Pukulan tangan Wira yang mengandung kekuatan angin mengenai dada kakek tua. Tak bergeming sedikitpun, kakek hanya tersenyum sinis.
Dengan lambaian tangan kakek tua sedikit saja, Wira terlempar sampai keluar goa. Dia langsung bangkit kembali masuk dan menyerang kakek tua.
Setelah beberapa kali serangan dan Wira terus terlempar keluar goa. Di serangan terakhirnya, kekuatan semakin meningkat ke mendekati alam diatasnya.
Namun kali ini, tinju angin wira masih ditahan dan ditangkap oleh kakek tua. Fluktuasi energi terpecah ke belakang kakek dan menjatuhkan beberapa batu stalaktit.
Seketika aura Wira turun drastis hingga terkapar lemas.
…
Tak sadar entah berapa lama Wira tak sadarkan diri, dia akhirnya membuka mata.
Dia duduk di batu datar, tempat yang sebelumnya ditempati oleh Garuda Emas. Auranya semakin murni dan stabil.
“Akhirnya kamu bangun juga, bocah bau!“ seru kakek tua.
Melihat sekeliling, Wira langsung kepikiran sahabatnya yang terakhir dia ingat sahabatnya tertusuk bulu emas di punggung.
“Ampun, Guru. Sudah berapa lama saya pingsan? Dan dimana Lonbur?“
“Kamu entah pingsan atau tidur juga aku tidak tahu. Begitu kamu jatuh, kamu langsung tak sadarkan diri selama 7 hari. Lalu kamu bangkit dan bermeditasi selama satu paksha atau 15 hari.“
“Kamu tak perlu khawatir pada temanmu. Dia sedang bermeditasi lagi di tempat lain.“
Sebelumnya, Wira tengah menjalani 3 langkah ujian dari Garuda Emas. Yang pertama, dia diuji dengan tekanan mental dari Garuda Emas yang sebenarnya berwujud seorang kakek. Tekanan itu menguji seberapa kuat dasar kanuragan Wira. Dia telah lulus ujian pertamanya.
Kemudian, dia diminta memenuhi sebuah bejana air yang terdapat di dalam goa. Dengan alat seadanya, Wira telah naik-turun lereng sebanyak 20 kali dan dibantu oleh Lonbur, sahabat barunya. Saat selesai, rupanya sang kakek tua yang tidak lain adalah Garuda Emas tampak marah. Karena Wira mendapat bantuan tanpa seizin kakek. Kakek tua melemparkan sebuah bulu emas tepat menancap di punggung Lonbur membuat Wira marah besar.
Dia mencoba menyerang kakek tua beberapa kali dengan kekuatan tinju angin. Tetapi akhirnya dia tumbang.
Sebenarnya, saat kakek melemparkan bulu emas itu merupakan sebuah hadiah untuk Lonbur karena telah membantu Wira. Tapi juga sekaligus memasuki langkah ujian terakhir.
Dalam ujian kedua, Wira benar-benar dilatih fisiknya untuk naik-turun lereng gunung. Dan saat tekanan mental menyerang Wira dan Lonbur, sebenarnya adalah proses peningkatan kekuatan hingga mendekati batas tertinggi yang bisa diraih Wira saat ini.
Dalam periode 15 hari dia bersemedi, Wira telah resmi menjadi murid Garuda Emas dan mulai menjalani pelatihan tingkat lanjutan.
“Sekarang, tubuhmu telah mempunyai wadah yang lebih besar. Saat kamu memperdalam latihanmu, kau akan segera mencapai puncak Adhikara Pratama. Sebelum itu, keluarlah dan temukan beberapa ramuan ini.“ Kakek tua yang kini diketahui bernama Ki Santarja memberikan sebuah slip lontar berisi beberapa daftar ramuan.
“Sendika dawuh, Guru!“ Wira menangkupkan telapak tangannya sebelum beranjak pergi.
