Secara tiba-tiba, aliran waktu seolah sangat melambat. Bahkan daun yang terlempar karena efek pertempuran seolah berhenti di udara. Puluhan panah musuh pun berhenti. Bukan karena benar-benar berhenti, namun karena penglihatan Wira yang sangat cepat.Tundung Kusuma menebaskan Pedang Ular Bayangan dengan kekuatan penuh ke arah Wira yang tak siap. Tapi serangan brutalnya hanya mengenai debu di udara kosong. Wira yang sebelumnya berdiri tepat di bawah ujung pedang, telah menghilang entah kemana.Sebelum Tundung Kusuma menyadari keberadaan Wira, justru dia sendiri terlempar karena serangan yang tak dia ketahui asalnya.Tundung Kusuma melayang dan menabrak beberapa orang rekannya, lalu berhenti saat tubuhnya menghantam pohon besar. Tanpa disadari, Pedang Ular Bayangannya telah terlepas dan menghilang saat dia terlempar. Dia berusaha kembali menegakkan tubuhnya yang terluka dan seteguk darah hitam dimuntahkan. Sambil mengusap darah di ujung mulutnya, “Kurang ajar! Rupanya kau cukup kuat juga
Hutan lebat membentang sejauh mata memandang. Sebuah goa tampak samar bercahaya di balik pepohonan terlihat di kereng sebuah gunung kecil yang menjulang di tengah hutan. Sementara di sekeliling hutan yang gelap, tampak sembilan batang pohon besar menjulang di antara pepohonan lainnya, pohon-pohon itu bercahaya dengan berbagai warna yang berbeda. Aura mistis menenangkan terpancar dari cahaya yang membentuk sebuah susunan raksasa.Aura yang menenangkan itu hanya berlaku bagi para manusia berhati bersih, tapi bagi mereka yang memuja kegelapan, aura itu sangan menekan kekuatan mereka.Dalam beberapa saat, ketenangan segera berubah, saat kecamuk pertempuran terjadi di sekitar area goa. Beberapa kilatan cahaya api terlihat menari di depan goa, tampak seperti tarian pedang menebas musuhnya. Hingga beberapa saat setelah tarian cahaya api itu berhenti di sebuah titik, tiba-tiba terjadi sebuah getaran di seluruh hutan.Salah satu pohon suci yang bercahaya tampak melemah, itu adalah pohon cahaya
Hutan gelap dengan pepohonan tinggi menjulang di sepanjang jalan. Wira dengan Saipi Angin-nya melewati segerombolan pendekar hitam. Mereka memakai jubah hitam dan beberapa senjata beraura kegelapan. Tanpa mereka sadari, Wira telah melewati mereka semua seolah hanya angin lewat saja.Saat bertemu dengan Dewi Meru dan Rara Dewi, Wira Soma langsung mengatur strategi. Kedua gadis bersiap di bawah pohon cahaya untuk mencegat para penyerang, masing-masing berbekal senjata pemberian dewa, Dewi Meru memegang pedang sakti Naga Welang, sedangkan Rara Dewi mempersiapkan diri dengan pedang sakti Naga Weling yang berkilauan.Sedangkan Wira bersiap di kejauhan dengan panah Tunggak Bawarastra yang juga pemberian Betara Bayu.Dari kegelapan hutan, muncullah seorang pendekar hitam yang mengenakan jubah hitam yang berkelebat angker. Wajahnya tertutup kain dan hanya tampak rongga di sekitar matanya saja yang menambah kesan misteriusnya. Pendekar itu menggenggam sebuah kapak besar yang memantulkan cahaya
Kabut putih menyelimuti sebuah area di dekat jalan. Hawa dingin menusuk terasa sejak masih jauh. Sebuah danau berkabut itu tampak seperti jejak kaki yang sangat besar. “Dingin sekai hawa di sini, Nyai,“ kata Rara pada Dewi Meru. “Betul! Seperti ada kekuatan hebat yang tersembunyi di dalam danau itu, yang membuat danau membeku dan kabut dingin menyelimuti area ini.“ Dewi Meru berspekulasi sendiri. “Mungkin Teja Darta tahu sesuatu?“ Meru melihat Teja Darta yang sedang menarik tali pengikat Ki Malakasa. “Kalau tidak salah, ini salah satu danau Tapak Bima. Sebuah bekas jejak kaki Sang Bima yang mungkin kebetulan di sini terdapat inti unsur hawa dingin. Air danau ini terlihat normal, tapi benda apa saja bisa langsung membeku saat tercelup kedalamnya.“ Teja Darta menjelaskan sambil mencoba mencelupkan sebagian batang tongkat milik Ki Malakasa. Dalam legenda, Bima adalah salah satu putra Pandawa yang bertubuh raksasa. Dimana dia menginjak tanah yang tidak terlalu keras, dia akan meningga
