Pukulan tangan Wira yang mengandung kekuatan angin mengenai dada kakek tua. Tak bergeming sedikitpun, kakek hanya tersenyum sinis.
Dengan lambaian tangan kakek tua sedikit saja, Wira terlempar sampai keluar goa. Dia langsung bangkit kembali masuk dan menyerang kakek tua.
Setelah beberapa kali serangan dan Wira terus terlempar keluar goa. Di serangan terakhirnya, kekuatan semakin meningkat ke mendekati alam diatasnya.
Namun kali ini, tinju angin wira masih ditahan dan ditangkap oleh kakek tua. Fluktuasi energi terpecah ke belakang kakek dan menjatuhkan beberapa batu stalaktit.
Seketika aura Wira turun drastis hingga terkapar lemas.
…
Tak sadar entah berapa lama Wira tak sadarkan diri, dia akhirnya membuka mata.
Dia duduk di batu datar, tempat yang sebelumnya ditempati oleh Garuda Emas. Auranya semakin murni dan stabil.
“Akhirnya kamu bangun juga, bocah bau!“ seru kakek tua.
Melihat sekeliling, Wira langsung kepikiran sahabatnya yang terakhir dia ingat sahabatnya tertusuk bulu emas di punggung.
“Ampun, Guru. Sudah berapa lama saya pingsan? Dan dimana Lonbur?“
“Kamu entah pingsan atau tidur juga aku tidak tahu. Begitu kamu jatuh, kamu langsung tak sadarkan diri selama 7 hari. Lalu kamu bangkit dan bermeditasi selama satu paksha atau 15 hari.“
“Kamu tak perlu khawatir pada temanmu. Dia sedang bermeditasi lagi di tempat lain.“
Sebelumnya, Wira tengah menjalani 3 langkah ujian dari Garuda Emas. Yang pertama, dia diuji dengan tekanan mental dari Garuda Emas yang sebenarnya berwujud seorang kakek. Tekanan itu menguji seberapa kuat dasar kanuragan Wira. Dia telah lulus ujian pertamanya.
Kemudian, dia diminta memenuhi sebuah bejana air yang terdapat di dalam goa. Dengan alat seadanya, Wira telah naik-turun lereng sebanyak 20 kali dan dibantu oleh Lonbur, sahabat barunya. Saat selesai, rupanya sang kakek tua yang tidak lain adalah Garuda Emas tampak marah. Karena Wira mendapat bantuan tanpa seizin kakek. Kakek tua melemparkan sebuah bulu emas tepat menancap di punggung Lonbur membuat Wira marah besar.
Dia mencoba menyerang kakek tua beberapa kali dengan kekuatan tinju angin. Tetapi akhirnya dia tumbang.
Sebenarnya, saat kakek melemparkan bulu emas itu merupakan sebuah hadiah untuk Lonbur karena telah membantu Wira. Tapi juga sekaligus memasuki langkah ujian terakhir.
Dalam ujian kedua, Wira benar-benar dilatih fisiknya untuk naik-turun lereng gunung. Dan saat tekanan mental menyerang Wira dan Lonbur, sebenarnya adalah proses peningkatan kekuatan hingga mendekati batas tertinggi yang bisa diraih Wira saat ini.
Dalam periode 15 hari dia bersemedi, Wira telah resmi menjadi murid Garuda Emas dan mulai menjalani pelatihan tingkat lanjutan.
“Sekarang, tubuhmu telah mempunyai wadah yang lebih besar. Saat kamu memperdalam latihanmu, kau akan segera mencapai puncak Adhikara Pratama. Sebelum itu, keluarlah dan temukan beberapa ramuan ini.“ Kakek tua yang kini diketahui bernama Ki Santarja memberikan sebuah slip lontar berisi beberapa daftar ramuan.
“Sendika dawuh, Guru!“ Wira menangkupkan telapak tangannya sebelum beranjak pergi.
Di luar goa, Wira memeriksa slip lontar itu. Terdapat beberapa nama tumbuhan bahan ramuan. Beberapa tampak akrab, ada pula yang asing. Tapi dia tetap melangkah mengikuti intuisinya.