Di luar goa, Wira memeriksa slip lontar itu. Terdapat beberapa nama tumbuhan bahan ramuan. Beberapa tampak akrab, ada pula yang asing. Tapi dia tetap melangkah mengikuti intuisinya.
Ramuan Ashwaganda adalah sebuah ramuan yang ampuh untuk meningkatkan vitalitas tubuh. Bahan-bahannya sebagian mudah ditemukan di area hutan. Sebagian lagi butuh sedikit perjuangan.
Setelah mendapatkan semua bahan, Wira segera kembali ke goa dan menyerahkan pada Ki Santarja. Selain sebagai salah seorang ahli kanuragan, beliau juga merupakan ahli meracik ramuan herbal.
Semua bahan Ashwaganda diolah sedemikian rupa dengan beberapa alat meracik. Kemudian diolah dengan kuali obat khusus hingga terbentuk butiran-butiran kristal obat.
Satu resep ramuan yang didapat oleh Wira bisa menghasilkan 3 botol kecil ramuan.
Ki Santarja memberikan satu botol pada Wira.
“Murnikan satu butir ramuan ini dengan cara ditelat secara utuh tanpa air. Lalu bermeditasi lagi selama 3 hari. Vitalitasmu akan meningkat jauh.
Wira duduk bersila di atas batu datar. Dia mengambil sebutir ramuan Ashwaganda lalu menelannya. Kemudian dia memejamkan mata dan memulai bermeditasi lagi.
Dalam periode beberapa ghatika, aliran angin perlahan mulai berfluktuasi di sekitar tubuh Wira. Tangannya bergerak mengikuti aliran energi yang melalir dalam tubuhnya.
Sementara di bagian lagi dari goa. Ki Santarja menemukan Lonbur yang telah selesai menyempurnakan sayap barunya. Bunglon yang sebelumnya hanya bisa melompat dan melayang jauh, kemudian mendapat sehelai bulu emas di punggungnya. Sekarang dia telah mendapatkan sepasang sayap emas dan bisa terbang.
Walaupun sayap itu begitu tipis, bahkan saat mengepak tampak transparan, sayap-sayap itu begitu kuat.
“Sekarang, berlatihlah terbang di sekitar goa ini. Lakukan beberapa manuver agar kamu semakin akrab dengan bagian tubuh barumu.“
Tanpa menjawab, Lonbur mengikuti setiap petunjuk Ki Santarja.
Setelah sehari penuh Lonbur berlatih terbang, dia mulai mahir. Lalu dia ditugaskan menuju puncak sebuah bukit. Dia harus menemukan beberapa bunga senggani tua dengan berbekal sebuah kantung kecil sebagai wadah.
Lonbur sangat senang mendapat tugas ini. Dia bisa bebas terbang dengan sayap barunya di alam luas. Sambil dia membiasakan terbang lama, dia juga melatih mempertajam instingnya sendiri.
Setelah sampai di puncak bukit yang ditunjuk Ki Santarja, Lonbur perlahan berhenti dan hinggap di salah satu dahan. Melihat sekeliling dengan matany yang stereo, dia bisa melihat berbeda arah.
Tumbuhan senggani adalah termasuk jenis semak belukar, tapi dia menghasilkan bunga yang saat mekar dan tua, akan ada semacam biji yang bisa dikonsumsi. Berwarna coklat kehitaman di bagian pangkal bunganya. Sedangkan bunganya sendiri berwarna ungu cerah.
Melihat hamparan luas ladang senggani, Lonbur baru menemukan satu buah bunga yang sudah tua. Dia langsung memfokuskan kedua matanya pada satu titik. Saat dia hendak melesat, dia membatalkan niatnya.
Dengan berdegup kencang jantung Lonbur berkata dengan panik, “Hampir saja aku menjadi makanan ular itu.“
Mengurungkan niat untuk terbang, Lonbur turun dari dahan secara perlahan dan mengaktifkan seni mimikrinya. Warna kulitnya seperti transparan dan sulit terlihat.
