Sejauh mata memandang, semua tampak tenang dan tak ada gerakan apapun. Lingkungan yang luas membentang, langit biru cerah serta vegetasi hutan yang masih sangat alami. Padang rumput luas dengan beraneka jenis rerumputan yang tumbuh liar.Tiba-tiba muncul fluktuasi energi di atas langit kosong membentuk riak gelombang seperti kolam yang tenang terkena lemparan batu kecil.Wira Soma memasuki alam Mahapuspha melalui lorong hampa di tengah riak gelombang di langit. Dia memasuki sebuah dunia miniatur yang tersembunyi di dalam bunga raksasa.Melihat sekeliling, Wira bergumam, “Apakah aku salah masuk? Kenapa di tempat ini begitu sunyi? Bahkan tak ada jejak orang lewat sedikitpun, apalagi pertempuran.“ Begitu banyak pertanyaan dalam pikiran yang tau kepada siapa dia harus bertanya.Berjalan di padang rumput, Wira menemukan beberapa tumbuhan herbal liar yang memancarkan aura yang kuat menandakan tumbuhan itu benar-benar berkhasiat. Walaupun sebagian besar Wira belum mengetahui kegunaan pastiny
Wira Soma melangkah dengan hati penuh tekad menuju Rawa Kangkung, diiringi oleh suara gemercik air dan alunan angin yang sepoi-sepoi. Setiap langkahnya dihiasi dengan kecantikan alam yang mengelilinginya. Namun, perjalanannya tak sepenuhnya mulus.Tiba-tiba, lonceng di leher Blentung berdenting keras. Ada aura ancaman yang membuat mereka waspada. Melihat sekeliling, sebuah serangan mendadak melesat dari bayangan pepohonan di tepi rawa. Sebilah benda bercahaya melesat ek arah Wira, dengan ketajaman mata dan kekuatannya, benda itu ditangkap tanpa terlalu banyak usaha. Benda itu berbentuk seperti jarum kecil, tajam, beraura sangat kuat. Serangan itu dilakukan oleh makhluk halus yang ingin menggagalkan pencarian Wira.Dengan sigap, Lonbur dan Blentung bertindak. Lonbur terbang mengelilingi area untuk mengamati musuh yang tak terlihat. Blentung, dengan keahliannya sebagai makhluk halus, menggunakan kekuatan gaibnya untuk membuat selubung.Wira Soma, yang tetap berada di jalannya, menyadar
Padepokan Ki Santarja saat ini kedatangan beberapa pendekar baru. Mereka duduk bersila di halaman luas mendengarkan laporan Wira. Sang guru pun mengangguk dan memberi mereka wejangan yang lebih dalam.Ketenangan malam yang dihiasi derik serangga tiba-tiba terusik.Di salah satu sudut area, telah terjadi fluktuasi energi yang kacau. Sebuah pusaran cahaya tiba-tiba muncul di tengah dan berkembang menjadi sebuah portal dimensi. Aliran angin pun terasa kacau di dekat portal itu.Dari sana muncul sosok pendekar tua yang bermartabat.“Salam Kakek Garuda Emas!“ Pendekar yang tampak lebih tua itu justru memberi hormat pada Ki Santarja.Ki Santarja mengangguk, lalu mempersilakan duduk.“Mohon ampun. Saya datang ke sini hanya sebentar saja. Karena situasi di dunia kami, dunia Puser Bumi sedang kacau. Raja mengutusku untuk mencari bala bantuan. Menurut ramalan kuno, akan ada seorang pemuda sakti yang menjadi muri Garuda Emas. Dialah yang bisa membantu menyelamatkan Puser Bumi.“Ki Santarja terse
Di sebuah aula padepokan sederhana yang hanya cukup untuk 30 orang, 6 tetua tengah berunding bersama Ki Pranawa. Mereka berharap para ksatria muda mendapatkan hasil yang memuaskan.Wira, Meru dan Rara kembali ke padepokan bersama Ki Mantep dengan Mustika Angin yang telah berhasil mereka dapatkan dari Goa Luweng Angin. Ki Pranawa bersama semua tetua menyambut mereka dengan bangga, melihat bahwa para ksatria muda telah berhasil menyelesaikan misi pertama mereka di Puser Bumi."Tidak ada kata yang dapat menggambarkan rasa bangga dan terima kasihku pada kalian. Mustika Angin yang kalian bawa akan menjadi landasan untuk misi-misi berikutnya," ujar Ki Pranawa sambil menatap mata Wira dengan tajam, seakan membaca nasib yang menanti.Wira memegang mustika denga dibalut kain putih dan menunjukkan pada semua yang hadir. Setelah dibuka, terlihat sebongkah batu permata bersegi, berkilau putih. Wira menyerahkan pada Ki Pranawa, “Mustika ini sebenarnya tidak dicuri. Melainkan roh suci di dalamnya y
