Mohon maaf terlambat update, karena kesibukan lain di bulan pemilu ini. Terimakasih semua dukungan para pembaca semua. Selamat melanjutkan membaca.
Hutan gelap dengan pepohonan tinggi menjulang di sepanjang jalan. Wira dengan Saipi Angin-nya melewati segerombolan pendekar hitam. Mereka memakai jubah hitam dan beberapa senjata beraura kegelapan. Tanpa mereka sadari, Wira telah melewati mereka semua seolah hanya angin lewat saja.Saat bertemu dengan Dewi Meru dan Rara Dewi, Wira Soma langsung mengatur strategi. Kedua gadis bersiap di bawah pohon cahaya untuk mencegat para penyerang, masing-masing berbekal senjata pemberian dewa, Dewi Meru memegang pedang sakti Naga Welang, sedangkan Rara Dewi mempersiapkan diri dengan pedang sakti Naga Weling yang berkilauan.Sedangkan Wira bersiap di kejauhan dengan panah Tunggak Bawarastra yang juga pemberian Betara Bayu.Dari kegelapan hutan, muncullah seorang pendekar hitam yang mengenakan jubah hitam yang berkelebat angker. Wajahnya tertutup kain dan hanya tampak rongga di sekitar matanya saja yang menambah kesan misteriusnya. Pendekar itu menggenggam sebuah kapak besar yang memantulkan cahaya
Kabut putih menyelimuti sebuah area di dekat jalan. Hawa dingin menusuk terasa sejak masih jauh. Sebuah danau berkabut itu tampak seperti jejak kaki yang sangat besar. “Dingin sekai hawa di sini, Nyai,“ kata Rara pada Dewi Meru. “Betul! Seperti ada kekuatan hebat yang tersembunyi di dalam danau itu, yang membuat danau membeku dan kabut dingin menyelimuti area ini.“ Dewi Meru berspekulasi sendiri. “Mungkin Teja Darta tahu sesuatu?“ Meru melihat Teja Darta yang sedang menarik tali pengikat Ki Malakasa. “Kalau tidak salah, ini salah satu danau Tapak Bima. Sebuah bekas jejak kaki Sang Bima yang mungkin kebetulan di sini terdapat inti unsur hawa dingin. Air danau ini terlihat normal, tapi benda apa saja bisa langsung membeku saat tercelup kedalamnya.“ Teja Darta menjelaskan sambil mencoba mencelupkan sebagian batang tongkat milik Ki Malakasa. Dalam legenda, Bima adalah salah satu putra Pandawa yang bertubuh raksasa. Dimana dia menginjak tanah yang tidak terlalu keras, dia akan meningga
Kabut yang menyelimuti seluruh area semakin tebal dan tebal. Jarak pandang hanya beberapa langkah saja. Orang yang tidak berhati-hati jika berjalan-jalan di area itu, dia bisa terpeleset ke danau Tapak Bima dan membeku.Rara Dewi duduk dengan tenang di tepi danau, titik di mana auranya paling kuat. Air danau ini memiliki kekuatan yang bisa membekukan apa saja yang tercelup atau masuk ke dalamnya. Di sekelilingnya, pepohonan rimbun dan udara berkabut yang dingin menciptakan atmosfer yang menenangkan. Rara merasakan resonansi energi spiritual dalam dirinya, seolah-olah ada ikatan misterius yang kuat antara dirinya dan energi dalam danau tersebut.Dengan lembut, Rara menyentuh air dan merasakan aliran energi yang memancar dari dalamnya. Setiap helaan napasnya seolah-olah menyatu dengan kekuatan alam yang memenuhi danau itu. Sementara itu, Dewi Meru berdiri di dekatnya, menjaga dan memberikan dukungan moral pada Rara. Dia juga menyerap energi alam, memulihkan diri dan memperkuat jiwanya u
Sebuah cahaya misterius tiba-tiba muncul di udara kosong. Berputar membentuk pusaran energi yang padat di antara pepohonan. Pusaran cahaya bercampur angin bertiup cukup kencang, sehingga daun yang berserakan menjadi berantakan dan menghilang dalam gelapnya malam.Dari pusaran cahaya itu, muncul dua sosok manusia yang gagah berani keluar bersama.Dewi Meru dan Wira Soma kembali ke Gunung Maruta dengan hati yang lega setelah menjalankan misi mereka di Puser Bumi. Begitu mereka tiba, mereka disambut oleh Lonbur dan Blentung, mereka sahabat setia yang selalu bersama mereka dalam setiap petualangan. Saat itu, mereka ditinggalkan di padepokan karena kekuatan mereka belum cukup.Lonbur kini semakin kuat dan bisa berubah menjadi manusia dewasa. Dia juga bisa merubah ukuran tubuhnya menjadi sebesar naga hingga bisa untuk dinaiki oleh satu orang dewasa. Sedangkan Blentung yang dari dulu sudah bisa berubah jadi manusia, kini sosok manusianya adalah manusia dewasa dan kekuatannya semakin kental.