Bunglon itu berjalan perlahan di setiap dahan dan ranting, dengan fokus tetap ke arah bunga dan juga ular. Saat ada embusan angin, dia berani melompat berpindah dahan. Agar gerakannya tersamar oleh angin.
Ketika jarak semakin dekat dengan bunga senggani, dia semakin waspada pada gerakan ular pohon yang juga berwarna hijau tersamar. Secara kebetulan, ular bergerak ke arah Lonbur saat ini. Sambil menahan auranya, Lonbur berhenti bergerak.
Ular hija bergerak perlahan, merayap tepat di atas Lonbur. Tiba-tiba kepala ular mengambil ancang-ancang untuk menyerang mangsa.
SLAP!
Jantung Lonbur seperti naik ke tenggorokan. Dia melihat sekeliling, aman. Tapi jantung masih berdetak kencang.
“Dimana ularnya?“ batin Lonbur panik.
Setelah beberapa saat, dia melihat ranting hijau bergerak tepat di belakangnya. Mata stereonya menelusuri arah.
Benar saja, ular itu telah menyerang mangsanya.
Seekor katak pohon dengan warna dan corak yang sama persis seperti daun tepat di belakang Lonbur yang menjadi mangsa ular.
Katak berhenti bergerak memberontak hanya dalam beberapa napas saja. Karena serangan ular tepat mengenai leher si katak.
Tak mau menjadi mangsa lainnya, Lonbur menahan diri untuk tidak bergerak sampai ular benar-benar pergi jauh.
Hari kedua Wira bermeditasi, auranya semakin pekat dan kuat. Gerakan tangan semakin selaras dengan aliran energi dalam tubuhnya.Sesekali muncul fluktuasi energi keluar tubuh dan membentuk pusaran-pusaran angin kecil. Dalam beberapa nafas, pusaran itu menghilang lagi.Di luar goa, pepohonan bergoyang hebat. Menari dan mengikuti irama. Senada dengan gerakan angin di dalam goa.Ki Santarja memperhatikan dengan seksama dan mengangguk beberapa kali.'Sungguh anak yang berbakat. Tidak salah aku menerimanya sebagai murid.'Lonbur terbang mendekat dan memberikan sekantung bunga senggani pada Ki Santarja. Melihat sekilas pada sahabatnya, lalu dia keluar dari goa lagi.“Sepertinya kamu akan segera naik ke alam Adhikara Madhyama. Stabilkan terus dan padatkan energimu. Misteri kekuatan angin mulai kau kuasai.“ Ki Santarja berkata dengan suara dalam membimbing meditasi Wira.Di hari ketiga, pusaran angin di sekitar Wira semakin kuat dan cepat. Hingga seluruh ruangan dalam goa terpengaruh.Rambut
Wira membuka mata perlahan. Setelah bermeditasi beberapa hari, akhirnya dia selesai menyerap kekuatan Aji Saipi Angin yang ia dapat sebelumnya. Auranya semakin pekat dan stabil.“Tak heran, perkembanganmu selalu berjalan lancar. Bakatmu memang bagus. Beruntung aku bisa punya murid sepertimu.“ Ki Santarja mengamati Wira sambil memegangi dagunya.“Guru terlalu memuji.““Baiklah. Sekarang apalah artinya kamu telah menguasai ajian itu kalau kamu hanya berdiam di dalam goa. Pergilah berkelana untuk mendapat pengalaman sejati di dunia persilatan.““Sendika dawuh, Guru!““Tapi sebelumnya, jemputlah Lonbur, dia kemarin ku tugaskan mencari sesuatu, tapi dia belum kembali.““Kemana aku harus mencarinya, Guru?““Kau rasakan auranya saja, lalu konsentrasi padanya. Dengan begitu, Aji Saipi Angin akan membantumu menuju tempat dimana Lonbur berada. Setelah ketemu, segera kembali.““Baik, Guru.““Baru selanjutnya kalian pergilah bersama.“Segera Wira memejamkan mata dan merasakan pancaran aura dari s
Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah loron