Lurung Angin, sebuah tempat sakral yang menyimpan kebijaksanaan dan kekuatan spiritual di dalam alam Puser Bumi. Dataran tinggi yang meluas, hutan yang rimbun, dan berbagai makhluk alam menjadi ujian bagi Wira dan teman-temannya, namun semangat mereka tidak pernah surut.Dengan Harimau Angin yang memimpin jalan, mereka menjelajahi dataran tinggi yang terbentang luas. Pemandangan yang memukau dengan bunga-bunga berwarna-warni dan angin yang berdesir melintas, Wira merasa ada energi yang begitu kuat mengalir di sana. Ini bukan hanya sebuah tempat fisik, melainkan juga wilayah di mana energi alam dan spiritual bersatu.Meru dan Rara, di sisi lain, menghadapi ujian yang unik. Burung-burung kecil berkumpul di langit biru, membentuk pola yang indah. Dengan pandangan tajam, mereka memandu Meru dan Rara melewati jalur yang berliku, memberikan petunjuk yang hanya dapat dimengerti oleh hati yang jujur. Mereka memasuki sebuah gerbang yang membuat mereka berpisah dengan Wira dan Teja.Wira Soma d
Secara tiba-tiba, aliran waktu seolah sangat melambat. Bahkan daun yang terlempar karena efek pertempuran seolah berhenti di udara. Puluhan panah musuh pun berhenti. Bukan karena benar-benar berhenti, namun karena penglihatan Wira yang sangat cepat.Tundung Kusuma menebaskan Pedang Ular Bayangan dengan kekuatan penuh ke arah Wira yang tak siap. Tapi serangan brutalnya hanya mengenai debu di udara kosong. Wira yang sebelumnya berdiri tepat di bawah ujung pedang, telah menghilang entah kemana.Sebelum Tundung Kusuma menyadari keberadaan Wira, justru dia sendiri terlempar karena serangan yang tak dia ketahui asalnya.Tundung Kusuma melayang dan menabrak beberapa orang rekannya, lalu berhenti saat tubuhnya menghantam pohon besar. Tanpa disadari, Pedang Ular Bayangannya telah terlepas dan menghilang saat dia terlempar. Dia berusaha kembali menegakkan tubuhnya yang terluka dan seteguk darah hitam dimuntahkan. Sambil mengusap darah di ujung mulutnya, “Kurang ajar! Rupanya kau cukup kuat juga
Hutan lebat membentang sejauh mata memandang. Sebuah goa tampak samar bercahaya di balik pepohonan terlihat di kereng sebuah gunung kecil yang menjulang di tengah hutan. Sementara di sekeliling hutan yang gelap, tampak sembilan batang pohon besar menjulang di antara pepohonan lainnya, pohon-pohon itu bercahaya dengan berbagai warna yang berbeda. Aura mistis menenangkan terpancar dari cahaya yang membentuk sebuah susunan raksasa.Aura yang menenangkan itu hanya berlaku bagi para manusia berhati bersih, tapi bagi mereka yang memuja kegelapan, aura itu sangan menekan kekuatan mereka.Dalam beberapa saat, ketenangan segera berubah, saat kecamuk pertempuran terjadi di sekitar area goa. Beberapa kilatan cahaya api terlihat menari di depan goa, tampak seperti tarian pedang menebas musuhnya. Hingga beberapa saat setelah tarian cahaya api itu berhenti di sebuah titik, tiba-tiba terjadi sebuah getaran di seluruh hutan.Salah satu pohon suci yang bercahaya tampak melemah, itu adalah pohon cahaya
Hutan gelap dengan pepohonan tinggi menjulang di sepanjang jalan. Wira dengan Saipi Angin-nya melewati segerombolan pendekar hitam. Mereka memakai jubah hitam dan beberapa senjata beraura kegelapan. Tanpa mereka sadari, Wira telah melewati mereka semua seolah hanya angin lewat saja.Saat bertemu dengan Dewi Meru dan Rara Dewi, Wira Soma langsung mengatur strategi. Kedua gadis bersiap di bawah pohon cahaya untuk mencegat para penyerang, masing-masing berbekal senjata pemberian dewa, Dewi Meru memegang pedang sakti Naga Welang, sedangkan Rara Dewi mempersiapkan diri dengan pedang sakti Naga Weling yang berkilauan.Sedangkan Wira bersiap di kejauhan dengan panah Tunggak Bawarastra yang juga pemberian Betara Bayu.Dari kegelapan hutan, muncullah seorang pendekar hitam yang mengenakan jubah hitam yang berkelebat angker. Wajahnya tertutup kain dan hanya tampak rongga di sekitar matanya saja yang menambah kesan misteriusnya. Pendekar itu menggenggam sebuah kapak besar yang memantulkan cahaya