Kabut yang menyelimuti seluruh area semakin tebal dan tebal. Jarak pandang hanya beberapa langkah saja. Orang yang tidak berhati-hati jika berjalan-jalan di area itu, dia bisa terpeleset ke danau Tapak Bima dan membeku.Rara Dewi duduk dengan tenang di tepi danau, titik di mana auranya paling kuat. Air danau ini memiliki kekuatan yang bisa membekukan apa saja yang tercelup atau masuk ke dalamnya. Di sekelilingnya, pepohonan rimbun dan udara berkabut yang dingin menciptakan atmosfer yang menenangkan. Rara merasakan resonansi energi spiritual dalam dirinya, seolah-olah ada ikatan misterius yang kuat antara dirinya dan energi dalam danau tersebut.Dengan lembut, Rara menyentuh air dan merasakan aliran energi yang memancar dari dalamnya. Setiap helaan napasnya seolah-olah menyatu dengan kekuatan alam yang memenuhi danau itu. Sementara itu, Dewi Meru berdiri di dekatnya, menjaga dan memberikan dukungan moral pada Rara. Dia juga menyerap energi alam, memulihkan diri dan memperkuat jiwanya u
Sebuah cahaya misterius tiba-tiba muncul di udara kosong. Berputar membentuk pusaran energi yang padat di antara pepohonan. Pusaran cahaya bercampur angin bertiup cukup kencang, sehingga daun yang berserakan menjadi berantakan dan menghilang dalam gelapnya malam.Dari pusaran cahaya itu, muncul dua sosok manusia yang gagah berani keluar bersama.Dewi Meru dan Wira Soma kembali ke Gunung Maruta dengan hati yang lega setelah menjalankan misi mereka di Puser Bumi. Begitu mereka tiba, mereka disambut oleh Lonbur dan Blentung, mereka sahabat setia yang selalu bersama mereka dalam setiap petualangan. Saat itu, mereka ditinggalkan di padepokan karena kekuatan mereka belum cukup.Lonbur kini semakin kuat dan bisa berubah menjadi manusia dewasa. Dia juga bisa merubah ukuran tubuhnya menjadi sebesar naga hingga bisa untuk dinaiki oleh satu orang dewasa. Sedangkan Blentung yang dari dulu sudah bisa berubah jadi manusia, kini sosok manusianya adalah manusia dewasa dan kekuatannya semakin kental.
Di dalam goa yang luas, tiga orang terlihat duduk saling berhadapan. Dua diantaranya duduk di lantai yang lebih rendah, menghadap ke arah satunya.Goa itu cukup gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos dari arah pintu masuk yang menjadi penerang suasana di dalam goa. Di sudut goa, terlihat ada sebuah bejana air yang cukup besar. Juga ada beberapa kantung kulit yang tergeletak.Sosok tua yang duduk di pelataran tinggi memulai berbicara.“Setelah ini, kalian pergilah ke arah barat daya. Masuklah ke negeri Toya Legi, di sana kalian akan mendapat petunjuk lainnya.“ Ki Santarja menampilkan gambaran samar melayang di udara. Gambaran bercahaya emas itu memperlihatkan sebuah peta menuju kerajaan di sisi barat daya.“Lonbur, kamu gunakanlah wujud besar sehingga Wira bisa naik di atas punggungmu. Supaya perjalanan kalian menjadi lebih cepat. Namun janganlah kalian terbang seperti itu di dalam wilayah kerajaan Toya Legi kalau Kanuraganmu belum bisa untuk terbang sendiri tanpa say
Hari mulai gelap di dekat gerbang perbatasan kerajaan Toya Legi. Lampu-lampu kecil dari potongan kayu damar telah dinyalakan. Dan sebuah api unggun menyala terang di dekat gerbang menghasilkan suara kemretek dari pembakaran kayu.“Malam ini kita akan makan sate rusa muda, Slur! Pasti mantap!“ Seorang penjaga gerbang memanggul rusa kecil yang masih sekarat, dia bersiap untuk memotong rusa itu.“Ah! Rusa sekecil itu! Mana cukup dagingnya buat kita semua, Kang!“ Penjaga yang lain malah protes. “Kenapa tak kamu ambil rusa besar itu saja? Walau kurus, pasti dagingnya lebih banyak daripada anak rusa ini!““Kalau mau, ayo bantu aku persiapkan buat sate saja! Tidak perlu protes! Yang tidak membantu, tidak kebagian!“ Penjaga yang memanggul rusa kecil menyiapkan golok untuk menyembelih rusa yang masih sekarat itu. Dia meletakkannya di tanah dan menghunus goloknya.…“Semoga mereka tidak berniat benar-benar memakan Lonbur yang kecil dan kurus itu,” gumam Wira pada diri sendiri di dekat api unggu