“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjal
Matahari meredup di langit senja saat Wira dan rombongan bersiap-siap menjalani malam yang penuh petualangan. Seperti biasa Wira duduk di tepi api unggun, matanya terpejam dalam meditasi, menyambut bisikan angin yang membawa pesan gurunya.Lonbur dan Blentung, sebagai teman-teman setia, mencoba membuat suasana lebih ceria. "Hei Blentung, malam ini kita harus memberikan penyambutan yang istimewa untuk Wira. Mungkin kita bisa menyanyi atau menari di sekitar api unggun?" ucap Lonbur sambil tertawa.Blentung menjawab dengan suara serak khasnya, "Ide yang bagus, Lonbur! Mungkin aku bisa menunjukkan gerak tarian katak yang selalu aku latih di sumur tua itu."Mereka adalah dua wujud makhluk yang berbeda, tapi dalam hal kekompakan bercanda, mereka nomor satu. Blentung dengan suara serak khasnya, membuat suara layaknya orkestra alam. Sambil menggerakkan tubuhnya menari tarian katak. Rupanya suara-suara Blentung memancing ratusan katak liar di alam untuk bersahutan memainkan orkestra. Lonbur me
Pohon-pohon besar menjulang tinggi tampak di kejauhan. Dikelilingi hamparan padang ilalang luas, yang tampak putih seperti kapas. Itu adalah bunga-bunga ilalang. Sesekali bunga-bunga itu rontok yang terbang terbawa angin kencang puncak gunung.Mendaki jalan yang terjal memerlukan kerjasama dan saling membantu. Para pendekar muda masih berada di kaki gunung. Mereka bertemu warga lokal yang memberikan petunjuk tentang kondisi puncak. "Puncak ini terkenal dengan keangkerannya. Tetapi jika kalian memiliki niat baik, mungkin kalian akan menemukan keberuntungan di sana," ujar seorang tua dengan rambut putih yang terurai panjang.Setelah melewati desa terakhir, mereka memasuki hutan lebat yang penuh dengan makhluk pengganggu. Semuanya bersatu untuk melindungi satu sama lain. Perjalanan ini tidaklah mudah. Hutan menyimpan berbagai rintangan yang tak terduga. Pohon-pohon besar dan akar-akar menjulang membuat mereka harus selalu berhati-hati dengan setiap langkah. Sering kali, suara aneh dan b
Wira Soma, dengan penuh rasa syukur menerima senjata busur sakti yang bernama "Tunggak Bawarastra". Busur sakti pemberian dewa angin ini sangat kental aura kekuatan anginnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Batara Bayu yang telah memberinya anugerah, pada gurunya yang memberi arahan dan mengawasi selama proses penerobosan, dan Sang Hyang Semar sebagai salah satu dewa tertinggi.Lalu, dengan tekad yang semakin kuat, Wira menyelaraskan kekuatannya pada busur sakti itu, merasakan energi yang mengalir di setiap urat tubuhnya. Begitu energi terserap sempurna, wujud busur pun menyatu dalam dirinya, tersimpan di Alam Pusarnya.Sementara itu, teman-teman yang menunggu juga menerima hadiah dari Batara Bayu, yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Mereka dengan antusias menyelaraskan diri dengan senjata baru mereka, merasakan kekuatan baru yang mengalir melalui tubuh mereka.Setelah selesai, rombongan itu memutuskan untuk menuruni gunung melalui jalan lain, mencari penginapan untuk beris