Di dalam goa yang luas, tiga orang terlihat duduk saling berhadapan. Dua diantaranya duduk di lantai yang lebih rendah, menghadap ke arah satunya.Goa itu cukup gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos dari arah pintu masuk yang menjadi penerang suasana di dalam goa. Di sudut goa, terlihat ada sebuah bejana air yang cukup besar. Juga ada beberapa kantung kulit yang tergeletak.Sosok tua yang duduk di pelataran tinggi memulai berbicara.“Setelah ini, kalian pergilah ke arah barat daya. Masuklah ke negeri Toya Legi, di sana kalian akan mendapat petunjuk lainnya.“ Ki Santarja menampilkan gambaran samar melayang di udara. Gambaran bercahaya emas itu memperlihatkan sebuah peta menuju kerajaan di sisi barat daya.“Lonbur, kamu gunakanlah wujud besar sehingga Wira bisa naik di atas punggungmu. Supaya perjalanan kalian menjadi lebih cepat. Namun janganlah kalian terbang seperti itu di dalam wilayah kerajaan Toya Legi kalau Kanuraganmu belum bisa untuk terbang sendiri tanpa say
Hari mulai gelap di dekat gerbang perbatasan kerajaan Toya Legi. Lampu-lampu kecil dari potongan kayu damar telah dinyalakan. Dan sebuah api unggun menyala terang di dekat gerbang menghasilkan suara kemretek dari pembakaran kayu.“Malam ini kita akan makan sate rusa muda, Slur! Pasti mantap!“ Seorang penjaga gerbang memanggul rusa kecil yang masih sekarat, dia bersiap untuk memotong rusa itu.“Ah! Rusa sekecil itu! Mana cukup dagingnya buat kita semua, Kang!“ Penjaga yang lain malah protes. “Kenapa tak kamu ambil rusa besar itu saja? Walau kurus, pasti dagingnya lebih banyak daripada anak rusa ini!““Kalau mau, ayo bantu aku persiapkan buat sate saja! Tidak perlu protes! Yang tidak membantu, tidak kebagian!“ Penjaga yang memanggul rusa kecil menyiapkan golok untuk menyembelih rusa yang masih sekarat itu. Dia meletakkannya di tanah dan menghunus goloknya.…“Semoga mereka tidak berniat benar-benar memakan Lonbur yang kecil dan kurus itu,” gumam Wira pada diri sendiri di dekat api unggu
Malam itu, di tepi hutan yang gelap, suasana menjadi semakin tenang, Wira dan Ratih merencanakan langkah mereka selanjutnya. Mereka duduk di sekitar api unggun kecil, sementara Lonbur, yang masih dalam wujud bunglon, bergelayutan di ranting pohon di dekat mereka."Kita harus mencari lebih banyak informasi tentang Ratu Angin Hitam dan sihir yang digunakannya," ujar Ratih dengan penuh tekad. "Mungkin ada petunjuk lain saat kita memasuki desa."Wira mengangguk setuju. "Kita harus siap untuk berhadapan dengan segala macam rintangan dan musuh yang mungkin kita temui di desa. Tidak boleh lengah."Kemretek suara kayu terbakar api unggun, menjadikan suasana lebih tenang malam itu.Saat mereka mengatur rencana, tiba-tiba Lonbur memperlihatkan sayapnya yang mengesankan. "Tidak perlu khawatir, saya pasti membantu," kata Lonbur dengan suara cemprengnya yang khas.Ratih terkesima melihat perubahan mendadak Lonbur. "Kamu benar-benar bisa berubah seperti itu?" Ratih heran.Lonbur mengangguk mantap.
Setelah kemenangan mereka atas Ratu Angin Hitam, suasana di desa kembali tenang. Penduduk desa bersukacita dan mengucapkan terima kasih kepada Wira, Ratih, dan Lonbur atas pertolongan mereka. Penduduk mengadakan perayaan sebagai bentuk rasa syukur dengan mengadakan jamuan di halaman rumah sesepuh kampung.“Nikmatilah jamuan sekedarnya ini, Pendekar. Sebagai wujud ucapan terimakasih kami karena telah menyelamatkan warga kami dari kekejaman Ratu Angin Hitam.“ Sesepuh kampung tersenyum ramah mempersilakan untuk makan.“Terima kasih, Sesepuh! Kebetulan kami juga tengah menelusuri jejak pengaruh kekuatan kegelapan itu.“ Wira menceritakan tentang tugas perjalanan dari gurunya di kerajaan Toya Legi ini. Sejak ia mendapat tugas di Puser Bhumi, dilanjutkan menuju kerjaan ini. Misinya masih sama, membasmi kekuatan kegelapan khususnya para pengikut Dewa Gempurana. Namun di kerajaan Toya Legi ini, Wira Soma harus mencari petunjuk dan langkahnya sendiri.Di balik kegembiraan kemenangan yang sementa