Ramuan Ashwaganda adalah sebuah ramuan yang ampuh untuk meningkatkan vitalitas tubuh. Bahan-bahannya sebagian mudah ditemukan di area hutan. Sebagian lagi butuh sedikit perjuangan.
Setelah mendapatkan semua bahan, Wira segera kembali ke goa dan menyerahkan pada Ki Santarja. Selain sebagai salah seorang ahli kanuragan, beliau juga merupakan ahli meracik ramuan herbal.
Semua bahan Ashwaganda diolah sedemikian rupa dengan beberapa alat meracik. Kemudian diolah dengan kuali obat khusus hingga terbentuk butiran-butiran kristal obat.
Satu resep ramuan yang didapat oleh Wira bisa menghasilkan 3 botol kecil ramuan.
Ki Santarja memberikan satu botol pada Wira.
“Murnikan satu butir ramuan ini dengan cara ditelat secara utuh tanpa air. Lalu bermeditasi lagi selama 3 hari. Vitalitasmu akan meningkat jauh.
Wira duduk bersila di atas batu datar. Dia mengambil sebutir ramuan Ashwaganda lalu menelannya. Kemudian dia memejamkan mata dan memulai bermeditasi lagi.
Dalam periode beberapa ghatika, aliran angin perlahan mulai berfluktuasi di sekitar tubuh Wira. Tangannya bergerak mengikuti aliran energi yang melalir dalam tubuhnya.
Sementara di bagian lagi dari goa. Ki Santarja menemukan Lonbur yang telah selesai menyempurnakan sayap barunya. Bunglon yang sebelumnya hanya bisa melompat dan melayang jauh, kemudian mendapat sehelai bulu emas di punggungnya. Sekarang dia telah mendapatkan sepasang sayap emas dan bisa terbang.
Walaupun sayap itu begitu tipis, bahkan saat mengepak tampak transparan, sayap-sayap itu begitu kuat.
“Sekarang, berlatihlah terbang di sekitar goa ini. Lakukan beberapa manuver agar kamu semakin akrab dengan bagian tubuh barumu.“
Tanpa menjawab, Lonbur mengikuti setiap petunjuk Ki Santarja.
Setelah sehari penuh Lonbur berlatih terbang, dia mulai mahir. Lalu dia ditugaskan menuju puncak sebuah bukit. Dia harus menemukan beberapa bunga senggani tua dengan berbekal sebuah kantung kecil sebagai wadah.
Lonbur sangat senang mendapat tugas ini. Dia bisa bebas terbang dengan sayap barunya di alam luas. Sambil dia membiasakan terbang lama, dia juga melatih mempertajam instingnya sendiri.
Setelah sampai di puncak bukit yang ditunjuk Ki Santarja, Lonbur perlahan berhenti dan hinggap di salah satu dahan. Melihat sekeliling dengan matany yang stereo, dia bisa melihat berbeda arah.
Tumbuhan senggani adalah termasuk jenis semak belukar, tapi dia menghasilkan bunga yang saat mekar dan tua, akan ada semacam biji yang bisa dikonsumsi. Berwarna coklat kehitaman di bagian pangkal bunganya. Sedangkan bunganya sendiri berwarna ungu cerah.
Melihat hamparan luas ladang senggani, Lonbur baru menemukan satu buah bunga yang sudah tua. Dia langsung memfokuskan kedua matanya pada satu titik. Saat dia hendak melesat, dia membatalkan niatnya.
Dengan berdegup kencang jantung Lonbur berkata dengan panik, “Hampir saja aku menjadi makanan ular itu.“
Mengurungkan niat untuk terbang, Lonbur turun dari dahan secara perlahan dan mengaktifkan seni mimikrinya. Warna kulitnya seperti transparan dan sulit terlihat.
Bunglon itu berjalan perlahan di setiap dahan dan ranting, dengan fokus tetap ke arah bunga dan juga ular. Saat ada embusan angin, dia berani melompat berpindah dahan. Agar gerakannya tersamar oleh angin.
Ketika jarak semakin dekat dengan bunga senggani, dia semakin waspada pada gerakan ular pohon yang juga berwarna hijau tersamar. Secara kebetulan, ular bergerak ke arah Lonbur saat ini. Sambil menahan auranya, Lonbur berhenti bergerak.