Sejauh mata memandang, semua tampak tenang dan tak ada gerakan apapun. Lingkungan yang luas membentang, langit biru cerah serta vegetasi hutan yang masih sangat alami. Padang rumput luas dengan beraneka jenis rerumputan yang tumbuh liar.Tiba-tiba muncul fluktuasi energi di atas langit kosong membentuk riak gelombang seperti kolam yang tenang terkena lemparan batu kecil.Wira Soma memasuki alam Mahapuspha melalui lorong hampa di tengah riak gelombang di langit. Dia memasuki sebuah dunia miniatur yang tersembunyi di dalam bunga raksasa.Melihat sekeliling, Wira bergumam, “Apakah aku salah masuk? Kenapa di tempat ini begitu sunyi? Bahkan tak ada jejak orang lewat sedikitpun, apalagi pertempuran.“ Begitu banyak pertanyaan dalam pikiran yang tau kepada siapa dia harus bertanya.Berjalan di padang rumput, Wira menemukan beberapa tumbuhan herbal liar yang memancarkan aura yang kuat menandakan tumbuhan itu benar-benar berkhasiat. Walaupun sebagian besar Wira belum mengetahui kegunaan pastiny
“Kalian tidak akan bisa meninggalkan tempat ini!” Seorang pemimpin penjaga berteriak sambil mengacungkan pedang panjangnya ke arah pria dan wanita muda di mulut gua.“Tangkap mereka!” lanjutnya.Tiga orang penjaga lain menyiapkan senjata mereka dan segera menyerang ke arah pria dan wanita muda yang tidak lain adalah Wira Soma dan Ratih. Seorang pendekar pemanah dan seorang wanita yang tampak biasa.Lonbur, seekor bunglon bersayap yang luput dari perhatian para penjaga segera terbang ke sisi gua.Dalam pertarungan jarak dekat, Wira mengandalkan sebilah pedang kecil dan juga batang busur panahnya sebagai tongkat. Dia bersiap pada setiap serangan para musuhnya.Sementara Ratih, dia berbalik memunggungi Wira untuk berjaga dari serangan menjepit dari arah belakang dengan bibir seperti merapalkan sesuatu.Tiga orang penjaga yang menyerang dari depan langsung berhadapan dengan Wira Soma dan pedang pendeknya. Serangan pedang dan golok sesekali menghampirinya, tapi dengan busur di tangan, peda
Mengikuti arah getaran pada pusaka Pring Petuk, Wira Soma dan kawan-kawan ternyata telah berbelok dari arah pusat kota kerajaan. Mereka menuju ke kaki gunung. Melewati ngarai yang dalam dan tebing terjal di sepanjang jalan.Alam di sekitar area ini seperti tak pernah dijamah manusia. Tebing berbatu dipenuhi lumut yang tebal, semak-semak tinggi menutupi jalan setapak.“Ke arah mana sebenarnya kita ini, Kang? Bukannya kamu bilang mau ke kota kerajaan?” Ratih mulai tak sabar untuk bertanya.“Aku hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pusaka ini. Sepertinya dia mendeteksi tempat persembunyian Ratu Angin Hitam atau pengikutnya.” Wira menggenggam Pring Petuk di tangan kanannya dan menggerakkan ke menghadap beberapa arah, potongan bambu itu akan terus bergetar dengan kekuatan yang lebih lemah saat Wira mengarah ke dalam ngarai yang lebih gelap.Memasuki lembah terdalam, aura mistis semakin terasa. Lonbur yang sebelumnya bersantai di pundak Wira, dia melompat ke pundak Ratih. “Nyai! Apaka
