Wira tetap teguh. "Kekuatan dan kehormatan tidak bisa dibeli dengan uang," katanya. "Pring Petuk ini adalah anugerah dari alam dan hasil dari kerja keras. Aku tidak akan pernah menjualnya."Para pendekar lain mengangguk setuju, menghargai prinsip dan integritas Wira. Pria kaya itu akhirnya pergi dengan rasa malu, meninggalkan Wira, Ratih, dan Lonbur dengan kebanggaan yang semakin kuat.Semua yang hadir tahu, bahwa mereka memang tidak cocok untuk mendapatkan pusaka sakti itu. Banyak dari mereka telah mencoba tapi tak sedikit yang gagal. Bahkan ada yang terluka parah sampai ada juga yang tewas. Hingga akhirnya hanya pendekar pemanah yang datang terakhir ini yang berhasil memenangkan pertarungan.Dengan Pring Petuk yang kini ada di tangan mereka, Wira dan Ratih melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan. Namun, dengan tekad dan semangat yang tidak pernah pudar, mereka siap menghadapi apapun yang datang.Mengingat tujuan awal Wira So
Mengikuti arah getaran pada pusaka Pring Petuk, Wira Soma dan kawan-kawan ternyata telah berbelok dari arah pusat kota kerajaan. Mereka menuju ke kaki gunung. Melewati ngarai yang dalam dan tebing terjal di sepanjang jalan.Alam di sekitar area ini seperti tak pernah dijamah manusia. Tebing berbatu dipenuhi lumut yang tebal, semak-semak tinggi menutupi jalan setapak.“Ke arah mana sebenarnya kita ini, Kang? Bukannya kamu bilang mau ke kota kerajaan?” Ratih mulai tak sabar untuk bertanya.“Aku hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pusaka ini. Sepertinya dia mendeteksi tempat persembunyian Ratu Angin Hitam atau pengikutnya.” Wira menggenggam Pring Petuk di tangan kanannya dan menggerakkan ke menghadap beberapa arah, potongan bambu itu akan terus bergetar dengan kekuatan yang lebih lemah saat Wira mengarah ke dalam ngarai yang lebih gelap.Memasuki lembah terdalam, aura mistis semakin terasa. Lonbur yang sebelumnya bersantai di pundak Wira, dia melompat ke pundak Ratih. “Nyai! Apaka
“Kalian tidak akan bisa meninggalkan tempat ini!” Seorang pemimpin penjaga berteriak sambil mengacungkan pedang panjangnya ke arah pria dan wanita muda di mulut gua.“Tangkap mereka!” lanjutnya.Tiga orang penjaga lain menyiapkan senjata mereka dan segera menyerang ke arah pria dan wanita muda yang tidak lain adalah Wira Soma dan Ratih. Seorang pendekar pemanah dan seorang wanita yang tampak biasa.Lonbur, seekor bunglon bersayap yang luput dari perhatian para penjaga segera terbang ke sisi gua.Dalam pertarungan jarak dekat, Wira mengandalkan sebilah pedang kecil dan juga batang busur panahnya sebagai tongkat. Dia bersiap pada setiap serangan para musuhnya.Sementara Ratih, dia berbalik memunggungi Wira untuk berjaga dari serangan menjepit dari arah belakang dengan bibir seperti merapalkan sesuatu.Tiga orang penjaga yang menyerang dari depan langsung berhadapan dengan Wira Soma dan pedang pendeknya. Serangan pedang dan golok sesekali menghampirinya, tapi dengan busur di tangan, peda
Jalanan terjal menanti di depan mata. Pepohonan rindang memenuhi segala arah membuat suasana tampak gelap karena bayangannya. Hanya suara serangga berderik yang nyaring di kejauhan, menandakan waktu siang menjelang sore.Seorang pemuda tampak lelah berjalan dengan tongkat di tangan. Duduk beristirahat di sebuah batu besar, dia mengeluarkan kantung kulit berisi air lalu meminumnya beberapa tegukan. Air pun habis.“Sudah kantung ke-5 air yang kuhabiskan. Aku belum menemukan goa itu.“ Pemuda itu bergumam. Mengingat betapa jauh langkah yang telah dia lewati.Melanjutkan langkah, pemuda itu mendengar suara air gemericik. Bermaksud memenuhi kembali kantung air yang dibawanya, dia bergerak ke arah sumber air itu.Sebuah aliran air kecil mengalir di sela-sela batu. Airnya begitu jernih dan segar.Pemuda yang memakai ikat kepala itu segera mengambil kelima kantung kulit miliknya, lalu mengisi penuh semuanya. Kemudian dia minum secara langsung dengan tangan sampai puas.Setelah semua kantung pe