Ular hija bergerak perlahan, merayap tepat di atas Lonbur. Tiba-tiba kepala ular mengambil ancang-ancang untuk menyerang mangsa.
SLAP!
Jantung Lonbur seperti naik ke tenggorokan. Dia melihat sekeliling, aman. Tapi jantung masih berdetak kencang.
“Dimana ularnya?“ batin Lonbur panik.
Setelah beberapa saat, dia melihat ranting hijau bergerak tepat di belakangnya. Mata stereonya menelusuri arah.
Benar saja, ular itu telah menyerang mangsanya.
Seekor katak pohon dengan warna dan corak yang sama persis seperti daun tepat di belakang Lonbur yang menjadi mangsa ular.
Katak berhenti bergerak memberontak hanya dalam beberapa napas saja. Karena serangan ular tepat mengenai leher si katak.
Tak mau menjadi mangsa lainnya, Lonbur menahan diri untuk tidak bergerak sampai ular benar-benar pergi jauh.
Hari kedua Wira bermeditasi, auranya semakin pekat dan kuat. Gerakan tangan semakin selaras dengan aliran energi dalam tubuhnya.Sesekali muncul fluktuasi energi keluar tubuh dan membentuk pusaran-pusaran angin kecil. Dalam beberapa nafas, pusaran itu menghilang lagi.Di luar goa, pepohonan bergoyang hebat. Menari dan mengikuti irama. Senada dengan gerakan angin di dalam goa.Ki Santarja memperhatikan dengan seksama dan mengangguk beberapa kali.'Sungguh anak yang berbakat. Tidak salah aku menerimanya sebagai murid.'Lonbur terbang mendekat dan memberikan sekantung bunga senggani pada Ki Santarja. Melihat sekilas pada sahabatnya, lalu dia keluar dari goa lagi.“Sepertinya kamu akan segera naik ke alam Adhikara Madhyama. Stabilkan terus dan padatkan energimu. Misteri kekuatan angin mulai kau kuasai.“ Ki Santarja berkata dengan suara dalam membimbing meditasi Wira.Di hari ketiga, pusaran angin di sekitar Wira semakin kuat dan cepat. Hingga seluruh ruangan dalam goa terpengaruh.Rambut
Wira membuka mata perlahan. Setelah bermeditasi beberapa hari, akhirnya dia selesai menyerap kekuatan Aji Saipi Angin yang ia dapat sebelumnya. Auranya semakin pekat dan stabil.“Tak heran, perkembanganmu selalu berjalan lancar. Bakatmu memang bagus. Beruntung aku bisa punya murid sepertimu.“ Ki Santarja mengamati Wira sambil memegangi dagunya.“Guru terlalu memuji.““Baiklah. Sekarang apalah artinya kamu telah menguasai ajian itu kalau kamu hanya berdiam di dalam goa. Pergilah berkelana untuk mendapat pengalaman sejati di dunia persilatan.““Sendika dawuh, Guru!““Tapi sebelumnya, jemputlah Lonbur, dia kemarin ku tugaskan mencari sesuatu, tapi dia belum kembali.““Kemana aku harus mencarinya, Guru?““Kau rasakan auranya saja, lalu konsentrasi padanya. Dengan begitu, Aji Saipi Angin akan membantumu menuju tempat dimana Lonbur berada. Setelah ketemu, segera kembali.““Baik, Guru.““Baru selanjutnya kalian pergilah bersama.“Segera Wira memejamkan mata dan merasakan pancaran aura dari s
Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah loron
“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjal
Matahari meredup di langit senja saat Wira dan rombongan bersiap-siap menjalani malam yang penuh petualangan. Seperti biasa Wira duduk di tepi api unggun, matanya terpejam dalam meditasi, menyambut bisikan angin yang membawa pesan gurunya.Lonbur dan Blentung, sebagai teman-teman setia, mencoba membuat suasana lebih ceria. "Hei Blentung, malam ini kita harus memberikan penyambutan yang istimewa untuk Wira. Mungkin kita bisa menyanyi atau menari di sekitar api unggun?" ucap Lonbur sambil tertawa.Blentung menjawab dengan suara serak khasnya, "Ide yang bagus, Lonbur! Mungkin aku bisa menunjukkan gerak tarian katak yang selalu aku latih di sumur tua itu."Mereka adalah dua wujud makhluk yang berbeda, tapi dalam hal kekompakan bercanda, mereka nomor satu. Blentung dengan suara serak khasnya, membuat suara layaknya orkestra alam. Sambil menggerakkan tubuhnya menari tarian katak. Rupanya suara-suara Blentung memancing ratusan katak liar di alam untuk bersahutan memainkan orkestra. Lonbur me
