan sesuatu.Tiga orang penjaga yang menyerang dari depan langsung berhadapan dengan Wira Soma dan pedang pendeknya. Serangan pedang dan golok sesekali menghampirinya, tapi dengan busur di tangan, peda
Jalanan terjal menanti di depan mata. Pepohonan rindang memenuhi segala arah membuat suasana tampak gelap karena bayangannya. Hanya suara serangga berderik yang nyaring di kejauhan, menandakan waktu siang menjelang sore.Seorang pemuda tampak lelah berjalan dengan tongkat di tangan. Duduk beristirahat di sebuah batu besar, dia mengeluarkan kantung kulit berisi air lalu meminumnya beberapa tegukan. Air pun habis.“Sudah kantung ke-5 air yang kuhabiskan. Aku belum menemukan goa itu.“ Pemuda itu bergumam. Mengingat betapa jauh langkah yang telah dia lewati.Melanjutkan langkah, pemuda itu mendengar suara air gemericik. Bermaksud memenuhi kembali kantung air yang dibawanya, dia bergerak ke arah sumber air itu.Sebuah aliran air kecil mengalir di sela-sela batu. Airnya begitu jernih dan segar.Pemuda yang memakai ikat kepala itu segera mengambil kelima kantung kulit miliknya, lalu mengisi penuh semuanya. Kemudian dia minum secara langsung dengan tangan sampai puas.Setelah semua kantung pe