Wira tetap teguh. "Kekuatan dan kehormatan tidak bisa dibeli dengan uang," katanya. "Pring Petuk ini adalah anugerah dari alam dan hasil dari kerja keras. Aku tidak akan pernah menjualnya."Para pendekar lain mengangguk setuju, menghargai prinsip dan integritas Wira. Pria kaya itu akhirnya pergi dengan rasa malu, meninggalkan Wira, Ratih, dan Lonbur dengan kebanggaan yang semakin kuat.Semua yang hadir tahu, bahwa mereka memang tidak cocok untuk mendapatkan pusaka sakti itu. Banyak dari mereka telah mencoba tapi tak sedikit yang gagal. Bahkan ada yang terluka parah sampai ada juga yang tewas. Hingga akhirnya hanya pendekar pemanah yang datang terakhir ini yang berhasil memenangkan pertarungan.Dengan Pring Petuk yang kini ada di tangan mereka, Wira dan Ratih melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan. Namun, dengan tekad dan semangat yang tidak pernah pudar, mereka siap menghadapi apapun yang datang.Mengingat tujuan awal Wira So
Sejak tiba, karena masih ada beberapa orang lain yang sedang berusaha mendapat Pring Petuk, Wira Soma langsung duduk di dekat lokasi rumpun bambu gading dan mulai bermeditasi.Di dalam kedalaman meditasinya, dia mendapatkan petunjuk spiritual yang mengejutkan bahwa sosok penjaga Pring Petuk sebenarnya adalah makhluk yang sangat sakti dan independen. Makhluk itu tidak hanya menjaga pring petuk dengan kekuatan fisiknya, tetapi juga dengan kekuatan spiritual yang mengikat pada batang bambu tersebut.Tentu saja Wira tidak mendengar informasi tentang beberapa kejadian yang telah terjadi sebelumnya dari diskusi di sekitar.Saat Wira terbangun dari meditasinya dia mendapat pemahaman yang baru.Ratih segera melaporkan hasil penyelidikan pada makhluk mistis di sekitar area pada Wira Soma, sehingga Wira semakin paham situasinya.Dia menemukan seekor ular yang tampak menempel di batang bambu gading di dekat ruas yang terjadi petuk. Dalam pandangan sekilas ular itu tampak samar, bisa dianggap han
“Terima kasih, Ki!“ Wira Soma menagkupkan tangannya mengangguk pada Ki Mantep.Ki Mantep mengangguk dan juga tersenyum lalu perlahan menghilang kembali.Suasana di desa kembali damai sekali lagi. Penduduk desa bersukacita dan berterima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas kepahlawanan mereka. Tanpa disadari, sosok legenda yang telah membantu sebelumnya telah menghilang seolah tak pernah muncul.Namun, di balik kegembiraan, perasaan yang berbeda mulai tumbuh di antara Wira dan Ratih.Ratih, gadis desa yang memiliki kemampuan khusus dalam berkomunikasi dengan makhluk-makhluk mistis, merasakan getaran aneh saat bersama Wira. Dia mulai merasa tertarik pada pemuda itu, tetapi Wira masih ragu-ragu.Wira masih terbayang akan Dewi Meru, teman masa kecilnya yang selalu ada di sisinya. Meskipun ia merasakan getaran rasa spesial dari Ratih, namun ia merasa tidak pantas untuk melupakan Dewi Meru begitu saja.Mencoba mengingat sesuatu yang terlupakan, Wira akhirnya bertanya sambil berjalan, “
Setelah kemenangan mereka atas Ratu Angin Hitam, suasana di desa kembali tenang. Penduduk desa bersukacita dan mengucapkan terima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas pertolongan mereka. Penduduk mengadakan perayaan sebagai bentuk rasa syukur dengan mengadakan jamuan di halaman rumah sesepuh kampung.“Nikmatilah jamuan sekedarnya ini, Pendekar. Sebagai wujud ucapan terimakasih kami karena telah menyelamatkan warga kami dari kekejaman Ratu Angin Hitam.“ Sesepuh kampung tersenyum ramah mempersilakan untuk makan.“Terima kasih, Sesepuh! Kebetulan kami juga tengah menelusuri jejak pengaruh kekuatan kegelapan itu.“ Wira menceritakan tentang tugas perjalanan dari gurunya di kerajaan Toya Legi ini. Sejak ia mendapat tugas di Puser Bhumi, dilanjutkan menuju kerjaan ini. Misinya masih sama, membasmi kekuatan kegelapan khususnya para pengikut Dewa Gempurana. Namun di kerajaan Toya Legi ini, Wira Soma harus mencari petunjuk dan langkahnya sendiri.Di balik kegembiraan kemenangan yang sementa