Pohon-pohon besar menjulang tinggi tampak di kejauhan. Dikelilingi hamparan padang ilalang luas, yang tampak putih seperti kapas. Itu adalah bunga-bunga ilalang. Sesekali bunga-bunga itu rontok yang terbang terbawa angin kencang puncak gunung.Mendaki jalan yang terjal memerlukan kerjasama dan saling membantu. Para pendekar muda masih berada di kaki gunung. Mereka bertemu warga lokal yang memberikan petunjuk tentang kondisi puncak. "Puncak ini terkenal dengan keangkerannya. Tetapi jika kalian memiliki niat baik, mungkin kalian akan menemukan keberuntungan di sana," ujar seorang tua dengan rambut putih yang terurai panjang.Setelah melewati desa terakhir, mereka memasuki hutan lebat yang penuh dengan makhluk pengganggu. Semuanya bersatu untuk melindungi satu sama lain. Perjalanan ini tidaklah mudah. Hutan menyimpan berbagai rintangan yang tak terduga. Pohon-pohon besar dan akar-akar menjulang membuat mereka harus selalu berhati-hati dengan setiap langkah. Sering kali, suara aneh dan b
Wira Soma, dengan penuh rasa syukur menerima senjata busur sakti yang bernama "Tunggak Bawarastra". Busur sakti pemberian dewa angin ini sangat kental aura kekuatan anginnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Batara Bayu yang telah memberinya anugerah, pada gurunya yang memberi arahan dan mengawasi selama proses penerobosan, dan Sang Hyang Semar sebagai salah satu dewa tertinggi.Lalu, dengan tekad yang semakin kuat, Wira menyelaraskan kekuatannya pada busur sakti itu, merasakan energi yang mengalir di setiap urat tubuhnya. Begitu energi terserap sempurna, wujud busur pun menyatu dalam dirinya, tersimpan di Alam Pusarnya.Sementara itu, teman-teman yang menunggu juga menerima hadiah dari Batara Bayu, yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Mereka dengan antusias menyelaraskan diri dengan senjata baru mereka, merasakan kekuatan baru yang mengalir melalui tubuh mereka.Setelah selesai, rombongan itu memutuskan untuk menuruni gunung melalui jalan lain, mencari penginapan untuk beris
Sejauh mata memandang, semua tampak tenang dan tak ada gerakan apapun. Lingkungan yang luas membentang, langit biru cerah serta vegetasi hutan yang masih sangat alami. Padang rumput luas dengan beraneka jenis rerumputan yang tumbuh liar.Tiba-tiba muncul fluktuasi energi di atas langit kosong membentuk riak gelombang seperti kolam yang tenang terkena lemparan batu kecil.Wira Soma memasuki alam Mahapuspha melalui lorong hampa di tengah riak gelombang di langit. Dia memasuki sebuah dunia miniatur yang tersembunyi di dalam bunga raksasa.Melihat sekeliling, Wira bergumam, “Apakah aku salah masuk? Kenapa di tempat ini begitu sunyi? Bahkan tak ada jejak orang lewat sedikitpun, apalagi pertempuran.“ Begitu banyak pertanyaan dalam pikiran yang tau kepada siapa dia harus bertanya.Berjalan di padang rumput, Wira menemukan beberapa tumbuhan herbal liar yang memancarkan aura yang kuat menandakan tumbuhan itu benar-benar berkhasiat. Walaupun sebagian besar Wira belum mengetahui kegunaan pastiny