Pukulan tangan Wira yang mengandung kekuatan angin mengenai dada kakek tua. Tak bergeming sedikitpun, kakek hanya tersenyum sinis.Dengan lambaian tangan kakek tua sedikit saja, Wira terlempar sampai keluar goa. Dia langsung bangkit kembali masuk dan menyerang kakek tua.Setelah beberapa kali serangan dan Wira terus terlempar keluar goa. Di serangan terakhirnya, kekuatan semakin meningkat ke mendekati alam diatasnya.Namun kali ini, tinju angin wira masih ditahan dan ditangkap oleh kakek tua. Fluktuasi energi terpecah ke belakang kakek dan menjatuhkan beberapa batu stalaktit.Seketika aura Wira turun drastis hingga terkapar lemas.…Tak sadar entah berapa lama Wira tak sadarkan diri, dia akhirnya membuka mata.Dia duduk di batu datar, tempat yang sebelumnya ditempati oleh Garuda Emas. Auranya semakin murni dan stabil.“Akhirnya kamu bangun juga, bocah bau!“ seru kakek tua.Melihat sekeliling, Wira langsung kepikiran sahabatnya yang terakhir dia ingat sahabatnya tertusuk bulu emas di p
Hari kedua Wira bermeditasi, auranya semakin pekat dan kuat. Gerakan tangan semakin selaras dengan aliran energi dalam tubuhnya.Sesekali muncul fluktuasi energi keluar tubuh dan membentuk pusaran-pusaran angin kecil. Dalam beberapa nafas, pusaran itu menghilang lagi.Di luar goa, pepohonan bergoyang hebat. Menari dan mengikuti irama. Senada dengan gerakan angin di dalam goa.Ki Santarja memperhatikan dengan seksama dan mengangguk beberapa kali.'Sungguh anak yang berbakat. Tidak salah aku menerimanya sebagai murid.'Lonbur terbang mendekat dan memberikan sekantung bunga senggani pada Ki Santarja. Melihat sekilas pada sahabatnya, lalu dia keluar dari goa lagi.“Sepertinya kamu akan segera naik ke alam Adhikara Madhyama. Stabilkan terus dan padatkan energimu. Misteri kekuatan angin mulai kau kuasai.“ Ki Santarja berkata dengan suara dalam membimbing meditasi Wira.Di hari ketiga, pusaran angin di sekitar Wira semakin kuat dan cepat. Hingga seluruh ruangan dalam goa terpengaruh.Rambut
Wira membuka mata perlahan. Setelah bermeditasi beberapa hari, akhirnya dia selesai menyerap kekuatan Aji Saipi Angin yang ia dapat sebelumnya. Auranya semakin pekat dan stabil.“Tak heran, perkembanganmu selalu berjalan lancar. Bakatmu memang bagus. Beruntung aku bisa punya murid sepertimu.“ Ki Santarja mengamati Wira sambil memegangi dagunya.“Guru terlalu memuji.““Baiklah. Sekarang apalah artinya kamu telah menguasai ajian itu kalau kamu hanya berdiam di dalam goa. Pergilah berkelana untuk mendapat pengalaman sejati di dunia persilatan.““Sendika dawuh, Guru!““Tapi sebelumnya, jemputlah Lonbur, dia kemarin ku tugaskan mencari sesuatu, tapi dia belum kembali.““Kemana aku harus mencarinya, Guru?““Kau rasakan auranya saja, lalu konsentrasi padanya. Dengan begitu, Aji Saipi Angin akan membantumu menuju tempat dimana Lonbur berada. Setelah ketemu, segera kembali.““Baik, Guru.““Baru selanjutnya kalian pergilah bersama.“Segera Wira memejamkan mata dan merasakan pancaran aura dari s
Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah loron