Malam itu, di tepi hutan yang gelap, suasana menjadi semakin tenang, Wira dan Ratih merencanakan langkah mereka selanjutnya. Mereka duduk di sekitar api unggun kecil, sementara Lonbur, yang masih dalam wujud bunglon, bergelayutan di ranting pohon di dekat mereka."Kita harus mencari lebih banyak informasi tentang Ratu Angin Hitam dan sihir yang digunakannya," ujar Ratih dengan penuh tekad. "Mungkin ada petunjuk lain saat kita memasuki desa."Wira mengangguk setuju. "Kita harus siap untuk berhadapan dengan segala macam rintangan dan musuh yang mungkin kita temui di desa. Tidak boleh lengah."Kemretek suara kayu terbakar api unggun, menjadikan suasana lebih tenang malam itu.Saat mereka mengatur rencana, tiba-tiba Lonbur memperlihatkan sayapnya yang mengesankan. "Tidak perlu khawatir, saya pasti membantu," kata Lonbur dengan suara cemprengnya yang khas.Ratih terkesima melihat perubahan mendadak Lonbur. "Kamu benar-benar bisa berubah seperti itu?" Ratih heran.Lonbur mengangguk mantap.
Hari mulai gelap di dekat gerbang perbatasan kerajaan Toya Legi. Lampu-lampu kecil dari potongan kayu damar telah dinyalakan. Dan sebuah api unggun menyala terang di dekat gerbang menghasilkan suara kemretek dari pembakaran kayu.“Malam ini kita akan makan sate rusa muda, Slur! Pasti mantap!“ Seorang penjaga gerbang memanggul rusa kecil yang masih sekarat, dia bersiap untuk memotong rusa itu.“Ah! Rusa sekecil itu! Mana cukup dagingnya buat kita semua, Kang!“ Penjaga yang lain malah protes. “Kenapa tak kamu ambil rusa besar itu saja? Walau kurus, pasti dagingnya lebih banyak daripada anak rusa ini!““Kalau mau, ayo bantu aku persiapkan buat sate saja! Tidak perlu protes! Yang tidak membantu, tidak kebagian!“ Penjaga yang memanggul rusa kecil menyiapkan golok untuk menyembelih rusa yang masih sekarat itu. Dia meletakkannya di tanah dan menghunus goloknya.…“Semoga mereka tidak berniat benar-benar memakan Lonbur yang kecil dan kurus itu,” gumam Wira pada diri sendiri di dekat api unggu
Di dalam goa yang luas, tiga orang terlihat duduk saling berhadapan. Dua diantaranya duduk di lantai yang lebih rendah, menghadap ke arah satunya.Goa itu cukup gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos dari arah pintu masuk yang menjadi penerang suasana di dalam goa. Di sudut goa, terlihat ada sebuah bejana air yang cukup besar. Juga ada beberapa kantung kulit yang tergeletak.Sosok tua yang duduk di pelataran tinggi memulai berbicara.“Setelah ini, kalian pergilah ke arah barat daya. Masuklah ke negeri Toya Legi, di sana kalian akan mendapat petunjuk lainnya.“ Ki Santarja menampilkan gambaran samar melayang di udara. Gambaran bercahaya emas itu memperlihatkan sebuah peta menuju kerajaan di sisi barat daya.“Lonbur, kamu gunakanlah wujud besar sehingga Wira bisa naik di atas punggungmu. Supaya perjalanan kalian menjadi lebih cepat. Namun janganlah kalian terbang seperti itu di dalam wilayah kerajaan Toya Legi kalau Kanuraganmu belum bisa untuk terbang sendiri tanpa say